February 20, 2009

WANITA DAN DUNIA DAGANG

Oleh: Agus Budi Wibowo

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Wanita adalah sumber daya manusia yang memiliki potensi penyumbang bagi pembangunan yang sama besar serta sama pentingnya dengan kaum pria. Wanita merupakan life force bagi negara kita (Kartono, 1971: 380). Karenanya menyertakan kaum wanita dalam proses pembangunan merupakan langkah tepat. Adanya gerak dinamika masyarakat dalam pembangunan membawa kecenderungan masalah yang sedang dihadapi termasuk di dalamya wanita menjadi sorotan dan perhatian.
Sebagian orang berpendapat bahwa peningkatan peran wanita dapat dilakukan dengan melalui organisasi wanita seperti PKK. Hal ini didasarkan pada peran wanita sebagai ibu rumah tangga. Asumsi yang mendasari peningkatan peran wanita melalui cara ini adalah adanya perbedaan secara biologis antara pria dan wanita. Namun berbagai studi mengenai peranan wanita menunjukkan bahwa wanita dalam keluarga tidak hanya memainkan peran sebagai ibu rumah tangga. Penelitian Boserup (1970), Sayogyo (1983), Stoler (1984) menunjukkan adanya keterlibatan kaum wanita dalam usaha mencari nafkah. Khusus wanita di pedesaan, mereka terbiasa mencari nafkah untuk menunjang kelangsungan ekonomi rumah tangganya.
Salah satu lapangan kerja yang cukup banyak melibatkan kaum wanita adalah pedagang (Alexander, 1984; Peluso, 1984; Chandler, 1985). Alternatif yang dipilih oleh sebagian kaum wanita sebagai pedagang karena pekerjaan ini memberikan fleksibilitas terutama dalam waktu kerja. Walaupun pekerjaan ini memberikan kesempatan kepada seseorang untuk keluar-masuk namun karena tuntutan waktu yang tidak begitu ketat sehingga pekerjaan ini dapat dikombinasikan dengan pekerjaan rumah tangga. Stoler (1984: 181) mengatakan bahwa perdagangan skala kecil dapat dipastikan berada dalam genggaman kaum wanita.

2. Masalah
Dalam budaya Jawa wanita seringkali ditempatkan sebagai makhluk yang subordinat, tercermin dalam ungkapan kanca wingking. Dengan demikian, tidak ada kebebasan wanita untuk bergerak dalam sektor publik. Namun di sisi lain, ada hal yang menarik -apabila kita amati di pantai Parangtritis - bahwa di sana terdapat aktivitas perdagangan yang dilakukan oleh kaum wanita. Malahan, aktivitas penjaja makanan keliling tampak didominasi oleh wanita yang "berumur". Dari gambaran di atas, maka dalam tulisan ini terdapat tiga pertanyaan penelitian. Pertama, bagaimana peran wanita dalam rumah tangga. Kedua, bagaimana pandangan wanita terhadap kerja. Ketiga, sejak kapan mereka terlibat dalam dunia dagang.

3. Metode
Dalam mengamati peranan wanita dan perdagangan ini digunakan dua metode, yaitu wawancara mendalam dan observasi partisipasi serta pendekatan life history. Dengan observasi partisipasi dan mendalam akan dicari data kualitatif dan melalui metode life history akan dipelajari sejarah keberadaan seorang wanita dalam dunia perdagangan.

B. PARANGTRITIS: SELAYANG PANDANG
Parangtritis merupakan salah satu obyek wisata yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Obyek wisata ini terdiri dari hamparan pantai yang di kelilingi oleh perbukitan dengan gelombang ombak cukup besar dan mengundang pengunjung untuk bermain-main di atas deburan ombak tersebut. Kenyataannya, Parangtriris memang telah mengundang banyak orang untuk mendatangi dan juga mandi sehingga pantai ini setiap tahun menelan korban akibat terseret ombaknya.
Parangtritis berada pada 28 km ke arah selatan kota Yogyakarta. Menuju daerah ini tidaklah terlalu sulit. Banyak sarana transportasi yang dapat digunakan menuju ke arah sana, baik berupa bus maupun minibus. Ongkos kendaraan menuju ke pantai Parangtritis sebesar Rp. 1.000. Perjalanan menuju ke arah objek wisata ini menimbulkan kesan yang mengasyikkan. Pada jarak kira-kira 3 km pertama, kita akan disuguhkan oleh hiruk pikuknya lalu lintas kota Yogyakarta. Kira-kira 10 km berikutnya, kita akan disuguhkan oleh pemandangan hamparan sawah yang menghijau dan pada 2 km terakhir kita akan diliputi suasana pantai yang eksotik.
Sampai di Parangtritis ini, kita akan melihat kumpulan rumah yang berjejer dengan pola yang cukup teratur. Rumah ini biasanya berfungsi sebagai warung, tempat parkir ataupun tempat istirahat (rumah). Mendekati objek wisata ini, kita akan menjumpai pula sekumpulan “gubuk-gubuk” berjajar menghadap laut. Gubuk ini dapat digunakan sebagai tempat istirahat sambil menikmati makanan yang dijual oleh pedagang keliling atau penjual makanan lainnya. Di tempat ini, kita dapat berkeliling kawasan pantai dengan naik andong atau kuda. Untuk sekali berkeliling, kita harus membayar Rp. 3.000. Tidak jauh dari bibir pantai, di puncak bukit terdapat pula sebuah hotel.
Sacara administratif, pantai Parangtritis termasuk di dalam wilayah Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Luas wilayah desa ini adalah 967,2 ha, yang meliputi tanah kering 520,1 ha, tanah sawah, tanah 383,2 ha dan lain-lain 63,9 ha. Meskipun tidak ada angka pasti, jumlah hasil pertanian cukup.
Jumlah penduduk Desa Parangtritis, menurut data tahun 1998, adalah 6.806 jiwa, terdiri dari 3.307 jiwa laki-laki dan 3.499 jiwa perempuan. Jenis mata pencaharian penduduk bermacam-macam dengan akumulasi terbanyak pada sektor pertanian. Tingkat pendidikan penduduk desa ini cukup baik. Hal ini tampak dari jumlah penduduk yang menamatkan tingkat pendidikan sarjana sebanyak 82 orang, akademi 39 orang, dan SLTA 618 orang.

C. WANITA DAN DUNIA DAGANG

1. Kehidupan Sehari-hari Pedagang
a. Pagi-pagi di Suatu Hari
Kumandang azan shalat shubuh sayup-sayup terdengar di seantero kawasan pantai Parangtritis membangunkan seluruh umat Islam untuk menunaikan kewajiban shalat. Pada salat satu sudut daerah di Dusun Grogol VI Desa Parangtritis tampak lampu-lampu rumah sudah menyala, menandakan penghuni rumah mulai membangun irama hidup kembali setelah semalaman terlelap dalam buaian mimpi. Dari balik rumah terdengar sayup-sayup gemuruh ombak terdengar dari arah laut selatan. Dingin masih terasa di pori-pori kulit.
Dengan agak malas karena rasa kantuk masih menghinggapi kelopak mata, ibu Ngadinem beranjak dari tempat tidur. Suaminya masih terlelap tidur di pembaringan. Segera saja, ia langkahkan kaki ke belakang untuk mengambil air wudhlu. Ia tunaikan kewajiban shalat shubuh pagi itu. Ia tidak berlama-lama berpangku tangan setelah shalat shubuh diselesaikannya. Ia melangkah lagi ke ruang dapur untuk menyiapkan masakan pagi atau wedang untuk suaminya. Memang ada kebiasan di keluarganya bahwa setiap pagi harus tersedia makanan kecil atau sarapan serta secangkir kopi di meja untuk menghangatkan badan dan memberi energi baru bagi kehidupan hari ini.
Suami dan anaknya baru bangun ketika ibu Ngadinem sedang membersihkan halaman samping rumahnya. Walaupun rumahnya tidak mewah namun ia berusaha agar rumahnya tampak selalu bersih. Tanpa dipersilakan, suami dan anaknya melahap apa saja yang telah dihidangkan setelah mereka membasuh muka. Pada saat seperti ini, mereka biasanya terlibat pembicaraan singkat tentang masalah-masalah yang dilakukan hari ini atau hari sebelumnya.

b. Kembali Bekerja
Pada pukul 06.00 pagi ia telah mempersiapkan barang dagangan yang akan dibawa. Biasanya ia akan merebus dulu pisang yang akan dijualnya. Sedangkan barang-barang jualan yang lain ia beli di pasar yang tidak jauh dari dari rumahnya. Barang dagangan itu tidak harus dibelinya setiap hari.
Apabila ibu Ngadinem pergi ke pasar, ia akan pergi ke Pasar Ngangkruk Sari yang berada di perbatasan desanya. Ia pergi ke sana dengan naik bus. Ongkos yang dibayarnya Rp 300 sekali pergi. Setibanya di pasar, ia langsung menuju ke tempat penjual langganannya. Ibu Ngadinem mempunyai pengetahuan yang cukup baik tentang bahan-bahan yang akan dibelinya. Bahan-bahan yang dibelinya berupa jeruk, rempeyek, kacang goreng atau buah-buahan yang lain. Di tempat langganannya ia tidak perlu tawar-menawar yang berbelit-belit, pokoknya tahu sama tahu. Kalaupun terjadi tawar menawar, biasanya penjual tidak akan menjual barang dagangannya denga harga yang terlalu tinggi.
Setelah berbelanja, ia pulang dulu ke rumah untuk mengantarkan barang-barang belanjaan untuk keperluan rumah tangga. Saat di rumah, biasanya ia tidak lagi menjumpai suami karena ia telah pergi ke sawah.

c. Dunia Dagang
Pada pukul 09.30 dengan membawa barang daganganya, ia pergi ke pantai Parangtritis. Rumahnya yang tidak terlalu jauh dengan pantai Parangtritis dilaluinya dengan jalan kaki atau kadang-kadang ia juga naik bus dengan ongkos Rp 200. Sejenak setelah melepaskan lelah, ibu Ngadinem mulai berjualan keliling dari satu tempat ke tempat lainnya di sekitar pantai Parangtritis.
Wadah yang berisi barang dagangannya digendong kesana-kemari. Ia akan mendatangi tempat-tempat dimana ada segerombolan atau beberapa orang yang sedang berkumpul. Mulailah ia menawarkan barang dagangannya kepada para pengunjung.
Dengan bahasa Jawa yang kental, ia tawarkan kepada pengunjung "Monggo, mbak/mas jajanipun ... Ibu Ngadinem berusaha merayu calon pembeli agar membeli barang dagangannya. Namun apabila calon pembeli tampak belum tertarik ia akan mencobanya dengan menyodorkan barang dagangan pada pembeli seraya diperlihatkannya. Kalau usaha ini tidak menampakkan hasil, ia berusaha merayu kembali agar mereka membeli. Ibu Ngadinem akan meninggalkan calon pembeli apabila mereka menyatakan tidak berminat, baik dengan mengatakan dengan pernyataan "Nuwun sewu, bu ... ataupun dengan menggelengkan kepala.
Dalam etika berjualan penjaja makanan ini tidak tawar-menawar antara penjual dan pembeli. Harga hanya ditentukan oleh penjual. Namun demikian, ibu Ngadinem akan melihat-lihat dulu siapa calon pembelinya. Apabila ia menghadapi calon pembeli dari luar negeri (Ia menyebutnya wong londo), ia akan memberi harga yang lebih tinggi dibandingkan calon pembeli dari Indonesia. Ia berpendapat bahwa wong londo memiliki uang yang lebih banyak dibandingkan orang Indonesia. Namun secara umum, harga yang ditetapkan juga lebih tinggi dari harga di luar pantai Parangtritis. Ibu Ngadinem memberi alasan dengan mengatakan,
"Tiyang ingkang datheng teng Parangtritis kan niku kangge seneng-seneng tho mas ... milo kadang nek tumbas menopo-menopo sok mboten pathek ngregani ... pancen wonten ingkang taken kenging menapa dodolan kulo radi awis ..."
(Orang yang datang ke Parangtritis kan bermaksud untuk bersenang-senang ... sehingga apabila membeli sesuatu tidak memperhatikan harga ... Memang ada orang yang bertanya mengapa barang yang saya jual agak mahal)
Penghasilan ibu Ngadinem sebagai penjaja makanan keliling tidak menentu setiap hari. Pada hari minggu, liburan anak sekolah, atau hari libur lainnya, penghasilannya biasa agak tinggi karena banyak pengunjung yang datang. Sebaliknya, pada hari-hari biasa penghasilan itu berkurang. Pada hari-hari ramai pengunjung ia memperoleh keuntungan bersih Rp. 10.000.

2. Upacara, Sambatan, dan Nyumbang
Ibu Ngadinem banyak menghabiskan waktu untuk bekerja dan keluarga. Namun demikian ia tidak meninggalkan kepentingan-kepentingan tempat dimana ia bertempat tinggal yang mana ia menjadi suatu anggota komunitas. Pada hari-hari ada manten, supitan dan upacara-upcara yang sudah direncanakan ibu Ngadinem seringkali tidak berjualan. Hal ini untuk menunjukkan bahwa ia merupakan anggota komunitas itu. Akan tetapi, jika tidak ada kegiatan yang direncanakan sebelumnya, ia tetap berjualan.
Pranata sosial yang sangat penting adalah menyumbang yang menunjuk kepada kesamaan perasaan moral dalam komunitas. Apabila ada upacara tertentu, maka setiap warga "harus" menyumbang sesuatu (dapat tenaga atau dana) kepada keluarga yang mengadakan upacara. Dalam siklus hidup individu seperti kelahiran anak, sunat, perkawinan dan kematian setiap anggota komunitas menyumbang makanan atau uang. Dalam kasus kelahiran anak, ibu Ngadinem akan menyumbang Rp 5.000 sedangkan pada acara perkawinan, ia akan menyumbang sebesar Rp. 10.000.
Nyumbang bagi ibu Ngadinem merupakan kewajiban yang cukup "berat". Ia mengeluh karena banyak uang yang harus dikeluarkan apabila pada masa krisis moneter saat ini atau pada saat musim manten. Walaupun demikian, ia tetap berpartisipasi di dalamnya.
Hubungan dengan warga desa yang lain dibina dengan baik ibu Ngadinem di sela-sela kehidupan sehari-hari. Karena ia belum memiliki TV, maka pada saat acara menarik, ia pergi bertandang ke tetangga yang memiliki TV. Di sini, ia dapat berkumpul dan berbincang-bincang tentang segala hal sampai acara selesai. Walaupun mengorbankan waktu tidur, acara kumpul seperti ini dapat juga sebagai sarana refresing menghilangkan rasa penat setelah seharian bekerja.

3. Beberapa Persepsi Tentang Kerja
Ada kebanggaan bagi ibu Ngadinem jika ia bekerja sebagai penjaja makanan keliling. Bekerja sebagai penjaja makanan keliling memiliki keuntungan secara psikologis dan ekonomis. Secara psikologis, ia tidak hanya dipandang sebagai konco wingking, tetapi lebih dari itu ia dapat memberi suatu kebanggaan bagi keluarga. Sedikit banyak, pendapatan yang diperolehnya dari berdagang dapat menghantarkan pendidikan anaknya selangkah lebih maju dibandingkan dirinya.
Kerja dinilai sebagai manifestasi dari pengisi waktu dan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Namun demikian, ia tidak berharap apa yang dipeolehnya dengan muluk-muluk. Hasil itu berada di luar jangkauannya. Sebaliknya, hal itu diatur oleh yang berada "di atas" sana.

4. Profil Sejarah Kehidupan Ibu Ngadinem
Penjaja makanan keliling merupakan salah satu profesi yang telah lama ditekuni oleh wanita ini, 25 tahun. Namun perjalanan hidupnya sangat menarik untuk disimak. Ibu Ngadinem dilahirkan di Dusun Grogol IV, Desa Parangtritis 40 tahun yang lalu. Ia merupakan anak ketiga dari pasangan petani, Bapak Paiman dan Ibu Tinah. Selain bekerja sebagai petani, Bapak Paiman juga mempunyai pekerjaan sebagai pedagang beras.
Ketika ibu Ngadinem berumur 15 tahun, ia dijodohkan oleh kedua orang tuanya dengan seorang pemuda pilihan kedua orang tuanya tersebut. Saat itu, ia tidak kuasa menolak keinginan kedua orang tuanya. Ia pasrah saja menerima sang pemuda sebagai jodohnya yang berasal dari satu desa yang sama. Ayah dari sang pemuda merupakan rekan dagang ayah, ibu Nyadinem.
Sebagai keluarga muda, Kehidupan ekonominya tentu belum stabil. Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, ibu Ngadinem mulai mencari upaya agar dapat terpenuhi. Karenanya, kemudian ia mulai berjualan makanan di pantai Parangtritis. Tidak terasa pekerjaan tersebut dilalui dengan suka dan duka selama bertahun-tahun. Walaupun hasilnya tidak begitu memuaskan, tetapi ia merasa berjodoh dengan usaha ini. Selain sebagai petani, suaminya juga membuka usaha lain, yaitu membakar gamping untuk dijadikan kapur.
Saat ini, ibu Ngadinem telah dikarunia dua orang cucu dari kedua anak-anaknya yang telah berkeluarga. Keduanya sudah tamat SLTA. Anak pertama bernama Eko Supriyanto berumur 38 tahun sedang anak kedua bernama Mujiati berumur 25 tahun. Anak pertama bekerja di kota Yogyakarta di sebuah pusat kerajinan kulit sedang anak keduanya membuka warung di pantai Parangtritis, yang terpisah dari rumah ibu Ngadinem
Rumah keluarga ibu Ngadinem bermodel Limasan dengan luas 10 X 15 meter. Kondisi rumah tersebut cukup baik karena mempunyai ventilasi, berjendela kaca. Antara satu kamar dengan kamar lain di sekat dengan tembok. WC dan kamar mandi berada di luar.

D. PENUTUP
Dari bahasan yang dikemukakan pada bab II telah memberikan gambaran kepada kita bagaimana seorang wanita yang terlibat pada kegiatan perdagangan, seperti penjaja makanan keliling, memainkan peranan yang sesuai dengan tuntutan lingkungannya. Peranan tersebut tidak lain merupkan bentuk perilaku atau tindakan yang diwujudkan dalam usaha mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang dilakukan sesuai dengan lingkungan sosial budaya dimana mereka berada.
Dalam pembahasan tersebut ada beberapa hal yang patut menjadi perhatian kita. Sebagai seorang wanita seringkali mereka dituntut untuk berperan ganda dalam keluarga. Meskipun mereka berperan sebagai pencari nafkah namun mereka tetap menjalankan peran tradisionalnya dalam keluarga, yaitu mengurus rumah tangga. Usaha dagang merupakan salah satu jalan keluar yang dapat mereka lakukan agar mereka dapat memainkan kedua peranan tersebut dengan sebaik-baiknya.
Kedudukan mereka sebagai ibu rumah tangga menyebabkan mobilitas mereka berkurang. Di lain pihak tingkat pendidikan mereka rendah sehingga mempengaruhi dirinya untuk masuk dalam pasaran tenaga kerja. Bidang kerja yang dapat mereka masuki adalah bidang kerja yang tidak mensyaratkan pendidikan dan ketrampilan yang tinggi dan mempunyai fleksibilitas waktu yang cukup luwes.
Hasil yang diperoleh ternyata cukup untuk menopang kebutuhan perekonomian keluarga, walaupun tidak sesuai dengan curahan waktu yang dihabiskan. Uang tersebut tidak hanya digunakan untuk kebutuhan keluarga, tetapi juga untuk memenuhi kewajiban sosial di tempat tinggal mereka. Dengan demikian, mempersulit mereka untuk menabung dan menambah modal usaha.


DAFTAR PUSTAKA
Alexander, Jenifer
1984 "Trade, Traders, and Trading in Rural Java", Thesis
University of Sydney.

Boserup, Ester
1984 Peranan Wanita Dalam Perkembangan Ekonomi. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia

Chandler, Glen
1985 "Wanita Pedagang di Pasar Desa", Prisma, 14 (10), hal.
50-58.

Kartono, Kartini
1977 Psikologi Wanita Jilid 2. Bandung: Alumni

Peluso, Nacy Lee
1984 Occupational Mobility Economic Role of Rural Women A Case
Study of Women Working Outside Agricultural in Two Village
in Sleman. Yogyakarta: Population Studies Center Gadjah
Mada University.

No comments: