February 20, 2009

Aceh : Special Province, Emergency Province dan Madanial Province

Oleh: Agus Budi Wibowo dan H.Muzakkir Ismail

i

“saya tidak makan malam ini kalau dana itu tidak belum terkumpul” (Soekarno)

Pada suatu pertemuan tanggal 16 Juli 1948 di Hotel Atjeh Banda Aceh, Presiden Soekarno dengan amat sangat memohon bantuan kepada masyarakat Aceh untuk pembelian pesawat dalam rangka kepentingan Revolusi Republik Indonesia. Pertemuan itu dihadiri oleh berbagai komponen masyarakat, di antaranya Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida). Dalam suatu pertemuan lanjutan, yaitu makan bersama, Presiden menanyakan kepada Gasida, apakah mereka sanggup menyediakan sebuah pesawat terbang Dakota yang berharga 120.000 dolar Malaysia atau sekitar 25 kg emas. Menjelang akhir pertemuan, Presiden mengatakan bahwa ia tidak mau makan sebelum mendapat jawaban dari Gasida, ya atau tidak. Mendapat tantangan jiwa patriotik tersebut, Gasida menyanggupi maksud Presiden tersebut dan kemudian organisasi ini membentuk panitia yang diketuai oleh T.M. Ali Panglima Polem. Akhirnya, organisasi ini berhasil mengumpulkan uang 120.000 dan 140.000 dolar Malaysia. Uang tersebut digunakan untuk membeli 2 pesawat Dakota, yang kemudian diberi nama Seulawah I dan Seulawah II.
Kisah diatas merupakan salah satu kisah kebesaran Aceh dalam perspektif sejarah. Pengakuan atas kebesaran sejarah Aceh tidak hanya datang dari masyarakat Aceh, tetapi boleh jadi datang dari luar pula. Kebesaran yang pada akhirnya ikut pula mempengaruhi perjalanan bangsa Indonesia dalam mengisi kemerdekaan setelah lepas dari masa kolonial. Salah satu wujud kebesaran Aceh ini adalah pengakuan dari Bung Karno bahwa daerah Aceh merupakan daerah modal dalam perjuangan dan revolusi di zaman kemerdekaan.
“Aceh perlu tampil menolong situasi yang keruh, tidak ada alternatif lain, hanya daerah Aceh (lah) dalam situasi ini seperti ini yang dapat diharapkan untuk mempelopori perlawanan rakyat semesta guna meneruskan cita dan perjuangan kemerdekaan ... Aceh daerah modal untuk mengusir kolonialisme Belanda dari bumi Indonesia”.
Dalam perjalanan sejarah kebesaran Aceh tidak mendapat tempat selayaknya dari pemerintah pusat. Balasan yang diterima Aceh atas kesetiannya tetap dalam naungan Republik Indonesia Indonesia sangat diluar harapan. Secara historis, kekecewaan terhadap NKRI dimulai dari kegagalan akomodasi politik kita dimulai ketika Soekarno menolak permintaan Teungku Muhammad Daud Beureueh untuk memberikan status khusus bagi daerah Aceh dalam memberlakukan syariat Islam. Kegagalan akomodasi politik merupakan awal dari benih kekecawaan bagi masyarakat Aceh. Hal ini ditambah lagi kebijakan membubarkan Propinsi Aceh yang kemudian dilebur dalam Propinsi Sumatra Utara. Puncak kekecewaan itu berujung pada meletusnya peristiwa September 1953 yang kemudian dikenal dengan peristiwa Darul Islam di Aceh.
Upaya pemulihan keamanan di Aceh senantiasa berlangsung sedehana, melalui mekanisme musyawarah. KSAD Jenderal AH Nasution dengan sungguh-sungguh mencari terobosan untuk mencairkan kebekuan. Pada awal 1960-an kebekuan mulai cair dengan Ikrar Lam Teh dan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh. Hasilnya, adalah kesediaan Teungku Muhammad Daud Beureueh beserta pengikutnya di hutan untuk secara tulus kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Selain itu, hasil kesepakatan lain bahwa Aceh diberi status sebagai daerah istimewa. Keistimewaan mencakup bidang pendidikan, pelaksanaan adat, dan agama. Kemudian Gubernur Ali Hasjmy memanfaatkan moment ini dengan membangun Kopelma Darussalam, cikal bakal berdirinya Universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar-Raniry.
Tampaknya keistimewaan di Aceh ini pun dalam perjalanan sejarahnya tidak berjalan sesuai. Misalnya, pada tahun 1979 dengan adanya UU No. 5 tentang pemerintahan desa. Adanya undang-undang tersebut struktur gampong, mukim dan segala perangkatnya tidak diberlakukan lagi. Perangkat pemerintahan lokal ini digantikan oleh struktur baru yang sifatnya nasional. Yang terjadi adalah penyeragaman pelaksanaan adat atau pemerintahan di tingkat lokal/desa. Dengan demikian, status keistimewaan yang disandang Aceh kurang greget. Struktur lama yang menjadi basis kehidupan masyarakat di desa menjadi kurang berperan. Tidak seperti dua daerah lain di Indonesia dengan status isimewa/khusus, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta dan DKI Jakarta Status istimewa seakan-akan hanya sekedar simbol yang dilekatkan pada nama propinsi Aceh. Penerapannya tidak berjalan secara optimal, baik dalam tataran pemerintah daerah maupun tataran pemerintah desa.

II
Salah satu daerah di Nusantara yang tidak putus-putusnya didera konflik adalah Aceh. Satu konflik dapat diselesaikan muncul kembali konflik yang lain. Bermula dari gerakan DII/TII pada tahun 1953 yang dipelopori oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh. Gerakan ini akhirnya dapat diselesaikan dengan baik dan Tgk. Daud Beureueh akhirnya kembali ke pangkuan ibu pertiwi, seperti telah disebutkan di atas. Pada tahun 1976, benih-benih konflik muncul lagi di tanah Rencong ditandai oleh keputusan Hasan Tiro untuk memproklamirkan Aceh Merdeka di Pidie. Dengan alasan melakukan gerakan yang akan merusak tatanan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia Hasan Tiro pun dicari oleh aparat keamanan. Untuk itu, Hasan Tiro kemudian meninggalkan Aceh dan pergi ke luar negeri. Namun demikian semangat gerakan Aceh Merdeka ini tidak padam. Mereka tetap melakukan perlawanan, sehingga korban berjatuhan.
Sebelum angin reformasi melanda seluruh wilayah Indonesia, tidak semua wilayah Aceh dilanda baku tembak antara TNI-GAM. Daerah yang sering menjadi daerah konflik adalah Pidie, Bireun, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Selain daerah-daerah yang telah disebutkan itu, masih dapat dikategorikan sebagai daerah aman. Kondisi keamanan mulai berubah tatkala angin reformasi menyeruak seluruh kawasan Nusantara. Hasil dari angin reformasi di Aceh adalah pencabutan status Daerah Operasi Militer (DOM). Pencabutan status DOM ini ternyata membawa masalah bagi keamanan. Daerah perlawanan GAM meluas meliputi seluruh daerah di Aceh. Kalau dulu daerah basis GAM hanya meliputi empat kabupaten, sekarang seluruh kabupaten telah menjadi ajang pertempuran.
Atas nama persatuan dan kesatuan bangsa, pemerintah pusat mengirimkan pasukan untuk meredam gejolak Aceh ini. Berbagai perundingan dilaksanakan sebagai upaya mengakhiri konflik di tanah rencong, tetapi mengalami kegagalan. Status daerah Aceh pun telah berubah beberapa kali mulai dari daerah oparesi militer (DOM) dicabut kemudian diberi status darurat militer, darurat sipil, dan terakhir tertib sipil. Ketiga bentuk/substansi kondisi ini (DOM, DM, TS) adalah sama. Kesemuanya menunjukkan bahwa Aceh dalam posisi tidak sepenuhnya aman dan serba darurat. Walaupun berstatus tertib sipil masyarakat sipil di Aceh masih merasakan dampak dari kondisi tidak amannya Aceh. Padahal yang diperlukan kondisi yang benar-benar aman. Diakui status tertib sipil gangguan keamanan mulai berkurang, tetapi belum sepenuhnya aman.
Secara sosial politik kondisi status tersebut juga membuat sering kali Aceh dipenuhi oleh pejabat dengan status pelaksana tugas (Plt). Keputusan mempltkan pejabat-pejabat ini dilaksanakan dengan alasan kondisi keamanan yang belum stabil atau alasan lainnya. Pernah terjadi suatu saat sebanyak 17 kepala daerah dari 21 kota/kabupaten di Aceh berstatus PLT. Padahal pejabat yang diposisikan plt secara tidak sadar akan melaksanakan tugasnya dalam posisi pejabat yang bukan definitip karena keterbatasan tanggung jawab dan wewenang yang mereka miliki. Posisi ini akan menyebabkan fungsi dan peran mereka tidak dapat berjalan secara optimal. Padahal ada di antara mereka juga berkeinginan bekerja secara maksimal.
Demikian pula dengan pelaksanaan anggaran tidak berjalan semestinya. Anggaran yang masuk ke Aceh sebetulnya sangat besar. Anggaran tersebut dilaksanakan dalam berbagai program dan kegiatan. Kenyataannya, anggaran tersebut tidak dapat diserap habis dalam pelaksanaan berbagai kegiatan atau program dengan alasan bahwa kondisi keamanan belum stabil. Padahal, aturan yang berlaku dalam pelaksanaan anggaran adalah aturan yang berlaku dalam kondisi normal. Kondisi diatas sangat tidak menguntungkan. Di antara limpahan anggaran yang cukup besar untuk Aceh, tetapi tidak tahu untuk dibuat apa, apalagi kalau kegiatan itu dilaksanakan di daerah rawan konflik. Kalaupun dilaksanakan pembangunan, maka seringkali terjadi hasil kegiatan pembangunan itu hancur/rusak kembali karena berbagai alasan.

III
Di hari yang cerah, tanggal 26 Desember 2004 Allah SWT membuat sejarah baru di Aceh. Atas nama Kekuasaan-Nya, bumi dibuatnya bergerak, disusul bumi Aceh dibanjiri air dengan tsunaminya. Korban ratusan ribu jatuh. Dunia terkaget-kaget. Aceh yang kurang dikenal dibandingkan dengan Bali mendadak menjadi ikon bak “selebritis” karena gempa dan tsunami yang bergoncang dengan 8,9 SR. Lapangan udara Sultan Iskandar Muda disibukkan oleh naik-turunnya pesawat, yang sebelumnya hanya menerima 3 penerbangan reguler. Banyak pesawat yang terpaksa harus berputar di udara menunggu giliran untuk turun.
Gempa dan tsunami membuka mata dan telinga tentang keberadaan Aceh dalam konstelasi sosial dan politik, baik dalam tataran nasional maupun dunia. Banyaknya penerbangan yang dapat masuk menunjukkan bahwa Aceh bukanlah daerah tertutup. Aceh memiliki posisi yang cukup strategis. Aceh dapat langsung dimasuki, baik dari Singapura maupun Malaysia, tanpa melalui Medan. Hal ini menunjukkan bahwa gate tidak harus melalui Polonia/Belawan.
Selain itu gempa dan tsunami merupakan salah satu titik moment yang cukup penting untuk merubah Aceh. Aceh yang porak poranda selama terjadi konflik harus menerima kejatuhan kedua kali ketika gempa dan tsunami menerpa. Sebuah kehancuran tidak disikapi dengan kesedihan dan terus menerus menerima keadaan. Apalagi hal ini didukung ketahanan mental spritual masyarakat Aceh di dalam menghadapi musibah. Kebangkitan merupakan kata yang tepat untuk menjawab berbagai permasalahan kemasyarakatan pasca musibah.
MOU antara pemerintah RI dan GAM merupakan salah satu kata kunci untuk menjawab permasalahan konflik dan kebangkitan masyarakat di Aceh. Kekayaan sumber daya alam dan melimpahnya bantuan dari berbagai donor tidak dapat memfasilitasi kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi yang akan dilaksanakan di Aceh. Pengalaman menunjukkan seberapa pun besar dana yang ada akan hilang percuma apabila masih ada pihak-pihak yang berkonflik.
Moment yang ada pada saat ini harus dipupuk terus. Kebangkitan yang didukung oleh seluruh masyarakat Aceh yang bersatu diharapkan dapat membentuk propinsi Aceh yang madani, yaitu propinsi dimana masyarakatnya mempunyai visi dan misi ke depan bahwa kehidupan dunia dan kehidupan di alam akhirat nanti berjalan seiring. Masyarakat yang tidak hanya memikirkan kehidupan dunia, tetapi juga memikirkan bekal di dunia akhirat. Masyarakat demikian sangat sesuai dengan penetapan Aceh sebagai provinsi yang menabalkan syariat Islam dalam kehidupan kesehariannya, yang pernah dicita-citakan oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh.
Makna simbolisasi Aceh sebagai Provinsi Madani bernuansa Aceh tetap dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi aturan-aturan kehidupan kemasyarakatan dan pemerintahan berbasis Islam. Madani merupakan tujuan beragama. Dalam kondisi ini faktor kepemimpinan menjadi sangat urgen. Aceh memerlukan seorang pemimpin kredibel. Ia harus mampu berbicara, berbuat, dan berkomitmen. Tidak hanya pandai bicara, tetapi tidak dapat berbuat dan berkomitmen. Pemimpin Aceh yang kredibel sangat diperlukan menjalankan program rehabilitasi dan rekonstruksi. Pihak-pihak yang akan membantu dalam program rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh ini pun menuntut hal demikian.
Untuk itu, semua pihak harus bersatu padu untuk mewujudkan program rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Satu kesatuan tekad ini terkait pula dengan kondisi sumber daya alam dan manusia yang ada di daerah ini. Karena pada dasarnya, kalau Aceh dibagi dalam tiga region, maka Aceh dapat dapat dibagi menjadi tiga, yaitu Banda Aceh dan Pidie (central pembangunan), pantai barat dan tengah (zona pertanian dan holtikultura), dan pantai timur (zona industri). Ketiga zona merupakan satu kesatuan, yang tidak dapat dipisahkan. Apabila salah satu dipisahkan, maka pembangunan Aceh menjadi timpang. Yang diperlukan Aceh adalah perubahan dalam paradigma pembangunan dan perubahan paradigma pemimpin.
Terkait dengan perubahan pemimpin yang akan memimpin Aceh ke depan dapat terjawab ketika masyarakat Aceh melaksanakan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Masyarakat seharusnya tidak salah memilih pemimpin. KIP dan DPRD yang akan menjadi pelaksana juga harus benar-benar menetapkan syarat dan kriteria pemimpin yang benar-benar amanah membawa Aceh kepada kemaslahatan umat. Pemimpin yang benar-benar amanah akan membawa Aceh dan mengangkatnya dari puing-puing kehancuran akibat musibah dan konflik.
Pemimpin yang amanah juga ditunggu dalam upaya merubah kebijakan yang tidak berbasis kepada pembangunan rakyat. Walaupun anggaran besar, tetapi apabila kebijakan yang dibuat para pemimpin di Aceh tidak amanah, maka angggaran yang besar akan menggelembungkan pundi-pundi para pemimpin yang tidak amanah terhadap rakyat Tetesan pembangunan yang seharusnya dinikmati oleh rakyat hanya isapan jempol belaka. Program-program yang ditujukan masyarakat miskin hanya dinikmati oleh “masyarakat miskin”. Dengan demikian, faktor kepemimpinan, aturan/hukum yang jelas, dan sistem menjadi unsur utama menuju Aceh yang lebih baik di masa yang akan datang. Kesemua itu akan terjawab pada Pilkada yang direncanakan tahun 2006. Pemimpin yang dipilih apakah pemimpin yang beramanah kepada masyarakat atau pemimpin yang membawa Aceh ke “tsunami” edisi dua berpulang ke masing-masing hati nurani kita.

1 comment:

Baka Kelana said...

Tidak yang perlu disesali