October 12, 2011

Tata Ruang Rumoh Aceh

Oleh Agus Budi Wibowo

Jumlah ruangan rumoh Aceh bermacam-macam, tergantung pada daerah di mana rumah itu terdapat. Di daerah Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Utara, Bireuen, dan Pidie rumoh Aceh biasanya hanya memiliki 3 buah ruangan, yaitu ruang depan yang disebut dengan seuramoe keu atau seuramoe reunyeun dan sering juga dinamakan seuramoe agam. Ruangan yang kedua adalah ruang tengah yang disebut dengan Tungai atau sering juga dinamakan juree. Sedangkan ruangan yang ketiga terdapat pada bagian paling belakang ini disebut seuramoe likot atau seuramoe inong (Hadjad, 1984 : 74).

a. Ruang Depan
Ruang ini berbentuk sebuah ruangan yang polos, artinya tidak lagi dibagi ke dalam beberapa bilik kecil. Pada bagian depannya terdapat pintu masuk (pintu utama) yang dinamakan pinto Aceh. Ukuran pintu pada setiap rumah jenis ini rata-rata berkisar antara 0,10 sampai satu meter lebar dan tingginya antara 1,80 sampai dua meter. Ada juga yang membuat pintu utama ini disebelah kanan ruang depan.

Sedangkan jendela (tingkap) terdapat pada samping kiri dan kanan ruangan. Ada juga yang mengerjakan pada dinding bagian depan. Lebar jendela 90 cm. dan tingginya satu meter. Di atas dinding ini dibuat rak sebagai tempat menyimpan barang-barang yang dinamakan sandeng. Sanding ini letaknya di atas dinding depan, persis di bawah bara bagian luar.
Ruangan depan atau seuramoe keu ini berfungsi sebagai ruang tamu, tempat belajar mengaji, tempat acara kenduri, tempat acara perkawinan, tempat menyulam dan menganyam tikar. Selain itu, ruang depan ini juga berfungsi sebagai tempat tidur tamu laki-laki yang kebetulan menginap di rumah tersebut, sekaligus juga sebagai tempat tidur anak laki-laki yang telah berumur enam tahun ke atas. Karena fungsi yang terakhir inilah maka ruangan ini dinamakan seuramoe agam (Muhammad Z.Z., 1980 : 6-10).

b. Ruang Tengah
Ruang tengah ini sifatnya tetutup dan di ruang inilah dibuat kamar-kamar tempat tidur, karenanya ruangan ini dinamakan juree. Kamar-kamar tersebut biasanya dibagian ujung sebelah timur dan barat dari ruang tengah ini. Di tengah-tengah antara kamar sebelah timur dan barat terdapat lorong (gang) yang berfungsi sebagai jalan lewat menuju serambi depan dan belakang. Lorong ini dinamakan rambat.
Masing-masing kamar pada ruangan tengah ini mempunyai jendela tersendiri, ukurannya sama dengan ukuran jendela yang terdapat pada ruang depan, yaitu 0,60 X 1,00 meter. Pintu kamar biasanya menghadap ke bagian serambi depan ada juga yang membuat pintu menghadap ke lorong yang dinama-kan rambat tadi. Kamar yang pintunya tidak menghadap ke serambi depan biasanya dinding bagian muka ini dapat dibuka setengah dari lantai ke atas jika diperlukan.
Kamar yang terletak di sebelah barat ditempati oleh kepala keluarga, karenanya kamar tersebut dinamakan rumoh inong. Sedangkan kamar di sebelah timur ditempati oleh anak perempuan, karenanya kamar tersebut dinamakan rumoh anjong. Apabila salah seorang anak perempuan baru dikawinkan, maka kedua mempelai itu menempati rumoh inong dan kepala keluarga pindah ke rumoh anjong yang ditempati anak-anak perempuan tadi. Sedangkan anak-anak perempuan itu pindah ke sebelah barat ruangan belakang.
Apabila ada dua orang anak perempuan yang telah kawin, sedangkan orang tua si anak belum mampu membuat rumah lain, maka kamar sebelah barat (rumoh inong) ditempati oleh anak perempuan yang tertua dan anak perempuan yang lebih muda menempati kamar sebelah timur (rumoh anjong). Sedangkan kepala keluarga pindah ke sebelah Barat ruangan belakang yang ditempati anak-anak perempuan tadi dan mereka ke sebelah timur ruang belakang.
Akan tetapi hal semacam ini jarang terjadi, lebih-lebih di daerah Aceh Besar yang menurut ketentuan adatnya apabila salah seorang anak perempuannya menikah, maka untuk anak itu harus disediakan rumah tersendiri. Seandainya orang tua kurang mampu, maka kepada anak itu harus diserahkan sekurang-kurangnya sepertiga rumah itu mulai dari seuramoe keu sampai ke belakang. Persoalan yang terakhir inilah yang menyebabkan bangunan rumah Aceh selalu berukuran besar.

c. Ruang Belakang
Sebagaimana ruang depan, ruangan belakang juga merupakan ruangan polos yang tidak terdapat kamar. Akan tetapi ruangan belakang ini kadang-kadang diperlebar seluas dua tiang lagi ke timur. Bagian yang ditambah ini biasanya berfungsi sebagai ruang dapur yang dinamakan anjong” atau tifiek atau ulee keudee. Ada juga yang membuat ulee keude ini terpisah dengan ruangan belakang, tetapi letaknya tetap pada bagian timur dari seuramoe likot ini.
Sebagian rumoh Aceh, anjongnya dibuat dengan cara menambah dan melebihkan balok toi sepanjang 1,50 meter dari belakang tiang seuramoe likot, sehingga apabila kita melihat dari bawah, maka pada bagian paling belakang dari rumah itu kelihatan tergantung se-panjang yang ditambah tadi, karena tidak terdapat satu tiang pun yang menopangnya sampai ke tanah. Ruang ujung yang ditambah pada bagian belakang ini dinamakan Tiphiek yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan alat-alat dapur, seperti kayu bakar, guci air, geutuyong sira (tempat garam).
Jendela ruangan belakang ini biasanya terdapat pada dinding sebelah barat dan ada juga yang membuat pada dinding sebelah utara dan selatan.

Bentuk Konstruksi Bangunan Rumoh Aceh

Oleh Agus Budi Wibowo

Umumnya rumoh Aceh dibangun di atas tiang-tiang setinggi 2,50 sampai lima (5,00) meter dari tanah. Rumoh Aceh rata-rata memiliki tiga ruang induk, yaitu ruang depan, ruang tengah dan ruang belakang. Rumoh Aceh rata-rata dibangun dalam ukuran besar, sebab selain berfungsi sebagai tempat tinggal, rumoh Aceh juga berfungsi sebagai tempat kegiatan-kegiatan sosial, seperti musyawarah, kenduri, peresmian khitanan dan lain sebagainya. (Muhammad Z.Z., 1980 : 5)
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya rumoh Aceh dibangun tinggi di atas tiang-tiang , sehingga antara tanah ke lantai rata-rata mencapai dua sampai tiga meter. Kegunaan rumah tradisional dibuat tinggi karena zaman itu penduduknya masih jarang, sedangkan lingkungannya masih berhutan dan masih banyak binatang buas, seperti harimau, beruang, ular dan lain-lainnya. Jadi dengan konstruksi rumah yang tinggi itu diharapkan penghuninya dapat terlindung dari berbagai gangguan binatang buas bahkan aman dari bencana banjir.
Selain itu, ruangan antara tanah dan lantai rumah juga berfungsi untuk sarana penyimpanan berbagai alat pertanian, seperti cangkul, arit dan sebagainya. Bahkan ruangan di bawah lantai itu sering juga dimanfaatkan oleh para muda-mudi untuk tempat santai dan istirahat (Muhammad, 1980 : 72). Graff pernah menulis tentang keberadaan rumah Aceh yang dibangun dengan tiang-tiang tinggi sebagai berikut,
“… rumah-rumah dari alang-alang dan dari bambu... tetapi semuanya terdiri di atas tiang bambu setinggi empat atau bahkan sampai enam kaki (1,20 m – 1,80 m) di atas tanah karena pasang purnama dan sungai hampir setiap tahun menggenangi kota sehingga orang terpaksa naik perahu dari rumah ke satu rumah lainnya” (Lombard, 1986: 61).
Lantai rumoh Aceh yang dibuat dari pohon nibung atau bambu yang dibelah kecil-kecil biasanya disusun tidak rapat. Ada juga lantai rumoh Aceh yang terbuat dari papan, namun celah pada lantai itu tetap ada. Jarak celah antara sebilah pohon nibung (bambu) dengan yang lainnya rata-rata mencapai satu centimeter. Celah-celah pada lantai itu berfungsi untuk mempermudah pembuangan kotoran pada waktu menyapu, sehingga rumah selalu kelihatan bersih dari kotoran dan debu.
Struktur atap rumoh Aceh memiliki ciri khas tersendiri. Lembaran atap yang telah diproses dari daun rumbia disusun dan diikat mulai dari bawah sebelah kiri sampai ke kanan atas. Atap disusun sangat rapat, di mana jarak antara tulang daun yang di bawah dengan tulang daun berikutnya rata-rata hanya 1,50 sampai 2,00 cm, sehingga atap rumoh adat tradisional Aceh kelihatan sangat tebal.

Susunan atap diikat dengan rotan panjang yang dibelah empat atau delapan mulai dari lembaran atap paling bawah sampai ke atas tanpa terpisah. Hal ini bertujuan untuk mempermudah cara penyelamatan rumah dari bencana kebakaran, sebab apabila terjadi kebakaran, cukup hanya dengan memutuskan ikatan di atas, secara keseluruhan atap akan terseret jatuh ke bawah/tanah.
Selain itu, karena rumoh Aceh selalu dibangun tinggi dari atas tanah, maka rumah itu harus memiliki tangga. Tangga yang terdapat pada setiap rumoh Aceh umumnya memiliki jumlah anak tangga ganjil, yaitu antara tujuh sampai sembilan buah anak tangga. Ketentuan jumlah anak tangga ini berdasarkan kepercayaan orang Aceh bahwa setiap julah hitungan selalu ada hubungan dan pengaruhnya dengan ketentuan langkah, rezeki, pertemuan dan maut. Jadi jika anak tangga dibuat ganjil antara tujuh sampai sembilan, maka anak tangga yang terakhir jatuh pada hitungan pertemuan dan langkah.
Hal ini menurut orang Aceh sangat berpengaruh dan menguntungkan dalam kehidupan. Sebaliknya, apabila anak tangga dibuat delapan akan berakhir pada maut. Hal ini yang tidak dikehendaki, karena menurut kepercayaan orang Aceh apabila jumlah anak tangga berakhir pada maut, maka penghuninya atau tamu yang menaiki anak tangga rumah itu akan selalu mendapat kecelakaan (Waardenburg, 1978: 130).
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa tiang rumoh Aceh rata-rata berjumlah 16, 20, 24 dan ada yang sampai 28 buah tiang atau lebih, tergantung pada besar dan kecilnya rumah itu dibuat. Di antara sekian banyak jumlah tiang itu terdapat dua buah tiang utama yang dinamakan “Tiang Raja” dan “Tiang Putri” atau Tameh Putro (Hadjad, 1984: 72). Bentuk tiang-tiang itu ada yang bulat empat persegi dan ada pula yang delapan persegi. Tameh Raja dan Tameh Putroe biasanya berukuran dua kali lipat lebih besar dari pada tiang-tiang lainnya, yaitu dengan ukuran lingkar (keliling) sebesar 60 cm, sedangkan tiang-tiang yang lainnya hanya berukuran garis lingkar 30 cm.

Apabila kita menghadap ke depan rumah, maka akan kita dapati tiang raja letaknya di tengah sebelah kanan, sedangkan tiang putri di tengah sebelah kiri rumah tersebut. Jadi Tameh Putroe terletak persis di sebelah kiri Tameh Raja. Peletakan posisi tiang raja dan tiang putrid ini dipengaruhi oleh prinsip-prinsip ajaran Islam yang mengungkapkan bahwa kaum hawa (wanita) berasal dari tulang rusuk sebelah kiri Nabi Adam (pria) (Husein, 1970 : 205). Jadi dengan adanya penempatan letak posisi Tameh Raja di sebelah kanan Tameh Putroe diharapkan dapat mempengaruhi suasana keharmonis-an hubungan suami-istri dalam rumah itu (Husein, 1970: 211)
Bantalan tiang dipasang pada posisi membujur dan melintang. Bantalan yang membujur disebut toi, sedangkan bantalan yang melintang disebut ruk. Kedua ujung bantalan yang membujur dipahat setengah sehingga seperduanya tinggal sebagai puting. Begitu juga dengan kedua ujung bantalan yang membujur, dipahat dengan ukuran sama seperti bantalan yang membujur. Kayu bantalan yang melintang dipasang di bawah bantalan yang membujur, dan biasanya diperkuat dengan menggunakan baji (bajoe), sehingga rumah itu dapat berdiri dengan kokoh dan kuat.
Di atas bantalan yang melintang dipasang lagi bantalan lantai yang disebut lhue. Lhue ini mempunyai jumlah tertentu pada setiap rumoh Aceh, dan selalu harus dalam jumlah ganjil. Pada ruang depan sebanyak sembilan buah, pada ruang tengah 11 buah dan ruang belakang sebanyak sembilan buah. Jumlah seluruhnya sebanyak 29 buah. Ketentuan jumlah lhue ini ternyata juga dipengaruhi oleh kepercayaan terhadap adanya ketentuan langkah, rezeki, pertemuan dan maut, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya pada masalah tangga (Waardenburg, 1978 : 137). Di atas lhue baru dipasang lantai yang terbuat dari pohon nibung (pinang) atau dari bambu yang diikat dengan ijuk/rotan yang dipintal rapi.
Pada sekeliling rumah terdapat dua keeping papan berukuran tebal dan lebar yang berfungsi untuk menutupi ruk, thoi dan lhue. Papan yang paling bawah disebut laeak dan di atasnya disebut kindang. Di atas tiang dipasang bara setebal 15 cm dan lebar 30 cm. Dari tulang bubungan (tampong) sampai ke atas bara diletakkan kasau yang dinamakan gaseue. Di bawah kasau terdapat kayu bulat sejajar dengan bara yang dinamakan geunulong. Fungsi geunulong ini untuk mengikat kasau agar menjadi sejajar dan rapi. Pada ujung kasau bagian bawah less palang dipasang miring ke dalam yang dinamakan neuduek gaseue. Sedangkan pada ujung sebelah Barat dan Timur rumah bagian atas (bubong) juga terdapat less plang yang berfungsi sebagai penahan atap dari terpaan angin kencang yang dinamakan peunimpi di daerah Aceh Besar.

Dari neuduek gaseue sampai ke puncak bubungan, yaitu di antara selang-selang kasau itu terbentang tali ijuk yang disebut taloe bawa. Tali ini terlipat dua dan kedua ujung sebelah bawah disatukan dan disimpul dengan sangat kuatnya, sehingga bentuknya persis seperti sebuah sanggul yang dinamakan bruek geutheun. Pada tali ijuk inilah diikat atap rumah tersebut, sehingga apabila terjadi bencana kebakaran, maka simpul ijuk yang berbentuk sanggul ini sajalah yang dipotong. Sebab dengan pemotongan sanggul ijuk itu atap akan turun dan jatuh ke bawah secara serentak.
Pada ujung timur dan barat sejajar dengan kuda-kuda terdapat sebuah penutup yang biasanya dilubangi yang dinamakan tulak angen (tolak angin). Tolak angin ini berfungsi untuk menetralisir hempasan angin kencang. Dari ujung bawah cucuran atap (neuduek gaseue) sampai ke bara dibuat bagasi yang berfungsi untuk menyimpan dan meletakkan barang-barang, seperti tikar dan bantal yang dinamakan sanding (Muhammad Z.Z. 1980 : 51).
Jendela rumoh Aceh umumnya dibuat dinding sebelah barat dan timur. Jendela ini merupakan jendela utama dari itu, artinya jendela ini berfungsi untuk menyambut udara bersih dan sinar matahari pagi ke dalam rumah. Sedangkan jendela yang dibuat pada dinding bagian utara dan selatan hanya berfungsi untuk menerangi bagian dalam keseluruhan rumah termasuk ruang tengah. Sedangkan pintu utama (pintu depan) pada setiap rumoh Aceh hanya terdapat pada dinding kedua dari rumah itu, yaitu pada dinding tengah yang dinamakan pinto Aceh (Muhammad Z.Z, 1980 :63).
Tangga rumah tradisional Aceh di sebelah atau barat ke arah timur menghadap ke selatan dan utara. Mengenai jumlah anak tangga ini telah diuraikan pada bagian terdahulu dari bab ini. Tangga ini letaknya terlindung dari sinar matahari dan hujan, karena kalau cucuran atap yang sejajar dengan tangga memanjang ke bawah, sehingga dapat melindungi tangga dari hujan dan sinar matahari yang dapat mengakibatkan lapuk dan rusak. Atap pelindung tangga ini ditopang dengan dua buah tiang berbentuk segi empat (Hadjad, 1984 : 93). Bangunan pelindung tangga ini disebut ladang reuyeuen.

Bahan Membuat Rumoh Aceh dan Cara Mengolahnya

Oleh: Agus Budi Wibowo

Bahan untuk membuat rumah tradisional Aceh (rumoh Aceh), terdiri dari berbagai jenis kayu pilihan yang berkwalitas dan keras. Kayu-kayu itu biasanya dipilih yang mempunyai serat halus dan telah cukup tua agar tidak mudah dimakan rayap, sehingga tahan sampai berpuluh bahkan beratur tahun. Kayu-kayu tersebut umumnya dipilih yang berukuran panjang, lurus dan besar, terutama untuk bahan pembuatan tiang, bara, dan dinding rumah (Muhammad Z.Z., 1980 : 47).
Lantai rumah biasanya dibuat dari sejenis pohon pinang (pohon nibung) yang telah berumur cukup tua atau dari pohon bambu yang tua. Sedangkan atapnya terdiri dari daun rumbia atau daun kelapu yang dijahit tersusun pada sebilah bambu tipis sepanjang kira-kira dua meter.
Pengolahan dan pembuatan tiang, dinding dan bara serta lantai rumoh Aceh biasanya dibuat dengan cara menarah dan menggergaji kayu-kayu bulat, di mana besar dan panjangnya sesuai dengan bentuk yang kita inginkan. Tiang dibuat dengan cara menarah kayu yang masih bulat penampangnya menjadi empat persegi atau delapan persegi, bahkan bulat (silinder). Panjangnya sesuai dengan tinggi rumah yang akan dibuat. Jadi untuk membuat tiang diambil persis di bagian tengah dari kayu yang masih utuh. Besar tiang rata-rata mencapai 35 cm lingkaran atau lebih. Jumlah tiang pada tiap-tiap rumoh Aceh bermacam-macam, ada yang 16, 20, 24, 28 dan seterusnya sesuai dengan banyaknya ruang, lebar dan panjangnya rumah tersebut.
Sedangkan bara (alas kasau) dibuat dengan cara membelah kayu menjadi empat bagian, pembelahan ini dilakukan persis pada bagian garis tengah dari kayu itu. Setiap bagian ditarah hingga tebalnya tinggal lima sampai enam cm dan lebarnya antara 12 sampai 15 cm. Jadi bentuk bara persis menjadi empat persegi panjang seperti sekeping papan tebal.
Lantai rumoh Aceh umumnya terbuat dari sejenis pohon pinang (nibung) atau sering juga dibuat dari bambu yang cukup tua. Pohon nibung atau pohon bambu itu dibelah kecil-kecil selebar dua anak jari (tiga cm). Selanjutnya direndam ke dalam air sampai dua atau tiga minggu, baru kemudian dijemur sampai kering betul. Proses perendaman ini bertujuan agar pohon pinang/nibung atau bambu tersebut menjadi kuat dan tahan sampai berpuluh bahkan beratus tahun serta tidak mudah dimakan rayap.
Atap rumoh Aceh umumnya terbuat dari daun rumbia. Cara mengolahnya, mula-mula daun ini dipilih yang sudah tua dan lebar. Selanjutnya disusun pada sebilah bambu tipis yang telah disediakan sebelumnya dengan ukuran panjang bambu kira-kira 2,00 cm sampai 2,25 cm. Susunan daun rumbia dikerjakan dengan cara melipatkannya pada bambu itu persis berada di dalam lipatan setiap daun rumbia yang berfungsi sebagai tulang dari atap itu secara keseluruhan. Daun-daun itu disusun secara beraturan dengan bagian belakang daun harus selalu berada di luar. Tujuannya agar atap tidak bocor pada saat turun hujan. Susunan daun-daun rumbia itu dijahit (diikat) dengan rotan yang dibelah empat atau dibelah delapan, sehingga antara daun rumbia yang satu dengan yang lainnya saling menyatu dengan kuat pada bambu tersebut. Kadang-kadang daun rumbia dalam keadaan darurat diganti dengan daun kelapa atau alang-alang.

Untuk pembuatan papan dinding rumah sama dengan cara membuat bara. Hanya saja dalam pembuatan papan ini kayu dibelah agak tipis, setiap bagian ditarah setebal tiga cm s/d lima cm, lebarnya sebagamana kayu-kayu yang dibelah tadi. Akan tetapi ukuran standard lebar papan rumah tradisional Aceh biasanya rata-rata mencapai 22 cm atau lebih.

Tata Letak Rumah Aceh

Oleh: Agus Budi Wibowo

Letak denah rumoh Aceh biasanya dibangun menghadap ke utara dan ke selatan sehingga letaknya tepat membujur dari arah timur ke barat. Hal ini dikarenakan angin di daerah Aceh umumnya bertiup dari arah timur ke barat atau sebaliknya. Bahkan angin yang paling kencang bertiup di daerah Aceh disebut angin Barat. Angin ini sering menghancurkan dan memporak-porandakan bukan hanya tanaman kecil seperti padi, tembakau dan sayur-sayuran. Akan tetapi lebih dari itu angin barat ini sering juga menumbangkan pohon-pohon besar, bahkan menghancurkan rumah-rumah penduduk. Karenanya dengan adanya konstruksi denah rumah yang memanjang dari Timur ke Barat seperti itu dapat membantu keutuhan serta daya tahan rumah dari hempasan angin kencang. Selain itu sirklus matahari yang terjadi juga dari arah timur ke barat juga memaksimalkan pemasukan cahaya alami ke dalam ruangan pada waktu siang hari sehingga tidak diperlukan penerangan buatan. Dengan orientasi demikian pula masalah hujan dan angin dapat diatasi. Bentuk atap pelana yang membujur dari arah Timur ke Barat dapat mengurangi tempiasan air hujan masuk ke dalam rumah dan mengatasi angin kencang yang sering terjadi di daerah Aceh.

Angin yang kencang ini pernah dialami oleh pelaut asing yang akan memasuki Banda Aceh. Laksamana Perancis Beaulieu ketika hendak berlabuh di kota Banda Aceh memerlukan waktu delapan hari sebelum benar-benar berlabuh padahal untuk itu jaraknya hanya tinggal empat mil dari tempat kapalnya berhenti dan menjatuhkan jangkarnya untuk berapung. Ketika hendak masuk ke Banda Aceh melalui sungai, ia masih disambut oleh angin yang bertiup dari haluan sampai ia kehilangan jangkar. Pada bulan April 1637 Peter Mundy (Lombard, 1986: 55) juga dengan susah payah mencapai tempat berlabuh: “Wee gott into Achein, being hindred until now by currants and contrairy winds, getting little these 2 or 3 days”.
Selain itu, penempatan posisi denah rumoh Aceh yang membujur dari timur ke barat ternyata juga dipengaruhi oleh sistem religi. Keberadaan agama Islam sejak awal perkembangannya di Aceh telah banyak mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat Aceh, baik dalam bidang fisik maupun psikologis (Karel dan A. Stenbrink, 1984 : 187). Karenanya wajar apabila letak denah rumoh Aceh sebagai bagian dari hasil budaya masyarakat Aceh juga dipengaruhi oleh unsur-unsur Islam. Dengan adanya penempatan letak denah rumoh yang membujur dari timur ke barat seperti itu dapat membantu untuk menentukan arah kiblat shalat yang tepat dalam rumah, baik untuk si pemilik rumah itu sendiri maupun bagi tamu yang datang dari luar Aceh, pun menghindari akibat angin barat yang ganas yang dapat merusak atap rumah.