February 24, 2009

Aspek Sosial Budaya Masyarakat Aceh

Oleh: Agus Budi Wibowo dan Rusdi Sufi

Aceh sebagai sebuah entitas suku dan wilayah tentu sangat berbeda dengan suku atau wilayah lainnya di Indonesia. Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang pluralistis dan “terbuka”. Di daerah Nanggroe Daruusalam ini terdapat 8 subetnis, yaitu Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet, Simeulu, Singkil, dan Tamiang. Kedelapan subetnis tersebut mempunyai sejarah asal-usul dan budaya yangg sangat berbeda antar satu dengan yang lain. Misalnya, menurut sejarahnya, subetnis Aneuk Jamee merupakan pendatang yang berasal dari Sumatra Barat (etnis Minangkabu) sehingga budaya subetnis Aneuk Jamee mempunyai kemiripan dengan budaya etnis Minangkabau.

A. Mitos/Sejarah Keberadaan Masyarakat Aceh
Pada waktu masih sebagai sebuah kerajaan yang dimaksud dengan Aceh adalah wilayah, yang sekarang dikenal dengan nama Aceh Besar yang di dalam istilah Aceh disebut Aceh Rayeuk, yaitu salah satu kabupaten atau daerah tingkat II di Nanggroe Aceh Darussalam. Semasa kerajaan, Aceh Rayeuk (Aceh Besar) sebagai inti Kerajaan Aceh (Aceh proper). Karena daerah inilah pada mulanya yang menjadi inti kerajaan dan telah menyebarkan sebagian penduduknya ke daerah-daerah lain di sekitarnya (daerah takluk) yang Belanda menamakanya (Onderhorigheden). Sebutan Aceh juga digunakan oleh orang-orang di daerah takluk di luar Aceh Rayeuk (Aceh Besar) dalam wilayah Kerajaan Aceh, untuk menyebut nama ibukota kerajaan yang sekarang bernama Banda Aceh. Mereka yang mendiami pesisir Timur seperti Pidie, Aceh Utara hingga Aceh Timur dan Pesisir Barat dan Selatan, jika mau ke ibukota kerajaan (Banda Aceh) mengatakan mau pergi ke Aceh dan sebutan ini masih ada yang menggunakannya sampai sekarang.
Selain sebagai nama daerah Aceh juga merupakan nama salah satu suku bangsa atau etnis sebagai penduduk asli yang mendiami Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sekarang terdapat 20 daerah tingkat II yang didiami oleh delapan kelompok etnis, yaitu etnis Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Kluet, Simeulue, dan Singkil. Semua etnis ini adalah penduduk asli yang dalam istilah Belanda disebut inlander (penduduk pribumi).
Mengenai kapan Aceh dan kapan istilah ini mulai digunakan belum ada suatu kepastian konkrit asal muasalnya. Data yang dapat memberi kesimpulan tentang asal muasal etnis Aceh tidak diketemukan. Informasi atau sumber yang berasal dari orang Aceh sendiri tentang hal ini masih berupa kisah-kisah populer yang disampaikan secara turun-temurun (berupa tradisi lisan) yang sulit untuk dipertanggungjawabkan kebenarannya. Para pendatang luar (orang-orang asing) yang pernah mengunjungi ke Aceh sewaktu masih sebagai sebuah kerajaan menyebutkan dengan nama beragam. Orang Portugis misalnya menyebut dengan nama Achen dan Achem, orang Inggris menyebut Achin, orang Perancis menamakan Achen dan Acheh; orang Arab menyebut Asyi, sementara orang Belanda menamakan Atchin dan Acheh. Orang Aceh sendiri menyebut dirinya dengan nama Ureung Aceh (orang Aceh). Memang terdapat beberapa sumber yang menginformasikan tentang asal muasal nama Aceh dan etnis Aceh. Namun sumber-sumber ini ada yang bersifat mistis atau dongeng, meskipun ada juga yang dikutip oleh para penulis asing seperti penulis-penulis Belanda.
K. F. H Van Langen dalam salah satu karyanya tentang Aceh berjudul "De Inrichting Van het Atjehsche Staatbestuur Onder het Sultanaat” (Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan yang dimuat dalam BKI 37 (1888) serta juga yang dikutip dari Laporan Gubernur Aceh dan Daerah Takluknya yang diterima sebagai Lampiran Surat Sekretaris Pemerintahan Umum yang tertanggal 30 Juni 1887 No. 956 dimuat dalam majalah TBG (1889) dengan judul "Iets Omtrent de Oosprong Van Het Atjesche Volk en den Toestand Onder het Voormalig Sultanaat in Atjeh" (Serba-serbi Tentang Asal-Usul Bangsa Aceh dan Keadaan Pada Masa Pemerintahan Kesultanan di Aceh). Disebutkan bahwa menurut cerita-cerita rakyat, penduduk asli Aceh disebut ureueng manteue yang didominasi oleh orang-orang Batak dan juga etnis Gayo. Mereka termasuk dalam keluarga besar Melayu yang asal¬-usulnya juga belum diketahui secara pasti. Untuk menguatkan pendapat ini dijelaskan bahwa di dalam adat Batak dan Gayo masih terdapat unsur-unsur dan kata-kata yang juga dijumpai dalam bahasa Aceh. Meskipun dengan ucapan yang telah berubah di samping unsur-unsur formatip bahasa Batak dan Gayo.
Ada pula yang memperkirakan bahwa etnis Aceh sebagian besar berasal dari Campa, seperti yang diutarakan oleh C. Snouck Hurgronje dalam karyanya The Atjehers (orang-orang Aceh). Hal ini dapat dilihat dari segi bahasa. Menurut bahasa Aceh menunjukkan banyak persamaan dengan bahasa yang digunakan oleh bangsa Mon Khmer, penduduk asli Kamboja, baik dari segi tata bahasa maupun dalam peristilahannya. Mengenai perbandingan atau persamaan antara bahasa Aceh dengan bahasa Campa telah diterbitkan oleh H.K.J. Cowan dengan judul "Aanteekeningen betreffende de verhoding van het Atjesche tot de Mon Khmer talen" dalam BKI 104 (1948).
Seorang ulama Aceh terkenal Aceh pada XIX yaitu Teungku Kutakarang yang populer dengan sebutan Teungku Chik Kutakarang (meninggal 1895) dalam karyanya Tadhkirat al Radikin menyebutkan bahwa orang Aceh terdiri atas tiga pencampuran darah yaitu Arab, Persi, dan Turki. Teungku Chik Kutakarang tidak menyebutkan adanya percampuran dengan suku-suku bangsa lain, seperti India dan lainnya. Pendapat yang lebih masuk akal dikemukakan oleh Julius Jacob, seorang sarjana Belanda dalam karyanya Het Familie en Kampongleven Op Groot Atjeh (1894) (Kehidupan Kampung dan Keluarga di Aceh Besar). Di sini Jakob mengatakan bahwa orang Aceh adalah suatu anthropologis mixtum, suatu percampuran darah yang berasal dari pelbagai suku bangsa pendatang. Ada yang berasal dari Semenanjung Melayu, Melayu-Minangkabau, Batak, Nias. orang¬-orang lndia, Arab, Habsyi, Bugis, Jawa, dan sebagainya. Dapat disebutkan pula bahwa sultan-sultan terakhir yang memerintah di Kerajaan Aceh secara berturut-turut semenjak Sultan Alaidin Ahmadsyah (1727) sampai dengan Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1874) dan yang terakhir Sultan Muhammad Daudsyah (1874-1903) adalah berasal dari Bugis.
Sebuah riwayat menyebutkan bahwa berdasarkan asal¬-usulnya etnis Aceh dibagi empat kawom (kaum) atau sukee (suku). Pembagian ini mulai dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Alaaidin Al-Kahar (1530-1552). Keempat kawom atau sukee ini yaitu
1. Kawom atau sukee lhee reutoh (kawum atau suku tiga ratus). Mereka berasal dari orang-orang Mante-Batak sebagai penduduk asli.
2. Kawom atau sukee imuem peut (kaum atau suku imam empat). Mereka berasal dari orang-orang Hindu atau India sebagai pendatang.
3. Kawom atau sukee tok Batee (kaum atau suku yang mencukupi batu). Mereka berasal dari berbagai etnis, pendatang dari berbagai tempat.
4. Kawom atau sukee Ja Sandang (kaum atau suku penyandang). Mereka adalah para imigran Hindu yang telah memeluk agama Islam.
Pada awalnya akibat asal usul yang berbeda, keempat kawom ini sering kali terlibat dalam konflik internal. Kawom-kawon ini sampai sekarang masih merupakan dasar masyarakat Aceh dan solidaritas sesama kawomnya cukup tinggi. Mereka loyal kepada pimpinannya. Semua keputusan atau tindakan yang akan diambil selalu melibatkan pimpinan dan orang-orang yang dituakan dalam kawon-kawom itu.
Sesungguhnya etnis Aceh sebagai suatu entitas politik dan budaya mulai terbentuk semanjak awal abad XVI. Hal ini ditandai dengan terbentuknya Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayatsyah (lebih kurang 1514). Pembentukan ini diawali dengan adanya dinamika internal dalam masyarakat Aceh, yaitu terjadinya penggabungan beberapa kerajaan kecil yang ada di Aceh Rayeuk yang selanjutnya dengan penyatuan Kerajaan Pidie, Pasai, Perlak, dan Daya ke dalam Kerajaan Aceh Darussalam. Selanjutnya, pertumbuhan dan pengembangan kerajaan ini ditentukan pula oleh faktor eksternal. Karena eksodusnya para pedagang muslim dari Malaka ke ibukota Kerajaan Aceh, setelah ditaklukannya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 dan juga berubalmya rute perdagangan para pedagang muslim dari jalur Selat Malaka ke Jalur Pantai Barat Sumatera. Keadaan ini menyebabkan ibukota Kerajaan Aceh (Banda Aceh) menjadi berkembang dengan penduduknya menjadi lebih kosmopolitan.

B. Karakteristik Kepribadian
Karena posisi geografisnya yang menguntungkan menyebabkan Aceh sarat dengan kontak dan pengaruh dari luar. Salah satu di antaranya ialah agama Islam. Berdasarkan beberapa sumber disimpulkan para sejarawan dan arkeolog bahwa agama Islam pertama masuk ke Nusantara ialah daerah Aceh. Disimpulkan pula bahwa Islam yang masuk ini yaitu Islam yang terlebih dahulu tersebar dan teradaptasi dengan unsur-unsur di daerah Persia dan Gujerat (India). Masuk dan kemudian berkembangnya agama Islam di Aceh telah menjadikan etnis Aceh secara keseluruhan penganut agama Islam. Namun karena Islam yang masuk ini, Islam yang telah berbaur dengan unsur¬-unsur budaya dari mereka yang memasukkan (budaya Persia dan India) telah memberikan corak tersendiri terhadap budaya dan adat istiadat serta agama Islam di Aceh.
Pada masyarakat Aceh antara agama dan budaya telah menyatu sehingga sukar untuk dipisahkan. Hal ini tercermin dalam sebuah ungkapan Aceh yang sangat populer, yaitu adat ngon hukom hanjeuet cree lagee zat ngon sifeut, artinya adat dengan hukum syariat Islam tidak dapat dipisahkan seperti unsur dengan sifatnya. Maksudnya hukum agama Islam yang berlaku itu telah menyatu dengan adat laksana zat dengan sifat Allah yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Dengan kata lain dapat disebut bahwa kedua hal itu berjalan sejajar dan jika di antaranya ada yang tidak cocok, dalam arti jika adat bertentangan dengan unsur-¬unsur agama lslam, maka keadaan itu dianggap timpang dan salah.
Di kalangan etnis Aceh terdapat sebuah pedoman hidup yaitu adat bak poteumeureuhom, hukom bak syiah kuala, yang maksudnya adat yakni kebiasaan-kebiasaan, tata cara atau peraturan-peraturan yang telah dibiasakan secara turun-temurun ditetapkan oleh raja atau penguasa (umara) dan hukum-hukum agama Islam difatwakan oleh para ulama. Sehubungan dengan hal tersebut dapat disebutkan bahwa adat pergaulan dan tata cara hidup etnis Aceh telah terjalin rapat dengan nafas Islam yang tidak terpisahkan itu. Ajaran-ajaran agama Islam yang dihayati oleh penduduk (orang Aceh) sejak dahulu masih membekas sampai sekarang. Salah satu warisan pengaruh agama yaitu tradisi bahasa tulisan yang ditulis dalam huruf Arab. Meskipun etnis Aceh mempunyai bahasa sendiri yang disebut bahasa Aceh (termasuk rumpun bahasa Austronesia), tetapi tidak memiliki sistem huruf khas bahasa Aceh asli. Berbagai karya (kitab) yang dikarang oleh para ulama (pada masa kerajaan) ditulis dengan huruf Arab. Ada yang dalam bahasa Melayu yang disebut bahasa Jawi atau Jawoe dan juga bahasa Aceh serta Arab. Dapat dikatakan semua generasi tua mengenal huruf Arab (bahasa Jawi) ini didapatkannya melalui pendidikan agama. Selanjutnya di sini diketengahkan beberapa segi adat istiadat dan pandangan hidup etnis Aceh Menurut Rusdi Sufi ada beberapa karakteristik yang khas dari masyarakat Aceh yaitu,

Memberi Salam
Suatu cara khas etnis Aceh yang juga ada pada suku bangsa Indonesia lain ialah dalam hal bertamu ke tempat seseorang yang belum dikenalnya. Sebelum ia masuk ke rumah yang punya terlebih dahulu ia menyapa penghuninya dengan menggunakan kata assalamu 'alaikum (bukan dengan sesuatu sebutan yang lain dari itu) yang artinya seperti sama-sama kita maklumi, moga-moga anda (sekalian) sejahtera. Ini adalah suatu sikap hidup yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada umatnva.
Karena Islam itu damai, maka setiap pemeluknya disuruh supaya ia hidup berdamai dengan sesamanya. Menjawab salam ini wajib hukumnya. Jika ucapan salam itu tidak dijawab karena ketiadaan penghuni umpamanya, maka tamu tadi tidak akan masuk ke dalam rumah yang didatanginya itu, ia segera beranjak dari tempat ini untuk menghindarkan fitnah. Ini sesuai dengan maksud A1 Qur'an surat An-Nur ayat 27 dan 61.

Tangan Kiri atau Kaki
Seorang Aceh tidak akan menyerahkan, menerima sesuatu atau menghimbau seseorang dengan tangan kirinya, baik secara berkelakar apalagi secara bersungguh-sungguhan. Dalam hal ini tangan kiri dianggap paling tidak sopan karena kegunaannya hanyalah untuk membersihkan bahagian tubuh setelah melakukan hajat besar. Pengertian kiri dan kanan dalam pandangan orang Aceh sudah jelas, analog dengan yang tercantum dalam A1 Qur'an surat Al-Haqqah ayat 19 dan 25 atau surat Al Waqiah ayat 8, 9, 41 dan 90 atau surat A1 Insyiqaq ayat 7. Begitu juga halnya bercanda dengan menggunakan kaki, baik kiri ataupun kanan sesuatu yang paling pantang.

Memegang Kepala
Kepala merupakan bahagian tubuh yang ditakdirkan 'Tuhan berada di atas sekali. Di situ dipusatkan indera-indera terpenting seperti otak, mata, telinga, mulut dan lidah, yang kemudian baru berhubungan dengan organ-organ tubuh yang lain ke bawah. Dalam pandangan orang Aceh memegang atau mengambil penutup kepala yang sedang dipakai seseorang, baik secara berkelakar apalagi secara sengaja merupakan hal yang sangat dilarang.

Yang Dituakan
Dalam pergaulan hidup orang Aceh, seseorang yang lebih tua usianya dipandang terhormat. Dengan tua di sini dimaksudkan seseorang yang telah lama hidup dan telah berpengalaman serta dengan sendirinya lebih bijaksana dalam tindak-tanduknya dibandingkan dengan seseorang yang masih berusia muda. Dalam hal ini tidak berarti bahwa seperti halnya sekarang pemuda yang telah bergelar sarjana dipandang tidak terhormat.

Jiran
Jiran atau tetangga merupakan kelompok orang yang paling rapat hubungannya dengan orang Aceh. Kendatipun orang itu mempunyai saudara kandung atau famili yang bagaimanapun besar martabatnya, tetapi jauh daripadanya, namun .jiran atau tetangga yang walaupun tidak seagama dan sesuku dengannya merupakan kelompok orang yang sangat berarti baginya. Oleh karena itu, seorang Aceh tidak akan merasakan asing jika ia berdiam dekat dengan seseorang yang berlainan suku bangsa atau agama yang dianutnya. Dia dapat merasakan hubungan kekeluargaan vang mesra dengan jirannya dalam batas pandangan-pandangan hidupnya.

Damai
Karena cara hidup orang Aceh terjalin dengan unsur-unsur agama Islam seperti telah disinggung di atas, maka sesuai dengan maksud dan tujuan Islam sendiri, pada prinsipnya setiap orang Aceh itu berperasaan damai di hatinya terhadap siapapm sejauh ia tidak dipandang remeh atau dihina oleh sesuatu golongan lain. Makna salam yang diucapkan pada setiap waktu bertemu dan berpisah dimana pun tempatnya itu sebenarnya merupakan ajaran bagi seorang Aceh untuk hidup damai dengan segala makhluk Allah di muka bumi ini.
Dalam pandangan orang Aceh, taloe atau kalah merupakan hal yang sangat negatif. Jika ia merasa taloe atau tersisih dari suatu pergaulan masyarakat, maka ia akan keluar dari kampungya dan pergi berdiam di tempat lain dimana orang belum mengenal dirinya dengan maksud agar ia dapat hidup secara terhormat kembali. Oleh karena itu, prinsip hidup berdamai itu sangat penting bagi seorang Aceh, suatu sikap yang dipertahankan secara sungguh-sungguh. Ihi pula maka setiap sengketa di kampung Aceh selalu dibawa kepada titik perdamaian yang dilakukan oleh kepala kampung bersama anggota-anggota pemerintah kampung itu. Pengertian taloe atau kalah yang disebut di atas bukanlah istilah yang biasa dipergunakan dalam permainan seperti permainan bola.
Sehubungan dengan prinsip hidup damai itu dalam penghidupan orang Aceh dikenal pula sebuah ucapan vang berbunyi sihet bek rho bah habeh maksudnya miring jangan tumpah biarlah, artinya daripada miring-miring atau tanggung-¬tanggung, biarlah tumpah atau sungguh-sungguh sekali asal tidak sampai malu. Prinsip hidup ini berarti bahwa orang Aceh hanya mengenal sahabat yang setiap saja, sahabat yang benar-benar seperasaan dan sependeritaan dengannya dan untuk sahabat yang sedemikian ia rela mengorbankan apa saja, jika perlu nyawapun akan rela dikorbankan.

Dendam
Dalam buku-buku yang dikarang oleh orang-orang Belanda pada masa lalu ada yang menyebutkan bahwa orang Aceh itu pendendam. Gambaran ini sebenarnya keliru. Orang Aceh sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya sebenarnya hanya mengenal kata tueng bila, maksudnya menuntut bela. Seorang Aceh akan menuntut bela atas setiap kerugian yang dideritanya. Menuntut bela menurut Islam adalah wajib. Ini dijelaskan dalam Al Qur'an surat A1 Baqarah ayat 178 atau surat A1 Maidah ayat 45. Akan tetapi, karena prinsip hidup orang Aceh yang lebih menyukai damai itu, maka menjadi tugas bagi eumbah dan ma di sebuah kampung sebagai tokoh-tokoh yang berwibawa untuk bertindak, sehingga semua persoalan sengketa dapat dinetralkan kembali di dalam pergaulan masyarakat di kampung itu.
Memang dalam bahasa Aceh ada perkataan dendam yang disebut dam. Akan tetapi, penggunaannya sangat negatif Jadi, jika dalam praktik terjadi penyimpangan daripada yang disebut di atas, maka orang itu tidak memahami prinsip hidupnya sebagai seorang Aceh.

Pergaulan
Dari beberapa hal yang telah dicoba dijelaskan untuk dikemukakan tadi jelas bahwa bagi setiap orang Aceh tidak merupakan masalah untuk berasimilasi dengan setiap orang di luar sukunya. baik di dalam maupun di luar daerahnya sendiri. Sikap hidup ini sebenarnya sudah ada dalam darah setiap orang Aceh jika diingat bahwa orang Aceh merupakan percampuran darah dengan bangsa lain seperti telah diutarakan di atas.
Kekeluargaan
Pada masa dahulu dimana setiap kaum itu mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka keluarga itu mempunyai arti yang penting sekali. Peperangan di antara satu daerah dengan daerah lain telah membuat setiap keluarga itu amat menonjol dan bertanggung jawab satu dengan yang lain, sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa menurut asal-usulnya bangsa Aceh itu terdiri atas 4 kaum atau suku.

C. Struktur Masyarakat
Berdasarkan pendekatan historis, lapisan masyarakat Aceh yang paling menonjol dapat dikelompokkan pada dua golongan yaitu golongan umara dan golongan ulama. Umara dapat diartikan sebagai pemerintah atau pejabat pelaksana pemerintah dalam suatu unit wilayah kekuasaan. Contohnya seperti jabatan Sultan yang merupakan pimpinan atau pejabat tertinggi dalam unit pemerintahan kerajaan, Uleebalang sebagai pinpinan unit pemerintahan Nanggroe (negeri), Panglima Sagoe (Panglima Sagi) yang memimpin unit pemerintahan Sagi, Kepala Mukim yang menjadi pimpinan unti pemerintahan Mukim dan Keuchiek atau Geuchiek yang menjadi pimpinan pada unit pemerintahan Gampong (kampung). Kesemua mereka atau pejabat tersebut di atas, dalam struktur pemerintahan di Aceh pada masa dahulu dikenal sebagai lapisan pemimpin adat, pemimpin keduniawian atau kelompok elite sekuler.
Sementara golongan ulama yang menjadi pimpinan yang mengurusi masalah-masalah keagamaan (hukom atau syariat Islam) dikenal sebagai pemimpin keagamaan atau masuk kelompok elite religius. Oleh karena para ulama ini mengurusi hal-hal yang menyangkut keagamaan, maka mereka haruslah seorang yang berilmu, yang dalam istilah Aceh disebut ureung nyang malem. Dengan demikian tebntunya sesuai dengan predikat/sebutan ulama itu sendiri, yang berarti para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan. Adapun golongan atau kelompok Ulama ini dapat disebut yaitu :
1. Tengku Meunasah, yang memimpin masalah-masalah yang berhubungan dengan keagamaan pada suatu unit pemerintahan Gampong (kampung).
2. Imum Mukim (Imam Mukim), yaitu yang mengurusi masalah keagamaan pada tingkat pemerintahan mukim, yang bertindak sebagai imam sembahyang pada setiap hari jumat di sebuah mesjid pada wilayah mukim yang bersangkutan.
3. Qadli (kadli), yaitu orang yang memimpin pengadilan agama atau yang dipandang mengerti mengenai hukum agama pada tingkat kerajaan dan juga pada tingkat Nanggroe yang disebut Kadli Uleebalang.
4. Teungku-teungku, yaitu pengelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti dayah dan rangkang, juga termasuk murid-muridnya. Bagi mereka yang sudah cukup tinggi tangkat keilmuannya, disebut dengan istilah Teungku Chiek
Selain pembagian atas kedua kelompok tersebut di atas, yang paling menonjol dalam masyarakat Aceh tempo doeloe, juga dalam masyarakat Aceh terdapat lapisan-lapisan lain seperti kelompok Sayed yang bergelar habib untuk laki-laki dan Syarifah untuk perempuan. Kelompok ini dikatakan berasal dari keturunan Nabi Muhammad. Jadi kelompok Sayed ini juga merupakan lapisan tersendiri dalam masyarakat Aceh.
Pelapisan masyarakat Aceh juga dapat dilihat dari segi harta yang mereka miliki. Untuk itu maka ada golongan hartawan/orang kaya dan rakyat biasa (Ureung leue). Selain itu, penggolongan masyarakat Aceh dapat dibagi pula kedalam empat kelompok, yaitu golongan penguasa, terdiri atas penguasa pemerintahan dan pegawai negeri; kelompok ulama, yaitu orang-orang yang berpengetahuan di bidang agama; kelompok hartawan (mereka yang memiliki kekayaan), dan kelompok rakyat biasa.

D. Bahasa
Orang Aceh mempunyai bahasa sendiri yakni bahasa Aceh, yang termasuk rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Aceh terdiri dari beberapa dialek, di antaranya dialek Peusangan, Banda, Bueng, Daya, Pase, Pidie, Tunong, Seunagan, Matang dan Meulaboh, tetapi yang terpenting adalah dialek Banda. Dialek ini dipakai di Banda Aceh. Dalam tata bahasanya, Bahasa Aceh tidak mengenal akhiran untuk membentuk kata yang baru, sedangkan dalam sistem fonetiknya, tanda 'eu' kebanyakan dipakai tanda pepet (bunyi e).
Dalam bahasa Aceh, banyak kata yang bersuku satu. Hal ini terjadi karena hilangnya satu vokal pada kata-kata yang bersuku dua, seperti "turun " menjadi" tron", karena hilangnya suku pertama, seperti "daun" menjadi "beuec". Di samping itu banyak pula kata-kata yang sama dengan bahasa-bahasa indonesia bagian timur.
Masyarakat Aceh yang berdiam di kota umumnya mengunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar baik dalam keluarga atau dalam kehidupan sosial. Namun demikian masyarakat Aceh yang berada di kota tersebut mengerti dengan pengucapan bahasa Aceh. Selain itu ada pula masyarakat yang memadukan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Aceh dalam berkomunikasi. Pada masyarakat Aceh di pedesaan, bahasa Aceh lebih dominan dipergunakan dalam kehidupan sosial mereka Dalam sistem bahasa tulisan tidak ditemui sistem huruf khas bahasa Aceh asli.
Tradisi bahasa tulisan ditulis dalam huruf Arab - Melayu yang disebut bahasa Jawi atau Jawoe. Bahasa Jawi ditulis dengan huruf Arab ejaan Melayu. Pada masa Kerajaan Aceh banyak kitab ilmu pengetahuan agama, pendidikan, kesusasteraan ditulis dalam bahasa Jawi. Pada makam-makam raja Aceh terdapat juga huruf Jawi. Huruf ini dikenal setelah datangnya Islam di Aceh, banyak orang tua orang tua Aceh yang masih bisa membaca huruf Jawi ini.

E. Permainan Tradisional
1. Geulayang Tunang
Geulayang Tunang terdiri dari dua kata yaitu geulayang yang berarti layang-layang dan Tunang yang berarti pertandingan. Jadi geulayang tunang adalah pertandingan layang-layang atau adu layang yang diselenggarakan pada waktu tertentu. Permainan ini sangat digemari di berbagai daerah di Aceh. Mengenai nama permainan ini kadang-kadang juga ada pula yang menyebutnya adud geulayang. Kedua istilah yang disebutkan terakhir sama artinya, hanya lokasinyalah yang berbeda.
Pada zaman dahulu permainan ini diselenggarakan sebagai pengisi waktu setelah mereka panen padi. Sebagai pengisi waktu, permainan ini sangat bersifat rekreatif. Oleh karena itu, permainan ini sering kali dilombakan dalam acara peringatan hari kemerdekaan RI atau event-event lainnya.

2. Geudeue-Geudeue
Geudeue-geudeue atau disebut juga due-due adalah permainan ketangkasan yang terdapat di Pidie. Di samping ketangkasan, gesit, keberanian dan ketabahan pemain geudeue-geudeue harus bertubuh tegap dan kuat. Permainan ini kadang-kadang berbahaya karena permainan ini merupakan permainan adu kekuatan.
Cara memainkannya adalah seorang yang berbadan tegap tampil di arena. Ia menantang dua orang lain yang juga bertubuh tegap. Pihak pertama mengajak pihak kedua yang terdiri dari 2 orang supaya menyerbu kepadanya. Ketika terjadi penyerbuan, pihak pertama memukul dan menghempaskan penyerangnya (pok), sedangkan pihak yang pihak kedua menghempaskan pihak yang pertama.
Dalam tiap permainan bertindak 4 orang juru pemisah yang disebut ureueng seumubla (juri), yang berdiri selang-seling mengawasi setiap pemain.
3. Peupok Leumo
Peupok leumo adalah sejenis permainan yang khas terdapat di Aceh Besar. Permainan ini merupakan suatu permainan mengadu sapi. Permainan ini sebelumnya berkembang di kalangan peternak sapi. Zaman dahulu lazimnya peupok leumo diselenggarakan oleh sekelompok peternak yang berada pada satu lokasi seperti yang berada pada satu kampung atau lebih luas lagi satu mukim, diselenggarakan seminggu sekali. Untuk menentukan hari-hari penyelenggaraan setiap hari minggu, Jumat atau hari-hari lainnya. Dapat juga diselenggarakan pada sore hari, pukul 16.00-18.00.
Selain peupok leumo masih ada lagi acara peupok leumo tunang, yaitu permainan peupok leumo untuk mencari sapi yang akan keluar sebagai pemenang. Acara peupok leumo tunang ini biasanya diselenggarakan oleh sebuah panitia. Waktunya tergantung kepada cuaca dan musim-musim tertentu seperti sehabis panen atau waktu-waktu lain seperti pada hari-hari besar dan sebagainya.

4. Pacu Kude
Pacu kude dapat diartikan duduk di atas kuda yang lari atau dapat diartikan sebagai pacuan kuda. Permainan ini terdapat di Kabupaten Aceh Tengah. Karena daerah ini terdapat padang rumput yang sangat luas serta kuda adalah alat angkutan yang sangat praktis di daerah pegunungan, di samping dipergunakan untuk membajak sawah.
Sehabis panen kuda-kuda ini tidak mempunyai kegiatan apa-apa yang dianggap penting. Waktu-waktu seperti itu sering kuda-kuda tersebut berlari-lari berkelompok. Kebiasaan ini dikoordinir akhirnya terbentuk permainan pacu kude.
Pada awalnya permainan ini adalah permainan informal, tidak ada aturan yang baku untuk dilaksanakan. Namun lama kelamaan, permainan ini ditingkatkan menjadi permainan resmi dan terdapat aturan-aturan yang harus dipatuhi. Akhirnya, pada bulan Agustus 1930 pertandingan pacu kude resmi diselenggarakan dalam rangka memperingati hari kelahiran Ratu Belanda, Welhilmina. Saat ini, pacu kude diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan RI. Adapun aturan-aturan dalam permainan ini di antaranya joki adalah orang laki-laki berumur 12-20 tahun dan beratnya dibatasi maksimum 40 kg.

5. Peh Kayee
Meuen Peh Kayee disebut juga meuen gok atau meuen sungkeet. Para pemain adalah anak-anak yang sudah bisa berhitung, karena untuk mengakhiri permainan dengan hitungan. Perlengkapan yang dibutuhkan sebuah gagang sepanjang lebih kurang 60 cm yang dipergunakan sebagai alat untuk memukul dan sebuah anak kayu sepanjang lebih kurang 10 sampai 15 cm untuk dipukul oleh pemain, juga dibutuhkan lapanga yang luas. Gagang dan anak kayu biasanya dari pelepah rumbia yang telah dipotong-potong dan dibulatkan dengan maksud tidak mencederai bagi pemainkarena ringan.
Dalam permainan peh kayee ada beberapa istilah, yaitu boh sungkeet, boh peh, dan boh jeungki. Boh Sungkeet adalah bola pertama dalam memulai permainan dengan menyungkit anak yang telah diletakkan diatas lobang yang telah disediakan dengan gagang sekuat mungkin ke arah lawan. Boh Peh adalah bola kedua di mana anak diumpamakan sebagai bola sesudah dilambung ke atas kemudian dipukul sekuat mungkin ke arah lawan. Boh Jeungki adalah bola ketiga dimana anak diletakkan secara membujur yang sebagian berada di dalam lubang dan kemudian dipukul bagian atas sampai naik, setelah naik diusahakan untuk dipukul secara lemah beberapa kali, seandainya tidak dapat dipukul secara lemah barulah dipukul yang kuat ke arah lawan.

F.. Kesenian
1. Saman
Tarian saman diciptakan dan dikembangkan oleh seorang tokoh Agama Islam bernama Syeh Saman. Syair saman dipergunakan bahasa Arab dan bahasa Aceh. Tarian ini tidak mempunyai iringan permainan, karena dengan gerakan-gerakan tangan dan syair yang dilagukan, telah membuat suasana menjadi gembira. Lagu-lagu (gerak-gerak tari) pada dasarnya adalah sama, yakni dengan tepukan tangan, tepukan dada dan tepukan di atas lutut, mengangkat tangan ke atas secara bergantian.

2. Tari Likok Pulo Aceh
Tarian ini lahir sekitar tahun 1849, diciptakan oleh seorang Ulama tua berasal dari Arab, yang hanyut di laut dan terdampar di Pulo Aceh atau sering juga disebut Pulau (beras). Diadakan sesudah menanam padi atau sesudah, biasanya pertunjukan dilangsungkan pada malam hari bahkan jika tarian dipertandingkan berjalam semalam suntuk sampai pagi. Tarian dimainkan dengan posisi duduk bersimpuh, berbanjar bahu membahu. Seorang pemain utama yang disebut syeh berada di tengah-tengah pemain. Dua orang penabuh rapai berada dibelakang atau sisi kiri/kanan pemain. Sedangkan gerak tari hanya memfungsikan anggota tubuh bagian atas, badan, tangan dan kepala. Gerakan tari pada prinsipnya ialah gerakan olah tubuh, keterampilan, keseragaman/keserentakan dengan memfungsikan tangan sama-sama ke depan, kesamping kiri atau kanan, ke atas dan melingkar dari depan ke belakang, dengan tempo mula lambat hingga cepat.

3. Laweut
Laweut berasal dari kata Salawat, sanjungan yang ditujukan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Sebelum sebutan laweut dipakai, pertama sekali disebut Akoon (seudati Inong). Laweut ditetapkan namanya pada Pekan Kebudayaan Aceh II/PKA II). Tarian ini berasal dari Pidie dan telah berkembang di seluruh Aceh. Gerak tari ini, yaitu penari dari arah kiri atas dan kanan atas dengan jalan gerakan barisan memasuki pentas dan langsung membuat komposisi berbanjar satu, menghadap penonton, memberi salam hormat dengan mengangkat kedua belah tangan sebatas dada, kemudian mulai melakukan gerakan-gerakan tarian.

4. Tari Pho
Perkataan pho berasal dari kata peuba-e, peubae artinya meratoh atau meratap. Pho adalah panggilan/sebutan penghormatan dari rakyat/hamba kepada Yang Maha Kuasa yaitu Po Teu Allah. Bila raja yang sudah almarhum disebut Po Teumeureuhom. Tarian ini dibawakan oleh para wanita, dahulu biasanya dilakukan pada kematian orang besar dan raja-raja, didasarkan atas permohonan kepada Yang Maha Kuasa, mengeluarkan isi hati yang sedih karena ditimpa kemalangan atau meratap melahirkan kesedihan-kesedihan yang diiringi ratap tangis. Sejak berkembangnya agama Islam, tarian ini tidak lagi ditonjolkan pada waktu kematian, dan telah menjadi kesenian rakyat yang sering ditampilkan pada upacara-upacara adat.

5. Seudati
Sebelum adanya seudati, sudah ada kesenian yang seperti itu dinamakan retoih, atau saman, kemudian baru ditetapkan nama syahadati dan disingkat menjadi seudati. Pemain seudati terdiri dari 8 orang pemain dengan 2 orang anak syahi berperan sebagai vokalis, salah seorang diangkat sebagai syekh, yaitu pimpinan group seudati. Seudati tidak diiringi oleh instrument musik apapun. Irama dan tempo tarian, ditentukan oleh irama dan tempo dari lagu yang dibawakan pada beberapa adegan oleh petikan jari dan tepukan tangan ke dada serta hentakan kaki ke tanah. Tepukan dada memberikan suara seolah-olah ada sesuatu bahan logam di bagian dada atau perut yang dilengketkan sehingga bila dipukul mengeluarkan suara getar dan gema.

G. Senjata
Selain meriam dan senjata api, ketika rakyat Aceh melawan Belanda juga mempergunakan senjata-senjata tradisional. Berdasarkan penggunaannya senjata-senjata stradisional yang terdapat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga). Pertama senjata yang berfungsi untuk menyerang, kedua senjata untuk membela diri dan ketiga senjata yang bergerak sendiri. Adapun senjata-senjata untuk menyerang antara lain :
1. Reuncong (Rencong)
Ada empat macam rencong yang menjadi senjata andalan masyarakat Aceh, yaitu pertama reuncong Meucugek. Disebut rencong meucugek karena pada gagang rencong tersebut terdapat suatu bentuk panahan dan perekat yang dalam istilah Aceh disebut cugek atau meucugek Cugek ini diperlukan untuk mudah dipegang dan tidak mudah lepas waktu menikam ke badan lawan atau musuh.
Kedua, Reuncong Meupucok memiliki pucuk di atas gagangnya yang terbuat dari ukiran logam yang pada umumnya dari emas. Gagang dari rencong meupucok ini kelihatan agak kecil pada gagang atau pegangan pada bagian bawahnya. Namun semakin ke ujung gagang ini semakin membesar. Jenis rencong semacam ini digunakan untuk hiasan atau sebagai alat perhiasan. Biasanya, rencong ini dipakai pada upacara-upacara resmi yang berhubungan dengan masalah adat dan kesenian. Ukiran yang terdapat pada gagang rencong bermacam-macam bentuknya, ada yang menyerupai bungan mawar, kembang daun dan lainnya tergantung kepada selera pemakai.
Ketiga, Reuncong Pudoi. Istilah pudoi dalam masyarakat Aceh adalah sesuatu yang dianggap masih kekurangan, atau masih ada yang belum sempurna. Gagang rencong ini hanya lurus saja dan pendek sekali. Jadi, yang dimaksud pudoi atau yang belum sempurna adalah pada bentuk gagang rencong tersebut.
Keempat, Reuncong Meukuree. Perbedaan rencong meukuree dengan jenis rencong lain adalah pada mata rencong. Mata rencong diberi hiasan tertentu seperti gambar ular, lipan, bunga dan lainnya. Gambar-gambar tersebut oleh pandai besi ditafsirkan dengan bermacam-macam kelebihan dan keistimewaan. Rencong yang disimpan lama maka pada mulanya akan terbentuk sejenis aritan atau bentuk yang disebut kuree. Semakin lama atau semakin tua usia sebuah rencong makin banyak pula kuree yang terdapat pada mata rencong yang bersangkutan. Kuree ini dianggap mempunyai kekuatan magis.
2. Siwaih
Senjata ini sejenis dengan rencong yang juga merupakan senjata untuk menyerang. Bentuknya hampir sama dengan rencong tetapi siwaih ukurannya (baik besar maupun panjang) melebihi dari pada rencong. Siwaih sangat langka ditemui, selain harganya yang mahal, juga merupakan bahagian dari perlengkapan raja-raja atau ulebalang-ulebalang.
3. Peudeung (Pedang)
Pedang digunakan sebagai senjata untuk menyerang. Jika rencong digunakan untuk menikam, maka pedang digunakan beriringan dengan itu, yaitu sebagai senjata untuk mentetak atau mencincang. Berdasarkan daerah asal pedang, di Aceh dikenal beberapa macam pedang yaitu peudeung Habsyah (dari negara Abbesinia), Peudeung Poertugis (dari Eropa Barat), Peudeung Turki berasal dari raja-raja Turki.
Berdasarkan bilah atau bentuk mata pedang, masyarakat mengenal nama-nama pedang sebagai berikut peudeung on teubee sejenis pedang yang bilah atau matanya menyerupai daun tebu. Pedang ini dibuat sedemikian rupa, panjangnya kira-kira 100 Cm (sudah termasuk gagangnya). Umumnya terbuat dari besi, bentunya lebih halus dan lebih kecil dari peudeung on jok. Peudeung on jok sesuai dengan namanya menyerupai daun enau atau daun nira. Bentuknya lebih kasar dan tebal dari peudeung on teubee dan sedikit agak pendek dari peudeung on teubee.
Berdasarkan bentuk gagangnya, jenis pedang adalah sebagai berikut pertama, Peudeung Tumpang Jingki, gagangnya seperti mulut yang sedang terbuka dan seakan-akan dapat menahan sandaran benda lain di atasnya. Gagang pedang ini berasal dari tanduk dan matanya dari besi. Panjang keseluruhannya mencapai 70 Cm. Bentuknya hampir serupa dengan peudeung tumpang beunteung yang lazim disebut oleh masyarakat Pidie. Kedua, Peudeung Ulee Meu-apet, pada gagangnya terdapat apet atau penahan untuk tidak mudah terlepas. Jenis pedang ini selalu ditempatkan di dalam sarungnya. Bahkan amat jarang dikeluarkan. Pedang ini dianggap mempunyai kekuatan magis, pantang dikeluarkan disembarangan tempat dan waktu. Ketiga, Peudeung Ulee Tapak Guda, gagangnya menyerupai telapak kaki kuda. Gagangnya dibuat dari tanduk, dan bilahnya dari besi. Panjangnya mencapai 72 Cm. Di samping jenis pedang yang telah disebut di atas, didapati nama-nama lainnya seperti Peudeung ulee iku mie karena gagangnya menyerupai ekor kucing, peudeung ulee iku itek, karena gagangnya menyerupai ekor bebek, Peudeung ulee babah buya karena gagangnya seperti mulut buaya, peudeung lapan sago gagangnya bersegi delapan. Ada satu pedang yang sering diceritakan dan disebut-sebut orangtua di Aceh yaitu peudeung Zulfaka yang mengandung kekuatan magis tinggi karena berasal dari Saidina Ali Radhiallahu'anhu.

H. Adat-Istiadat
1. Upacara Perkawinan
Perkawinan adalah sesuatu yang sangat sakral di dalam budaya masyarakat Aceh sebab hal ini berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan. Perkawinan mempunyai nuansa tersendiri dan sangat dihormati oleh masyarakat. Upacara perkawinan pada masyarakat Aceh merupakan serangkaian aktivitas yang terdiri dari beberapa tahap, mulai dari pemilihan jodoh (suami/istri), pertunangan dan hingga upacara peresmian perkawinan.
Suatu kebiasaan bagi masyarakat Aceh, sebelum pesta perkawinan dilangsungkan, terlebih dahulu tiga hari tiga malam diadakan upacara meugaca atau boh gaca (berinai) bagi pengantin laki-laki dan pengantin perempuan di rumahnya masing-masing. Tampak kedua belah tangan dan kaki pengantin dihiasi dengan inai. Selama upacara meugaca/boh gaca pada malamnya diadakan malam pertunjukan kesenian seperti tari rabana, hikayat, pho, silat, dan meuhaba atau kaba (cerita dongeng).
Pada puncak acara peresmian perkawinan, maka diadakan acara pernikahan. Acara ini dilakukan oleh kadli yang telah mendapat wakilah (kuasa) dari ayah dara baro. Qadli didampingi oleh dua orang saksi di samping majelis lainnya yang dianggap juga sebagai saksi. Kemudian jinamai (mahar) diperlihatkan kepada majelis dan selanjutnya kadli membaca do'a (khutbah) nikah serta lafadz akad nikah, dengan fasih yang diikuti oleh linto baro dengan fasih pula. Apabila lafadz sudah dianggap sempurna, kadli mengangguk minta persetujuan kedua saksi tadi. Bila saksi belum menyetujui, maka linto harus mengulangi lagi lafadz nikah tersebut dengan sempurna.
Setelah selesai acara nikah, linto baro dibimbing ke pelaminan persandingan, di mana dara baro telah terlebih dahulu duduk menunggu. Sementara itu dara baro bangkit dari pelaminan untuk menyembah suaminya. Penyembahan suami ini disebut dengan seumah teuot linto. Setelah dara baro seumah teuot linto, maka linto baro memberikan sejumlah uang kepada dara baro yang disebut dengan pengseumemah (uang sembah).
Selama acara persandingan ini, kedua mempelai dibimbing oleh seorang nek peungajo. Biasanya yang menjadi peungajo adalah seorang wanita tua. Kemudian kedua mempelai itu diberikan makan dalam sebuah pingan meututop (piring adat) yang indah dan besar bentuknya. Selanjutnya, kedua mempelai tadi di peusunteng (disuntingi) oleh sanak keluarga kedua belah pihak yang kemudian diikuti oleh para jiran (tetangga). Keluarga pihak linto baro menyuntingi (peusijuk/menepung tawari) dara baro dan keluarga pihak dara baro menyuntingi pula linto baro. Tiap-tiap orang yang menyuntingi selain menepung tawari dan melekatkan pulut kuning di telinga temanten, juga memberikan sejumlah uang yang disebut teumentuk. Acara peusunteng ini lazimnya didahului oleh ibu linto baro, yang kemudian disusul oleh orang lain secara bergantian.
Apabila acara peusunteng sudah selesai, maka rombongan linto baro minta ijin untuk pulang ke rumahnya. Linto baro turut pula dibawa pulang. Ada kalanya pula linto baro tidak dibawa pulang, ia tidur di rumah dara baro, tetapi pada pagi-pagi benar linto baro harus sudah meninggalkan rumah dara baro. Karena malu menurut adat, bila seorang linto baro masih di rumah dara baro sampai siang.

2. Upacara Peutron Tanoh (Turun Tanah)
Upacara turun tanah (peutron tanoh) diadakan setelah bayi berumur tujuh hari atau 2 tahun. Dalam jangka waktu yang cukup untuk mempersiapkannya, lebih-lebih anak pertama yang sering diadakan upacara cukup besar, dengan memotong kerbau atau lembu. Pada upacara ini bayi digendong oleh seseorang yang terpandang, baik perangai dan budi pekertinya. Orang yang menggendong memakai pakaian yang bagus-bagus. Waktu turun dari tangga ditundungi dengan sehelai kain yang dipegang oleh empat orang pada setiap sisi kain itu. Di atas kain tersebut dibelah kelapa agar bayi tadi tidak takut terhadap suara petir. Belahan kelapa dilempar dan sebelah lagi dilempar kepada wali karong. Salah seorang keluarga dengan bergegas menyapu tanah dan yang lain menampi beras bila bayi itu perempuan, sedangkan bila bayi itu laki-laki salah seorang keluarga tersebut mencangkul tanah, mencencang batang pisang atau batang tebu. Kemudian sejenak bayi itu dijejakkan di atas tanah dan akhirnya dibawa berkeliling rumah atau mesjid sampai bayi itu dibawa pulang kembali ke rumah.

I. Tradisi Makan dan Minum
Makanan pokok masyarakat Aceh adalah nasi. Perbedaan yang cukup menyolok di dalam tradisi makan dan minum masyarakat Aceh dengan masyarakat lain di Indonesia adalah pada lauk-pauknya. Lauk-pauk yang biasa dimakan oleh masyarakat Aceh sangat spesifik dan bercitra rasa seperti masakan India. Lauk-pauk utama masyarakat Aceh dapat berupa ikan, daging (kambing/sapi). Di antara makanan khas Aceh adalah gulai kambing (Kari Kambing), sie reboih, keumamah, eungkot paya (ikan Paya), mie Aceh, dan Martabak. Selain itu, juga ada nasi gurih yang biasa dimakan pada pagi hari. Sedangkan dalam tradisi minum pada masyarakat Aceh adalah kopi.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada pagi hari kita melihat warung-warung di Aceh penuh sesak orang yang sedang menikmati makan pagi dengan nasi gurih, ketan/pulut, ditemani secangkir kopi atau pada siang hari sambil bercengkrama dengan teman sejawat makan nasi dengan kari kambing, dan sebagainya.


Daftar Bacaan

Abdul Baqir Zein. 1999. Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia. Jakarta: Gema Insani.

Agus Budi Wibowo, 1996. “Memaknai Kepahlawanan Teuku Chik Tunong”, dalam Serambi Indonesia 21 November .
A. Hasjmy. 1996. Wanita Aceh sebagai Negarawan dan Panglima Perang. Jakarta: Bulan Bintang.
Aslam Nur. 2003. Ramadhan..... Banda Aceh: BKSNT Banda Aceh.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Aceh Utara. A Fascinating Tourism of North Aceh. Lhokseumawe: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Aceh Utara.
Doty Damayanti, 2003. “Mencari Jejak Kejayaan Kerajaan Samudra Pasai”, Kompas 15 November hal. 31.
Elly Darmi, 2002. “Legenda Sang Nago dan Tuanku Tapa”, Naskah lomba Menulis Cerita Rakyat Daerah. Banda Aceh: BKSNT Banda Aceh.
Hermanto, 2003. “Pesona Wisata Singkil”, dalam Buletin Wisata Aceh. No XXXI/Januari-April 2003. Banda Aceh: Dinas Pariwisata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
H.C. Zentgraaff. 1982/1983. Aceh. Jakarta: Depdikbud, Terj. Firdaus Burhan.
K.F.H. Van Langen. 1888. “De Inrichting van het Atjehsche Staatbestuur onder het Sultanaat”, BKI 5. ‘s-Gravenhage.
M. Arifin Gapi dkk. 1980/1981. Pemetaan Beberapa Objek Sejarah Daerah Istimewa Aceh. Banda Aceh: Unsyiah.
M. Hasan Basri dan Ibrahim Alfian, 1990. Perang Kolonial Belanda di Aceh. Banda Aceh: PDIA.
M. Hisyam. 2002. “Beberapa Catatan Sejarah Tentang Hidup Hamzah Fansuri. Makalah Internasional Menelusuri Jejak Syeikh hamzah al-Fansuri: Intelektual, Sufi, dan Sastrawan tanggal 15-17 Januari.
Muh Nasir Age, 2003. “Mesjid Cot Plieng Kisah Serdadu Jepang Pembakar Mesjid dan Masuk Islam”, Waspada 15 November hal. 13
Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo.2005. Jelajah Aceh. Banda Aceh: Dinas Pariwisata Provinsi NAD.

February 20, 2009

Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) di Aceh

Oleh: Agus Budi Wibowo

Acara Pekan Kebudayaan ini telah dilangsungkan sejak tahun 1958. hingga saat ini PKA telah berlangsung sebanyak 4 kali penyelenggaraannya.

A. Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) I
Sejarah mencatat bahwa PKA I diselenggarakan pada tahun 1958. ketika itu ide penyelenggaraan acara PKA I ini diilhami oleh kesadaran tokoh-tokoh Aceh saat itu pentingnya penyelesaian sesuatu melalui pendekatan budaya. Ada tiga pejabat yang menjadi trio lahirnya islah kebudayaan ini. Mereka mencurahkan perhatiannya untuk pelestarian kebudayaan. Trio itu adalah Gubernur A. Hasjmy, ketua penguasa Perang/Panglima Komando Daerah Militer Aceh Letkol Syamaun Gaharu dan Mayor T. Hamzah Bendahara.
Ide PKA I ini dicetuskan didasarkan kepada beberapa motivasi saat itu. Di antaranya, keinginan memulihkan Aceh secara total setelah peristiwa DI/TII pada tahun 1950-an. Serentetan usaha kearah itu dilakukan (Pemda dan masyarakat) yang berada di luar Aceh dalam upaya memulihkan keamanan. Misalnya, masyarakat dan mahasiswa Aceh di Bandung – yang tergabung dalam IPS (Ikatan Pemuda Seulawah) mengadakan Kongres Pelajar/Mahasiswa Aceh pada tahun 1956 di bawah pimpinan AK Yacoby di Jakarta. Pada tahun yang sama (1956) dilakukan pula Kongres Kilat Masyarakat Aceh yang dipimpin oleh Nyak Husda . Demikian pula pada tahun 1957 diadakan Kongres Masyarakat Aceh di Medan di bawah pimpinan Nur Nekmat dan Said Ibrahim. Tahun itu juga para Pemuda Pejoang Aceh yang tergabung dalam Divisi Gadjah Putih mengadakan Reuni di Yogyakarta. Semua pertemuan itu telah memberikan andil bagi memulihkan keamanan dan pembangunan kembali daerah Aceh. Di antara pikiran dan gagasan itu kemudian terwujud adalah rencana membangun kembali pendidikan melalui pembangunan Kopelma Darussalam.
Motivasi lain adalah kenyataan sejarah masa lampau bahwa daerrah Aceh kaya budaya. Karenanya, ide PKA disambut hangat oleh masyarakat. Masyarakat merindukan kebesaran budaya indatunya, menghidupkan dan melestarikannya, terutama adat dan kesenian, yang nyaris hilang setelah sekian lama terpendam dan hilang akibat sejarah Aceh yang suram dirundung oleh konflik.
Kerinduan membangun kembali kebudayaan Aceh terangkum dalam piagam “Adat bak Poteumeurohom, Hukom bak Syiah Kuala”. Hal itu menjadi tema PKA I, yang saat itu diketuai oleh Mayor T. Hamzah. Acara pembukaan PKA I ini berlangsung di Gedung Balai Teuku Umar pada tanggal 12 Agustus 1958 dihadiri oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Prijono, yang juga sekaligus menutup acara ini pada tanggal 23 Agustus 1958.
PKA I pertama telah memberi bias positif bagi perkembangan Aceh. Sebab selain berhasil mengangkat kembali sejumlah adat dan kesenian tradisional Aceh, juga terwujudnya tujuan-tujuan lain yang selaras, yaitu terbentuknya Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Ketika itu telah dapat digali dan dihidupkan kembali sekitar 20 buah tarian tradisional Aceh dan beberapa tari kreasi baru, termasuk tari Ranub Lampuan dan tari Punca Utama. Pagelaran adat dari berbagai etnis lokal ditampilkan. Seperti adat perkawinan, perdamaian, bereles (sunat rasul), Imah Ku Wih (turun mandi) yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat Aceh Tengah. Bermacam-macam permainan, seperti maen gaseng, meuen galah, sepak raga, panza, geude-geude dan sebagainya, tarian Saman (tarian asli Aceh Tenggara), Ratoh yang berasal dari Padang Tiji Pidie, tarian Landak Sampot, taria Guel berhasil diangkat kembali.
Yang paling penting lagi terwujudnya cita-cita rakyat untuk membangun kembali pendidikan di Aceh, yang ditandai oleh berdirinya Kopelma Darussalam pada tahun 1959.



B. Pekan Kebudayaan Aceh II
Masa terus bergulir dan musim terus berganti, politik pemerintah berubah – dari Orde Lama ke Orde Baru – dan berbagai pemikiran terus berkembang. Kalau pada PKA I telah berhasil mewujudkan cita-cita rakyat di bidang pendidikan dengan simbol Kopelma Darussalam , maka pada PKA II (20 Agustus – 2 September 1972) juga berhasil menggagas berdirinya sebuah institut seni budaya di Aceh. Selain itu, pada PKA II telah berhasil diselenggarakan berbagai kegiatan yaitu pameran kebudayaan, pawai kebudayaan, seminar kebudayaan, pertunjukan adat, pementasan kesenian, perlombaan rakyat dan tour.
Banyak nama-nama besar yang memegang peranan dalam terlaksananya pesta budaya PKA ini. Di antaranya A. Muzakkir Walad (Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh), Mayjen Aang Hanafi (Pangdam I Iskandar Muda), Drs. Marzuki Nyakman (Wakil Gubernur), Brigjen A. Rivai Harahap (Kepala Staf Kodam I) dan Prof. A. Madjid Ibrahim, kala iu masih menjabat sebagai Rektor Universitas Syiah Kuala sekaligus ketua Aceh Development Board. PKA IV dibuka oleh Menteri Penerangan H. Budiarjo dan ditutup oleh Ibu Tien Soeharto.

C. Pekan Kebudayaan Aceh III
Aceh yang bermartabat menjadi api simbolis rakyat Aceh melaksanakan PKA III. PKA III diselenggarakan pada tahun 1988, pada masa gubernur dijabat oleh Ibrahim Hasan. Hasilnya yang diperoleh dari event ini adalah peletakan dasar rajutan sejarah dari masa ke masa. Tidak hanya mengenai filosofi dan tradisi yang mendasarinya, tetapi juga membahas tentang masyarakat Aceh ke masa depannya. Ketika itu PKA III telah mampu menampilkan lebih dari 80 buah tarian tradisional dan kreasi baru. Selain itu, banyak juga produk budaya yang sudah hilang dihidupkan kembali dan dipakai menjadi kebanggaan bersama.

D. Pekan Kebudayaan Aceh IV
Setelah mengakhiri masa penantian yang begitu lama, kurang lebih 16 tahun. Pekan Kebudayaan Aceh IV dilaksanakan pada tanggal 19 – 28 Agustus 2004. Pembukaan PKA IV dilakukan oleh Presiden Megawati. Adapun lokasi pelaksanaan PKA ini Taman Safiatuddin. Taman ini berada persis di belakang kantor Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dari kejauhan akan terlihat pemandangan dan suasana seperti di Taman Mini Indonesia Jakarta, walaupun yang menjadi perbedaan adalah lokasinya tidak begitu luas.
Pada PKA IV ini telah terlaksana berbagai kegiatan, baik kegiatan yang berupa seminar maupun kegiatan non seminar, seperti atraksi budaya, pasar seni, pameran buku, pawai budaya, kenduri massal, dan sebagainya. Dapat dikatakan kegiatan PKA ini berlangsung sangat meriah apalagi pelaksanaan PKA IV dilaksanakan berbarengan dengan event Tahun Budaya.

UPACARA ADAT MEMBANGUN RUMAH: SEBUAH KEARIFAN MASYARAKAT ACEH

Oleh: Agus Budi Wibowo

Pendahuluan
Pada beberapa tahun terakhir, bangsa Indonesia dirundung oleh berbagai bencana. Bencana ini tidak hanya mengakibatkan hilangnya harta benda, tetapi juga menimbulkan jatuhnya korban jiwa manusia. Tidak terbilang nilai nominal akibat dari bencana yang terjadi. Bencana tersebut dapat disebutkan beberapa di antaranya berupa tanah longsor dan banjir.
Terkait dengan dua contoh bencana di atas, banyak faktor yang dapat dituduh sebagai penyebabnya. Selain karena faktor alam, tanah longsong dan banjir dapat disebabkan karena ulah manusia yang tidak dapat mengelola sumberdaya alam dengan baik. Alam dikelola dengan konsep serampangan dan tidak memperhatikan keseimbangan alam. Antara daya dukung alam dengan kebutuhan tidak perhatikan sehingga mengakibatkan alam mengalami degradasi dan kehancuran yang cukup parah.
Setiap komunitas masyarakat di dunia biasanya mempunyai tata aturan di dalam kehidupannya. Tata aturan ini mengatur kehidupan manusia dalam kaitan dengan antar manusia, alam, dan Tuhan Yang Maha Esa. Tata aturan ini seringkali -disebut adat-istiadat.
Terkait dengan konteks tulisan ini banyak studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa masyarakat adat di Indonesia secara tradisional berhasil menjaga dan memperkaya keanekaan hayati alami. Adalah suatu realitas behwa sebagian besar masyarakat adat ada yang masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain sesuai dengan kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Mereka umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan sumber daya lokal yang diwariskan dan ditumbuhkembangkan terus-menerus secara turun temurun.1
Salah satu masyarakat adat di Nusantara yang mempunyai kearifan lokal adat adalah masyarakat Aceh. Banyak hal yang dapat diangkat terkait dengan masalah tersebut, tetapi kali ini penulis hanya memfokukan pada upacara adat dalam membangun rumah.

Upacara Adat Membangun Rumah
Upacara adat adalah sejenis kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat secara turun-temurun yang telah menjadi kebiasaan mereka. Upacara adat dalam mendirikan rumoh Aceh banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu dan Islam. Sebab di samping diadakannya do’a-do’a sesuai menurut ajaran Islam, dalam upacara tersebut juga terlihat adanya unsur-unsur kepercayaan terhadap roh-roh gaib dan benda-benda yang dianggap keramat.2
Upacara adat dalam mendirikan rumoh Aceh dilaksanakan secara tiga tahap. Pertama dilaksanakan pada saat pengambilan bahan-bahan rumah dari hutan. Tahap kedua ketika hendak mendirikan rumah dan tahap yang ketiga dilaksanakan upacara adat ketika rumah adat telah siap untuk dihuni/ditempati.

1. Upacara Pengambilan Bahan dari Hutan
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa sebagian besar bahan-bahan rumoh Aceh seperti tiang dan papan dibuat di dalam hutan di mana bahan-bahan tersebut diambil, tujuannya tidak lain adalah untuk mempermudah pengangkutan bahan-bahan tersebut.
Dalam rangka pengangkutan kayu-kayu itu dari hutan biasanya disertai dengan melaksanakan upacara adat. Pengangkutan dilaksanakan secara bergotong-royong dengan mengundang sanak famili beserta masyarakat. Bahkan dalam upacara tersebut selalu disertai dengan pemotongan korban seperti sapi, kerbau, kambing dan sekurqang-kurangnya pemotongan ayam atau itik. Tujuan dari pada pemotongan hewan korban tersebut adalah untuk menghindari terjadinya berbagai kemungkinan yang dapat menghalangi atau mempersulit pengambilan semua bahan perumahan tersebut.3 Di samping itu, tujuan pemotongan hewan korban itu tidak lain adalah untuk lebih semaraknya acara jamuan makan bagi semua yang ikut dalam bergotong-royong itu.
Menurut kepercayaan orang Aceh, bahwa setiap tempat dipermukaan bumi ini, baik yang berada di darat maupun yang berada di laut terdapat semacam makhluk halus (roh-roh) yang menjaga atau menguasainya. Lebih-lebih wilayah yang berada di hutan. Untuk memasuki hutan dan mengambil isinya harus dipatuhi ketentuan-ketentuan adat yang berlaku, agar makhluk halus yang menguasai hutan itu bersedia memberikan keizinannya. Salah satu cara untuk memperoleh keizinan penguasa hutan tersebut adalah dengan cara menyembelih hewan korban.
Pertama kali kayu yang akan diangkut disatukan terlebih dulu kemudian diikat dengan rotan guna ditarik beramai-ramai. Untuk mempermudah penarikannya diberi landasan berupa kayu bulat sebanyak 2, 3 atau lebih. Setiap kayu landasan dipegang oleh seorang, apabila kayu yang pertama telah lewat ditarik, maka kayu yang tertinggal tadi diambil dan diletakkan kembali di depan kayu yang sedang ditarik itu. Apabila salah satu kayu landasan itu sangkut, maka pemukulan canang yang dilakukan oleh wanita-wanita tadi harus diperkuat dan dipercepat serta sorakan anak-anak menjadi lebih bergemuruh. Tujuan pemukulan canang dan sorakan ini agar makhluk halus yang mungkin telah mencoba menghalangi pengangkutan kayu itu menjadi takut dan lari. Selain itu, pemukulan canang dan sorakan itu juga bertujuan untuk memberikan semangat kepada para penarik, dan juga agar mereka merasa malu jika bagian landasan yang dipegangnya sering tersangkut.
Jumlah rotan (tali pengikat) biasanya bersesuaian dengan jumlah belah 4 (kampung) yang hadir, sebab setiap belah memegang sebuah rotan pengikat. Jika jumlah belah yang hadir lebih banyak, maka kayu-kayu tersebut dapat ditarik sampai dua atau tiga kayu sekaligus. Dalam hal ini tidak dibenarkan menempati tali rotan yang telah dipegang oleh orang lain, karena hal tersebut bisa menimbulkan bentrokan antar belah (kampung). Upacara ini biasanya dipimpin oleh seorang raja (reje) yang mengepalai belah secara keseluruhan.
Untuk daerah Aceh bagian pesisir, seperti Aceh Besar, Aceh Utara, Aceh Barat dan Pidie, penebangan dan penarikan kayu harus ditentukan waktunya, tidak boleh pada waktu air sedang pasang, sebab apabila ditebang pada waktu air sedang pasang dapat menyebabkan kayu-kayu tersebut mudah dimakan rayap atau “bubuk”. Karenanya di daerah pesisisr setiap penebangan kayu untuk bahan perumahan terlebih dahulu harus membaca dan mengetahui dengan jelas perjalanan dan pergantian bulan, sehingga mudah mengetahui kapan air pasang dan kapan pula surutnya.5

2. Upacara pada Saat Mendirikan Rumah
Sebagaimana pada upacara pengambilan bahan dari hutan, maka pada upacara pendirian rumoh Aceh, juga diadakan penyembelihan hewan korban, disertai dengan acara makan bersama dengan mengundang para ahli famili terdekat, karib kerabat beserta masyarakat sekitarnya. Dalam acara tersebut diadakan pula pembacaan do’a yang biasanya dipimpin oleh Tgk. Imam Meunasah atau Tgk. Imam Mesjid. Do’a ini merupakan sikap penyerahan diri (tawakal) kepada Allah SWT, serta memohon agar pembangunan rumah itu dapat berjalan dengan baikdan diharapkan dapat membawa berkah, ketenangan serta ketentraman bagi para penghuninya.6
Setelah selesai acara makan bersama dan pembacaan do’a, barulah orang yang hendak mendirikan rumah tersdebut menyampaikan maksud dan tujuannya kepada para undangan yang hadir. Kemudian segala persoalan selanjutnya yang menyangkut tentang hari pelaksanaan mendirikan rumah itu diserhkan kepada Kepala Desa atau “Keuchik” untuk menentukannya.
Dalam upacara mendirikan rumoh Aceh ada dua kegiatan penting yang harus dilakukan. Pertama upacara “Tanom Kurah” dan yang kedua upacara “Peusijuk”.
Upacara “Tanom Kurah” adalah sejenis upacara yang kalau sekarang disebut upacara “peletakan batu pertama”. Disebut upacara “Tanom Kurah”, karena dalam upacara ini dilakukan penanaman kurah persis di tengah-tengah tempat di mana rumah akan dibangun. Penanaman kurah dilakukan pada malam hari, tepat pada pukul 24.00 WIB. Hal ini menurut kepercayaan orang Aceh dapat membawa ketentraman dan kebahagiaan bagi penghuni rumah itu, terutama sekali menyangkut tentang kenyamanan tidur pada malam hari.
Sedangkan upacara “Peusijuk” dilaksanakan pada pagi harinya oleh si pemilik rumah sendiri atau bisa juga diwakili oleh Tgk. Imam Meunasah. Kegiatan pokok dalam upacara ini adalah penepung tawaran seluruh lokasi tempat di mana rumah itu akan dibangun, sekaligus juga dilaksanakan penepung tawaran terhadap bahan-bahan perlengkapan rumah yang telah dipersiapkan sebelumnya di tempat itu.
Alat-alat yang dipergunakan dalam penepung tawaran terdiri dari “On sisejuk” atau (sineujuk) disebut juga “Daun Sidingin”, yaitu sejenis rumput yang daunnya agak lebar dan dingin, anak pohon pisang dicampur dengan bunga, ditambah dengan rumput atau “Naleung” yang dinamakan “Sambo”, yaitu sejenis rumput yang biasanya tumbuh dengan akar serabut yang sangat kuat dan sukar dicabut. Rumput ini dipergunakan langsung dengan akar-akarnya. Semua alat-alat tersebut diikat menjadi satu kemudian dimasukkan ke dalam sebuah ayan kecil yuang diisi air secukupnya. Pada tempat yang terpisah disediakan juga padi dan beras secukupnya.
Penepung tawaran dilakukan dengan cara mencelupkan bagian akar dari alat-alat yang telah diikat menjadi satu tadi ke dalam air itu, kemudian memercikkannya ke sekeliling tempat lokasi di mana rumah itu akan dibangun.Penyiraman dilakukan mulai dari “Pancang Kurah” tadi terus berputar ke kanan sampai seluruh lokasi itu terkena siraman (percikan) air.
Setelah selesai penepung tawaran, maka “On Sineujuk” (daun sidingin), “Naleung Sambo” beserta anak pohon pisang tadi ditanam sekalian di bagian paling pinggir sebelah utara dari rumah itu.
Tujuan upacara “Peusijuk” ini adalah agar suasana rumah itu selalu sejuk dan nyaman. Upacara ini biasanya dilaksankan pada pagi hari, yaitu sebelum matahari tinggi. Ini melambangkan suatu kepercayaan bahwa waktu pagi itu sangat baik untuk mendatangkan rezeki bagi penghuni rumah tersebut.7
Selanjutnya, pada tiang Putri atau “Tameh Putro” ditanam sebuah periuk tanah (Kanot Tanoh). Periuk tanah ini di beberapa daerah di Aceh pada zaman dahulu sering diisi dengan emas seberat ½ sampai 1 mayam beserta perak, ini terutama sekali berlaku di daerah Linge atau (Lingga), yaitu suatu daerah yang terletak di perbatasan antara Aceh Utara dengan Aceh Tengah. Akan tetapi belakangan ini hal tersebut sudah jarang bahkan tidak ada lagi dilakukan oleh masyarakat Aceh. Sekarang yang masih banyak dilakukan hanya penanaman “Kanot Tanoh” itu saja dan diisi dengan kunyit dan padi atau beras secukupnya. Penanaman “kanot tanoh” ini bertujuan agar kehidupan penghuni rumah tersebut selallu berada dalam berkecukupan, terutama dalam hal terpenuhinya kebutuhan pokok (primer).
Setelah semua upacara “Peusijuk” itu selesai, barulah dimulai mendirikan tiang-tiang yang sebelumnya telah dirangkai sesuai menurut posisi dan letaknya masing-masing. Untuk mempermudah mendirikan tiang-tiang tersebut dipancangkan kayu sejajar dengan tiang yang akan dinaikkan itu. Pada bagian atas pancang itu diikatkan sepotong kayu bulat dengan posisi membujur (horizontal) gunak meletakkan tali (rotan) penarik tiang. Jadi fungsi kayu yang dipancang dan kayu bulat yang membujur di atasnya adalah sebagai alat penggerak guna mempermudah mendirikan tiang-tiang rumah itu.
“Raja” tetap berada di atas untuk memimpin dan mengarahkan anggota penarik selama tiang-tiang yang lain belum selesai semuanya dinaikkan. Setelah berhasil tiang dinaikkan barulah dipasang “pasak” atau (baji) atau “Ruk”, “Lheu”, “Gase”. Kemudian barulah “Raja” turun ke bawah. Dengan turunnya “Raja” berarti upacara pendirian rumah itu dianggap telah selesai. Untuk pembangunan selanjutnya diserahkan kepada tukang atau kepada keluarga yang akan menduduki rumah tersebut.8

3. Upacara Adat Ketika Menempati Rumah Baru
Setelah bangunan rumah selesai, masih ada dua upacara lagi yang harus dilaksankan oleh pemilik rumah, yaitu : “Upacara Peusijuk Utoh” (tukang) dan “Upacara Kenduri E’ Rumoh Baro” atau (upacara menempati rumah baru).9
Upacara “Peusijuk Utoh” (penepung tawaran tukang) adalah sejenis upacara yang dilaksanakan oleh si pemilik rumah.Upacara ini mengandung berbagai arti, antara lain adalah sebagai ucapan terimakasih si pemilik rumah kepada tukang yang telah mengerjakan rumahnya dengan baik hingga siap untuk ditempati. Rasa terimakasih itu biasanya dinyatakan secara simbolis dalam bentuk penyerahan seperangkat pakaian seperti baju, celana, kain sarung dan kopiah beserta hidangan makanan ala kadarnya kepadanya.
Dalam upacara ini biasanya diselesaikan juga segala hal ihwal yang menyangkut tentang perongkosan dalam pembuatan rumah tersebut. Zaman dulu ongkos membuat rumah biasanya dibayar dalam bentuk padi, namun sekarang sistem pembayaran ini umumnya telah memakai uang. Jadi upacara ini selain mengandung arti ucapan terimakasih dari si pemilik rumah kepada “Utoh”, juga merupakan semacam acara serah terima perongkosan, baik serah terima perongkosan dari si pemilik rumah kepada “Utoh”, maupun serah terima bangunan dari tukang atau “Utoh” kepada si pemilik rumah.
Sedangkan “Upacara Kenduri E’Rumah Baro” adalah semacam upacara syukuran yang diselenggarakan si pemilik rumah karena bangunan itu telah selesai. Upacara ini biasanya dilaksanakan setelah selesai shalat magrib di rumah baru yang hendak ditempati itu.
Dalam upacara kenduri ini diundang semua pihak yang dianggap telah ikut berjasa dalam membuat rumah tersebut, seperti “Utoh” (tukang), Bapak Keuchik (Kepala Desa), Teungku Imam baik Imam Meunasah maupun Imam Mesjid beserta seluruh kerabat, ahli famili beserta seluruh masyarakat. Tata cara yang dilaksanakan dalam upacara ini sama halnya dengan upacara lainnya, yaitu didahului dengan acara makan bersama, kemudian baru dilakukan dengan ucapan terimakasih dari si pemilik rumah kepada semua pihak yang ikut membantu dalam mendirikan rumah tersebut. Upacara ini diakhiri dengan pembacaan do’a yang biasanya dipimpin oleh Teungku Imam.

4. Keterkaitan dengan adat lain
Kedudukan rumah dalam lingkungan keluarga pada dasarnya berkolerasi dengan kebiasaan menetap setelah kawin. Pada masyarakat Aceh, khususnya Aceh Besar dan Pidie, berlaku kebiasaan bahwa pasangan suami-istri muda menetap di lingkungan keluarga pihak istri.10 Kebiasaan menetap secara demikian berlangsung hingga tiba saatnya pasangan muda itu dipisahkan dan membentuk keluarga batih sendiri. Pemisahan itu biasanya dilakukan dengan suatu upacara yang disebut “Peumeukleh” (pemisahan). Dengan disaksikan oleh menantu dan tetua kampung serta beberapa anggota kerabat lainnya, orang tua istri memberikan sejumlah harta yang jenis dan nilainya tergantung kepada kemampuannya, kepada anak perempuan yang hendak dipisahkan itu. Pemberian itu disebut “Peunulang” atau pemberian.11
Bagi mereka yang mampu pemberian itu meliputi rumah tempat tinggal, tanah sawah, kebun kelapa, ternak, perhiasan serta peralatan rumah tangga lainnya. Penyaksian oleh menantu ketika pemberian itu berlangsung terutama dimaksudkan supaya ia ikut memelihara atau merawatnya, terutama rumah tempat tinggal.
Dalam kondisi seperti itu, kedudukan suami dalam lingkungan keluarga sebetulnya tidak lebih dari tamu di rumah istrinya. Ia tidak leluasa berada di rumah istrinya. Akan tetapi dalam realita masih ada lagi lelaki lain yang lebih menentukan dalam pengambilan keputusan keluarga, yaitu mertua. Karenanya, bukanlah pemandangan yang aneh jika pada siang hari suami muda lebih banyak berada di luar rumah ketimbang berada bersama istrinya di rumah. Status sebagai kepala keluarga baru benar-benar dapat dirasakan setelah adanya pemisahan. Biasanya saat untuk itu, baru dapat dirasakan setelah suami-istri muda itu mendapatkan kelahiran anak pertama, meskipun dalam kenyataannya ada yang lebih lama dari itu.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan oleh suami muda untuk mendapatkan status sebagai suami yang sesungguhnya adalah dengan cara pergi merantau. Apabila ia sudah cukup berhasil mendapatkan status sosial ekonomi yang lebih baik di rantau serta telah mampu membeli atau menyewa rumah tempat tinggal, dia dapat memboyong istrinya untuk hidup bersama di rantau, meskipun saat untuk pemisahan dari keluarga luas orang tua istrinya belum tiba. Dalam kehidupan bersama di rantau, suami dapat menempatkan dirinya sebagai kepala keluarga yang sesungguhnya, sebab telah jauh dari pengaruh dan baying-bayang mertuanya. Lingkungan tempat tinggal mereka yang baru sudah jauh berbedadengan lingkungan semula keluarga istrinya. Kebiasaan memboyong istri merantau boleh dikatakan menonjol. Semenjak tahun enam puluhan, yaitu ketika fasilitas transportasi dan perjalanan di kota mulai membaik. Pada mulanya yang memboyong istri merantau adalah para pegawai negri sipil. Kemudian kebiasaan ini meluas kepada pedagang serta pekerja lainnya. Dalam hal ini faktor yang paling menentukan adalah kondisi ekonomi.
Selain dengan cara merantau, untuk membentuk keluarga batih yang berdiri sendiri, suami sebetulnya dapat pula memboyong istrinya ke lingkungan kerabat orang tuanya, baik untuk tinggal bersama keluarga batih orang tua suami atau dengan cara mendirikan rumah baru. Akan tetapi masyarakat Aceh, khususnya Aceh Besar dan Pidie memandang hal itu tercela, karena dapat menimbulkan aib di pihak keluarga istri serta menimbulkan tanda Tanya di hati mereka, apa kekurangan dan keburukan mereka dan apa pula kelebihan pihak kerabat suami sehingga mereka (pengantin baru) itu tidak mau menetap di tempat mereka. Hal ini dapat menimbulkan ketegangan dan percekcokkan di antara kedua belah pihak, yaitu antara keluarga batih pihak istri dan keluarga batih pihak suami. Bahkan tindakan yang demikian dapat menyebabkan istri tidak diberikan harta “Peunulang” oleh orang tuanya.
Apabila dikaji lebih mendalam, maka pemberian harta “Peunulang” terutama bertujuan agar si istri tetap berada di lingkungan kerabatnya (bersama orang tuanya), walaupun berdasarkan ketentuan hokum bahwa setelah perkawinan istri beralih ke dalam tanggung jawab suami. Keselarasan hubungan kekerabatan akan terwujud apabila apa yang diinginkan suami dengan apa yang seharusnya dilakukan. Ini berarti bahwa walaupun berdasarkan ketentuan hokum istri seharusnya beralih ke dalam tanggung jawab suami, namun mereka (orang tua istri) menginginkan supaya mereka tetap berada di lingkungan keluarganya sendiri. Keinginan yang demikian tidaklah terbatas pada pandangan suami-istri itu semata-mata, tetapi juga kepada anak-anak yang mereka lahirkan. Atau dengan ungkapan lain bisa dinyatakan bahwa ada kecenderungan pada orang Aceh untuk berupaya mengabsahkan perilaku adat dengan tanpa mengabaikan ketentuan hokum (dalam hal ini adalah ketentuan hokum Islam).
Di beberapa kota besar di Aceh, khususnya Pidie dan Aceh Besar, kecenderungan untuk mempertahankan anak perempuan agar tetap berada di lingkungan kerabatnya sendiri masih terlihat pada sebagian pendatang dari desa. Namun karena berbagai keterbatasan yang dihadapi, kecenderungan yang demikian kelihatannya mulai pudar. Faktor penyebab yang terpenting antara lain keterbatasan rumah tempat tinggal dan biaya hidup yang relatif lebih tinggi. Lokasi perumahan di kota relatif lebih sempit dibandingkan dengan di desa. Kemungkinan perluasan tempat tinggal juga relatif terbatas, karena pekarangan rumah juga umumnya terbatas luasnya. Karenanya, untuk membentuk keluarga batih baru yang terpisah dari orang tua memerlukan lokasi tempat tinggal yang lain yang berada pada lingkungan yang berbeda atau relatif jauh terpisah. Biaya hidup yang relatif tinggi sering merupakan beban yang amat berat dirasakan untuk bisa ditanggung oleh seorang kepala keluarga. Di satu pihak, berbagai keterbatasan yang dihadapi itu dapat memudarkan ketentuan adat bahwa anak perempuan seharusnya tetap tinggal bersama orang tuanya, tetapi pada pihak lain keterbatasan tersebut memberi peluang bagi suami untuk membentuk keluarga batih yang berdiri sendiri.12

Kearifan Lokal
Menurut Geertz, kebudayaan pada dasarnya terdiri dari pola-pola pengetahuan, penilaian dan simbol. Pertama pola-pola pengetahuan disebut juga dengan pola bagi yang artinya suatu pengetahuan yang ada dikepala manusia untuk membentuk gejala sosial (mis. Tingkah laku atau benda-benda) di alam nyata, sebagai contoh bentuk bangunan yang akan didirikan. Pola-pola bangunan telah ada dalam pengetahuan si arsitek sedangkan bentuk bangunan secara nyatanya belum terjadi. Atau dalam bentuk tindakan adalah tindakan-tindakan apa yang akan dilakukan berkenaan dengan gejala yang dihadapi.
Kedua, Pola-pola penilaian disebut juga dengan pola dari atau suatu gejala yang tampak nyata diberi penilaian dan dimasukkan kedalam penilaian budaya diberikan suatu pola tertentu, jadi suatu gejala yang tampak nyata diartikan dan diterjemahkan (diinterpretasi). Gejala-gejala yang tampak nyata yang ada di luar tubuh manusia dipahami dan diberi penilaian, sehingga manusia dapat memberikan penilaian atas gejala yang tampak sebagai sesuatu yang baik atau buruk, dapat dimakan atau tidak, dsb. Bentuk ketiga adalah simbol, artinya bagaimana seseorang dari kebudayaan tertentu menghubungkan antara pola pengetahuan dan pola penilaian dengan simbol-simbol tertentu, sehingga kenyataan yang ada diterjemahkan dan dipahami menurut kebudayaan tertentu. Dan ditanggapi dengan suatu tindakan tertentu berkaitan dengan gejala yang tampak tadi.13
Perwujudan kebudayaan melalui pengorganisasian antara pola bagi dan pola dari yang berbentuk simbol akan tampak sebagai suatu lingkungan (dapat berupa arsitektur rumah, pola permukiman, kendaraan, model-model mata pencaharian dsb). Simbol-simbol inilah yang kemudian diinternalisasikan kepada orang lain (generasi selanjutnya) agar nilai-nilai budaya yang ada menjadi terkelola dan dapat menyesuaikan dirinya dengan segala perubahan yang terjadi di lingkungan hidup yang dihadapi individu-individunya sebagai anggota masyarakat.
Gambaran dari adat upacara dalam membangun rumah pada masyarakat Aceh merupakan manifestasi dari perwujudan suatu hasil dari suatu proses pengambilan keputusan oleh banyak pihak dalam kurun waktu tertentu. Pengaruh dan bentuk-bentuk kondisi sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-budaya yang berbeda yang melatar-belakangi proses dalam waktu pembentukan lingkungan tersebut, memberikan warna dan ciri tersendiri pada wujud fisiknya. Secara lebih nyata, hasil pengolahan pemahaman dan interpretasi terhadap lingkungan hidup, akan diwujudkan kedalam bentuk tindakan (cultural behavior) dan biasanya terwujud juga dalam bentuk benda-benda budaya (cultural artifact).
Dalam konteks ini dapat kita lihat pada upacara adat membangun rumah pada masyarakat Aceh seperti telah dipaparkan pada bagian di atas. Misalnya, tindakan yang diboleh dan tidak dibolehkan (larangan/ pantangan). Pemilihan bahan untuk membangun rumah atau pengaturan pembangunan rumah bagi anggota masyarakat yang baru.
Rumah yang dibangun oleh masyarakat Aceh tidak hanya dipandang sebagai sebuah kebudayaan materi semata, tetapi juga dapat dipandang sebagai interaksi manusia dengan lingkungan hidup yang dihadapinya. Selain itu, hasil karya manusia yang berbentuk benda-benda materi pada dasarnya juga berkaitan dengan peradaban (civilization) yang melingkupi manusia tersebut. Lingkungan sebagai suatu area yang harus dipahami mendorong manusia untuk menggunakan teknologinya guna kepentingan pemenuhan yang kemudian mendorong bekerjanya aspek-aspek lain dalam kebudayaan seperti kekerabatan, kepercayaan, kesenian, struktur sosial. Yang kesemuanya itu untuk pemenuhan kebutuhan manusia secara biologi, sosial dan psikologi.
Akhirnya, segala simbol-simbol pengetahuan yang terdapat dalam upacara adat pembangunan rumah pada masyarakat Aceh terintegrasi dengan sistem teknologi, dan struktur sosial. Kesemua hal itu merupakan satu perangkat kognitif manusia sebagai sebuah kebudayaan. Seringkali apabila diperhatikan kebudayaan ini memiliki nilai-nilai kearifan di dalam mengelola agar lingkungan tidak cepat rusak/punah.

Penutup
Dalam pembangunan rumah masyarakat Aceh banyak faktor yang dilibatkan, yang meliputi aspek tangible dan intangible. Kedua aspek sangat diperhatikan. Lebih-lebih pada pada masyarakat yang masih memegang teguh adat-istiadat. Mereka menjadikan adat-istiadat sebagai pedoman atau penuntun. Apabila dikaji, mereka memiliki kearifan lingkungan sehingga seringkali lingkungan tetap lestari. Untuk itu, kita jarang sekali mendengar terjadinya bencana alam yang terkait dengan lingkungan di kalangan masyarakat seperti ini.14 Untuk itu, kita harus terus menumbuhkembangkan kearifan lingkungan yang kita punyai. Apabila kearifan kita telah hilang bencanalah yang akan kita peroleh.

Catatan Akhir
Abdon Nababan. “Pengelolaan Sumber daya Alam Berbasis Masyarakat Adat Tantangan dan Peluang”. www.aman.or.id/14-2-2007. hlm. 1
2T. Syamsuddin. Adat-Istiadat Daerah Propinsi D.I Aceh. (Banda Aceh: PPKD, 1977). hlm. 9. Lihat pula Hasimi A. Jalil. ”Budaya Islam dalam Arsitektur Rumoh Aceh”, Skripsi Fakultas Adab IAIN Jami’ah Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh.
3Muhammad ZZ. Seni Rupa Aceh Jilid 1-8. (Banda Aceh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Kebudayaan, 1980). Hlm. 19.
4Istilah belah banyak digunakan pada suku bangsa Gayo
5J.J.C.H. Waardenburg. Pengaruh Pertanian terhadap Adat Istiadat, Bahasa, dan Kesusastraan Rakyat Aceh. Terj. Aboe Bakar. (Banda Aceh: PDIA, 1978). Hlm. 103.
6Hasimi A. Jalil.op.cit. hlm. 74-77.
7Muhammad Husein. Adat Atjeh. (Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi D.I. Aceh, 1970). Hlm. 126.
8 Muhammad ZZ, op.cit. hlm. 14.
9 Ibid.
10 M.Y. Mansyur. Sistem Kekerabatan (Kinship) Masyarakat Aceh Utara dan Aceh Besar. Laporan Penelitian (Banda Aceh: PIIS, 1983). Hlm. 42. Lihat juga Hasimi A. Jalil. op.cit. hlm. 81-85.
11 Syekh A.K. ”Haeruta Penulang di wilayah Kecamatan Seunagan”. Laporan Penelitian Study Purna Ulama (SPU) IAIN Ar-Raniry. (Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry, 1982). Hlm. 16.
12Hasimi A. Jalil. op.cit. hlm
13 Bambang Rudito dan Mira Indiwara Pakan, “Penataan Kembali Permukiman Orang-orang Aceh Pasca Tsunami Berdasarkan pada Kebudayaan Aceh (khususnya daerah perkotaan, pedesaan, dan diantaranya) atau Cultural Mapping Sebuah Laporan Survey dari Antropologi”, Makalah survey dalam Rangka Pemetaan Budaya, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2004. Lihat juga Agus Budi Wibowo. Kearifan Lingkungan dalam Adat “Berumah” Masyarakat Melayu di Sumatra Timur”. Dalam Haba No. 35/2005. (Banda Aceh: BKSNT Banda Aceh, 2005). Hlm. 19-24.
14Dapat kita ambil contoh pada masyarakat Kampung Naga dan suku Baduy di Jawa Barat, masyarakat Tengger di Jawa Timur dan sebagainya.

WANITA DAN DUNIA DAGANG

Oleh: Agus Budi Wibowo

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Wanita adalah sumber daya manusia yang memiliki potensi penyumbang bagi pembangunan yang sama besar serta sama pentingnya dengan kaum pria. Wanita merupakan life force bagi negara kita (Kartono, 1971: 380). Karenanya menyertakan kaum wanita dalam proses pembangunan merupakan langkah tepat. Adanya gerak dinamika masyarakat dalam pembangunan membawa kecenderungan masalah yang sedang dihadapi termasuk di dalamya wanita menjadi sorotan dan perhatian.
Sebagian orang berpendapat bahwa peningkatan peran wanita dapat dilakukan dengan melalui organisasi wanita seperti PKK. Hal ini didasarkan pada peran wanita sebagai ibu rumah tangga. Asumsi yang mendasari peningkatan peran wanita melalui cara ini adalah adanya perbedaan secara biologis antara pria dan wanita. Namun berbagai studi mengenai peranan wanita menunjukkan bahwa wanita dalam keluarga tidak hanya memainkan peran sebagai ibu rumah tangga. Penelitian Boserup (1970), Sayogyo (1983), Stoler (1984) menunjukkan adanya keterlibatan kaum wanita dalam usaha mencari nafkah. Khusus wanita di pedesaan, mereka terbiasa mencari nafkah untuk menunjang kelangsungan ekonomi rumah tangganya.
Salah satu lapangan kerja yang cukup banyak melibatkan kaum wanita adalah pedagang (Alexander, 1984; Peluso, 1984; Chandler, 1985). Alternatif yang dipilih oleh sebagian kaum wanita sebagai pedagang karena pekerjaan ini memberikan fleksibilitas terutama dalam waktu kerja. Walaupun pekerjaan ini memberikan kesempatan kepada seseorang untuk keluar-masuk namun karena tuntutan waktu yang tidak begitu ketat sehingga pekerjaan ini dapat dikombinasikan dengan pekerjaan rumah tangga. Stoler (1984: 181) mengatakan bahwa perdagangan skala kecil dapat dipastikan berada dalam genggaman kaum wanita.

2. Masalah
Dalam budaya Jawa wanita seringkali ditempatkan sebagai makhluk yang subordinat, tercermin dalam ungkapan kanca wingking. Dengan demikian, tidak ada kebebasan wanita untuk bergerak dalam sektor publik. Namun di sisi lain, ada hal yang menarik -apabila kita amati di pantai Parangtritis - bahwa di sana terdapat aktivitas perdagangan yang dilakukan oleh kaum wanita. Malahan, aktivitas penjaja makanan keliling tampak didominasi oleh wanita yang "berumur". Dari gambaran di atas, maka dalam tulisan ini terdapat tiga pertanyaan penelitian. Pertama, bagaimana peran wanita dalam rumah tangga. Kedua, bagaimana pandangan wanita terhadap kerja. Ketiga, sejak kapan mereka terlibat dalam dunia dagang.

3. Metode
Dalam mengamati peranan wanita dan perdagangan ini digunakan dua metode, yaitu wawancara mendalam dan observasi partisipasi serta pendekatan life history. Dengan observasi partisipasi dan mendalam akan dicari data kualitatif dan melalui metode life history akan dipelajari sejarah keberadaan seorang wanita dalam dunia perdagangan.

B. PARANGTRITIS: SELAYANG PANDANG
Parangtritis merupakan salah satu obyek wisata yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Obyek wisata ini terdiri dari hamparan pantai yang di kelilingi oleh perbukitan dengan gelombang ombak cukup besar dan mengundang pengunjung untuk bermain-main di atas deburan ombak tersebut. Kenyataannya, Parangtriris memang telah mengundang banyak orang untuk mendatangi dan juga mandi sehingga pantai ini setiap tahun menelan korban akibat terseret ombaknya.
Parangtritis berada pada 28 km ke arah selatan kota Yogyakarta. Menuju daerah ini tidaklah terlalu sulit. Banyak sarana transportasi yang dapat digunakan menuju ke arah sana, baik berupa bus maupun minibus. Ongkos kendaraan menuju ke pantai Parangtritis sebesar Rp. 1.000. Perjalanan menuju ke arah objek wisata ini menimbulkan kesan yang mengasyikkan. Pada jarak kira-kira 3 km pertama, kita akan disuguhkan oleh hiruk pikuknya lalu lintas kota Yogyakarta. Kira-kira 10 km berikutnya, kita akan disuguhkan oleh pemandangan hamparan sawah yang menghijau dan pada 2 km terakhir kita akan diliputi suasana pantai yang eksotik.
Sampai di Parangtritis ini, kita akan melihat kumpulan rumah yang berjejer dengan pola yang cukup teratur. Rumah ini biasanya berfungsi sebagai warung, tempat parkir ataupun tempat istirahat (rumah). Mendekati objek wisata ini, kita akan menjumpai pula sekumpulan “gubuk-gubuk” berjajar menghadap laut. Gubuk ini dapat digunakan sebagai tempat istirahat sambil menikmati makanan yang dijual oleh pedagang keliling atau penjual makanan lainnya. Di tempat ini, kita dapat berkeliling kawasan pantai dengan naik andong atau kuda. Untuk sekali berkeliling, kita harus membayar Rp. 3.000. Tidak jauh dari bibir pantai, di puncak bukit terdapat pula sebuah hotel.
Sacara administratif, pantai Parangtritis termasuk di dalam wilayah Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Luas wilayah desa ini adalah 967,2 ha, yang meliputi tanah kering 520,1 ha, tanah sawah, tanah 383,2 ha dan lain-lain 63,9 ha. Meskipun tidak ada angka pasti, jumlah hasil pertanian cukup.
Jumlah penduduk Desa Parangtritis, menurut data tahun 1998, adalah 6.806 jiwa, terdiri dari 3.307 jiwa laki-laki dan 3.499 jiwa perempuan. Jenis mata pencaharian penduduk bermacam-macam dengan akumulasi terbanyak pada sektor pertanian. Tingkat pendidikan penduduk desa ini cukup baik. Hal ini tampak dari jumlah penduduk yang menamatkan tingkat pendidikan sarjana sebanyak 82 orang, akademi 39 orang, dan SLTA 618 orang.

C. WANITA DAN DUNIA DAGANG

1. Kehidupan Sehari-hari Pedagang
a. Pagi-pagi di Suatu Hari
Kumandang azan shalat shubuh sayup-sayup terdengar di seantero kawasan pantai Parangtritis membangunkan seluruh umat Islam untuk menunaikan kewajiban shalat. Pada salat satu sudut daerah di Dusun Grogol VI Desa Parangtritis tampak lampu-lampu rumah sudah menyala, menandakan penghuni rumah mulai membangun irama hidup kembali setelah semalaman terlelap dalam buaian mimpi. Dari balik rumah terdengar sayup-sayup gemuruh ombak terdengar dari arah laut selatan. Dingin masih terasa di pori-pori kulit.
Dengan agak malas karena rasa kantuk masih menghinggapi kelopak mata, ibu Ngadinem beranjak dari tempat tidur. Suaminya masih terlelap tidur di pembaringan. Segera saja, ia langkahkan kaki ke belakang untuk mengambil air wudhlu. Ia tunaikan kewajiban shalat shubuh pagi itu. Ia tidak berlama-lama berpangku tangan setelah shalat shubuh diselesaikannya. Ia melangkah lagi ke ruang dapur untuk menyiapkan masakan pagi atau wedang untuk suaminya. Memang ada kebiasan di keluarganya bahwa setiap pagi harus tersedia makanan kecil atau sarapan serta secangkir kopi di meja untuk menghangatkan badan dan memberi energi baru bagi kehidupan hari ini.
Suami dan anaknya baru bangun ketika ibu Ngadinem sedang membersihkan halaman samping rumahnya. Walaupun rumahnya tidak mewah namun ia berusaha agar rumahnya tampak selalu bersih. Tanpa dipersilakan, suami dan anaknya melahap apa saja yang telah dihidangkan setelah mereka membasuh muka. Pada saat seperti ini, mereka biasanya terlibat pembicaraan singkat tentang masalah-masalah yang dilakukan hari ini atau hari sebelumnya.

b. Kembali Bekerja
Pada pukul 06.00 pagi ia telah mempersiapkan barang dagangan yang akan dibawa. Biasanya ia akan merebus dulu pisang yang akan dijualnya. Sedangkan barang-barang jualan yang lain ia beli di pasar yang tidak jauh dari dari rumahnya. Barang dagangan itu tidak harus dibelinya setiap hari.
Apabila ibu Ngadinem pergi ke pasar, ia akan pergi ke Pasar Ngangkruk Sari yang berada di perbatasan desanya. Ia pergi ke sana dengan naik bus. Ongkos yang dibayarnya Rp 300 sekali pergi. Setibanya di pasar, ia langsung menuju ke tempat penjual langganannya. Ibu Ngadinem mempunyai pengetahuan yang cukup baik tentang bahan-bahan yang akan dibelinya. Bahan-bahan yang dibelinya berupa jeruk, rempeyek, kacang goreng atau buah-buahan yang lain. Di tempat langganannya ia tidak perlu tawar-menawar yang berbelit-belit, pokoknya tahu sama tahu. Kalaupun terjadi tawar menawar, biasanya penjual tidak akan menjual barang dagangannya denga harga yang terlalu tinggi.
Setelah berbelanja, ia pulang dulu ke rumah untuk mengantarkan barang-barang belanjaan untuk keperluan rumah tangga. Saat di rumah, biasanya ia tidak lagi menjumpai suami karena ia telah pergi ke sawah.

c. Dunia Dagang
Pada pukul 09.30 dengan membawa barang daganganya, ia pergi ke pantai Parangtritis. Rumahnya yang tidak terlalu jauh dengan pantai Parangtritis dilaluinya dengan jalan kaki atau kadang-kadang ia juga naik bus dengan ongkos Rp 200. Sejenak setelah melepaskan lelah, ibu Ngadinem mulai berjualan keliling dari satu tempat ke tempat lainnya di sekitar pantai Parangtritis.
Wadah yang berisi barang dagangannya digendong kesana-kemari. Ia akan mendatangi tempat-tempat dimana ada segerombolan atau beberapa orang yang sedang berkumpul. Mulailah ia menawarkan barang dagangannya kepada para pengunjung.
Dengan bahasa Jawa yang kental, ia tawarkan kepada pengunjung "Monggo, mbak/mas jajanipun ... Ibu Ngadinem berusaha merayu calon pembeli agar membeli barang dagangannya. Namun apabila calon pembeli tampak belum tertarik ia akan mencobanya dengan menyodorkan barang dagangan pada pembeli seraya diperlihatkannya. Kalau usaha ini tidak menampakkan hasil, ia berusaha merayu kembali agar mereka membeli. Ibu Ngadinem akan meninggalkan calon pembeli apabila mereka menyatakan tidak berminat, baik dengan mengatakan dengan pernyataan "Nuwun sewu, bu ... ataupun dengan menggelengkan kepala.
Dalam etika berjualan penjaja makanan ini tidak tawar-menawar antara penjual dan pembeli. Harga hanya ditentukan oleh penjual. Namun demikian, ibu Ngadinem akan melihat-lihat dulu siapa calon pembelinya. Apabila ia menghadapi calon pembeli dari luar negeri (Ia menyebutnya wong londo), ia akan memberi harga yang lebih tinggi dibandingkan calon pembeli dari Indonesia. Ia berpendapat bahwa wong londo memiliki uang yang lebih banyak dibandingkan orang Indonesia. Namun secara umum, harga yang ditetapkan juga lebih tinggi dari harga di luar pantai Parangtritis. Ibu Ngadinem memberi alasan dengan mengatakan,
"Tiyang ingkang datheng teng Parangtritis kan niku kangge seneng-seneng tho mas ... milo kadang nek tumbas menopo-menopo sok mboten pathek ngregani ... pancen wonten ingkang taken kenging menapa dodolan kulo radi awis ..."
(Orang yang datang ke Parangtritis kan bermaksud untuk bersenang-senang ... sehingga apabila membeli sesuatu tidak memperhatikan harga ... Memang ada orang yang bertanya mengapa barang yang saya jual agak mahal)
Penghasilan ibu Ngadinem sebagai penjaja makanan keliling tidak menentu setiap hari. Pada hari minggu, liburan anak sekolah, atau hari libur lainnya, penghasilannya biasa agak tinggi karena banyak pengunjung yang datang. Sebaliknya, pada hari-hari biasa penghasilan itu berkurang. Pada hari-hari ramai pengunjung ia memperoleh keuntungan bersih Rp. 10.000.

2. Upacara, Sambatan, dan Nyumbang
Ibu Ngadinem banyak menghabiskan waktu untuk bekerja dan keluarga. Namun demikian ia tidak meninggalkan kepentingan-kepentingan tempat dimana ia bertempat tinggal yang mana ia menjadi suatu anggota komunitas. Pada hari-hari ada manten, supitan dan upacara-upcara yang sudah direncanakan ibu Ngadinem seringkali tidak berjualan. Hal ini untuk menunjukkan bahwa ia merupakan anggota komunitas itu. Akan tetapi, jika tidak ada kegiatan yang direncanakan sebelumnya, ia tetap berjualan.
Pranata sosial yang sangat penting adalah menyumbang yang menunjuk kepada kesamaan perasaan moral dalam komunitas. Apabila ada upacara tertentu, maka setiap warga "harus" menyumbang sesuatu (dapat tenaga atau dana) kepada keluarga yang mengadakan upacara. Dalam siklus hidup individu seperti kelahiran anak, sunat, perkawinan dan kematian setiap anggota komunitas menyumbang makanan atau uang. Dalam kasus kelahiran anak, ibu Ngadinem akan menyumbang Rp 5.000 sedangkan pada acara perkawinan, ia akan menyumbang sebesar Rp. 10.000.
Nyumbang bagi ibu Ngadinem merupakan kewajiban yang cukup "berat". Ia mengeluh karena banyak uang yang harus dikeluarkan apabila pada masa krisis moneter saat ini atau pada saat musim manten. Walaupun demikian, ia tetap berpartisipasi di dalamnya.
Hubungan dengan warga desa yang lain dibina dengan baik ibu Ngadinem di sela-sela kehidupan sehari-hari. Karena ia belum memiliki TV, maka pada saat acara menarik, ia pergi bertandang ke tetangga yang memiliki TV. Di sini, ia dapat berkumpul dan berbincang-bincang tentang segala hal sampai acara selesai. Walaupun mengorbankan waktu tidur, acara kumpul seperti ini dapat juga sebagai sarana refresing menghilangkan rasa penat setelah seharian bekerja.

3. Beberapa Persepsi Tentang Kerja
Ada kebanggaan bagi ibu Ngadinem jika ia bekerja sebagai penjaja makanan keliling. Bekerja sebagai penjaja makanan keliling memiliki keuntungan secara psikologis dan ekonomis. Secara psikologis, ia tidak hanya dipandang sebagai konco wingking, tetapi lebih dari itu ia dapat memberi suatu kebanggaan bagi keluarga. Sedikit banyak, pendapatan yang diperolehnya dari berdagang dapat menghantarkan pendidikan anaknya selangkah lebih maju dibandingkan dirinya.
Kerja dinilai sebagai manifestasi dari pengisi waktu dan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Namun demikian, ia tidak berharap apa yang dipeolehnya dengan muluk-muluk. Hasil itu berada di luar jangkauannya. Sebaliknya, hal itu diatur oleh yang berada "di atas" sana.

4. Profil Sejarah Kehidupan Ibu Ngadinem
Penjaja makanan keliling merupakan salah satu profesi yang telah lama ditekuni oleh wanita ini, 25 tahun. Namun perjalanan hidupnya sangat menarik untuk disimak. Ibu Ngadinem dilahirkan di Dusun Grogol IV, Desa Parangtritis 40 tahun yang lalu. Ia merupakan anak ketiga dari pasangan petani, Bapak Paiman dan Ibu Tinah. Selain bekerja sebagai petani, Bapak Paiman juga mempunyai pekerjaan sebagai pedagang beras.
Ketika ibu Ngadinem berumur 15 tahun, ia dijodohkan oleh kedua orang tuanya dengan seorang pemuda pilihan kedua orang tuanya tersebut. Saat itu, ia tidak kuasa menolak keinginan kedua orang tuanya. Ia pasrah saja menerima sang pemuda sebagai jodohnya yang berasal dari satu desa yang sama. Ayah dari sang pemuda merupakan rekan dagang ayah, ibu Nyadinem.
Sebagai keluarga muda, Kehidupan ekonominya tentu belum stabil. Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, ibu Ngadinem mulai mencari upaya agar dapat terpenuhi. Karenanya, kemudian ia mulai berjualan makanan di pantai Parangtritis. Tidak terasa pekerjaan tersebut dilalui dengan suka dan duka selama bertahun-tahun. Walaupun hasilnya tidak begitu memuaskan, tetapi ia merasa berjodoh dengan usaha ini. Selain sebagai petani, suaminya juga membuka usaha lain, yaitu membakar gamping untuk dijadikan kapur.
Saat ini, ibu Ngadinem telah dikarunia dua orang cucu dari kedua anak-anaknya yang telah berkeluarga. Keduanya sudah tamat SLTA. Anak pertama bernama Eko Supriyanto berumur 38 tahun sedang anak kedua bernama Mujiati berumur 25 tahun. Anak pertama bekerja di kota Yogyakarta di sebuah pusat kerajinan kulit sedang anak keduanya membuka warung di pantai Parangtritis, yang terpisah dari rumah ibu Ngadinem
Rumah keluarga ibu Ngadinem bermodel Limasan dengan luas 10 X 15 meter. Kondisi rumah tersebut cukup baik karena mempunyai ventilasi, berjendela kaca. Antara satu kamar dengan kamar lain di sekat dengan tembok. WC dan kamar mandi berada di luar.

D. PENUTUP
Dari bahasan yang dikemukakan pada bab II telah memberikan gambaran kepada kita bagaimana seorang wanita yang terlibat pada kegiatan perdagangan, seperti penjaja makanan keliling, memainkan peranan yang sesuai dengan tuntutan lingkungannya. Peranan tersebut tidak lain merupkan bentuk perilaku atau tindakan yang diwujudkan dalam usaha mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang dilakukan sesuai dengan lingkungan sosial budaya dimana mereka berada.
Dalam pembahasan tersebut ada beberapa hal yang patut menjadi perhatian kita. Sebagai seorang wanita seringkali mereka dituntut untuk berperan ganda dalam keluarga. Meskipun mereka berperan sebagai pencari nafkah namun mereka tetap menjalankan peran tradisionalnya dalam keluarga, yaitu mengurus rumah tangga. Usaha dagang merupakan salah satu jalan keluar yang dapat mereka lakukan agar mereka dapat memainkan kedua peranan tersebut dengan sebaik-baiknya.
Kedudukan mereka sebagai ibu rumah tangga menyebabkan mobilitas mereka berkurang. Di lain pihak tingkat pendidikan mereka rendah sehingga mempengaruhi dirinya untuk masuk dalam pasaran tenaga kerja. Bidang kerja yang dapat mereka masuki adalah bidang kerja yang tidak mensyaratkan pendidikan dan ketrampilan yang tinggi dan mempunyai fleksibilitas waktu yang cukup luwes.
Hasil yang diperoleh ternyata cukup untuk menopang kebutuhan perekonomian keluarga, walaupun tidak sesuai dengan curahan waktu yang dihabiskan. Uang tersebut tidak hanya digunakan untuk kebutuhan keluarga, tetapi juga untuk memenuhi kewajiban sosial di tempat tinggal mereka. Dengan demikian, mempersulit mereka untuk menabung dan menambah modal usaha.


DAFTAR PUSTAKA
Alexander, Jenifer
1984 "Trade, Traders, and Trading in Rural Java", Thesis
University of Sydney.

Boserup, Ester
1984 Peranan Wanita Dalam Perkembangan Ekonomi. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia

Chandler, Glen
1985 "Wanita Pedagang di Pasar Desa", Prisma, 14 (10), hal.
50-58.

Kartono, Kartini
1977 Psikologi Wanita Jilid 2. Bandung: Alumni

Peluso, Nacy Lee
1984 Occupational Mobility Economic Role of Rural Women A Case
Study of Women Working Outside Agricultural in Two Village
in Sleman. Yogyakarta: Population Studies Center Gadjah
Mada University.

Rencong Aceh: Sebuah Potensi Produk Budaya yang Harus dikembangkan secara maksimal

Oleh: Agus Budi Wibowo

A. Pendahuluan
Aceh memiliki potensi industri yang cukup baik. Salah satunya adalah kerajian. Banyak kerajinan yang telah dihasilkan oleh masyarakat Aceh. Beberapa di antara kerajinan itu adalah rencong, kopiah, Sulaman, dan sebagainya. Apalagi dikembangkan dengan baik potensi dapat memberikan manfaat ekonomi bagi daerah dan masyarakat, khususnya perajin.
Potensi yang cukup baik ini harus dikembangkan dengan baik. Ia tidak hanya dapat digunakan sebagai souvenir untuk oleh-oleh para wisatawan, baik wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara, tetapi juga kerajinan ini dapat digunakan sebagai upaya pelestarian kekayaan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Aceh. Di dalam dunia pariwisata souvenir merupakan suatu yang wajib ada. Rasanya belum lengkap apabila suatu daerah mempunyai objek wisata, tetapi tidak mempunyai souvenir. Souvenir merupakan salah satu penunjang yang mana setiap orang atau sekelompok orang yang melakukan perjalanan ke suatu daerah, ia akan mencari buah tangan (oleh-oleh). Oleh-oleh ini akan diberikan kepada sanak keluarga, kerabat, atau sahabat di daerah asalnya. Suovenir merupakan kenangan-kenangan untuk mengenang bahwa kita pernah mengunjungi suatu daerah.
B. Macam-macam Rencong
Sejak zaman dahulu rencong cukup terkenal. Benda ini merupakan senjata yang digunakan oleh rakyat Aceh membendung serangan kaum penjajah di bumi Serambi Mekkah. Bagi siapa saja yang memegang senjata akan merasa lebih berani di dalam menghadapi musuh. Pada masa sekarang, senjata ini memang sudah tidak begitu relevan untuk digunakan sebagai senjata penyerang. Namum demikian, senjata ini masih relevan sebagai sebuah simbolisasi dari keberanian, ketangguhan, dan kejantanan dari masyarakat Aceh. Untuk itu, pada beberapa upacara (seperti upacara pernikahan) rencong dipakai. Pemakaian benda ini lebih mengarah kepada simbolisasi dari keberanian dari seorang lelaki dalam memimpin keluarga setelah menikah.
Masyarakat Aceh mengenal empat macam rencong, yaitu pertama reuncong Meucugek. Disebut rencong meucugek karena pada gagang rencong tersebut terdapat suatu bentuk panahan dan perekat yang dalam istilah Aceh disebut cugek atau meucugek Cugek ini diperlukan untuk mudah dipegang dan tidak mudah lepas waktu menikam ke badan lawan atau musuh. Kedua, Reuncong Meupucok memiliki pucuk di atas gagangnya yang terbuat dari ukiran logam yang pada umumnya dari emas. Gagang dari rencong meupucok ini kelihatan agak kecil pada gagang atau pegangan pada bagian bawahnya. Namun semakin ke ujung gagang ini semakin membesar. Jenis rencong semacam ini digunakan untuk hiasan atau sebagai alat perhiasan. Biasanya, rencong ini dipakai pada upacara-upacara resmi yang berhubungan dengan masalah adat dan kesenian. Ukiran yang terdapat pada gagang rencong bermacam-macam bentuknya, ada yang menyerupai bungan mawar, kembang daun dan lainnya tergantung kepada selera pemakai.
Ketiga, Reuncong Pudoi. Istilah pudoi dalam masyarakat Aceh adalah sesuatu yang dianggap masih kekurangan, atau masih ada yang belum sempurna. Gagang rencong ini hanya lurus saja dan pendek sekali. Jadi, yang dimaksud pudoi atau yang belum sempurna adalah pada bentuk gagang rencong tersebut. Keempat, Reuncong Meukuree. Perbedaan rencong meukuree dengan jenis rencong lain adalah pada mata rencong. Mata rencong diberi hiasan tertentu seperti gambar ular, lipan, bunga dan lainnya. Gambar-gambar tersebut oleh pandai besi ditafsirkan dengan bermacam-macam kelebihan dan keistimewaan. Rencong yang disimpan lama maka pada mulanya akan terbentuk sejenis arit atau bentuk yang disebut kuree. Semakin lama atau semakin tua usia sebuah rencong makin banyak pula kuree yang terdapat pada mata rencong yang bersangkutan. Kuree ini dianggap mempunyai kekuatan magis.
Selain rencong yang telah disebutkan tersebut, kita mengenal senjata yang mirip dengan rencong. Benda ini disebut dengan Siwaih. Senjata ini sejenis dengan rencong yang juga merupakan senjata untuk menyerang. Bentuknya hampir sama dengan rencong tetapi siwaih ukurannya (baik besar maupun panjang) melebihi dari pada rencong. Siwaih sangat langka ditemui, selain harganya yang mahal, juga merupakan bahagian dari perlengkapan raja-raja atau ulebalang-ulebalang.

C. Sentra Perajin Rencong di Aceh
Apabila kita mengunjungi sebuah kecamatan di Aceh Besar, tepat di Kecamatan Sukamakmur yaitu di desa Baet Meunasah, Baet.. kita akan temui orang sedang memukul-mukul besi dan mengecor kuningan. Di tiga desa tersebut penduduknya sebagian besar melakukan pekerjaan sebagai perajin rencong. Rencong tersebut bukan digunakan sebagai senjata, tetapi digunakan sebagai souvenir. Selain rencong dibuat seperti apa adanya, rencong dibuat juga divariasikan/dikombinasikan dengan aspek lain, seperti dibuat kecil (dipakai sebagai bross) atau dibuat hiasan dinding dengan diberi bingkai kaca. Kegiatan pembuatan rencong ini telah lama dilakukan oleh penduduk di ketiga desa tersebut.
Perajin recong terorganisasi dalam sebuah organisasi/perusahaan yang disebut Aceh Lon Sayang. Organisasi ini dipimpin oleh Abu Bakar. Jumlah tenaga kerja yang terakumulasi dalam organisasi berjumlah 294 orang. Jumlah anggota yang cukup besar dalam sebuah organisasi.
Dalam rangka meningkatkan kemampuan dan kreativitas para perajin, pada tahun 2006, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional pernah melakukan kegiatan pemberdayaan perajin rencong ini. Mereka dibekali pengetahuan tambahan tentang pemasaran, teknologi logam, dan mengkreasikan motif/model hasil kerajinan yang telah ada. Selain itu, peserta pemberdayaan perajin tradisional juga mendapat modal usaha dan modal peralatan. Kegiatan ini mendapat dukungan dana dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias. Selain itu, Dinas Pariwisata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam juga memberikan dukungan yang baik dalam kegiatan ini, selain Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Peserta berasal dari seluruh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan menghadirkan pemateri dari Nanggroe Aceh Darussalam (Universitas Syiah Kuala, perbankan), dan luar Aceh.

D. Penutup

Aceh memiliki kekayaan budaya yang cukup menjanjikan apabila dikembangkan secara maksimal. Salah satu potensi tersebut adalah rencong. Memang telah terbentuk sebuah sentra perajin rencong di Aceh Besar. Akan tetapi, perajin belum melakukan diversivikasi usaha kerajinan, utamanya rencong. Bentuk souvenir yang ditampilkan belum dikembangkan secara maksimal dengan motif/model lain. Rencong lebih banyak ditampilkan dalam taraf bentuk rencong seperti adanya (senjata). Seharusnya, perajian mampu membuat rencong dalam bentuk hiasan atau lainnya. Dengan demikian, akan mempunyai nilai tambah.