tag:blogger.com,1999:blog-69509219727031025502024-03-15T05:25:21.947+12:00Agus BW-AcehBlog ini berisi tentang Sejarah, Budaya, Wisata Aceh.Agus Budi Whttp://www.blogger.com/profile/13161122292896882482noreply@blogger.comBlogger89125tag:blogger.com,1999:blog-6950921972703102550.post-25554280353354691142012-01-19T15:44:00.002+12:002012-01-19T15:45:17.930+12:00Kuah Blangong (Aceh)Oleh: Agus Budi Wibowo
Makanan khas merupakan identitas suatu daerah yang dapat membedakan keberadaan dengan daerah lain. Begitu juga keberadaan makanan khas suku bangsa Aceh yang berbeda dengan makanan khas dari daerah lain di Indonesia. Kekayaan kuliner Aceh diwariskan dari generasi ke generasi hanya dengan lisan sehingga sukar untuk dapat diketahui secara pasti kapan keberadaan makanan khas tersebut di Aceh.
Namun ada dugaan tentang sejarah kuliner di belahan dunia manapun, kolonialisme, penjelajahan dan arus perdagangan memegang peranan yang sangat besar dalam pertukaran budaya termasuk pertukaran kuliner. Penjelajahan Marcopolo mencapai Cina, menyerap budaya makan mi dan membawanya ke Italia untuk menjadi spaghetti. Belanda yang menjajah Indonesia membawa pengaruh kuliner berupa bistik sampai budaya makan ala Rijstaffel.
Tahun 1600'an, dunia perdagangan telah menghantarkan para pedagang dari Gujarat (India) masuk ke negara kita. Sebenernya mereka bukan orang Gujarat aseli, mereka orang2 asli daerah Jazirah Arab yang berlayar untuk berdagang dan menyebarkan Islam. Dalam pelayarannya mereka sempat singgah dan menetap di Gujarat untuk beberapa lama (sekaligus menyerap kebudayaan termasuk kuliner), lalu sebagian tinggal disana dan sebagian melanjutkan pelayarannya hingga masuk ke Indonesia. Tempat pertama di Indonesia yang mereka singgahi tentu saja Aceh sebagai titik tranfer pelayaran Asia Tenggara. Di Aceh mereka juga sempat tinggal beberapa lama, berdagang dan menyebarkan Islam, sebagian tinggal di Aceh dan sebagian lagi melanjutkan pelayaran menyusuri sepanjang pesisir barat Sumatera, terus ke Jawa.
Di Aceh, khususnya Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie dan sebagian wilayah Aceh Barat, Kuah Blang (gulai sawah) merupakan menu kuah daging yang sangat khas.
Kuah Blang sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Aceh saat menyambut musim tanam padi tiba. Sebelum dimulainya waktu turun ke sawah, terlebih dahulu diadakan selamatan memohon kepada Yang Maha Kuasa supaya hasil padinya bagus, jauh dari gangguan hama dan memenuhi panen seperti yang diharapkan. Hajatan ini dinamakan Kenduri Blang (selamatan turun ke sawah). Masyarakat akan menyembelih seekor sapi atau kerbau sesuai dengan kemampuan masyarakatnya dan dimasak dengan bumbu khas kuah blang di dalam belanga besar. Kemudian hidangan ini akan disantap bersama-sama.
Hingga kini, kuah blang menjadi menu utama disetiap acara selamatan, hajatan, pesta perkawinan dan kegiatan-kegiatan perayaan lainnya. Bisa dikatakan, bila tidak ada menu kuah blang, maka belum dikatakan lengkap acara hajatan tersebut. Perayaan dalam bentuk apapun yang diselingi dengan makan bersama, kuah blang merupakan menu utama disamping menu-menu yang lain.
Adapun Bahan-bahannya adalah :
- ½ kilogram tulang dan daging + tetelan
- 14 kilogram nangka muda
- 3 sendok makan kepala gongseng
- 2 helai daun temurui
- 600 cc santan
- 1 sendok makan asam jawa
- 3 butir bungong lawang
- 3 buah sere
- 1 batang garam secukupnya
Bumbu :
- 5 siung bawang merah
- 3 siung bawang putih
- 2 centi meter jahe
- 1 sendok makan ketumbar
- ½ sendok merica
- ¼ sendok jintan
- 2 sendok makan cabe kering
- 5 buah cabe merah
Cara membuatnya :
1. Tulang, daging dan tetelan dibersihkan lalu dipotong-potong dan lumuri dengan garam
2. Nangka dipotong-potong sesuai selera
3. Semua bumbu dihaluskan dan aduk dengan daging, tulang dan tetelan
4. Masukkan kelapa gongseng, daun temurui, santan, asam jawa, bungong lawang, cengkeh, sere
5. Masak hingga matang
6. Siap dihidangkan
Di Aceh banyak terdapat warung-warung dan restauran yang menyajikan menu khas kuah blang dari daging kambing (bu sie kameng kuah blang). Bahkan, banyak warung yang hanya khusus menyediakan daging kambing saja tanpa ada menu-menu lainnya. Warung-warung tersebut banyak ditemui hampir diseluruh pelosok wilayah Aceh.Agus Budi Whttp://www.blogger.com/profile/13161122292896882482noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6950921972703102550.post-46507149688079058962012-01-19T15:39:00.002+12:002012-01-19T15:39:14.993+12:00Siwah (Aceh)Oleh: Agus Budi Wibowo
Sebelum rencong dikenal, masyarakat Aceh telah menggunakan senjata yang disebut siwah. Jenis senjata ini tidak memiliki gagang, sehingga cukup menyulitkan ketika digunakan untuk berperang, terutama ketika senjata ini sudah berlumuran dengan darah. Senjata ini menjadi licin dan mudah terlepas dari genggaman karena lumuran darah tersebut. Oleh karena itu, atas perintah Sultan Alaiddin Riayat Syah Al-Kahhar yang berkuasa pada waktu itu, maka dipanggil para pandai besi untuk mengubah siwah dengan model terbaru yang tidak menyulitkan ketika digunakan untuk berperang. Para pandai besi ini akhirnya menambahkan gagang yang berbentuk huruf Ba (huruf kedua dalam aksara Arab) pada siwah tersebut. Selanjutnya senjata ini dikenal dengan nama reuncong atau rincong, di dalam bahasa Indonesia disebut rencong.
Mubbin Sheppard mencatat bahwa senjata tikam abad I yang berasal dari daerah Dong Son di Teluk Tonkin bisa jadi merupakan cikal bakal daripada keris (Leigh, 1989: 45). Perbedaan antara keris dengan rencong terletak pada mata pisau keris yang berombak dan terasah pada kedua belah sisinya. Selanjutya, Sheppard mengemukakan bahwa belati yang terasah hanya pada satu sisi adalah hal yang umum di antara bangsa-bangsa rumpun Melayu. Badek dan tumbak lada yang berbentuk tabung atau pipa sangat mirip dengan senjata siwah dari Aceh.
Siwah termasuk salah satu hasil seni tradisional, sejak zaman dahulu siwah dalam penggunaannya berfungi sebagai berikut: sebagai perhiasan; rencong ini dipergunakan sehari-hari sebagai perhiasan (pakaian) yang diselipkan di pinggang; sebagai seni (seni ukir). Siwah juga dipakai sebagai senjata perang untuk menghadapi musuh-musuh peperangan yang ingin menjajah Aceh seperti Inggris, Belanda dan sebagainya. Siwah adalah senjata tajam sejenis dengan rencong yang juga merupakan senjata untuk menyerang. Bentuknya hampir sama dengan rencong tetapi siwaih ukurannya (baik besar maupun panjang) melebihi dari rencong. Siwaih sangat langka ditemui, selain harganya mahal, juga merupakan bahgian dari perlengkapan raja-raja atau ulebalang-ulebalang. Namun demikian untuk siwaih yang telah diberikan hiasan emas dan permata pada sarung dan gagangnya lebih berfungsi sebagai perhiasan dari pada sebagai senjata..Agus Budi Whttp://www.blogger.com/profile/13161122292896882482noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6950921972703102550.post-57924491446309876692011-11-30T19:51:00.001+12:002012-01-19T15:39:50.290+12:00Kopi dan Ngopi Ala AcehOleh: Agus Budi Wibowo
A. Pendahuluan
Berbicara tentang Aceh, kita dapat mengidetifikasikan dengan beberapa kata, seperti Serambi Mekkah, Baiturrahman, Saman, Daerah Istimewa, dan sebagainya. Sedangkan Irwan Abdullah (2007), memberikan ikon keberadaan ureueng Aceh dengan empat ikon, yaitu: Aceh dikenal sebagai tempat dimana agama dan adat menjadi dua pilar penting dalam penataan sosial, ureueng Aceh dikenal sebagai pemberani, Ureueng Aceh memiliki kepercayaan tinggi yang disebabkan oleh adanya kebanggaan sebagai ureueng Aceh, dan ureueng Aceh menjunjung tinggi nilai-nilai kolektif yang tercermin dari kebiasaan Aceh untuk berkumpul, saling kunjung, kenduri, fenomena warung kopi, serta upacara-upcara yang melibatkan banyak orang (Wibowo, 2004).
Terkait dengan pernyataan Irwan Abdullah di atas, terdapat pengalaman menarik, yaitu ketika pada tahun 1996, penulis menginjakkan kaki pertama di Banda Aceh. Ketika itu Banda Aceh tidaklah seramai sekarang. Kehidupan masih kental dengan nuansa keacehannya. Dari hari ke hari, penulis mengetahui kehidupan keseharian masyarakat Aceh, khususnya yang ada di ibukota Provinsi Aceh ini. Dari banyak hasil amatan terhadap perilaku warga Banda Aceh, penulis amat tertarik terhadap kebiasaan kebiasaan minum kopi di warung/kedai.
Pada bagian lain, setelah penulis tinggal beberapa tahun di Aceh penulis pernah mendengar bahwa terdapat sebuah ungkapan “belum ke Aceh, apabila belum merasakan kopi ala Aceh di warung kopi”. Oleh karena itu, menjadi sebuah “keharusan” apabila ada tamu-tamu dari luar Banda Aceh, penulis ajak untuk merasakan kopi dan ngopi ala Aceh di beberapa warung/kedai kopi yang ada di kota ini, seperti warung kopi Abu Solong di Uleekareng. Kesan yang penulis tangkap dan pernyataan mereka sendiri bahwa kopi Aceh sangat berbeda dengan kopi dari daerah lain di Indonesia dan ngopi di Aceh sungguh amat mengasyikkan.
B. Kopi Ala Aceh
Tanaman kopi di dunia kini ada banyak spesies. Namun yang banyak digunakan untuk minuman berasal dari spesies Arabica dan Robusta. Negeri penghasil kopi Arabica bermutu baik tersebar di lingkar tropis seluruh dunia, yaitu Costa rica, Guetemala, Honduras, Mexico. Nicaragua, Panama, Bolivia, Brasil, Columbia, Equador, Peru, Burundi, Congo, Ethiopia, Kenya, Tanzania, Rwanda, Uganda, Zambia, India, Papua Nugini, Hawaii, Puerto Rico, Jamika, Dominika hingga Saint Helena. Menurut catatan pengamat kopi internasional menyebutkan bahwa Indonesia dalam beberapa lokasi khusus yaitu Jawa, Bali, Sumatra, Aceh (Aceh Tengah dan Bener Meriah) Sulawesi (Toraja) dan Timor. Sedang Robusta sendiri banyak dihasilkan di India dan Uganda. Khususnya kopi Toraja yang diproduksi secara khusus oleh perkebunan di Toraja berada pada grade one, yang terbaik.
Saat ini di Aceh terdapat dua jenis kopi yang dibudidayakan adalah kopi Robusta dan kopi Arabica. Untuk kopi jenis Arabica umumnya dibudidayakan di wilayah dataran tinggi “Tanah Gayo”, Aceh Tenggara, dan Gayo Lues, sedangkan di Kabupaten Pidie (terutama wilayah Tangse dan Geumpang) dan Aceh Barat lebih dominan dikembangkan oleh masyarakat disini berupa kopi jenis Robusta.
Kopi Arabica agak besar dan berwarna hijau gelap, daunnya berbentuk oval, tinggi pohon mencapai tujuh meter. Namun di perkebunan kopi, tinggi pohon ini dijaga agar berkisar 2-3 meter. Tujuannya agar mudah saat di panen.
Pohon Kopi Arabica mulai memproduksi buah pertamanya dalam tiga tahun. Lazimnya dahan tumbuh dari batang dengan panjang sekitar 15 cm. Dedaunan yang diatas lebih muda warnanya karena sinar matahari sedangkan dibawahnya lebih gelap. Tiap batang menampung 10-15 rangkaian bunga kecil yang akan menjadi buah kopi. Dari proses inilah kemudian muncul buah kopi disebut cherry, berbentuk oval, dua buah berdampingan (Wibowo, 2007).
C. Ngopi Ala Aceh
Di Aceh, tradisi minum kopi, makan dilanjutkan ngobrol di warung kopi, seperti sepintas dipaparkan di atas bukanlah sebuah kebiasaan baru yang muncul akhir-akhir ini. Kebiasaan itu dipercaya sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, terutama di kawasan pelabuhan dan pusat perdagangan. Meski pada saat itu sangat mungkin menu dan minumannya bukan kopi, tetapi kebiasaan nongkrong dan ngobrol utk “membunuh” waktu sudah berlangsung turun temurun. Lombard (2008) menulis bahwa Peter Mundy pada April 1637 dengan susah payah berhasil mencapai tempat berlabuh di Aceh. Peter Mundy memberitakan bahwa ada yang menjual telur penyu rebus. Warung-warung mereka masing-masing dipungut bea sekeping emas sebulan untuk orang kaya Sri Maharaja. Untuk sementara, catatan Peter Mundy pada April 1637 itu setidak-tidaknya bisa dijadikan dasar keberadaan sebuah ruang publik yang dikenal dengan warung (rumah makan) di wilayah Aceh (Kompasiana, 211).
Pada bagian lain terdapat pendapat bahwa keberadaan dan kebiasaan makan minum di warung muncul setelah Belanda “mengajarkan” tradisi minum kopi. Belanda mempunyai peran penting dalam membudidayakan tanaman kopi di Indonesia. Mereka telah memperkenalkan tanaman Kopi Arabika (coffea arabica L.) di Pulau Jawa pada tahun 1699. Di Aceh, tepatnya di Dataran Tinggi Gayo Aceh Tengah, mereka mulai membangun perkebunan Kopi Arabika pada tahun 1924 di daerah Paya Tumpi. Kini, Dataran Tinggi Gayo yang meliputi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah secara nasional menjadi kawasan tanaman Kopi Arabika terluas di Indonesia.
Agak berbeda dengan dua pendapat di atas, Teuku Zulkhairi (2011) menyatakan bahwa dari aspek historis, tradisi minum kopi di Aceh sudah ada sejak masa kerajaan Islam Aceh. Mengutip pendapat Sebagian sejarawan yang meyakini tradisi ini merupakan budaya imporan dari Dinasti Turki Usmani(Khilafah Islamiyah) yang saat itu juga memiliki tradisi yang sama. Kita ketahui bahwa Kerajaan Islam Aceh Darussalam dahulu memiliki hubungan yang sangat erat dengan kekhalifahan Islam Turki Usmani, hubungan erat ini pula yang akhirnya menyebabkan terjadinya asimilasi (percampuran) budaya Hal ini misalnya seperti yang diakui oleh Muhammad Alkaf, bahwa tradisi minum kopi masyarakat Aceh di era sekarang ini merupakan bagian dari pertemuan Aceh dengan peradaban lama Turki Usmani yang Islam ketika itu, maka sangat relevan bila kemudian penulis memilki inisiatif bagaimana agar pengaruh dari tradisi minum kopi di Aceh kita kembalikan ruhnya sebagai titik tolak bagaimana melihat perdaban Aceh masa depan berkaca pada peradaban awal Aceh yg telah bersentuhan dengan Turki Usmani sebagai ‘Kekhalifahan Islam’ di masa lalu (Kompasiana, 2011)
Menilik keberadaan dan fungsi warung kopi di Aceh, pada prinsipnya tidak berbeda jauh dengan fungsi lapau di Sumatera Barat. Menurut Pandoe dan Pour (2010:256) bahwa fungsi lapau menjadi pusat informasi. Sesama pengunjung lapau mengobrol soal macam-macam hal, mulai kehidupan sosial sampai “politik tinggi” dalam dan luar negeri. Bisa juga mempergunjingkan para pejabat, menganalisis sepakbola, atau membicarakan sinetron yang mereka tonton di televisi. Interaksi manusia di lapau seperti yang ditulis Pandoe dan Pour persis sama dengan interaksi sosial dan lalu lintas informasi yang terjadi di warung-warung kopi yang ada di Aceh. Demikian juga dengan topik pembicaraan para peminum kopi di ruang publik, warung kopi, berkisar pada masalah kehidupan sosial, politik, sepakbola dan ajang berbagi pengalaman dibidang usaha dagang serta pertanian.
Telah disebutkan bahwa pada masyarakat Aceh terdapat kebiasaan ngopi di warung yang terdapat pada berbagai sudut kota. Kebiasaan ini jarang ditemui pada beberapa masyarakat lain di Indonesia. Betapa tidak, kebiasaan ini dapat dilihat di hampir semua sudut kota atau desa di Aceh. Keberadaan kebiasaan minum kopi di warung ini tidak hanya sebagai ajang pelepas lelah setelah berbelanja di pasar/toko, tetapi nampaknya telah berubah menjadi ajang untuk kumpul-kumpul di kalangan masyarakat Aceh. Nampaknya, kebiasaan ini telah membudaya di kalangan masyarakat. Mereka tidak datang sendirian ke warung kopi, tetapi tidak jarang mereka datang bergerombol sehingga menjadi menarik karena hal ini dapat dijadikan sarana untuk membicarakan berbagai hal, mulai dari hal-hal kecil sampai masalah politis. Waktu yang digunakan pun kadang pagi sampai malam hari. Pembicaraan di warung kopi ini lebih terasa asyik dan nikmat apabila warung/kedai tersebut menyediakan seperangkat alat hiburan seperti TV, Radio/tape, atau video. Tidak terasa duduk di warung/kedai kopi tersebut dapat berjam-jam lamanya. Bahkan lebih mengasyikkan lagi, apabila warung kopi tersebut dilengkapi fasilitas wifi untuk internet. Jadi, sambil “berselancar” dalam dunia maya bisa ngobrol, belajar, “ngrumpi” sambil minum kopi (Agus Budi Wibowo,1996).
Selain suasana yang sungguh berbeda dengan warung kopi di Nusantara, cara penyajian dan pembuatan kopi Aceh pun berbeda. Di sini, kopi diseduh melalui beberapa penyaringan sampai pada kekentalan yang diinginkan sehingga membuat kopi lebih harum, nikmat dan memiliki efek rasa yang kuat. Hal ini tentunya menjadi hal yang menarik serta mejadi lebih spesial bagi siapa saja yang menikmatinya.
Belum lagi jika anda pernah mendengar kopi terbalik, pasti anda akan bertanya apanya yang terbalik. Ternyata cara penyajian kopi dengan bentuk posisi gelas yang terlungkup dan piring kecil tetap sebagai alasnya. Nah, bagaimana neh cara menikmatinya. Ternyata memiliki cara yang berbeda dan spesial bahwa cara menikmatinya tidak dengan cara kita seperti biasa menikmatinya dengan cara menyentuhkan bibir ke dinding gelas lalu meminumnya. Namun menikmatinya ternyata dengan cara yang berbeda dan begitu unik yaitu dengan cara menggunakan sebuah sedotan.
Biasanya beberapa warung di Aceh selalu saja bersamaan dengan menjual mie rebus atau biasa kita kenal dengan “Mie Aceh”. Sehingga anda tidak usah merasa heran dan susah untuk mencari dimana lokasi menjual Mie Aceh ini, karena biasanya lokasinya bersamaan dan satu tempat didalam menjual makanan dan minuman ini (Kompasiana, 2011).
Berikut ini beberapa tempat untuk kita dapat mencicipi kenikmatan kopi Tanah Rencong yang telah banyak dikunjungi masyarakat Banda Aceh atau dari kota lain di Indonesia, bahkan juga dari luar negeri.
1. Dhapu Kupi di Simpang Surabaya, Banda Aceh tidak jauh dari Mesjid Baiturrahman dan Bandara Iskandar Muda. Pemandangan kota Banda Aceh yang semakin rapih dan cantik dari lantai atasnya sungguh spektakuler.
2. Warkop Solong di Ulee Kareng, Lampenurut, dan di beberapa tempat lainnya di Banda Aceh karena cabangnya yang semakin menyebar. Warung Kopi ini memiliki konsumen yang menyukai kopi yang sedikit lebih kuat aromanya dari kopi biasa.
3. Ring Road Coffee di stasiun bus Banda Aceh yang paling meriah dari semua yang ada karena di sini para pemuda sering duduk minum kopi sambil melihat pertandingan sepak bola.
4. Tower Kopi di depan Taman Sari Banda Aceh dan hanya 100 meter dari Masjid Baiturrahman adalah tempat berkumpulnya masyarakat kota untuk duduk di luar ruang dan menghadap meja dengan kehangatan kopi kuat Aceh yang harum.
5. Coffee Bay yang terletak di Ule Lheue ke arah pelabuhan sangat populer bagi para pelancong yang menginginkan rasa kopi Aceh sebelum menyebrang ke Pulau Weh.
D. Penutup
Kopi dan ngopi ala Aceh telah berlangsung begitu lama. Tidak serta merta ada di daerah ini. Mengacu pada beberapa pendapat, tampaknya kebiasaan ini telah berlangsung lama. Tentunya, kebiasaan melalui sebuah proses yang begitu panjang. Dalam perjalanan sejarahnya, kebiasaan ini mengalami berbagai perubahan. Misalnya, sebelum tsunami, rata-rata pengunjung warung kopi adalah kaum adam (laki-laki) sedangkan kaum hawa jarang sekali. Selain itu, warung kopi yang ada pada saat ini dilengkapi berbagai hal yang menunjang keberadaan mereka berlama-lama di warung kopi, seperti TV, fasilitas internet, dan sebagainya.
Warung kopi pada akhirnya menjadi ruang publik multifungsi.Tidak hanya sebagai tempat minum kopi saja/ngopi tetapi juga berfungsi sebagai tempat aspirasi, bisnis, belajar, dan sebagainya. . Selain itu menjadi sebuah trend atau popular dari masyarakat khususnya para remaja serta pemuda di daerah ini didalam menikmati weekend serta ajang berkumpul sebuah komunitas dikelompoknya masing-masing.
Tentunya, warung kopi yang menjadi ajang kunjungan orang dan begitu fenomenal, sehingga ada yang berpendapat bahwa Aceh dapat disebutkan sebagai negeri seribu warung kopi. Kondisi ini sangat lah menguntungkan sebagai asset pariwisata. Kebiasaan yang sangat berbeda dengan tempat-tempat lain menjadikannya amat menarik bagi wisatawan, baik wisatawan domestic dan wisatawan mancanegara. Tinggal bagaimana mengemas potensi ini menjadi suatu yang menarik oleh masyarakat Aceh beserta pemerintah daerah.
Daftar Bacaan
Agus Budi Wibowo, 1996. “Cofee Morning Masyarakat Aceh”. Serambi Indonesia.
____________________. Kopi Aceh. Aceh Cofee. Banda Aceh: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi NAD.
Irwan Abdullah. 2007. Kontruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Teuku Zulkhairi . 2011. Warung Kopi dan Wacana Peradaban Aceh Baru http://filsafat.kompasiana.com/2010/03/23/warung-kopi-dan-wacana-peradaban-aceh-baru/
Di Aceh, Warung Kopi Sejatinya Rumah Aspirasi, 2011. http://politik. kompasiana.com/2011/05/19/di-aceh-warung-kopi-sejatinya-rumah-aspirasi/
Kopi Aceh: Menikmati Keharuman dan Kenikmatan Kopi yang Khas. 2011. http://www.indonesia.travel/id/destination/494/banda-aceh/article/41/kopi-aceh-menikmati-keharuman-dan-kenikmatan-kopi-yang-khas
Warung Kopi Aceh. 2011. http://sosbud.kompasiana.com/2010 /04/ 25/ warung-kopi-aceh/Agus Budi Whttp://www.blogger.com/profile/13161122292896882482noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6950921972703102550.post-41331238389909166282011-10-12T14:18:00.001+12:002011-10-12T14:21:16.202+12:00Tata Ruang Rumoh AcehOleh Agus Budi Wibowo<br /><br />Jumlah ruangan rumoh Aceh bermacam-macam, tergantung pada daerah di mana rumah itu terdapat. Di daerah Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Utara, Bireuen, dan Pidie rumoh Aceh biasanya hanya memiliki 3 buah ruangan, yaitu ruang depan yang disebut dengan seuramoe keu atau seuramoe reunyeun dan sering juga dinamakan seuramoe agam. Ruangan yang kedua adalah ruang tengah yang disebut dengan Tungai atau sering juga dinamakan juree. Sedangkan ruangan yang ketiga terdapat pada bagian paling belakang ini disebut seuramoe likot atau seuramoe inong (Hadjad, 1984 : 74).<br /><br /> a. Ruang Depan<br /> Ruang ini berbentuk sebuah ruangan yang polos, artinya tidak lagi dibagi ke dalam beberapa bilik kecil. Pada bagian depannya terdapat pintu masuk (pintu utama) yang dinamakan pinto Aceh. Ukuran pintu pada setiap rumah jenis ini rata-rata berkisar antara 0,10 sampai satu meter lebar dan tingginya antara 1,80 sampai dua meter. Ada juga yang membuat pintu utama ini disebelah kanan ruang depan. <br /><br />Sedangkan jendela (tingkap) terdapat pada samping kiri dan kanan ruangan. Ada juga yang mengerjakan pada dinding bagian depan. Lebar jendela 90 cm. dan tingginya satu meter. Di atas dinding ini dibuat rak sebagai tempat menyimpan barang-barang yang dinamakan sandeng. Sanding ini letaknya di atas dinding depan, persis di bawah bara bagian luar.<br /> Ruangan depan atau seuramoe keu ini berfungsi sebagai ruang tamu, tempat belajar mengaji, tempat acara kenduri, tempat acara perkawinan, tempat menyulam dan menganyam tikar. Selain itu, ruang depan ini juga berfungsi sebagai tempat tidur tamu laki-laki yang kebetulan menginap di rumah tersebut, sekaligus juga sebagai tempat tidur anak laki-laki yang telah berumur enam tahun ke atas. Karena fungsi yang terakhir inilah maka ruangan ini dinamakan seuramoe agam (Muhammad Z.Z., 1980 : 6-10).<br /><br /> b. Ruang Tengah<br /> Ruang tengah ini sifatnya tetutup dan di ruang inilah dibuat kamar-kamar tempat tidur, karenanya ruangan ini dinamakan juree. Kamar-kamar tersebut biasanya dibagian ujung sebelah timur dan barat dari ruang tengah ini. Di tengah-tengah antara kamar sebelah timur dan barat terdapat lorong (gang) yang berfungsi sebagai jalan lewat menuju serambi depan dan belakang. Lorong ini dinamakan rambat.<br /> Masing-masing kamar pada ruangan tengah ini mempunyai jendela tersendiri, ukurannya sama dengan ukuran jendela yang terdapat pada ruang depan, yaitu 0,60 X 1,00 meter. Pintu kamar biasanya menghadap ke bagian serambi depan ada juga yang membuat pintu menghadap ke lorong yang dinama-kan rambat tadi. Kamar yang pintunya tidak menghadap ke serambi depan biasanya dinding bagian muka ini dapat dibuka setengah dari lantai ke atas jika diperlukan.<br /> Kamar yang terletak di sebelah barat ditempati oleh kepala keluarga, karenanya kamar tersebut dinamakan rumoh inong. Sedangkan kamar di sebelah timur ditempati oleh anak perempuan, karenanya kamar tersebut dinamakan rumoh anjong. Apabila salah seorang anak perempuan baru dikawinkan, maka kedua mempelai itu menempati rumoh inong dan kepala keluarga pindah ke rumoh anjong yang ditempati anak-anak perempuan tadi. Sedangkan anak-anak perempuan itu pindah ke sebelah barat ruangan belakang.<br />Apabila ada dua orang anak perempuan yang telah kawin, sedangkan orang tua si anak belum mampu membuat rumah lain, maka kamar sebelah barat (rumoh inong) ditempati oleh anak perempuan yang tertua dan anak perempuan yang lebih muda menempati kamar sebelah timur (rumoh anjong). Sedangkan kepala keluarga pindah ke sebelah Barat ruangan belakang yang ditempati anak-anak perempuan tadi dan mereka ke sebelah timur ruang belakang.<br /> Akan tetapi hal semacam ini jarang terjadi, lebih-lebih di daerah Aceh Besar yang menurut ketentuan adatnya apabila salah seorang anak perempuannya menikah, maka untuk anak itu harus disediakan rumah tersendiri. Seandainya orang tua kurang mampu, maka kepada anak itu harus diserahkan sekurang-kurangnya sepertiga rumah itu mulai dari seuramoe keu sampai ke belakang. Persoalan yang terakhir inilah yang menyebabkan bangunan rumah Aceh selalu berukuran besar.<br /><br /> c. Ruang Belakang<br /> Sebagaimana ruang depan, ruangan belakang juga merupakan ruangan polos yang tidak terdapat kamar. Akan tetapi ruangan belakang ini kadang-kadang diperlebar seluas dua tiang lagi ke timur. Bagian yang ditambah ini biasanya berfungsi sebagai ruang dapur yang dinamakan anjong” atau tifiek atau ulee keudee. Ada juga yang membuat ulee keude ini terpisah dengan ruangan belakang, tetapi letaknya tetap pada bagian timur dari seuramoe likot ini.<br /> Sebagian rumoh Aceh, anjongnya dibuat dengan cara menambah dan melebihkan balok toi sepanjang 1,50 meter dari belakang tiang seuramoe likot, sehingga apabila kita melihat dari bawah, maka pada bagian paling belakang dari rumah itu kelihatan tergantung se-panjang yang ditambah tadi, karena tidak terdapat satu tiang pun yang menopangnya sampai ke tanah. Ruang ujung yang ditambah pada bagian belakang ini dinamakan Tiphiek yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan alat-alat dapur, seperti kayu bakar, guci air, geutuyong sira (tempat garam).<br /> Jendela ruangan belakang ini biasanya terdapat pada dinding sebelah barat dan ada juga yang membuat pada dinding sebelah utara dan selatan.Agus Budi Whttp://www.blogger.com/profile/13161122292896882482noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6950921972703102550.post-76937824355076170442011-10-12T14:16:00.002+12:002011-10-12T14:25:10.882+12:00Bentuk Konstruksi Bangunan Rumoh AcehOleh Agus Budi Wibowo<br /><br />Umumnya rumoh Aceh dibangun di atas tiang-tiang setinggi 2,50 sampai lima (5,00) meter dari tanah. Rumoh Aceh rata-rata memiliki tiga ruang induk, yaitu ruang depan, ruang tengah dan ruang belakang. Rumoh Aceh rata-rata dibangun dalam ukuran besar, sebab selain berfungsi sebagai tempat tinggal, rumoh Aceh juga berfungsi sebagai tempat kegiatan-kegiatan sosial, seperti musyawarah, kenduri, peresmian khitanan dan lain sebagainya. (Muhammad Z.Z., 1980 : 5)<br />Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya rumoh Aceh dibangun tinggi di atas tiang-tiang , sehingga antara tanah ke lantai rata-rata mencapai dua sampai tiga meter. Kegunaan rumah tradisional dibuat tinggi karena zaman itu penduduknya masih jarang, sedangkan lingkungannya masih berhutan dan masih banyak binatang buas, seperti harimau, beruang, ular dan lain-lainnya. Jadi dengan konstruksi rumah yang tinggi itu diharapkan penghuninya dapat terlindung dari berbagai gangguan binatang buas bahkan aman dari bencana banjir.<br />Selain itu, ruangan antara tanah dan lantai rumah juga berfungsi untuk sarana penyimpanan berbagai alat pertanian, seperti cangkul, arit dan sebagainya. Bahkan ruangan di bawah lantai itu sering juga dimanfaatkan oleh para muda-mudi untuk tempat santai dan istirahat (Muhammad, 1980 : 72). Graff pernah menulis tentang keberadaan rumah Aceh yang dibangun dengan tiang-tiang tinggi sebagai berikut,<br />“… rumah-rumah dari alang-alang dan dari bambu... tetapi semuanya terdiri di atas tiang bambu setinggi empat atau bahkan sampai enam kaki (1,20 m – 1,80 m) di atas tanah karena pasang purnama dan sungai hampir setiap tahun menggenangi kota sehingga orang terpaksa naik perahu dari rumah ke satu rumah lainnya” (Lombard, 1986: 61).<br />Lantai rumoh Aceh yang dibuat dari pohon nibung atau bambu yang dibelah kecil-kecil biasanya disusun tidak rapat. Ada juga lantai rumoh Aceh yang terbuat dari papan, namun celah pada lantai itu tetap ada. Jarak celah antara sebilah pohon nibung (bambu) dengan yang lainnya rata-rata mencapai satu centimeter. Celah-celah pada lantai itu berfungsi untuk mempermudah pembuangan kotoran pada waktu menyapu, sehingga rumah selalu kelihatan bersih dari kotoran dan debu. <br />Struktur atap rumoh Aceh memiliki ciri khas tersendiri. Lembaran atap yang telah diproses dari daun rumbia disusun dan diikat mulai dari bawah sebelah kiri sampai ke kanan atas. Atap disusun sangat rapat, di mana jarak antara tulang daun yang di bawah dengan tulang daun berikutnya rata-rata hanya 1,50 sampai 2,00 cm, sehingga atap rumoh adat tradisional Aceh kelihatan sangat tebal.<br /> <br />Susunan atap diikat dengan rotan panjang yang dibelah empat atau delapan mulai dari lembaran atap paling bawah sampai ke atas tanpa terpisah. Hal ini bertujuan untuk mempermudah cara penyelamatan rumah dari bencana kebakaran, sebab apabila terjadi kebakaran, cukup hanya dengan memutuskan ikatan di atas, secara keseluruhan atap akan terseret jatuh ke bawah/tanah. <br />Selain itu, karena rumoh Aceh selalu dibangun tinggi dari atas tanah, maka rumah itu harus memiliki tangga. Tangga yang terdapat pada setiap rumoh Aceh umumnya memiliki jumlah anak tangga ganjil, yaitu antara tujuh sampai sembilan buah anak tangga. Ketentuan jumlah anak tangga ini berdasarkan kepercayaan orang Aceh bahwa setiap julah hitungan selalu ada hubungan dan pengaruhnya dengan ketentuan langkah, rezeki, pertemuan dan maut. Jadi jika anak tangga dibuat ganjil antara tujuh sampai sembilan, maka anak tangga yang terakhir jatuh pada hitungan pertemuan dan langkah. <br />Hal ini menurut orang Aceh sangat berpengaruh dan menguntungkan dalam kehidupan. Sebaliknya, apabila anak tangga dibuat delapan akan berakhir pada maut. Hal ini yang tidak dikehendaki, karena menurut kepercayaan orang Aceh apabila jumlah anak tangga berakhir pada maut, maka penghuninya atau tamu yang menaiki anak tangga rumah itu akan selalu mendapat kecelakaan (Waardenburg, 1978: 130). <br />Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa tiang rumoh Aceh rata-rata berjumlah 16, 20, 24 dan ada yang sampai 28 buah tiang atau lebih, tergantung pada besar dan kecilnya rumah itu dibuat. Di antara sekian banyak jumlah tiang itu terdapat dua buah tiang utama yang dinamakan “Tiang Raja” dan “Tiang Putri” atau Tameh Putro (Hadjad, 1984: 72). Bentuk tiang-tiang itu ada yang bulat empat persegi dan ada pula yang delapan persegi. Tameh Raja dan Tameh Putroe biasanya berukuran dua kali lipat lebih besar dari pada tiang-tiang lainnya, yaitu dengan ukuran lingkar (keliling) sebesar 60 cm, sedangkan tiang-tiang yang lainnya hanya berukuran garis lingkar 30 cm.<br /><br /> Apabila kita menghadap ke depan rumah, maka akan kita dapati tiang raja letaknya di tengah sebelah kanan, sedangkan tiang putri di tengah sebelah kiri rumah tersebut. Jadi Tameh Putroe terletak persis di sebelah kiri Tameh Raja. Peletakan posisi tiang raja dan tiang putrid ini dipengaruhi oleh prinsip-prinsip ajaran Islam yang mengungkapkan bahwa kaum hawa (wanita) berasal dari tulang rusuk sebelah kiri Nabi Adam (pria) (Husein, 1970 : 205). Jadi dengan adanya penempatan letak posisi Tameh Raja di sebelah kanan Tameh Putroe diharapkan dapat mempengaruhi suasana keharmonis-an hubungan suami-istri dalam rumah itu (Husein, 1970: 211)<br /> Bantalan tiang dipasang pada posisi membujur dan melintang. Bantalan yang membujur disebut toi, sedangkan bantalan yang melintang disebut ruk. Kedua ujung bantalan yang membujur dipahat setengah sehingga seperduanya tinggal sebagai puting. Begitu juga dengan kedua ujung bantalan yang membujur, dipahat dengan ukuran sama seperti bantalan yang membujur. Kayu bantalan yang melintang dipasang di bawah bantalan yang membujur, dan biasanya diperkuat dengan menggunakan baji (bajoe), sehingga rumah itu dapat berdiri dengan kokoh dan kuat.<br /> Di atas bantalan yang melintang dipasang lagi bantalan lantai yang disebut lhue. Lhue ini mempunyai jumlah tertentu pada setiap rumoh Aceh, dan selalu harus dalam jumlah ganjil. Pada ruang depan sebanyak sembilan buah, pada ruang tengah 11 buah dan ruang belakang sebanyak sembilan buah. Jumlah seluruhnya sebanyak 29 buah. Ketentuan jumlah lhue ini ternyata juga dipengaruhi oleh kepercayaan terhadap adanya ketentuan langkah, rezeki, pertemuan dan maut, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya pada masalah tangga (Waardenburg, 1978 : 137). Di atas lhue baru dipasang lantai yang terbuat dari pohon nibung (pinang) atau dari bambu yang diikat dengan ijuk/rotan yang dipintal rapi.<br /> Pada sekeliling rumah terdapat dua keeping papan berukuran tebal dan lebar yang berfungsi untuk menutupi ruk, thoi dan lhue. Papan yang paling bawah disebut laeak dan di atasnya disebut kindang. Di atas tiang dipasang bara setebal 15 cm dan lebar 30 cm. Dari tulang bubungan (tampong) sampai ke atas bara diletakkan kasau yang dinamakan gaseue. Di bawah kasau terdapat kayu bulat sejajar dengan bara yang dinamakan geunulong. Fungsi geunulong ini untuk mengikat kasau agar menjadi sejajar dan rapi. Pada ujung kasau bagian bawah less palang dipasang miring ke dalam yang dinamakan neuduek gaseue. Sedangkan pada ujung sebelah Barat dan Timur rumah bagian atas (bubong) juga terdapat less plang yang berfungsi sebagai penahan atap dari terpaan angin kencang yang dinamakan peunimpi di daerah Aceh Besar.<br /> <br />Dari neuduek gaseue sampai ke puncak bubungan, yaitu di antara selang-selang kasau itu terbentang tali ijuk yang disebut taloe bawa. Tali ini terlipat dua dan kedua ujung sebelah bawah disatukan dan disimpul dengan sangat kuatnya, sehingga bentuknya persis seperti sebuah sanggul yang dinamakan bruek geutheun. Pada tali ijuk inilah diikat atap rumah tersebut, sehingga apabila terjadi bencana kebakaran, maka simpul ijuk yang berbentuk sanggul ini sajalah yang dipotong. Sebab dengan pemotongan sanggul ijuk itu atap akan turun dan jatuh ke bawah secara serentak.<br />Pada ujung timur dan barat sejajar dengan kuda-kuda terdapat sebuah penutup yang biasanya dilubangi yang dinamakan tulak angen (tolak angin). Tolak angin ini berfungsi untuk menetralisir hempasan angin kencang. Dari ujung bawah cucuran atap (neuduek gaseue) sampai ke bara dibuat bagasi yang berfungsi untuk menyimpan dan meletakkan barang-barang, seperti tikar dan bantal yang dinamakan sanding (Muhammad Z.Z. 1980 : 51).<br />Jendela rumoh Aceh umumnya dibuat dinding sebelah barat dan timur. Jendela ini merupakan jendela utama dari itu, artinya jendela ini berfungsi untuk menyambut udara bersih dan sinar matahari pagi ke dalam rumah. Sedangkan jendela yang dibuat pada dinding bagian utara dan selatan hanya berfungsi untuk menerangi bagian dalam keseluruhan rumah termasuk ruang tengah. Sedangkan pintu utama (pintu depan) pada setiap rumoh Aceh hanya terdapat pada dinding kedua dari rumah itu, yaitu pada dinding tengah yang dinamakan pinto Aceh (Muhammad Z.Z, 1980 :63).<br />Tangga rumah tradisional Aceh di sebelah atau barat ke arah timur menghadap ke selatan dan utara. Mengenai jumlah anak tangga ini telah diuraikan pada bagian terdahulu dari bab ini. Tangga ini letaknya terlindung dari sinar matahari dan hujan, karena kalau cucuran atap yang sejajar dengan tangga memanjang ke bawah, sehingga dapat melindungi tangga dari hujan dan sinar matahari yang dapat mengakibatkan lapuk dan rusak. Atap pelindung tangga ini ditopang dengan dua buah tiang berbentuk segi empat (Hadjad, 1984 : 93). Bangunan pelindung tangga ini disebut ladang reuyeuen.Agus Budi Whttp://www.blogger.com/profile/13161122292896882482noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6950921972703102550.post-66526418690893547142011-10-12T14:13:00.001+12:002011-10-12T14:15:22.170+12:00Bahan Membuat Rumoh Aceh dan Cara MengolahnyaOleh: Agus Budi Wibowo<br /><br />Bahan untuk membuat rumah tradisional Aceh (rumoh Aceh), terdiri dari berbagai jenis kayu pilihan yang berkwalitas dan keras. Kayu-kayu itu biasanya dipilih yang mempunyai serat halus dan telah cukup tua agar tidak mudah dimakan rayap, sehingga tahan sampai berpuluh bahkan beratur tahun. Kayu-kayu tersebut umumnya dipilih yang berukuran panjang, lurus dan besar, terutama untuk bahan pembuatan tiang, bara, dan dinding rumah (Muhammad Z.Z., 1980 : 47). <br /> Lantai rumah biasanya dibuat dari sejenis pohon pinang (pohon nibung) yang telah berumur cukup tua atau dari pohon bambu yang tua. Sedangkan atapnya terdiri dari daun rumbia atau daun kelapu yang dijahit tersusun pada sebilah bambu tipis sepanjang kira-kira dua meter.<br /> Pengolahan dan pembuatan tiang, dinding dan bara serta lantai rumoh Aceh biasanya dibuat dengan cara menarah dan menggergaji kayu-kayu bulat, di mana besar dan panjangnya sesuai dengan bentuk yang kita inginkan. Tiang dibuat dengan cara menarah kayu yang masih bulat penampangnya menjadi empat persegi atau delapan persegi, bahkan bulat (silinder). Panjangnya sesuai dengan tinggi rumah yang akan dibuat. Jadi untuk membuat tiang diambil persis di bagian tengah dari kayu yang masih utuh. Besar tiang rata-rata mencapai 35 cm lingkaran atau lebih. Jumlah tiang pada tiap-tiap rumoh Aceh bermacam-macam, ada yang 16, 20, 24, 28 dan seterusnya sesuai dengan banyaknya ruang, lebar dan panjangnya rumah tersebut.<br /> Sedangkan bara (alas kasau) dibuat dengan cara membelah kayu menjadi empat bagian, pembelahan ini dilakukan persis pada bagian garis tengah dari kayu itu. Setiap bagian ditarah hingga tebalnya tinggal lima sampai enam cm dan lebarnya antara 12 sampai 15 cm. Jadi bentuk bara persis menjadi empat persegi panjang seperti sekeping papan tebal.<br /> Lantai rumoh Aceh umumnya terbuat dari sejenis pohon pinang (nibung) atau sering juga dibuat dari bambu yang cukup tua. Pohon nibung atau pohon bambu itu dibelah kecil-kecil selebar dua anak jari (tiga cm). Selanjutnya direndam ke dalam air sampai dua atau tiga minggu, baru kemudian dijemur sampai kering betul. Proses perendaman ini bertujuan agar pohon pinang/nibung atau bambu tersebut menjadi kuat dan tahan sampai berpuluh bahkan beratus tahun serta tidak mudah dimakan rayap.<br /> Atap rumoh Aceh umumnya terbuat dari daun rumbia. Cara mengolahnya, mula-mula daun ini dipilih yang sudah tua dan lebar. Selanjutnya disusun pada sebilah bambu tipis yang telah disediakan sebelumnya dengan ukuran panjang bambu kira-kira 2,00 cm sampai 2,25 cm. Susunan daun rumbia dikerjakan dengan cara melipatkannya pada bambu itu persis berada di dalam lipatan setiap daun rumbia yang berfungsi sebagai tulang dari atap itu secara keseluruhan. Daun-daun itu disusun secara beraturan dengan bagian belakang daun harus selalu berada di luar. Tujuannya agar atap tidak bocor pada saat turun hujan. Susunan daun-daun rumbia itu dijahit (diikat) dengan rotan yang dibelah empat atau dibelah delapan, sehingga antara daun rumbia yang satu dengan yang lainnya saling menyatu dengan kuat pada bambu tersebut. Kadang-kadang daun rumbia dalam keadaan darurat diganti dengan daun kelapa atau alang-alang.<br /><br /> Untuk pembuatan papan dinding rumah sama dengan cara membuat bara. Hanya saja dalam pembuatan papan ini kayu dibelah agak tipis, setiap bagian ditarah setebal tiga cm s/d lima cm, lebarnya sebagamana kayu-kayu yang dibelah tadi. Akan tetapi ukuran standard lebar papan rumah tradisional Aceh biasanya rata-rata mencapai 22 cm atau lebih.Agus Budi Whttp://www.blogger.com/profile/13161122292896882482noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6950921972703102550.post-36029074363477365842011-10-12T14:04:00.001+12:002011-10-12T14:12:00.211+12:00Tata Letak Rumah AcehOleh: Agus Budi Wibowo<br /><br />Letak denah rumoh Aceh biasanya dibangun menghadap ke utara dan ke selatan sehingga letaknya tepat membujur dari arah timur ke barat. Hal ini dikarenakan angin di daerah Aceh umumnya bertiup dari arah timur ke barat atau sebaliknya. Bahkan angin yang paling kencang bertiup di daerah Aceh disebut angin Barat. Angin ini sering menghancurkan dan memporak-porandakan bukan hanya tanaman kecil seperti padi, tembakau dan sayur-sayuran. Akan tetapi lebih dari itu angin barat ini sering juga menumbangkan pohon-pohon besar, bahkan menghancurkan rumah-rumah penduduk. Karenanya dengan adanya konstruksi denah rumah yang memanjang dari Timur ke Barat seperti itu dapat membantu keutuhan serta daya tahan rumah dari hempasan angin kencang. Selain itu sirklus matahari yang terjadi juga dari arah timur ke barat juga memaksimalkan pemasukan cahaya alami ke dalam ruangan pada waktu siang hari sehingga tidak diperlukan penerangan buatan. Dengan orientasi demikian pula masalah hujan dan angin dapat diatasi. Bentuk atap pelana yang membujur dari arah Timur ke Barat dapat mengurangi tempiasan air hujan masuk ke dalam rumah dan mengatasi angin kencang yang sering terjadi di daerah Aceh.<br /><br />Angin yang kencang ini pernah dialami oleh pelaut asing yang akan memasuki Banda Aceh. Laksamana Perancis Beaulieu ketika hendak berlabuh di kota Banda Aceh memerlukan waktu delapan hari sebelum benar-benar berlabuh padahal untuk itu jaraknya hanya tinggal empat mil dari tempat kapalnya berhenti dan menjatuhkan jangkarnya untuk berapung. Ketika hendak masuk ke Banda Aceh melalui sungai, ia masih disambut oleh angin yang bertiup dari haluan sampai ia kehilangan jangkar. Pada bulan April 1637 Peter Mundy (Lombard, 1986: 55) juga dengan susah payah mencapai tempat berlabuh: “Wee gott into Achein, being hindred until now by currants and contrairy winds, getting little these 2 or 3 days”.<br /> Selain itu, penempatan posisi denah rumoh Aceh yang membujur dari timur ke barat ternyata juga dipengaruhi oleh sistem religi. Keberadaan agama Islam sejak awal perkembangannya di Aceh telah banyak mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat Aceh, baik dalam bidang fisik maupun psikologis (Karel dan A. Stenbrink, 1984 : 187). Karenanya wajar apabila letak denah rumoh Aceh sebagai bagian dari hasil budaya masyarakat Aceh juga dipengaruhi oleh unsur-unsur Islam. Dengan adanya penempatan letak denah rumoh yang membujur dari timur ke barat seperti itu dapat membantu untuk menentukan arah kiblat shalat yang tepat dalam rumah, baik untuk si pemilik rumah itu sendiri maupun bagi tamu yang datang dari luar Aceh, pun menghindari akibat angin barat yang ganas yang dapat merusak atap rumah.Agus Budi Whttp://www.blogger.com/profile/13161122292896882482noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6950921972703102550.post-2845437771918930982011-08-16T17:25:00.000+12:002011-08-16T17:27:13.758+12:00Keberadaaan Desa (Gampong) Pada Masyarakat AcehOleh: Agus Budi Wibowo
<br />
<br />Desa (bahasa Jawa) di Nanggroe Aceh Darussalam dikenal dengan nama Gampong, yang secara harfiah artinya kampung. Jumlah seluruhnya 5.463 buah Secara administratif desa atau gampong ini merupakan unit pemerintahan terkecil yang berada di bawah satuan pemerintahan lain yang lebih besar yang dalam istilah Aceh dinamakan mukim. Perkataan mukim berasal dari bahasa Arab “muqim” yang artinya tempat tinggal, jumlah di seluruh Kabupaten Pidie 126 buah, dan Nanggroe Aceh Darussalam 591 buah. Gampong dan mukim ini saling berhubungan satu dengan yang lain. Tidak ada mukim tanpa gampong dan demikian juga sebaliknya.
<br /> Landasan bagi kepala Daerah Tk. II untuk memilih, mengakui dan memberhentikan seorang kepala gampong di daerahnya mulai sejak akhir tahun 1953-1961 adalah ketetapan Gubernur Kepala Daerah Propinsi Sumatera Utara tanggal 31 November 1953. Karena pada waktu itu Daerah Istimewa Aceh berstatus Keresidenan merupakan bagian dari wilayah Sumatera Utara. Dalam ketetapan itu disebutkan tentang tata cara pemilihan kepala gampong (keuchik/geuchik). Setelah Daerah Istimewa Aceh menjadi Propinsi berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1956 yang realisasinya tanggal 27 januari 1957, maka dalam perkembangannya pada tahun 1961 hal mengenai peraturan tentang memilih, mengakui dan memberhentikan kepala gampong (keuchik/geuchik) di Daerah Istimewa Aceh ditetapkan suatu keputusan baru. yaitu berdasarkan Keputusan Gubernur KDH Istimewa Aceh (urusan pemerintahan umum dan pusat) No.32/GA/1961. Keputusan ini di antaranya mencabut semua peraturan tentang memilih, mengakui dan memberhentikan kepala-kepala gampong (keuchik/geuchik) yang bertentangan dengan peraturan Gubernur KDH Sumatera Utara No.30/U.U/1953 tanggal 30 Mei tentang memilih, mengakui dan memberhentikan kepala-kepala gampong (keuchik/geuchik) di dalam Daerah Propinsi Sumatera Utara yang dianggap tidak sesuai lagi. Dalam keputusan itu juga ditetapkan mengenai peraturan tentang memilih, mengakui, dan memberhentikan kepala-kepala gampong (keuchik/geuchik) di Daerah Istimewa Aceh saat itu (sekarang Nanggroe Aceh Darussalam). Dengan demikian segala hal yang menyangkut tentang pemilihan, memberhentikan dan mengakui seorang kepala gampong didasarkan atas keputusan No.32/GA/1961
<br /> Namun dalam pelaksanaannya baik peraturan Gubernur KDH Sumatera Utara No.30/U.U/1953 tanggal 30 Mei 1953 maupun keputusan Gubernur KDH Istimewa Aceh No.32/GA/1961 tidak selalu sesuai. Hal ini banyak tergantung faktor situasi dan kondisi yang ada pada suatu gampong (kampung) yang bersangkutan. Dengan demikian, pengakuan dan memberhentikan kepala gampong (keuchik/geuchik) tidak selalu ditempuh dengan cara yang telah ditetapkan sebagaimana tersebut di atas.
<br /> Banyak kepala gampong tidak dipilih menurut ketentuan itu, tetapi karena warisan dari orang tuanya secara turun menurun, disebabkan karena si orang tua ini sudah sangat tua. Dan banyak juga kepala gampong (keuchik/geuchik) yang ditetapkan/dipilih berdasarkan hasil musyawarah penduduk gampong yang bersangkutan. Orang yang dipilih itu biasanya dilihat bagaimana pengalamannya, tingkah laku akhlaknya dan dianggap sebagai orang yang banyak mengetahui tentang seluk beluk kampung itu.
<br /> Aparat-aparat atau unsur-unsur pemerintahan gampong lainnya seperti Teungku Meunasah (Teungku Imeum), Tuha Peut, Waki Keuchik/geuchik, pemilihannya juga dilakukan secara musyawarah. Tentang jabatan Waki Keuchik/geuchik (wakil kepala kampung) meskipun baik dalam peraturan Gubernur Kepala Daerah Sumatera Utara No.30/U.U/1953 maupun keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh Nomor 32/GA/1967, menyebutkan bahwa wakil kepala kampung adalah orang yang ditunjuk oleh kepala kampung bersangkutan untuk mewakili dirinya dalam hubungan dengan masyarakat di kampung itu atas jaminan dan tanggung jawab dari kepala kampung itu sendiri, tetapi dalam prakteknya hal ini juga jarang terjadi.
<br /> Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa sebelum keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa yang menjadi landasan bagi seorang Bupati Kepala Daerah Tingkat II atau seorang Camat, untuk memilih, mengakui dan memberhentikan kepala-kepala desa dalam wilayah Daerah Istimewa Aceh ialah surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh (urusan pemerintahan umum pusat) No. 32/GA/1961, dan surat kawat Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh No. 16353/18a tanggal 2 Nopember 1971 yang ditujukan kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II dalam wilayah Daerah Istimewa Aceh, yang intinya mengenai masa jabatan keuhik-keuchik/geuchik (kepala-kepala kampung).
<br /> Dengan keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1979, yang mengatur tentang pemerintahan desa (pasal 3) termasuk cara pemilihan pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah (pasal 4, 5 dan pasal 9), maka semua keputusan dan instruksi-instruksi yang pernah dikeluarkan sebelumnya oleh pemerintah Daerah tentang hal itu, dengan sendirinya harus disesuaikan atau bahkan tidak berlaku lagi. Dan hal yang berhubungan dengan pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian kepala-kepala kampung/desa untuk seluruh daerah di Indonesia termasuk dalam wilayah Aceh seharusnya didasarkan atas Undang-Undang nomor 5 Tahun 1979 itu. Namun seperti halnya surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh No. 32/GA/1961, serta surat-surat instruksi yang berkaitan dengan pemerintahan desa, Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 itu juga dalam pelaksanaannya belum pada semua kampung/desa di Daerah Istimewa Aceh, berjalan secara lancar. Faktor tradisi, situasi dan kondisi serta faktor sosial politik yang ada di kampung-kampung masih memegang peranan atau masih dijadikan unsur pertimbangan bagi seorang bupati ataupun bagi seorang camat, dalam memilih, mengangkat dan memberhentikan seorang kepala kampung/desa. Selain juga karena Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 itu sendiri belum diketahui secara luas dan belum sepenuhnya dimengerti oleh kepala-kepala kampung/desa dalam wilayah Daerah Istimewa Aceh.
<br /> Dapat ditambahkan bahwa dalam hubungan dengan pengaturan pemerintahan desa di Daerah Istimewa Aceh, hingga tahun 80-an, belum ada suatu peraturan baik yang dikeluarkan oleh pemerintah Daerah Tingkat II maupun oleh Pemerintah Daerah Tingkat I. Namun dalam hubungan dengan usaha peningkatan penyelenggaraan Pemerintahan Kampung / desa Pemerintah Daerah Tingkat I Daerah Istimewa Aceh telah mengusahakan sistem pemerintahan kampung/desa. Untuk ini misalnya pada tahap pertama Pelita I Tahun 1969/1970 pemerintah telah menetapkan gampong (kampung) di Daerah Istimewa Aceh sebagai unit pemerintahan desa. Penetapan ini sesuai dengan surat Menteri Dalam Negeri Nomor Desa 5/1/29 tanggal 29 April 1969. Dan sesuai dengan surat instruksi Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh tanggal 11 Oktober 1971 Nomor 6018, maka pada setiap desa dalam wilayah Daerah Istimewa Aceh, mulai diadakan Sekretaris Kampung. Selain itu untuk meningkatkan administrasi desa, Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh, pada tanggal 8 Juni 1976 mengeluarkan suatu Surat Keputusan Nomor 263/1976, yaitu tentang penyeragaman stempel kepala kampung yang digunakan oleh kepala-kepala kampung dalam wilayah Daerah Istimewa Aceh.
<br /> Usaha untuk peningkatan bidang Pemerintahan Kampung, sesungguhnya terus dipaksakan untuk dilaksanakan oleh pemerintah, sudah semenjak Pelita I dikumandangkan misalnya dengan mendirikan kantor-kantor desa sebagai tempat pelaksanaan administrasi desa pada setiap gampong dalam wilayah Daerah Istimewa Aceh (berdasarkan surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 36/2/37 tanggal 21 April 1975 dan surat Pemerintah Nomor 36/2/28, tanggal 21 Juni 1976.
<br /> Selain pengadaan kantor-kantor desa, pemerintah juga mengusahakan penyediaan rupa-rupa alat kelengkapan administrasi seperti mesin ketik, buku register desa dan alat-alat tulis menulis. Untuk desa-desa di Daerah Istimewa Aceh, selama Pelita I hingga Pelita IV pemerintah juga telah memberikan subsidi desa yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dan sesuai dengan Daftar Isian Proyek dan Daftar Usulan Proyek uang bantuan desa tersebut dimanfaatkan oleh kepala-kepala kampung untuk perbaikan/ pembangunan kampungnya masing-masing.
<br /> Pada setiap desa, mulai tahun 1969 dan tahun 1970 telah dibentuk suatu lembaga yang disebut LSD (Lembaga Sosial Desa) dengan tujuan untuk menghidupkan kembali unsur gotong royong melalui organisasi formal. Dalam perkembangannya sejak tahun 1971 lembaga ini mendapat landasan hukum, yaitu keputusan presiden No. 81 Tahun 1981, tahun 1971 berada di bawah Departemen Dalam Negeri. Selanjutnya menurut Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1980 lembaga ini dirubah menjadi LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa). Tugas dan fungsinya adalah membantu pemerintahan, meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat.
<br /> Adanya berbagai usaha dari pemerintah sehubungan dengan pelaksanaan Pelita dalam rangka untuk menyempurnaan lembaga pemerintahan kampung telah menempatkan kepala kampung dalam posisi yang penting dan luas. Penting, karena ikut menentukan maju mundurnya masyarakat di kampungnya, dan luas, karena menangani hampir semua segi kehidupan masyarakat kampung. Kedudukannya adalah sebagai “wakil pemerintah”, sebagai pemimpin yang paling bawah yang melaksanakan tugas-tugas untuk kepentingan negara.
<br /> Tugas untuk menjalankan administrasi pemerintahan dan pembangunan kelihatannya merupakan tugas baru bagi kepala kampung. Oleh karena itu jelas beberapa kepala kampung, “belum siap” menerima tugas semacam itu. Mereka belum terbiasa dengan pekerjaan administrasi, berkantor, membuat program kampung dan sebagainya. Banyak kepala desa masih “kaku” dalam melaksanakan tugas-tugas mereka yang berhubungan dengan hal-hal tersebut di atas meskipun kepala-kepala desa telah memperoleh bantuan dari pemerintah berupa alat-alat penunjang administrasi, namun ada yang belum pernah menggunakannya; lebih-lebih di antara mereka ada yang masih buta aksara latin.
<br /> Akibatnya sesuai dengan situasi zaman, lembaga pemerintahan gampong telah mengalami perubahan-perubahan dan penyempurnaannya meskipun di sana-sini masih menunjukkan adanya kekurangan-kekurangan. Misalnya LKMD belum seluruhnya menunjukkan keaktifannya, masih ada yang merupakan sekedar nama saja. Demikian juga halnya dengan kantor-kantor desa, ada yang tidak/belum berfungsi sebagai mana mestinya. Keuchik/geuchik-keuchik/geuchik masih banyak yang menggunakan tempat kediaman mereka atau meunasah sebagai tempat kegiataan dalam urusan kampung. Demikian juga masih banyak penduduk jika berurusan dengan kepala kampung dilaksanakan pada sore atau malam hari, dikediaman kepala desa atau di meunasah-meunasah, karena pada siang harinya mereka harus ke sawah atau ke ladang. Oleh karenanya sulit bagi mereka jika disuruh berdiam di kantor desa pada siang hari, kecuali bagi beberapa rekan mereka yang sudah berstatus “lurah”.
<br /> Sebagaimana telah disinggung pada bagian awal tulisan ini, bahwa gampong-gampong di Aceh/Pidie terkoordinir di dalam suatu wilayah yang disebut mukim (kemukiman), yang dikepalai oleh seorang kepala mukim. Pada masa sekarang lembaga ini masih ada, tetapi hak dan kewajibannya tidak jelas, karena tidak ada suatu ketentuan atau pedoman tertulis yang mengatur tentang lembaga ini (lebih-lebih bila dikaitkan dengan U.U No. 5 tahun 1979), sehingga seberapa jauh wewenang kepala mukim selaku koordinator kampung dan sebagai pembantu camat juga tidak jelas. Dalam menjalankan tugasnya kepala mukim bekerja tanpa pembantu, namun untuk ini ia menerima upah jerih payah menurut ketentuan yang ditetapkan (ketentuan ini termuat dalam daftar jerih payah para pamong Desa. Kepala mukim/keuchik/geuchik dalam Propinsi Daerah Istimewa Aceh 8 April 1968).
<br /> Hingga kini, desa-desa di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (sejak 2001) masih berada di bawah koordinasi kemukiman. Namun peranan kepala mukim sebagai pembantu camat sudah sangat berkurang. Para Keuchik/geuchik bila berurusan dengan camat tidak lagi melalui perantaraan kepala mukim tetapi langsung dengan Camat sebagai kepala kecamatan di wilayahnya. Hal ini sesuai dengan pasal 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1979, yaitu yang mengatur tentang hak, wewenang, kewajiban, kepala desa. Dengan melihat ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1979, maka dapat dikatakan bahwa jabatan sekretaris kampung adalah sebagai pembantu-pembantu keuchik/geuchik dalam melaksanakan tugas-tugas yang berhubungan dengan administrasi di desa-desa itu. Adanya jabatan Sekretaris Desa ini telah membawa pengaruh pula terhadap sistem pemerintahan gampong, terutama dalam cara pengaturan administrasinya dan telah membawa pengaruh pula terhadap jabatan Waki Keuchik/geuchik yang ada, yang sebelumnya berfungsi sebagai pembantu keuchik/geuchik dalam menjalankan tugas-tugas kampung. Adanya jabatan sekretaris kampung telah mengaburkan kedudukan Waki Keuchik/geuchik. Namun hingga kini jabatan untuk itu pada beberapa gampong masih tetap ada. Demikian pula dengan fungsi Tuha Peut pada sejumlah gampong menjadi “kabur”.
<br /> Dari apa yang telah dikemukakan di atas, jelas bahwa usaha pemerintah Republik Indonesia untuk menyeragamkan desa di seluruh Indonesia seperti terkandung dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, mengakibatkan runyamnya struktur masyarakat gampong di Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Rusdi Sufi, 2000).
<br /> Oleh karenanya, dengan diberlakukan Undang-Undang No.44 Tahun 1999 tentang keistimewaan Aceh dan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan desa masalah struktur masyarakat gampong perlu difungsikan kembali seperti sebelum adanya Undang-Undang No.5 Tahun 1979. Pelaksanaan Undang-Undang baru harus diterapkan sesuai dengan situasi masyarakat Aceh yang memiliki keunikan-keunikan tersendiri. Dengan demikian, harapan untuk memperbaiki kembali struktur masyarakat gampong di Aceh dapat tercapai.
<br />
<br />B. Struktur Kelembagaan di dalam Gampong/Desa
<br />
<br />Menurut Kuahaty (1983: 14), susunan organisasi pemerintahan desa di Aceh terdiri dari keuchik/geuchik, peutua meunasah, dan tuha peuet, dengan pusat kegiatan pemerintahannya berada di meunasah Susunan organisasi pemerintahan desa seperti ini didasarkan pada kerja sama, pembagian kerja, dan hubungan kerja yang jelas, khususnya menyangkut dengan kegiatan-kegiatan keagamaan, adat istiadat, hukum, administrasi, sosial budaya, dan ekonomi. Dalam hal ini, keuchik/geuchik menjalankan urusan adat istiadat dan pemerintahan, peutua meunasah melaksanakan urusan keagamaan, dan tuha peuet bertugas menuntun perkara, menimbang keadilan, serta memberikan saran-saran kepada keuchik/geuchik, diminta maupun tidak diminta. Namun demikian menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1979 struktur pemerintahan desa terdiri dari lembaga-lembaga seperti keuchik/geuchik/kepala desa, LMD, Sekretaris desa, Kepala urusan, kepala dusun dan LKMD.
<br />Untuk lebih jelasnya pada bagian di bawah ini diuraikan lembaga-lembaga yang ada di desa, baik formal maupun nonformal.
<br />1. Lembaga Formal Desa
<br /> a. Keuchik/geuchik/kepala desa
<br />Dalam pasal 10 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, ditetapkan bahwa Kepala Desa dalam menjalankan hak, wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintah desa yaitu menyelenggarakan kewajiban pimpinan pemerintahan desa yaitu menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dan merupakan penyelenggara dan penanggungjawab utama di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dalam rangka menyelenggarakan urusan pemerintahan desa, urusan pemerintah umum termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menumbuhkan serta mengembangkan jiwa gotong royong masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan pemerintahan desa.
<br /> Selanjutnya juga dijelaskan bahwa dalam rangka menumbuhkan dan mengembangkan jiwa gotong royong masyarakat desa, Kepala Desa antara lain melakukan usaha pemnatapan koordinasi melalui Lembaga Sosial Desa, Rukun Tetangga , Rukun Warga dan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya yang ada di desa.
<br /> Dalam rangka pelaksanaan tugas di bidang ketentraman dan ketertiban, ia dapat menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang terjadi di desa. Dengan melihat uraian di atas dapat dikemukan bahwa :
<br />1. Kepala Desa mempunyai tugas :
<br />a. Menjalankan urusan rumah tangganya sendiri;
<br />b. Menjalankan urursan pemerintah, dan pembangunan baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, serta urusan kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan Pemerintah Desa termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban di wilayah desanya.
<br />c. Menumbuhkan serta mengembangkan semangat gotong royong masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan pemerintah dan pembangunan desa.
<br />2. Kepala Desa mempunyai fungsi :
<br />a. Melaksanakan kegiatan dalam rangka penyelenggaraan urusan rumah tangganya desanya sendiri.
<br />b. Menggerakan partisipasi masyarakat dalam wilayah desanya.
<br />c. Melaksanakan tugas dari pemerintah Pusat dan dari pemerintah Daerah.
<br />d. Melaksanakan tugas dalam rangka pembinaan ketentraman dan ketertiban masyarakat desa.
<br />e. Melaksanakan koordinasi jalannya pemerintahan , pembangunan dan pembinaan kehidupan masyarakat di desanya.
<br /> Kepala Desa juga mempunyai hak, wewenang dan kewajiban seperti yang tercantum dalam Pasal 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1984 yaitu :
<br />1. Hak Kepala Desa :
<br />a. Melaksanakan peraturan perundang-undangan dari pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
<br />b. Menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang dibebankan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
<br />c. Mendapatkan bimbingan dan pembinaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
<br />
<br />2. Wewenang Kepala Desa :
<br />a. Pembinaan ketentraman dan ketertiban di wilayah desanya.
<br />b. Pembinaan ideologi negara, politik dalam negeri dan kesatuan bangsa di wilayah desanya.
<br />c. Pembinaan tertib pemerintahan di wilayah desanya.
<br />d. Pembinaan tugas-tugas pemerintahan lainnya yang ditugaskan oleh pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
<br />e. Menyelenggarakan koordinasi fungsional di desa.
<br />3. Kewajiban Kepala Desa :
<br />a. Memelihara dan meningkatkan ketentraman dan ketertiban di wilayah desanya.
<br />b. Memelihara dan meningkatkan hasil-hasil pembangunan yang ada di wilayah desanya.
<br />c. Melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang ditugaskan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
<br /> Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 bahwa Kepala Desa dipilih secara langsung, umum dan rahasia oleh penduduk yang telah berusia 17 tahun. Selanjutnya sesuai dengan pasal 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, Kepala Desa diangkat oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II atas nama Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dari calon yang terpilih, dan syarat-syarat untuk dapat dipilih menjadi Kepala Desa antara lain sekurang-kurangnya berijazah Sekolah Lanjutan Pertama atau yang berpengetahuan yang setingkat dengan itu.
<br /> b. Sekretaris Desa
<br />Berdasarkan pasal 14 Undang-Undang No. 5 tahun 1979 bahwa sekretaris desa adalah unsur staf yang membantu kepala desa dalam menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa dan bertugas
<br />1. Melaksanakan urusan surat menyurat, kearsipan dan laporan, serta menyampaikan kepada yang bersangkutan.
<br />2. Melaksanakan urusan keuangan.
<br />3. Melaksanakan administrasi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
<br />4. Tuigas yang paling penting adalah melaksanakan tugas dan fungsi kepala desa apabila kepala desa berhalangan melaksanakan tugasnya.
<br /> Sekretaris desa diangkat dan diberhentikan oleh Bupati kepala daerah tingkat II setelah mendengar pertimbangan camat atas usul kepala desa sesudah mendengar pertimbangan LMD (pasal 15 ayat 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1979). Sekretaris desa karena jabatanya menjadi sekretaris Lembaga Musyawarah Desa dan sekretaris Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa.
<br /> c. Kepala Dusun
<br />Kepala dusun/kepala lorong berkedudukan sebagai unsur pelaksana tugas kepala desa dalam wilayah kerjanya. Adapun tugas dan wewenang kepala dusun adalah menjalankan kegiatan kepala desa yaitu menyangkut dengan kegiatan di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta ketentraman dan ketertiban di wilayah kerjanya masing-masing. Di samping itu juga pelaksana dari keputusan kepala desa.
<br />Kepala dusun diangkat dan diberhentikan oleh camat atas nama bupati/walikota kepada daerah tingkat II atas usul kepala desa (pasal 9 ayat 3 Undang-Undang No. 5 tahun 1979).
<br /> d. Kepala Urusan
<br />Kepala urusan berkedudukan sebagai unsur pembantu sekretaris desa. Tugas dan urusan meliputi kegiatan-kegiatan melaksanakan urusan pemerintahan, pembangunan, kesejahteraan rakyat, keuangan dan urusan umum sesuai dengan bidang masing-masing. Jumlah kepala urusan tiap-tiap desa adalah sekurang-kurangnya 3 yaitu kepala urusan pemerintahan, kepala urusan pembangunan, kepala urusan umum. Apabila perlu, dapat ditambah sehingga sebanyak-banyak 5 kepala urusan yaitu selain yang diatas ditambah lagi 2 yaitu kepala urusan kesejahteraan rakyat dan kepala urusan keuangan.
<br />Kepala urusan diangkat dan diberhentikan oleh camat atas nama Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingakt II atas usul kepala desa.
<br /> e. Lembaga Musyawarah Desa
<br />Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dibentuk berdasarkan pasal 17 Undang-Undang No. 5 tahun 1979. Dalam ayat 4 pasal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan mengenai LMD akan ditetapkan dengan peraturan daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Sebagai realisasi dari ketentuan pasal 17 Undang-Undang No. 5 tahun 1979 telah ditetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1981 dan selanjutnya untuk Daerah Istimewa Aceh (saat ini Nanggroe Aceh Darussalam) telah dikeluarkan Peraturan Daerah No. 7 tahun 1982.
<br /> Dari berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa lembaga Musyawarah Desa adalah lembaga permusyawaratan/pemufakatan dari pemuka-pemuka masyarakat yang ada di desa. Keputusan ini ditetapkan berdasarkan musyawarah dan mufakat dengan memperhatikan sungguh-sungguh kenyataan hidup dan berkembang dalam masyarakat desa bersangkutan. Hasil musyawarah kemudian ditetapkan dalam keputusan desa dan disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui camat untuk mendapatkan pengesahannya. Kepala desa karena jabatannya menjadi ketua LMD dan sekretaris desa menjadi sekretaris LMD.
<br /> Keanggotaan LMD disusun berdasarkan hasil pemufakatan yang dilakukan oleh kepala desa dengan pemuka-pemuka masyarakat di desa yang bersangkutan dengan jumlah sekurang-kurangnya 9 orang dan sebanyak-banyaknya 15 orang tidak termasuk ketua dan sekretaris
<br /> f. Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa
<br />Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) adalah suatu lembaga masyarakat yang merupakan wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 28 tahun 1980 tentang Penyempurnaan dan Peningkatan Fungsi Lembaga Sosial Desa menjadi Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa. Tugas pokok dari LKMD adalah membantu pemerintah desa/kelurahan dalam
<br />1. Merencanakan pembangunan yang didasarkan atas asas musyawarah.
<br />2. Menggerakkan dan meningkatkan prakarsa dan partisipasi masyarakat untuk melaksanakan pembangunan secara terpadu, baik yang berasal dari berbagai kegiatan pemerintah maupun swadaya gotong royong masyarakat.
<br />3. Menumbuhkan kondisi dinamis di desa atau kelurahan.
<br />Lembaga ini adalah pembantu pemerintah desa/kelurahan dalam menumbuhkan prakarsa dan menggerakkan swadaya dan gotong royong masyarakat, sehingga masyarakat memiliki kemampuan dan ketangguhan dalam menghadapi dan mengatasi segala hambatan dan tantangan dalam rangka pembinaan/pengembangan desa, juga diharapkan dapat memberikan motivasi bagi membangkitnya potensi masyarakat desa untuk kepentingan pembangunan.
<br />Adapun disamping mempunyai tugas pokok sebagaimana yang telah disebutkan di atas, LKMD mempunyai fungsi sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 28 tahun 1980 adalah
<br />1. Sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam penghayatan dan pengamalan Pancasila.
<br />2. Menanamkan pengertian dan kesadaran penghayatan dan pengamalan Pancasila.
<br />3. Menggali, memanfaatkan potensi dan menggerakkan swadaya gotong royong masyarakat untuk pembangunan.
<br />4. Sebagai sarana komunikasi antara pemerintah dan masyarakat serta antarmasyarakat untuk pembangunan.
<br />5. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat.
<br />6. Membina dan menggerakkan potensi pemuda untuk pembangunan.
<br />7. Meningkatkan peran wanita dalam mewujudkan keluarga sejahtera.
<br />8. Membina kerja sama antarlembaga yang ada dalam masyarakat.
<br />9. Melaksanakan tugas-tugas lain dalam rangka membantu pemerintah desa atau pemerintah kelurahan untuk menciptakan ketahanan yang mantap.
<br /> Dilihat dari segi operasional pemerintah desa merupakan suatu proses kerjasama yang dari lembaga-lembaga formal yang ada seperti disebutkan di atas.
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />2. Lembaga Nonformal
<br /> Selain lembaga-lembaga formal seperti yang disebutkan di atas, di desa/gampong masih terdapat lembaga nonformal (yang sebelumnya merupakan lembaga formal) yang kadang-kadang masih diakui keberadaannya oleh masyarakat, walaupun menurut undang-undang tidak disebutkan.
<br /> a. Imeum Meunasah
<br />Kedudukan imeum meunasah dalam sistem pemerintahan desa baik di Aceh maupun di Pidie sangat dominan. Setiap desa di Pidie mempunyai imeum meunasah masing-masing. Antara imeum meunasah dengan keuchik/geuchik/kepala desa terjalin hubungan yang dwitunggal, yang saling membutuhkan satu sama lain. Kepala desa/keuchik/geuchik mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hubungan kemasyarakatan, sedangkan imeum meunasah lebih banyak memfokuskan tugasnya di bidang keagamaan, pelaksanaan ibadah, peringatan hari-hari besar Islam, dan sebagainya.
<br /> Dalam masyarakat keberadaan imeum meunasah ini sangat dihormati. Hal ini merupakan suatu hal yang wajar karena kehidupan masyarakat Pidie yang sangat Islami. Keputusan-keputusan atau nasihat imeum meunasah lebih dipatuhi oleh masyarakat tanpa paksaan. Keputusan yang tumbuh dari hati masyarakat itu sendiri.
<br /> Imeum meunasah diangkat melalui musyawarah desa. Namun demikian, orang yang menjadi imeum meunasah haruslah orang yang benar-benar menguasai ajaran-ajaran agama Islam, di samping itu ia harus pula memiliki akhlak yang mulia sebagai panutan setiap warga desa.
<br /> Peranan imeum meunasah sangat besar pengaruhnya terhadap ketentraman masyarakat. Imeum meunasah bersikap netral yang tidak memihak salah satu golongan. Saat ini keberadaan imeum meunasah dalam struktur organisasi pemerintah desa ada yang melebur menjadi anggota LMD dan ada pula pada bidang tugas lainnya.
<br /> b. Keujruen Blang
<br /> Keujruen Blang sangat besar peranannya dalam bidang pertanian. Keujruen Blang menjalankan fungsi mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan jadwal turun ke sawah, mengatur pengadaan air irigasi dan tugas-tugas pertanian lainnya. Oleh karena itu, untuk memangku jabatan keujruen blang haruslah orang-orang yang mempunyai pengalam dalam bidang pertanian. Oleh karena itu, berhasil atau tidaknya produksi pangan juga sangat ditentukan oleh keberadaan keujruen blang. Perhitungan kapan mulai turun ke sawah, membersihkan tali air dan peraturan-peraturan lainnya ditentukan oleh keujruen blang.
<br />
<br /> c. Panglima Laot
<br /> Lembaga panglima laot merupakan sebuah organisasi dalam bentuk persekutuan hukum adat laot. Persekutuan hukum tersebut dalam menjalankan tugas di bidang kelautan didukung oleh Panglima Laot, Pawang, Aneuk Pukat, dan Muge (Sulaiman Lubis, 1978: 16). Lembaga ini biasanya terdapat pada desa/gampong yang berada di daerah pantai.
<br />Penunjukan panglima laot dilakukan atas dasar pemilihan oleh dan dari pawang, pukat, perkumpulan yang bersangkutan serta ada persetujuan dari uleebalang. Menurut ketentuan pasal 5 Perda No. 2 tahun 1990 bahwa lembaga panglima laot berfungsi membantu kepala desa/keuchik/geuchik dalam pembangunan kemasyarakatan dan adat istiadat, terutama yang menyangkut masalah kelautan.
<br />Adapun yang merupakan tugas dari panglima laot adalah sebagai berikut.
<br />1. Mengatur segala kegiatan para nelayan yang melakukan penangkapan ikan dan hasil laut lainnya.
<br />2. Mengatur waktu turun ke laut.
<br />3. Mendamaikan perselisihan yang terjadi antara para nelayan dalam lingkungan wilayahnya.
<br />4. Menjaga dan mengawasi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan penangkapan ikan di laut.
<br />5. Membantu imeum mukim dalam menjaga keamanan dan ketertiban daerah pantai dan laut.
<br />6. Membantu imeum mukim dalam mengusahakan perbaikan kehidupan nelayan.
<br />7. Dengan demikian, panglima laot mempunyai kedudukan dan peran penting di dalam masyarakat, khususnya masyarakat nelayan yang hidup di pantai.
<br /> d. Seunebok Baro
<br />Seunobok merupakan suatu organisasi persekutuan adat pada masyarakat yang berada di wilayah pertanian. Seunebok dipimpin oleh seorang ketua, yang dalam konsep hukum adat Aceh disebut dengan peutua seunebok. Peutua seunebok berperan dalam usaha perambahan hutan untuk pembukaan lahan pertanian baru. Pada umumnya pembukaan lahan pertanian baru dilakukan setelah dimusyawarahkan lebih dahulu dengan peutua seunebok setempat.
<br />Peutua seunobok membantu tugas-tugas kepala desa/keuchik/geuchik khususnya yang berkaitan dengan pembukaan lahan pertanian. Dalam menjalankan tugasnya peutua seunebok bertanggung jawab kepada kepala desa/keuchik/geuchik. Tidak semua desa di Pidie terdapat peutua seunebok. Desa-desa yang mempunyai peutua seunebok adalah desa-desa yang berada di daerah dataran tinggi (pegunungan) atau daerah yang masih belantara.
<br />Peutua seunobok umumnya diangkat oleh masyarakat adat di wilayah pembukaan lahan pertanian tersebut. Peranan peutua seunebok tidak begitu tampak dalam masyarakat adat karena organisasi ini tidak menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Peutua seunebok hanya berperan pada saat perambahan hutan untuk membuka lahan pertanian baru, setelah itu peutua seunebok tidak berperan lagi.
<br /> e. Tuha Peut
<br /> Tuha peut merupakan lembaga adat yang masih besar pengaruhnya dalam sistem pemerintahan desa di Pidie. Keberadaan tuha peut terutama membantu kepala desa dalam menjalankan tugasnya di bidang kemasyarakatan. Lembaga tuha peut berfungsi secara optimal dalm struktur pemerintahan desa/gampong sebagai lembaga pengontrol (legislatif), hukum adat, dan peradilan (yudikatif) bagi setiap lapisan masyarakat (Muhammad Gade, 1992: 18). Tuha peut secara sederhana dapat kita sebutkan bahwa tugas mereka meliputi bidang agama, adat, pertanian dam cendikiawan.
<br /> Tuha peut terdiri dari tokoh-tokoh kharismatik yang dipilih masyarakat desa dalam suatu musyawarah dan diangkat oleh kepala desa. Tuha peut lebih banyak berperan memberikan pertimbangan-pertimbangan dan nasihat-nasihat kepada kepala desa. Demikian juga masyarakat sering meminta nasihat tuha peut dalam berbagai masalah kemasyarakatan.
<br /> Pembentukan lembaga tuha peut di Kabupaten Pidie adalah sah dan telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pidie No. 6 tahun 1966 (Abdul Kadir, 1988: 214). Wakil rakyat yang duduk dalam lembaga ini dianggap mampu, cukup berpengalaman, dan memiliki pengetahuan yang cukup mendalam tentang adat-istiadat gampong. Snouck Hurgronje (1906: 75) menyebutkan dengan men of experience, woldly wisdom, good mannerand knowledge of the adat the gampong. Lembaga tuha peut diketuai oleh keuchik/geuchik karena jabatannya.
<br /> Setelah diberlakukannya Undang-Undang No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa, pembinaan terhadap kedudukan tuha peut dalam sistem pemerintahan desa telah kurang mendapat perhatian dan kurang difungsikan, jika dibandingkan dengan masa-masa sebelum lahirnya undang-undang tersebut. Namun demikian ada kesan dari penelitian ini sebagian masyarakat desa masih mendambakan agar fungsi tuha peut berlaku seperti sedia kala.
<br />Daftar Pustaka
<br />Syamsul Bahri dan Agus Budi Wibowo. 2002. Strategi Pendayagunaan Lembaga-lembaga Desa dalam Pembangunan Desa di Kabupaten Pidie. Banda Aceh: Bappeda Propinsi D.I. Aceh.
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />Agus Budi Whttp://www.blogger.com/profile/13161122292896882482noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6950921972703102550.post-81275154444045260632011-08-11T16:18:00.002+12:002011-08-11T16:54:32.462+12:00Budaya Malu dalam Rangka Pembentukan Budi Pekerti di Kalangan RemajaOleh: Agus Budi Wibowo
<br />
<br />
<br />A. Pendahuluan
<br />
<br />Pada akhir-akhir ini sering kita sering melihat dan alami peristiwa kenakalan remaja dengan berbagai dimensi di Indonesia, seperti tawuran antarsekolah yang mengakibatkan perkelahian dan pembunuhan, kenakalan remaja yang berlebihan, siswa-siswi melakukan perbuatan yang dianggaap tidak sopan dan menyebarkannya melalui media internet/handphone, dan juga banyak siswa sekolah yang menjadi korban narkoba. Pada bagian lain, ada pula siswa-siswi sekolah yang ikut mengacau dan melanggar aturan lalu lintas.1 Siswa ikut terlibat dengan konflik masyarakat, saling membenci kelompok lain, juga cukup banyak.
<br />Pada konteks keacehan, dengan berlakunya syariat Islam, banyak remaja yang pada jam-jam tertentu masih duduk nongkrong di warung/cafe pada hal waktu shalat sudah tiba, berpakaian yang tidak muslimah, bergaul ala budaya barat, dan sebagainya. Tentunya, banyak faktor yang menyebabkan hal itu semua terjadi. Salah satunya, menurut hemat penulis, adalah makin berkurangnya rasa nilai budaya “malu” yang dimiliki oleh para siswa/remaja saat ini.
<br />Dalam tulisan ini penulis akan membahas nilai budaya malu dalam pembentukan budi pekerti. Diasumsikan bahwa nilai budaya malu ini dapat mereduksi kenakalan di kalangan remaja melalui pembentukan budi pekerti karena di dalam nilai budaya malu terdapat nilai-nilai pendidikan, control sosial, dan sebagainya. Pembahasan akan difokuskan kepada keberadaan nilai budaya malu dalam masyarakat Aceh, nilai budaya malu sebagai alat pengendalian sosial, dan nilai budaya malu dalam pembentukan budi pekerti.
<br />
<br />B. Pembahasan
<br />
<br /> 1. Nilai Budaya “Malu” bernuasa Keacehan
<br />Nilai budaya adalah satu bagian dari kebudayaan komunitas tertentu yang merupakan suatu konsepsi abstrak yang dianggap baik dan amat bernilai tinggi dalam hidup, yang menjadi pedoman tertinggi kelakuan dalam kehidupan satu masyarakat. 2 Sebagai sebuah etnisitas budaya, masyarakat Aceh juga memiliki nilai budaya, yang salah satunya adalah nilai budaya malu.
<br />Dalam sistem budayanya, masyarakat Aceh sangat menjaga perasaan “rasa malu”. 3 Malu yang menimpa seorang individu berarti malu keluarga. Ukuran malu setingkat “rasa iman” karena rasa malu bersumber dari nilai-nilai Islami, sesuai dengan pesan Rasulullah SAW, malu dan iman adalah satu kesatuan, hilang salah satu (Iman), hilang yang lain (malu) dan sebaliknya Karena itu orang tua terdahulu, sangat menjaga untuk tidak berbuat yang memalukan diri dan keluarganya, termasuk menjaga turunan anak cucunya. 4
<br />Salah satu cara untuk memahami segala sesuatu tentang nilai budaya suatu bangsa adalah dengan menelaah dan mendalami peribahasanya. 5 Kebenaran pendapat ini bertumpu pada kenyataan bahwa arti luas peribahasa merupakan kata, frase, klausa, atau kalimat ringkas yang baku dan tetap susunan serta pemakaiannya, yang (pernah) hidup dalam tradisi lisan sesuatu bahasa, dengan isi yang selalu mengkiaskan maksud tertentu untuk dijadikan penuntun berperilaku dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian peribahasa mencakup ungkapan, bidal, perumpamaan, pepatah, dan petitih, serta berisi tamsil, ibarat, perbandingan, nasihat, petuah, ajaran, asas hidup, atau tata aturan tingkah laku yang dianut oleh bangsa pemilik bahasa yang bersangkutan dalam menjalani hidupnya. Seperti dinyatakan oleh Danandjaja6 , sebagai bagian folklore lisan peribahasa memang dapat berfungsi menjadi pengukuh pranata dan lembaga kebudayaan, alat pengawas dan pemaksa pematuhan norma masyarakat, instrument pendidikan, dan juga alat komunikasi dalam kontrol sosial. Karena kodratnya, isi peribahasa memang dimaksudkan untuk memberikan pengarahan, teladan, harapan dan nasihat, sehingga dapat dijadikan bahan pelajaran berharga untuk diikuti dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
<br />Masyarakat Aceh mengenal peribahasa yang sesungguhnya menggambarkan jati diri/watak dari masyarakatnya., yang disebut pula dengan hadis maja atau narit maja. Menurut Ali dkk narit maja menduduki tingkat kebenaran nomor tiga dalam masyarakat Aceh. Tingkat kebenaran pertama adalah Wahyu Allah Swt. Tingkat kebenaran kedua adalah Hadis Rasulullah Saw. Tingkat kebenaran ketiga adalah Narit maja atau Peutitih peteteh. Karena kebenaran narit maja berada di bawah Hadis Nabi, maka orang-orang menyebutnya dengan atau hadih maja. 7
<br />Narit maja adalah tutur perkataan orang-orang tua zaman dahulu yang dapat dijadikan nasihat, petunjuk, petuah, ajaran, dan larangan itu pada umunya berkaitan dengan agama Islam, adat Istidat, pendidikan, dan kehidupan masyarakat. Salah satunya hadih maja berkaitan dengan konsep malu. Seperti dikatakan oleh Harun 8
<br />“Malu merupakan komitmen moral indatu orang Aceh dalam perspektif altruism. Hal ini dikarenakan semua manusia berakal sehat pada hakikatnya memiliki sifat rasa malu, yang termasuk salah satu naluri atau fitrah manusia. Misalnya, anak-anak sudah memiliki rasa malu walaupun tanpa diajari oleh orang tuanya. Jadi, malu merupakan suatu sifat bawaan setiap individu”.
<br />
<br />Selanjutnya, Harun juga menegaskan bahwa hampir semua hadih maja yang mengangkat rasa malu diungkap secara terbalik, yaitu bukan anjuran, tetapi proporsi datar tentang simbol-simbol tertentu atau orang yang tidak tahu malu. Beberapa contoh hadih maja yang berkaitan nilai budaya malu di antaranya:
<br />a. orang yang tidak tahu malu
<br /> Alee tob beulacan
<br /> Barangpeue takheun malee tan
<br />(Alu penumbuk belacan
<br />Apapun dikatakan malu tiada)
<br />
<br />b. Orang tidak tahu malu mendatangkan malu bagi orang lain
<br /> Alee tob beulacan
<br /> Nyang malee ureueng jak sajan)
<br />(Alu penumbuk belacan
<br />Yang malu orang jalan bersama)
<br />c. Orang tidak tahu malu dan dianggap sudah keterlaluan
<br /> Malee ja Asee hue
<br />(Malu sudah anjing hela)
<br />d. orang yang sudah tebal muka
<br /> Lagee ureueng teubai muka
<br />(Seperti orang tebal muka)
<br /> e. orang sudah tidak tahu malu dan sudah menjadi penyakit masyarakat dan dianggap hina
<br />Lagee si panteue alee
<br />Tapoh han saket
<br />Tateunak han malee
<br />(Seperti si dipan Alu
<br />Dipukul tidak sakit
<br />Dimaki tidak malu)
<br /> f. orang tidak tahu malu dan semau gue
<br /> Jak ho nyang troh
<br /> Pajoh peu nyang lot
<br />(Pergi kemana sampai
<br />Makan apa yang suka)
<br />Hadih maja di atas mengajak kepada semua individu yang mempunyai rasa malu untuk menghilangkan perilaku yang menimbulkan rasa malu. Apabila orang sudah kehilangan rasa malu, maka hancurlah hati nurani dan akal pikiran, yang pada gilirannya hancur pula tatanan sosial. Rasa malu, misalnya melakukan sesuatu yang cemar, yang dilarang Allah SWT dan Rasulnya, sama sekali tidak dikerjakan. Yang membawa aib/gosib, perbuatan hina tidak dilakukan, karena memalukan diri dan anak cucunya. Perbuatan yang merendahkan martabat tidak boleh dilakukan. Hal ini dikarenakan nilai-nilai asli budaya adat Aceh, antara lain adalah : taat beribadah kepada Allah SWT dan Rasulnya, taat dan patuh pada orang tua, taat dan patuh pada guru yang telah mengajarkannya, suka bekerja keras dan disiplin. Malu meminta-minta, suka memberi dan menolong orang dan saling hormat menghormati antara sesama keluarga, jiran dan sesama keluarga dalam masyarakat. 9
<br /> 2. Nilai Budaya Malu sebagai Alat Pengendalian Sosial
<br />Sebagai makhluk berbudaya, manusia memerlukan seperangkat aturan yang mengatur kehidupannya, baik dalam hubungan antarmanusia maupun makhluk lainnya di dunia. Aturan ini berfungsi agar manusia di dalam menjalankan aktivitasnya dapat teratur. Keteraturan ini amat penting agar tidak terjadi kekacauan.
<br /> Aturan-aturan yang seperti disebutkan di atas terkait dengan norma-norma dan adat. Norma dan adat kebiasaan ini mengatur kegiatan dan tingkah laku manusia. Norma-norma dan nilai-nilai yang mengatur apa yang pantas dikatakan, kepada siapa, dan dalam kondisi bagaimana. Berdasarkan nilai-nilai inilah, maka disusun norma yang menentukan mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap kurang baik. Atas dasar norma dan kaidah-kaidah itu kemudian dijadikan pedoman bertingkah laku sehingga tidak terjadi bentrokan antarkepentingan manusia dalam pergaulan hidup.
<br /> Salah satu wujud norma dalam hubungan interaksi masyarakat adalah sikap sungkan. 10 Dalam konteks keacehan sikap ini dapat disebut sebagai budaya malu, seperti yang telah disebutkan di atas. Budaya Malu yang berkembang di dalam masyarakat Aceh merupakan suatu sistem norma yang dilembagakan pada tingkat kelakuan (mores). Tata kelakuan mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas. Budaya malu yang telah dilembagakan sebagai suatu sistem norma yang disebut tata-kelakuan merupakan suatu alat mekanisme agar anggota-anggota masyarakat menyesuaikan dengan tata kelakuan tersebut.
<br /> Dilihat dari segi fungsional budaya malu juga merupakan alat pengendalian sosial.11 Pada masyarakat Aceh hal itu dilakukan melalui sopan santun dan sikap menghindar. Sopan santun dapat berwujud pembatasan dalam pergaulan, baik di dalam keluarga maupun di luar keluarga. Sikap menghindar merupakan alat yang biasa efektif dalam menata hubungan keluarga dan kerabat. Tujuan pembatasan itu antara lain untuk mencegah terjadinya hubungan yang sumbang.
<br /> Melalui dua mekanisme itu, di dalam masyarakat Aceh ada beberapa aturan yang mengatur hubungan antara anak dengan orang tua, suami-istri, menantu-mertua, perilaku-perilaku lain dalam bermasyarakat. Misalnya saja dalam kaitannya dengan remaja putri, seorang ibu/ayah malu apabila anak perempuannya berpakaian kurang pantas sehingga anaknya dianggap tidak mengetahui adat-istiadat. Dalam kontak fisik, adanya canda bersifat sentuhan fisik antara anak dan orang tua dianggap kurang pantas. Kalau hal itu dilakukan di depan umum dapat menjatuhkan martabat orang tua di mata anaknya sendiri. Dalam hal ini Badruzzaman12 telah menegaskan beberapa perilaku budaya yang perlu diperhatikan, yaitu perilaku berakhlak Islami, perilaku menghormati orang lain, dan perilaku cinta lingkungan.
<br /> 2. Nilai Budaya Malu dalam Pembentukan Budi Pekerti
<br />Paparan di atas menunjukkan kepada kita bahwa nilai budaya malu sangat penting dalam masyarakat sebagai sistem pengedalian sosial karena di dalamnya terdapat unsur-unsur yang mendidik atau pun pembentukan budi pekerti. Seperti diketahui bahwa budi pekerti merupakan nilai moralitas manusia yang disadari dan dilakukan dalam tindakan nyata. Di sini ada unsur proses pembentukan nilai tersebut dan sikap yang didasari pada pengetahuan mengapa nilai itu dilakukan. Semua nilai moralitas yang disadari dan dilakukan itu bertujuan untuk membantu manusia menjadi manusia yang lebih utuh. Nilai itu adalah nilai yang membantu orang dapat lebih baik hidup bersama dengan orang lain dan dunianya (learning to live together) untuk menuju kesempurnaan. Nilai itu menyangkut berbagai bidang kehidupan seperti hubungan sesama (orang lain, keluarga), diri sendiri (learning to be), hidup bernegara, alam dunia, dan Tuhan. Dalam penanaman nilai moralitas tersebut unsur kognitif (pikiran, pengetahuan, kesadaran), dan unsur afektif (perasaan) juga unsur psikomotor (perilaku).
<br /> Penanaman budi pekerti ini sangat diperlukan dalam rangka menghadapi berbagai permasalahan kenakalan remaja seperti dipaparkan di atas dan menghadapi permasalahan di era global. Dalam hal ini konsep ‘era global’ berarti suatu kurun waktu atau zaman yang ditandai oleh munculnya berbagai gejala serta masalah yang menuntut umat manusia dituntut untuk menggantikan pola-pola persepsi dan pola-pola berpikir tertentu, dari pola-pola yang bersifat nasional semata-mata ke pola-pola yang bercakupan global. Kita tidak dapat menahan era global ini. Kita hanya dapat melakukan pembekalan diri terhadap nilai global yang bersifat negatif. Sikap seharusnya adalah menerima nilai luar yang bersifat positif dan membuang jauh nilai-nilai negatif. Bahkan, kita harus dapat berpikir global dengan perilaku yang local yang masih menghargai nilai-nilai leluhurnya.
<br />Menuju ke arah tersebut bukanlah perkara mudah. Tantangan dan kendala pasti mengemuka. Pertama, adanya perubahan dalam hubungan antargenerasi, yang memperlihatkan berkurangnya dominasi kaum tua dalam pembentukan tatanan sosial. Perubahan ini menunjukkan pergeseran pendefinisian kebudayaan pada tingkatan yang berbeda-beda. Kebudayaan menjadi lain artinya, pada kelompok ABG, pada kelompok tua, ataupun pada kelompok menengah dan sebagainya. Dengan demikian, kelompok tua tidak mudah melakukan pendekatan pada kelompok muda. Kedua, perubahan karakter masyarakat, khususnya dengan melemahnya ikatan-ikatan tradisional. Pada saat yang sama individu-individu memiliki otonomi yang lebih besar. Dalam dunia semacam ini minat individual sedang mendapatkan ruang yang lebih luas dalam berekspresi dan juga dalam proses pengambilan keputusan. Perubahan semacam ini menegaskan suatu peralihan yang mendasar dalam institusi-institusi sosial sebagai pengikat individu-individu dan menunjukkan kebutuhan cara-cara dalam mengorganisasikan individu-individu ke dalam suatu sistem. Pemaksaan dalam hal ini, yang dulunya menjadi suatu mekanisme yang berhasil, menjadi suatu yang berbahaya karena dapat melahirkan reaksi dan resistensi.
<br />Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mereaktualisasi nilai budaya malu sebagai bagian membentengi para remaja dari pengaruh luar. Hal itu dapat dilakukan melalui proses sosialisasi, yaitu memperkenalkan, mendidik budaya malu sejak anak masih kecil, baik dalam pendidikan di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Rumah tangga dan keluarga merupakan pilar pertama dan memegang peran penting agar anak dapat mereduksi sesuatu yang berasal dari dunia luar. Adapun lembaga formal dan masyarakat berperan dalam pendidikan sopan-santun dan akhlak. Dengan demikian diharapkan untuk masa mendatang remaja di Aceh adalah generasi yang mempunyai pendidikan tinggi, tetapi mempunyai moral (budaya malu) yang tinggi pula. Tidak sekedar IQ (Intelegency Quotient) tinggi dan EQ (Emotional Quotient), tetapi diikuti ESQ (Emotional Spritual Quotient) yang tinggi.
<br />
<br />C. Penutup
<br /> Dekadensi moral dan kenakalan remaja mulai berkembang dan menampakkan wujudnya di Indonesia, tidak terkecuali Aceh. Perubahan-perubahan telah dialami oleh mereka. Pada zaman dahulu terdapat upaya pengendalian terhadap perilaku yang menyimpang dari budaya masyarakat, melalui budaya malu. Budaya malu sudah menjadi bagian masyarakat. Tentunya, nilai-nilai budaya malu ini dapat diaktualisasikan kembali dalam kehidupan masyarakat. Diharapkan para remaja menjadi remaja yang melestarikan budaya, tetapi juga mempunyai cara berpikir yang global.
<br />
<br />Catatan Akhir:
<br /> Misalnya, kejadian seorang remaja tewas akibat balapan liar di Jalan Teuku Umar Setuy, Banda Aceh. Sudah dilarang dan dihalau pihak berwenang, tetapi tetap membandel. Belum lagi ada gejala geng motor yang juga meresahkan dan menewaskan seorang korban.
<br />2 M. Junus Melalatoa. “Memahami Aceh Sebuah Perspektif Budaya”, dalam Bambang Bujono (ed.) Aceh Kembali Ke Masa Depan. (Jakarta: Katakita, Yayasan SET dan Gudang Garam, 2005), hlm 10.
<br />3 Hal ini tampak pada hadih maja Nibak malee get ta lob lam tanoh crah, yang artinya Daripada malu, lebih masuk liang tanah”.
<br />4 Badruzzaman Ismail. Panduan Adat Dalam Masyarakat Aceh. (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Aceh, 2009), hlm. 65-66.
<br />
<br />5 P. Lunde dan Wintle. A Dictionary of Arabic and Islamic Proverbs. London: Routledge dan Keegan Paul), hlm.
<br />6 James Dandjaja. Folklore Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. (Jakarta: Gratifipers, 1984), hlm. 32).
<br />7 Zaini Ali. Narit Maja Aceh. (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Aceh, 2009), hlm. 1.
<br />8 Mohd. Harun. Memahami Orang Aceh. (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2009), hlm. 159-161
<br />9 Badruzzaman Ismail. op.cit. hlm. 65-66.
<br />10Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Sosial. (Jakart: Rineka Cipta, 1984).
<br />11Menurut T. Bachtiar Effendi Panglima Polem, sistem pengendalian sosial atau social control merupakan suatu sistemm dan proses yang bersifat mendidik, mengajak ataupun memaksa anggota-anggota masyarakat agar mau mentaati norma-norma dalam masyarakatnya. Dengan demikian ia akan memperkokoh struktur dan menjaga integritas masyarakat secara keseluruhan. Pada umumnya pengendalian sosial dengan berpedoman pada berbagai norma itu dilaksanakan serta dikembangkan oleh lembaga-lembaga sosial, seperti lembaga keluarga, lembaga keagamaan, lembaga pemerintahan dan sebagainya. Lihat T. Bachtiar Panglima Polem, “Pengendalian Sosial di Aceh Besar. Dalam Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh. Alfian (ed). Jakarta: LP3ES, 1977), hlm. 101.
<br />12Badruzzaman Ismali, op.cit., hlm. 66-67.
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />Agus Budi Whttp://www.blogger.com/profile/13161122292896882482noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6950921972703102550.post-64807720078910972332011-05-23T21:41:00.001+12:002011-05-23T21:43:26.038+12:00Bentuk/Wujud Sistem Kepemimpinan di AcehOleh Agus Budi Wibowo<br /><br />sultan dan ulama merupakan sistem kepemimpinan Aceh yang tidak dapat dipisahkan. Sultan atau raja atau penguasa dianggap memiliki otoritas politik (pemimpin dunia) dan agama. Taj al-Salatin, sebagai panduan bagi para penguasa mengenai pemerintahan, disebutkan bahwa gelar khalifat al-Rahman (wakil Yang Maha Pengasih) dan zill Allah fi al-alam atau al-ard (bayangan Allah di muka alam atau bumi dirujuk kepada sultan. Untuk itu, kemudian seorang penguasa (sultan/raja) berhak menggunakan gelar-gelar agamis. Misalnya, dalam Bustanus Salatin, Sultan Iskandar Muda menggunakan gelar sayyiduna wa mawlana paduka seri Sultan Iskandar Muda Johan berdaulat zill Allah fi al-‘alam, sementara penggantinya, Iskandar Thani juga menggunakan gelar yang sama, sebagaimana halnya dengan empat ratu (sultanat) yang memimpin Aceh berikutnya. Pada bagian lain, seorang tokoh ulama besar Aceh ‘Abd al-Rauf al-Singkili menegaskan bahwa Kerajaan Aceh merupakan sebuah khilafah (kekhalifahan) yang berdiri sendiri. Oleh karena itu, seorang khalifah diartikannya sebagai “wakil Tuhan”. Menurutnya, khalifah yang pertama adalah Nabi Adam AS. Kemudian tugas ini dilaksanakan oleh semua nabi dan rasul sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Setelah Rasul ini wafat, posisi ini dilaksanakan oleh para keempat khulafa’ al-Rashidin, yang dalam perkembangannya kemudian, posisi khalifat didelegasikan kepada para penguasa di berbagai penjuru dunia Islam (Hadi, 2010: 105-108).<br />Gambar <br /><br /> Akan tetapi, kepemilikan penguasan akan otoritas agama tidak bermakna bahwa ia pemegang otoritas tertinggi dalam urusan keagamaan karena sesungguhnya otoritas tertinggi dalam hal ini dimiliki oleh para ulama. Untuk itu, seorang ulama sangat membutuhkan ulama. Di dalam Adat Aceh dan Taj-al-Salatin ditekankan bahwa seorang penguasa diminta untuk menghormati dan merujuk kepada para ulama dalam urusan keagamaan, yang dalam praktiknya kemudian para ulama ketika itu menempati berbagai posisi penting di kerajaan, dari posisi yang berbentuk Agama (seperti qadhi, faqih, dam Shaykh al-Islam hingga posisi politis (seperti penasihat sultan, ketua dewan kerajaan dan wakil sultan). <br /> Merujuk pada hal tersebut di atas, maka dapat kita lihat juga pada aspek kepemimpinan yang lain. Berdasarkan pendekatan historis, masyarakat Aceh dapat dikelompokkan pada dua golongan kepemimpinan, yaitu golongan umara dan golongan ulama. Umara dapat diartikan sebagai pemerintah atau pejabat pelaksana pemerintah dalam suatu unit wilayah kekuasaan. Contohnya seperti jabatan sultan yang merupakan pimpinan atau pejabat tertinggi dalam unit pemerintahan kerajaan, Uleebalang sebagai pimpinan unit pemerintahan Nanggroe (negeri), Panglima Sagoe (Panglima Sagi) yang memimpin unit pemerintahan Sagi (di Aceh Besar), Imeum Mukim yang menjadi pimpinan unit pemerintahan Mukim dan Keuchik atau Geuchik yang menjadi pimpinan pada unit pemerintahan Gampong (kampung). Mereka semua atau pejabat tersebut di atas, dalam struktur pemerintahan di Aceh pada masa dahulu dikenal sebagai lapisan pemimpin adat, pemimpin keduniawian atau kelompok elite sekuler. Dalam hal ini Sjamsuddin (1998: 2) mengatakan bahwa,<br /> “... oleh sebab itu, didasar struktur politik secara tradisional kehidupan rakyat Aceh sering dikatakan sebagai dikuasai oleh dua penguasa, yaitu uleebalang (umara-penulis) dan ulama. Barangkali kenyataan ini dapat dilukiskan dengan tepat sebagaimana ungkapan yang terdapat di dalam sebuah hikayat Aceh populer, Hikajat Potjut Muhammad: hana di gob na di geutanyo, saboh nanggro dua raja, yang secara bebas bermakna: hanya di tempat kita sajalah terdapat sebuah negeri yang diperintah oleh dua raja”. <br /><br /> Sementara golongan ulama yang menjadi pimpinan yang mengurusi masalah-masalah keagamaan (hukom atau syariat Islam) dikenal sebagai pemimpin keagamaan atau masuk kelompok elite religius. Oleh karena para ulama ini mengurusi hal-hal yang menyangkut keagamaan, maka mereka haruslah seorang yang berilmu agama Islam, yang dalam istilah Aceh disebut ureueng malem. Dengan demikian tentunya sesuai dengan predikat/sebutan ulama itu sendiri, yang berarti para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan. Adapun golongan atau kelompok ulama ini (lihat pada bab 2 sebelumnya) dapat disebut yaitu :<br />1. Teungku Meunasah, yang memimpin masalah-masalah yang berhubungan dengan keagamaan pada suatu unit pemerintahan Gampong (kampung). <br />2. Imeum Mesjid (Imam Mesjid), yaitu yang mengurusi masalah keagamaan pada tingkat pemerintahan mukim, yang bertindak sebagai imam sembahyang pada setiap hari Jumat di sebuah mesjid pada wilayah mukim yang bersangkutan. <br />3. Qadli (kadli), yaitu orang yang memimpin pengadilan agama atau yang dipandang mengerti mengenai hukum agama pada tingkat kerajaan (Kadhi Malikul Adil) dan juga pada tingkat Nanggroe yang disebut Kadli Uleebalang.<br />4. Teungku-teungku, yaitu pengelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti dayah dan rangkang, juga termasuk murid-muridnya. Bagi ulama yang sudah cukup tinggi tingkat keilmuannya, disebut dengan istilah Teungku Chik.<br /><br />Saat Sultan Iskandar Muda memerintah, bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan di Aceh adalah yang disebut dalam istilah Aceh Gampong atau dalam istilah Melayu Kampung. Sebuah Gampong terdiri atas kelompok-kelompok rumah yang letaknya berdekatan satu dengan yang lain. Pimpinan gampong disebut Geucik atau Keuchik, yang dibantu oleh seorang yang mahir dalam masalah keagamaan, dengan sebutan Teungku Meunasah. Selain itu, dalam sebuah dalam sebuah Gampong terdapat pula unsur-unsur pimpinan lainnya seperti yang dinamakan Waki (wakil) yang merupakan wakil dari Keuchik, serta juga yang disebut Ureung Tuha (orang tua). Mereka yang tersebut terakhir adalah golongan orang-orang tua kampung yang disegani dan berpengalaman dalam kampungnya. Menurut tradisi jumlah mereka ada empat orang yang dinamakan Tuha Peut dan ada juga yang delapan orang yang disebut Tuha Lapan.<br />Bentuk teritorial yang lebih besar lagi dari gampong yaitu Mukim. Mukim ini merupakan gabungan dari beberapa buah gampong yang letaknya berdekatan dan para penduduknya melakukan sembahyang bersama pada setiap hari Jumat di sebuah masjid. Pimpinan Mukim disebut sebagai Imum Mukim. Perkataan Imum ini berasal dari bahasa Arab, artinya Imam (orang yang harus diikuti). Imum Mukim inilah yang bertindak sebagai pemimpin sembahyang pada setiap hari Jumat di sebuah masjid. Pada mula dibentuk setiap mukim diharuskan sekurang-kurangnya mempunyai 1000 orang laki-laki yang dapat memegang senjata. Hal ini tentunya dimaksudkan untuk tujuan politis, yaitu bila terjadi peperangan dengan pihak luar agar mudah menghimpun tenaga-tenaga tempur. Dalam perkembangannya fungsi Imum Mukim menjadi kepala pemerintahan dari sebuah Mukim. Dialah yang mengkoordinir kepala-kepala kampung atau Keuchik-Keuchik. Dengan berubahnya fungsi Imum Mukim berubah pula nama panggilannya, yakni menjadi Kepala Mukim. Untuk pengganti sebuah imam sembahyang pada setiap hari Jum'at di sebuah masjid, diserahkan kepada orang lain yang disebut Imuem Mesjid.<br /> Dalam memimpin pemerintahan Nanggroe, Uleebalang dibantu oleh pembantu-pembantunya seperti yang disebut dengan Banta, yaitu adik laki-laki atau saudara Uleebalang, yang kadang-kadang juga bertindak sebagai Uleebalang, bila yang bersangkutan berhalangan. Pembantu yang lainnya adalah yang disebut Kadhi atau Kali, yang membantu dalam hukom, yaitu yang dipandang mengerti mengenai hukum Islam. Selain itu, ada yang disebut Rakan yaitu sebagai pengawal Uleebalang, yang dapat diperintahnya untuk bertindak dengan tangan besi. Para Rakan yang terbaik dalam perang diberi gelar Panglima Perang, sedangkan pimpinan-pimpinan pasukan kecil yang tidak begitu trampil dalam peperangan diberi gelar pang.<br /> Nanggroe-nanggroe tersebut di atas, pada umumnya berlokasi di pantai bagian timur dan pantai bagian barat Aceh. Di awahnya terdapat pula sejumlah mukim yang terdiri atas beberapa buah gampong atau yang disebut pula dengan istilah meunasah. Tetapi tidak semua nanggroe mengenal lembaga mukim. Di wilayah pantai timur dan di pantai barat, tidak terdapat apa yang disebut mukim. Di beberapa nanggroe bagian pantai Timur dan sebagian wilayah Kabupaten Aceh Utara sekarang, terdapat apa yang disebut dengan istilah Ulebalang Cut (Uleebalang kecil). Uleebalang Lapan (Uleebalang Delapan), dan Uleebalang Peut (Uleebalang Empat). Namun kedudukan dari bermacam jenis Uleebalang ini, berada di bawah. <br /> Tingkat tertinggi dalam struktur pemerintahan Kerajaan Aceh adalah pemerintah pusat yang berkedudukan di ibukota kerajaan, yang dahulunya bernama Bandar Aceh Dar as Salam. Pimpinan atau kepala pemerintahan pusat adalah Sultan yang para kelompoknya bergelar Tuanku. Dalam mengendalikan pemerintahan Sultan dibantu oleh beberapa pembantu yang membawahi bidang masing-masing. Berdasarkan sebuah manuskrip (MS), susunan pemerintahan pusat Kerajaan Aceh terdiri atas 24 lembaga atau jabatan yang diumpamakan dengan kementrian pada masa sekarang. Nama dari masing-masing lembaga tersebut adalah sebagai berikut:<br />1. Keurukun Katibul Muluk atau Sekretaris Raja<br />2. Rais Wazirat Addaulah atau Perdana Menteri<br />3. Wazirat Addaulah atau Menteri Negara<br />4. Wazirat al Akdham atau Menteri Agung<br />5. Wazirat al HArbiyah atau Menteri Peperangan<br />6. Wazirat al Haqqamiyah atau Menteri Kehakiman<br />7. Wazirat ad Daraham atau Menteri Keuangan<br />8. Wazirat ad Mizan atau Menteri Keadilan<br />9. Wazirat al Maarif atau Menteri Pendidikan<br />10.Wazirat al Khariziyah atau Menteri Luar Negeri<br />11. Wazirat ad Dakhilyyah atau Menteri Dalam Negeri<br />12. Wazirat al Auqaf atau Menteri Urusan Wakaf<br />13. Wazirat az Ziraaf atau Menteri Pertanian<br />14. Wazirat al Maliyyah atau Menteri urusan HArta<br />15. Wazirat al Muwashalat atau Menteri Perhubungan<br />16. Wazirat al asighal atau Menteri Urusan Kerja<br />17. As Syaikh al Islam Mufti Empat Syeik Kaabah<br />18. Qadli al Malik al Adil atau Qadi Raja Yang Adil<br />19. Wazir Tahakkum Muharrijlailan atau Ketua Pengurus Kesenian<br />20. Qadli Muadlam atau Qadhi/Jaksa Agung<br />21. Imam Bandar Darul Makmur Darussalam<br />22. Keuchik Muluk atau Keuchik Raja<br />23. Imam Muluk atau Imam Raja<br />24. Panglima Kenduri Muluk atau Ketua Urusan Kenduri Raja.<br /> Kedua puluh empat lembaga atau jabatan seperti disebutkan di atas, dipegang oleh orang-orang tertentu sebagai pimpinan yang diangkat oleh Sultan Aceh. Selain jabatan-jabatan itu di Kerajaan Aceh, terdapat pula tiga buah badan atau lembaga lainnya yang fungsinya hampir dapat disamakan dengan lembaga legislatif sekarang. Lembaga ini turut mendampingi Sultan dalam melaksanakan tugasnya. Ketiga Lembaga ini adalah 1. Balairungsari, yaitu tempat bermufakat empat orang Uleebalang (Hulu Balang Empat) dan tujuh orang alim ulama, serta menteri-menteri Kerajaan Aceh. 2. Bale Gadeng, yaitu Tempat mufakat dari delapan orang Uleebalang dan tujuh orang alim ulama serta menteri-menteri Kerajaan Aceh, dan 3. Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu sebagai tempat mufakat wakil rakyat sebanyak tujuh puluh tiga orang yang datang dari tujuh puluh tiga mukim. Jadi tiap-tiap mukim diwakili oleh satu orang.<br /> Selain ketiga lembaga di atas, dalam sebuah naskah yang bernama Kanun Meukuta Alam Sultan Iskandar Muda, disebut pula ada Balai Laksamana yaitu semacam markas angkatan perang, yang dikepalai oleh seseorang yang disebut Laksamana, yang tunduk atau berada di bawah Sultan. Selanjutnya ada pula yang disebut Balai Fardah, yang tugasnya memungut atau mengumpulkan Wase (Bea Cukai). Balai ini tunduk pada perintah Perdana Menteri. Disebutkan pula, dalam pemerintahan kerajaan, Sultan Aceh tunduk kepada Kanun.<br /><br />Selain kepemimpinan yang telah disebutkan di atas terdapat pula beberapa bentuk kepempimpinan pada tataran kampung atau gampong di Aceh. ”Keuchik” adalah pemimpin yang mengepalai sebuah Gampong (kampung). Gampong merupakan bentuk teritorial terkecil dari susunan Pemerintahan di Daerah Aceh, yang terdiri atas beberapa kelompok rumah tangga dan memiliki sebuah tempat kegiatan bersama, bermusyawarah dan beribadat bagi warga yang disebut dengan ”Meunasah”. Di samping itu ada ”Balei” tempat lebih kecil dari Meunasah (fungsinya hampir sama). Keuchik merupakan tokoh sentral Gampong, dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Waki dan Tuha Peut Gampong. <br /> ”Waki” artinya Wakil Keuchik sebagai pejabat penyampai informasi kepada masyarakat atas perintah Keuchik dan berkewajiban mendampingi Keuchik dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Ia memukul tambö (bedug) untuk memanggil orang menghadiri suatu musyawarah atau bersifat pengumuman lainnya.<br /> “Imeum Meunasah” yang lebih populer dengan panggilan Teungku Meunasah, merupakan pembantu Keuchik, dalam bidang agama Islam (huköm) pada setiap Gampong. Fungsi ini sangat dihormati dalam masyarakat Gampong.<br /> ”Tuha Peut” adalah suatu institusi perangkat Gampong yang terdiri dari empat orang unsur ketokohan masyarakat, yang dituakan karena pengalaman, kearifan dan disegani dalam Gampong bersangkutan (Dewan Empat). Mereka membantu Keuchik, memberi nasehat/saran atau tempat Keuchik meminta pendapat/nasehat dalam mengambil kebijak-an/keputusan, terutama “bidang pengadilan” dalam hal sengketa.<br /> “Imeum Mukim” adalah orang yang memimpin wilayah Mukim, wilayah gabungan dari beberapa Gampong yang berdekatan. Mukim berasal dari wilayah kesatuan penduduk dalam melaksanakan sembahyang Jum’at di sebuah Masjid. Imeum Mukim mulanya berasal dari fungsi Imam Mesjid. Karena perkembangan masyarakat, fungsi Imeum Mukim berubah menjadi Kepala wilayah Mukim, mengkoordinir Keuchik-keuchik yang mengepalai Gampong. Sekarang Imeum Mukim merupakan elemen pemerintah (sesuai dengan Qanun No.4 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Mukim), sekaligus sebagai Kepala Adat, berwenang menyelesaikan sengketa adat di wilayahnya, sedangkan Imam Mesjid adalah berfungsi mengelola urusan Mesjid (agama).<br /> “Keujruen Blang” adalah seseorang atau lebih yang ditugasi Keuchik untuk mengurus hal-hal yang berkenaan dengan pertanian/persawahan/irigasi Gampong, seperti menetapkan waktu turun ke sawah, penetapan tatacara/adat istiadat upacara “khanduri” turun ke sawah, penetapan lepas panen untuk lepas ternak (luwaih blang) pengaturan air ke sawah penduduk, dan lain-lain.<br /> ”Panglima Laot” (Panglima Laut) adalah orang yang mengatur para nelayan dalam mencari ikan, tatacara pemasaran dan sistem pembagian hasil penangkapan ikan di laut. <br /> “Peutua Seuneubök” adalah seseorang yang diangkat untuk memimpin, pengaturan dan pe-nyelesaian persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pembukaan lahan hutan untuk areal per-kebunan, misalya perkebunan lada, cengkeh, pala dan lain-lain<br /> “Haria Peukan” adalah seseorang yang ditugasi untuk mengatur Peukan (Pasar dagang), mengutip pajak atau cukai yang disebut “Cok Adat” pada peukan-peukan tertentu, termasuk hari-hari Peukan (Uroe Gantoe) di Gampong atau Mukim. Haria Peukan disebut juga “Ureueng Cok Adat” dan bila muncul persoalan-persoalan di “Peukan”, maka Haria peukan dapat mengatasinya atau menyelesaikannya.<br /> ”Syahbanda” artinya Syahbandar. Dia adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengepalai pelabuhan dalam wilayah hukum tertentu. Tugas utamanya adalah mengawasi kapal-kapal yang masuk dan keluar dari pelabuhan dalam wilayah hukumnya.<br /> “Pawang Glé” adalah seseorang yang mengatur dan mengurusi orang-orang yang mata pencaharian di “Glei”/gunung, menyangkut mencari rotan, berburu rusa dan lain-lain dalam kesatuan wilayah hukum tertentu.Agus Budi Whttp://www.blogger.com/profile/13161122292896882482noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6950921972703102550.post-30216728764623950562011-05-23T21:39:00.000+12:002011-05-23T21:40:41.273+12:00Pengaruh Ajaran Islam terhadap Sistem Kepemimpinan di AcehOleh Agus Budi Wibowo<br /><br /><br />Islam beserta ajarannya bagi ureueng Aceh bukanlah suatu istilah atau nama yang asing lagi. Masyarakat Aceh, dalam sejarahnya hingga kini, dianggap sebagai penganut Islam yang kuat. Bagi orang Aceh, ajaran agama merupakan tokok ukur dan barometer atas segala sikap, tindak-tanduk, perbuatan dan penampilan mereka dalam pergaulan sesamanya. Sikap dan pandangannya dan segala macam bentuk benar-salah, bagus jelek, baik-buruk dan segala macam bentuk penilaian selalu dikaitkan dengan ajaran Islam.<br /> Masyarakat Aceh benar-benar menghayati ajaran Islam dalam kehidupannya. Penghayatan yang begitu besar dan mendalam terhadap ajaran Islam diwujudkan dalam bentuk akulturasi antara adat dengan ajaran agama. Hal ini berarti bahwa seseorang yang telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan yang dituntut atau digariskan dengan adat, maka hal itu berarti ia telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan ajaran agamanya pula, atau sekurang-kurangnya tidak keluar dari bingkai agama yang mereka anut (Nyak Pha, 2000: 10). Oleh karena itu, semua gerak kehidupan masyarakat selalu terikat pada syariat Islam yang dikemas dalam bentuk adat (hukum) dan adat-istiadat. Keadaan ini tampak pada beberapa aspek seperti yang termaktub dalam beberapa hadih maja di bawah ini.<br />1. “Adat bak Poteumeurohom, Hukom bak Syaih Kuala, Kanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana”. (Adat-hukum pengaplikasiannya dalam masyarakat berada di bawah tanggung jawab raja/pemerintahan, sedangkan hukum-hukum Islam berada di bawah tanggung jawab ulama, adat-istiadat dan upacara protokoler istana berada di bawah tanggung jawab berada di bawah tanggung jawab - Putro Phang dan adat istiadat atau kebiasaan berada di bawah tanggung jawab penguasa-penguasa atau pemimpin-pemimpin setempat).<br />2. Hukom ngon adat lagee dzat ngon sipheuet (Hukum Islam dan Hukum adat ibarat benda dengan sifatnya, jadi tidak dapat dipisahkan).<br />3. Hukum ngon adat hanjeuet cree, lagee mata itam ngon mata puteh (Hukum Islam dan hukum adat tidak boleh berpisah seperti mata hitam dan mata putih)<br />Ungkapan-ungkapan ini merupakan pencerminan dari perwujudan syariat Islam dalam praktek hidup sehari-hari pada masyarakat Aceh. Kemudian tidak berlebihan apabila Aceh mendapat gelaran Serambi Mekkah, semangat Perang Sabil, Kerajaan Aceh Darussalam. Kesemua itu adalah wujud dari semangat dan nilai yang lahir dari perpaduan tadi.<br />Islam tidak hanya telah diupayakan untuk ditegakkan di tengah-tengah masyarakat dalam artian pelaksanaan ajarannya, agama ini juga telah menjadi fondasi utama dalam pembentukan budaya, tradisi, dan adat istiadat. Tradisi istana kerajaan di masa lalu sarat dengan nilai-nilai Islami, sejak dari gelar yang digunakan, konsep kepemerintahan, tradisi seremonial istana (yang tidak membedakan antara tradisi ke-Islaman dengan kerajaan), dan berbagai kebijakan keagamaan kerajaan, terutama pada abad ke-17 (Hadi, 2004; Hadi, 2008: 13-14). Islam tidak hanya menjadi inspirator bagi pembangunan dan kemajuan di Aceh dalam berbagai bidang, ia juga berperan sebagai motor utama dalam resistensi yang kuat terhadap Portugis di Melaka, pada paruh pertama abad ke-16, dan Belanda, pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, dan juga terhadap Jepang. Perang atas nama agama ini senantiasa dipegang erat oleh masyarakat secara konsisten. Menurut mereka, bangsa asing tersebut dipandang telah membahayakan hidup agama dan tanah air. Mereka akan menghadapinya dengan semangat yang tinggi dalam keadaan yang demikian mereka hanya mengenal mati syahid atau menang.<br />Dalam kaitan dengan sistem kepemimpinan, Islam pun mempunyai sistem atau mekanisme tersendiri. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, <br />“Semua kamu adalah pemimpin dan bertanggung-jawab atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dalam keluarganya dan bertanggujawab atas kepemimpinannya. Seorang isteri adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas penggunaan harta suaminya. Seorang karyawan (pelayan) bertanggungjawab atas harta perusahaannya (majikan). Seorang anak bertanggungjawab atas penggunaan harta ayahnya. (HR, Al Bukhari dan Muslim).<br /><br />Nilai-nilai Islam tersebut kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam diri masyarakat Aceh. Sebagai sebuah masyarakat yang Islami, strata dan sistem organisasi dalam masyarakat Aceh dibangun berdasarkan konsep pemerintahan yang bernuansa Islami, Karena itu, sejak dahulu sudah ada ungkapan, “Nanggroe meusyara’, lampôh meupageue, umong meuateueng, ureueng meunama.” Yang artinya Negeri bersyarak, kebun berpa¬gar, sawah berpematang, orang bernama’. Hadih maja ini menyiratkan bahwa sebuah komuni¬tas mestilah memiliki kaidah, hukum, konvensi, dan batasan-batasan tertentu. Hal ini sangat berguna dalam rangka membangun sebuah kehidupan yang harmonis.<br />Untuk itu, hukum Kerajaan Aceh Darussalam dinyatakan sebagai negara yang berbudaya hukum. Pemahaman itu termaktub dalam Qanun al-Asyi, sebagai berikut:<br />”Bahwa negeri Aceh Darussalam adalah negeri hukum yang mutlak sah dan bukan negeri hukuman yang mutlak sah. Dan rakyat bukan patung yang berdiri di tengah padang, akan tetapi rakyat seperti pedang sembilan mata yang amat tajam, lagi besar matanya, lagi panjang sampai ke timur dan ke barat, jangan dipermudah sekali-kali hak rakyat”.<br /> Qanun al-Asyi yang disebut juga dengan Adat Meukuta Alam yang bersumber dari al-Qur’an, al-Hadist, Ijma’ Ulama dan Qias, menetapkan ada empat sumber hukum, bagi kerajaan Aceh, yaitu:<br />a. Kekuasaan Hukum (Yudikatif) yang dipegang oleh Kadhi Malikul Adil.<br />b. Kekuasaan Adat (Eksekutif) yang dipegang oleh Sultan Malikul Adil.<br />c. Kekuasaan Qanun (Legislatif) yang dipegang oleh Majelis Mahkamah Rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat).<br />d. Kekuasaan Reusam (Hukum Darurat) yang dipegang oleh Penguasa Tunggal, yaitu Sultan sebagai penguasa tertinggi waktu negara dalam keadaan perang.<br /> Kemudian dalam menjalankan empat jenis hukum dalam kerajaan, Qanun al- Asyi menetapkan bahwa Raja dan Ulama harus menjadi Dwi Tunggal (tidak boleh jauh atau bercerai) dalam sistem kepemimpinan di tingkat kerajaan, seperti disebutkan dalam Qanun:<br />”Artinya Ulama dengan Raja atau Rais tidak boleh jauh atau bercerai. Sebab jikalau bercerai dengan Raja atau Rais, niscaya binasalah negeri. Barang siapa mengerjakan Hukum Allah dan meninggal-kan Adat, maka tersalah dengan dunianya dan barangsiapa mengerjakan Adat dan meninggalkan Hukum Allah, maka tersalah dengan Allah. Maka hendaklah Hukum dan Adat itu seperti gagang pedang dengan mata pedang”. <br /> Dalam konteks yang lebih luas, negara atau kera¬jaan, keharmonisan tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam distribusi kekuasaan antarelit da¬lam komunitas tersebut, seperti dikatakan dalam hadih maja sebelumnya, bahwa Adat bak Poteu Meureuhôm, Hukôm bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana. Atau Adat bak Poteu Meureuhôm, Hukôm bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang, Reusam bak Bentara. Hadih maja tersebut menyebutkan bahwa persoalan adat-istiadat, sistem pemerin¬tahan, hendaklah disesuaikan dengan konvensi para raja dan diserahkan sepenuhnya pada raja, Poteu Meureuhôm. Namun, Persoalan hukum diatur oleh ulama, Syiah Kuala. Karenanya, tidak berlebihan kalau para raja (masa lalu ataupun saat ini) berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan, menghidup-kan kembali, dan takut sekali melanggar adat (walau kadang bertentangan dengan syariat Islam). Sikap ini merupakan pengejawantahan pemikiran bahwa adat-istiadat yang ada dalam masyarakat idealnya dipertahankan, tidak diubah, sesuai dengan maksud hadih maja, “Boh malairi ie paseueng surôt, adat datôk nini beutaturôt” ‘buah malairi air pasang surut, adat nenek moyang hendaklah diturut’.Agus Budi Whttp://www.blogger.com/profile/13161122292896882482noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6950921972703102550.post-66253871345351027492011-05-23T21:36:00.000+12:002011-05-23T21:37:10.969+12:00Nilai-nilai Budaya Aceh yang terkait dengan KepemimpinanOleh Agus Budi Wibowo<br /><br /><br />Nilai budaya adalah satu bagian dari kebudayaan komunitas tertentu yang merupakan suatu konsepsi abstrak yang dianggap baik dan amat bernilai tinggi dalam hidup, yang menjadi pedoman tertinggi kelakuan dalam kehidupan satu masyarakat (Melalatoa, 2005: 10). Sebagai sebuah etnisitas budaya, masyarakat Aceh juga memiliki nilai budaya, yang salah satunya adalah nilai budaya yang terkait dengan kepemimpinan.<br />Pemahaman nilai budaya tentang prinsip kepemimpinan masyarakat Aceh dengan menelaah dan mendalami peribahasanya (P. Lunde dan Wintle, 2010). Kebenaran pendapat ini bertumpu pada kenyataan bahwa arti luas peribahasa merupakan kata, frase, klausa, atau kalimat ringkas yang baku dan tetap susunan serta pemakaiannya, yang (pernah) hidup dalam tradisi lisan sesuatu bahasa, dengan isi yang selalu mengkiaskan maksud tertentu untuk dijadikan penuntun berperilaku dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian peribahasa mencakup ungkapan, bidal, perumpamaan, pepatah, dan petitih, serta berisi tamsil, ibarat, perbandingan, nasihat, petuah, ajaran, asas hidup, atau tata aturan tingkah laku yang dianut oleh bangsa pemilik bahasa yang bersangkutan dalam menjalani hidupnya. Seperti dinyatakan oleh Danandjaja (1984: 32), sebagai bagian folklore lisan peribahasa memang dapat berfungsi menjadi pengukuh pranata dan lembaga kebudayaan, alat pengawas dan pemaksa pematuhan norma masyarakat, instrument pendidikan, dan juga alat komunikasi dalam kontrol sosial. Karena kodratnya, isi peribahasa memang dimaksudkan untuk memberikan pengarahan, teladan, harapan dan nasihat, sehingga dapat dijadikan bahan pelajaran berharga untuk diikuti dalam menjalani kehidupan sehari-hari. <br />Masyarakat Aceh mengenal peribahasa yang sesungguhnya menggambarkan jati diri/watak dari masyarakatnya., yang disebut pula dengan hadis maja atau narit maja. Menurut Ali dkk (2009: 1) narit maja menduduki tingkat kebenaran nomor tiga dalam masyarakat Aceh. Tingkat kebenaran pertama adalah Wahyu Allah Swt. Tingkat kebenaran kedua adalah Hadis Rasulullah Saw. Tingkat kebenaran ketiga adalah Narit maja atau Peutitih peteteh. Karena kebenaran narit maja berada di bawah Hadis Nabi, maka orang-orang menyebutnya dengan atau hadih maja. Narit maja adalah tutur perkataan orang-orang tua zaman dahulu yang dapat dijadikan nasihat, petunjuk, petuah, ajaran, dan larangan itu pada umunya berkaitan dengan agama Islam, adat Istidat, pendidikan, dan kehidupan masyarakat.<br />Dalam sistem budayanya, masyarakat Aceh memiliki prinsip-prinsip kepemimpinan yang selaras dengan prinsip harmoni kehidupan di jagad raya. Hukum alam, fakta empris, dan kesadaran logis untuk hidup berperaturan merupakan prinsip utama yang diyakini sebagai poros kemaslahatan. Sebuah negeri, wilayah, kampong haruslah ada pimpinannya yang diatur dengan peraturan dan hukum. Kalau prinsip-prinsip ini tidak ada, kehidupan menjadi kacau balau. Dalam pandangan hidup orang Aceh pemimpin merupakan orang yang paling berat tanggungjawabnya. Ia juga harus memiliki tingkat kesabaran yang tinggi karena seorang pemimpin harus “tahan banting” dan tidak gampang menyerah atau berputus asa. Selain itu, seorang pemimpin harus mampu menerima berbagai kritik, baik yang sifatnya konstruktif maupu yang sifatnya destruktif, sekaligus harus pula memahami karakter masyarakat yang dipimpinnya secara baik. Tanpa kesabaran dan rela menerima kritikan tajam, seorang pemimpin di Aceh bertahan lama dan tidak berharga. Hal ini tampak pada hadih maja berikut ini<br /><br />Lampoh mupageue, umong mupitak<br />Nanggroe meusyarak maseng na raja<br />(Kebun berpagar, sawah berpetak,<br />Negeri berhukum semua ada raja)<br />Lagee mon tuha<br />Geulupak, tapeh keunan bandum<br />(Seperti sumur tua<br />Bongkah dan sabut kelapa semua ke situ) <br />Seperti telah disebutkan sebelumnya, <br /> Pada bagian lain, masyarakat Aceh juga memiliki beberapa prinsip dalam sistem kepemimpinan mereka. Prinsip-prinsip kepemimpian itu diantaranya, yaitu:<br /> 1. Masyarakat Aceh tidak mengenal dualisme kepemimpinan. <br /> Hal ini dikarenakan akan terjadi silang kepentingan dan akhirnya terjadi perpecahan yang dapat menyebabkan disharmoni dan disintegrasi negara dan bangsa. Hadih maja yang menyatakan hal tersebut,<br /> Nibak lon kalon dumnoe pie<br /> Bakkeuh reule ho langkah ba<br /> Hantom digob na digeutanyoe<br /> Saboh nanggroe dua raja <br />(Daripada kulihat begini keadaannya<br />Biarlah hancur kemana langkah bawa<br />Tidak pernah pada orang ada sama kita<br />Satu negeri dua orang raja)<br /> Saboh nanggroe dua tanglong<br /> Saboh gampong dua peutua<br />(Dalam satu negeri dua tanglung<br />Dalam satu kampong dua pemimpinnya) <br /> 2. Pemimpin adalah raja<br /> Dalam terminology masyarakat Aceh secara umum, pemimpin negara adalah raja. Karena itu, orang yang berhak menjadi raja adalah keturunan raja atau anak raja dari permaisuri. Hal ini terkait dengan legitimasi yang secara resmi mengakui pengganti raja adalah anak raja yang sah secara hokum. Hukum adat tidak membenarkan anak dari selir diangkat menjadi raja. Namun adalah yang penting juga dengan konsep ini adalah bahwa pemimpin harus memenuhi syarat seorang pemimpin, seperti baik keturunannya, baik sifatnya, cerdas, beragama, beradat, dan beradab. Hadih maja yang menyatakan hal ini adalah:<br /> Euncien bak putu bek tasok bak gitek<br /> Aneuk bak gundek bek taboh keu raja<br /> (Cincin di jari manis jangan dipakai di kelingking<br /> Anak pada gundik jangan diangkat menjadi raja)<br /> 3. Pemimpin haruslah memperhatikan rakyatnya dalam berbagai bidang<br /> Masyarakat Aceh mengidamkan seorang pemimpin yang peduli terhadap rakyat dalam segala bidang kehidupan. Prinsip ini masih dipegang oleh masyarakat. Bagi seorang pemimpin yang mampu menjalankan amanah tersebut, maka rakyat akan menaruh cinta kepadanya. Mereka akan mengikuti dengan sungguh-sungguh dan menyerahkan semua urusan pemerintahan kepadanya. Hal ini tampak pada hadih maja berikut ini,<br /> Nyankeuh raja nyang seureuloe<br /> Aneuk nanggroe that geuaja<br /> (itulah raja yang sangat utama<br /> Selalu mengajari rakyatnya<br /> Akan tetapi, jangan sekali-kali seorang pemimpin di Aceh menzalimi rakyat atau bawahannya. Jika pemimpin mereka baik, orang Aceh akan mengikuti dengan baik, tetapi jika pemimpin berlaku zalim, maka orang Aceh akan melawannya. Prinsip ini tercermin dalam hadih maja berikut ini:<br /> Raja ade geuseumah<br /> Raja laklem geusanggah<br /> (Raja adil disembah<br /> Raja zalim disanggah)<br /> Adapun alasan melakukan perlawanan terhadap pemimpin yang zalim adalah karena pemimpin zalim tersebut dapat menyebabkan sebuah negeri menjadi sial, yaitu rusaknya sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, untuk mencegah kerusakan yang bakal terjadi, rakyat sebagai salah satu elemen penting dalam negara harus memberikan peringatan kepada negara, baik cara lembut maupu keras sesuai dengan situasi dan kemampuan yang dimiliki. Hal ini tampak dari hadih maja berikut<br /> Paleh inong hana lakoe<br /> Paleh nanggroe laklem raja<br /> (Sial wanita tak bersuami<br /> Sial negeri zalim raja)Agus Budi Whttp://www.blogger.com/profile/13161122292896882482noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6950921972703102550.post-83097200160208718972011-05-23T21:29:00.003+12:002011-05-23T21:32:36.061+12:00Rumah dalam Perspektif Teori Struktural Levi StraussOleh: Agus Budi Wibowo<br /><br />Rumah merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat yang tidak terlepas dari adanya kategori-kategori, ide-ide, dan aturan-aturan mengenai tempat tinggal yang dianggap baik atau menguntungkan masyarakat pendukungnya. Dalam berbagai masyarakat terdapat berbagai bentuk dan variasi yang menyangkut bagaimana para penghuni menata tempat tinggal yang bersumber dari kebudayaannya. Begitu pula dalam hal pembagian sebuah rumah ke dalam beberapa ruangan pada umumnya terkait dengan nilai-nilai, kepercayaan, tahap kehidupan, maupun dengan kosmologi suatu masyarakat. Pengaturan bentuk dan tata ruang dalam rumah tersebut di antaranya dapat dilihat berdasarkan pembagian rumah ke dalam ruangan depan belakang, pembedaan hubungan antar keluarga, pembagian ruangan publik dan ruang privat, pembedaan berdasarkan jenis kelamin, penting tidaknya suatu ruangan dibandingkan dengan ruangan lain (Lely, 1995 : 10) atau juga berdasarkan perbedaan status marital seseorang yang belum menikah atau sudah menikah (Waterson, dalam Fox, 1993 : 221).<br /><br />Kategori-kategori dalam pengaturan yang membedakan dan memisahkan makna ruang-ruang dalam bangunan arsitektur tersebut diciptakan agar para penghuninya dapat melangsungkan kehidupan dengan baik dan sejahtera, di antaranya seperti aktivitas-aktivitas yang menyangkut praktek-praktek sosial dan ritual kelompok sosial yang bertempat di rumah tersebut. Praktek-praktek sosial atau ritual tersebut pada kenyataannya membentuk suatu struktur yang teratur yuang dibangun berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh para penghuninya.Keteraturan ini dapat dipahami sebagai suatu representasi dari keteraturan kosmologis dari masyarakat yang bersangkutan dan dapat dijadikan sebagai pusat pelaksanaan kehidupan sosial bagi para penghuninya.<br />Aturan-aturan yang mendasari penggunaan ruang di dalam praktek ritual atau upacara tersebut tidak muncul dengan sendirinya. Menurut Lely (1995: 14), aturan-aturan tersebut keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari suatu sistem yang lebih luas, yaitu sistem sosial budaya masyarakat tersebut. Semua aturan itu berkenaan dengan dasar pemikiran yang paling hakiki tentang kehidupan yang dimiliki oleh suatu masyarakat yang berada pada tataran nirsadar, namun sangat menentukan segala aktivitas dari masyarakat yang bersangkutan.<br />Karena itu, agar bisa diperoleh pemahaman dalam mengkaji struktur di balik bentuk dan tata ruang rumoh Aceh dan kaitannya dengan struktur pemikiran masyarakat Aceh digunakan pendekatan strukturalisme. Melalui pendekatan ini akan diperoleh struktur dibalik pemikiran orang Aceh. Struktur ini kemudian dapat digunakan untuk memahami dan mengungkapkan makna-makna yang ada dibalik pola-pola tindakan yang ditemui pada masyarakat Aceh.<br />Menurut Levi-Straus (1973), struktur ini modelnya tetap dan universal, sedangkan gejala yang dapat diamati hanyalah merupakan transformasi dari struktur. Struktur tersebut muncul secara tidak disadari (unconscious) dan menempatkan dirinya dalam kesadaran tanpa diketahui. Pengertian struktur yang berasal dari Levi-Straus ini, diterapkan secara rinci oleh J. Power (Laksono, 1985 : 7). Ia melihat struktur sebagai elaborasi suatu proses mental dalam konteks komunikasi dan berhubungan dengan ciri dasar sistem semiotik. Ia menunjukkan beberapa prinsip menghubungkan posisi-posisi dari setiap unsur untuk membuat suatu sistem hubungan yang disebut struktur, dan yang memberi isi kepada wadah struktur. Prinsip-prinsip itu dinamakan sebagai prinsip menstruktur.<br />Salah satu dalam prinsip menstruktur ini seperti yang dikemukakan Power ini adalah prinsip menstruktur umum turunan yang antara lain di dalamnya terdapat pemosisian supra, yaitu bahwa posisi relatif dari sejumlah unsur ada pada tingkat yang tidak setara jika dihubungkan dengan sejumlah unsur yang lain. Adanya prinsip pemosisian supra ini menunjukkan bahwa ada suatu konsepsi dalam pemikiran manusia tentang susunan atau stratifikasi. Stratifikasi inilah yang merupakan elemen-elemen struktur (Priyadi, 1999 : 39).<br />Prinsip hubungan pemosisian supra ini berasal dari binary opposition yang merupakan oposisi paling elementer. Hal ini bisa kita lihat dari realitas sehari-hari, seperti siang dan malam, pria dan wanita dan sebagainya. Selanjudnya menurut Levi Strauss (1963), konsep dasar binary opposition ini dapat berkembang menjadi tiga posisi, posisi yang ketiga ini merupakan mediator antara kedua posisi yang berpasangan tadi. Posisi ketiga ini memiliki ciri-ciri dari kedua belah pihak, namun tidak tercampur, melainkan saling terpisah dalam keadaan yang berlainan (Priyadi, 1999 : 40).<br />Metode analisis struktural dari Levi-Strauss ini diterapkan terhadap fenomena budaya. Dikatakannya bahwa kebudayaan merupakan produk dari aktivitas dari pikiran manusia, dan pikiran manusia itu dimana-mana satu dan sama kapasitasnya (Levi-Strauss, 1973 : 19). Apabila di dalam kebudayaan terkandung struktur, maka dapat diduga bahwa kerja strukturalisme adalah menganalisis obyek-obyek tersebut yang menyangkut antar hubungan elemen-elemennya (Cows, 1970 :199; Budiman, 1994 : 18).<br />Demikian halnya dengan struktur orientasi arah dan letak, bentuk dan tata ruang di dalam rumoh Aceh. Berdasarkan pendekatan ini, maka ruang-ruang di dalam rumoh Aceh dan segala aktivitas penghuni di dalam rumah tersebut mempunyai struktur yang terbentuk dari suatu sistem relasi tertentu yang tetap dan bersifat nirsadar. Struktur yang bersifat nirsadar tersebut tercermin pada arah letak, bentuk dan tata ruang rumoh Aceh tersebut sebagai produk dari aktivitas dari pikiran masyarakat pendukungnya, yaitu orang Aceh.<br />Struktur ini akan diperoleh melalui oposisi-oposisi biner atau berpasangan yang membentuk suatu sistem hubungan di antara satu elemen dengan elemen lainnya. Karena itu, ruang di dalam rumoh Aceh akan ditanggapi sebagai elemen yang berdiri sendiri dan hanya akan mempunyai makna apabila dikaitkan dengan elemen lain sehingga membentuk sebuah “teks” yang berisi pesan-pesan tertentu atau ide-ide tertentu yang bersifat sosial maupun individual. Dalam hal ini elemen lain yang dimaksud adalah ruang-ruang lainnya yang ada di dalam rumoh Aceh dan kategori-kategori sosial yang mengikutinya, sehingga dapat membentuk sebuah teks yang dapat dibaca dan bermakna. Seperti yang dikatakan oleh Heddy Shri Ahimsa Putra (2006: 66) bahwa berbagai aktivitas sosial manusia beserta hasilnya merupakan tanda atau dan simbol yang menyampaikan pesan-pesan tertentu.<br />Melalui prosedur yang sesuai dengan pendekatan strukturalisme dari Levi-Strauss inilah struktur tersebut dapat dipelajari dan dipahami. Dengan demikian dapat diharapkan dapat ditemukan struktur dibalik orientasi arah letak, bentuk, dan tata ruang rumoh Aceh dan kaitannya dengan model struktur pemikiran orang Aceh.Agus Budi Whttp://www.blogger.com/profile/13161122292896882482noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6950921972703102550.post-70852954116372017622009-09-24T15:06:00.000+12:002009-09-24T15:10:33.138+12:00Tueng Bila dalam Masyarakat AcehOleh: Agus Budi Wibowo<br />A.Pendahuluan<br /><br />Setiap komunitas di seluruh dunia mempunyai karakteristik khas. Karakteristik ini membedakan antara satu komunitas dengan komunitas lainnya. Aceh merupakan sebuah entitas wilayah dan suku bangsa yang berbeda dengan komunitas lainnya di Indonesia. Pengetahuan tentang karekteristik suatu masyarakat sangat penting bagi sebuah negara yang terbentuk dari berbagai suku bangsa seperti Republik Indonesia.<br />Ureueng Aceh memiliki budaya tersendiri dalam bertingkah laku, bersikap, beradat, berbudaya, dan sebagainya. Ureueng Aceh umumnya berkarakter keras, tidak mau begitu saja didikte, tidak cepat menyerah hampir dalam semua kesempatan dan teguh dalam menghadapi masalah (Kurdi, 2001: 29; Zainuddin, 2007: 124). Sedangkan menurut pandangan Abdullah (2007: 2-3) lebih mempertegas lagi bahwa adat tata kelakuan masyarakat Aceh identik dengan nilai-nilai budaya Islam. Hal ini ditandai dengan empat ikon nilai-nilai budaya Islami yang menandakan keberadaan ureueng Aceh. Pertama, Aceh dikenal sebagai tempat di mana agama dan adat menjadi dua pilar penting dalam penataan sosial: "Adat bak Po Teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala". Sisi kehidupan sosial budaya Aceh yang dibangun atas dasar agama dan adat membentuk suatu sumber penataan sosial (Sufi dan Wibowo, 2004: 88). Kedua, ureueng Aceh dikenal sebagai pemberani yang mendapatkan pembenaran historis pada perang melawan Portugis selama 120 tahun dan perang Aceh melawan Belanda hampir 70 tahun sejak maklumat perang disampaikan Belanda pada 26 Maret 1873. Kedua perang memperlihatkan keteguhan hati orang Aceh dalam mempertahankan wilayah dan sesuatu yang diyakini benar, khususnya jika itu menyangkut kebenaran agama. Ketiga, ureueng Aceh juga memiliki keyakinan dan kepercayaan diri yang tinggi yang disebabkan oleh adanya kebanggaan sebagai ureueng Aceh. Kebanggaan ini tentu saja bersumber dari sejarah dan hikayat yang terus menerus dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Keempat, ureueng Aceh menjunjung tinggi nilai-nilai kolektif. Hal ini antara lain tampak dari kebiasaan ureueng Aceh untuk berkumpul di warung kopi, saling mengunjungi, kenduri, serta ucapara-upacara yang melibatkan banyak orang (Wibowo, 2004). <br /> Pada bagian lain Sufi (1997: 4) mengatakan bahwa salah satu karakteristik budaya masyarakat Aceh adalah suka melakukan tueng bila, maksudnya menuntut bela. Stereotif tersebut, benar atau salah, sering memberikan kesan yang menakutkan bagi pihak luar. Stereotif ini menjadi negatif apabila tidak dimaknai dengan benar. Ada pendapat bahwa menuntut bela ini dapat dimaknai sebagai dendam dalam arti negatif sehingga masyarakat Aceh dianggap sebagai masyarakat yang pendendam. Oleh karena itu, pemaknaan sebuah karakter komunitas harus dilihat dari sudut pandang pemilik karakter tersebut. Dengan demikian, tidak akan menimbulkan sikap etnosentrisme yang sempit. Apalabila dirunut sejarahnya, tueng bila telah dilakukan oleh ureueng Aceh sejak zaman kolonialis Belanda, bahkan mungkin terjadi pada masa-masa sebelumnya.<br /><br /><br />B.Arti Tueng Bila<br /><br />Tueng bila merupakan bagian dari protipe watak orang Aceh, yang tampak pada pikiran, perilaku, tindakan, sikap, dan tutur kata. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Harun (2008: 16) terhadap hadih maja yang mengandung nilai filosofis, tampak bahwa orang Aceh memiliki prototipe watak yang (1) reaktif, (2) militan, (3) optimis, (4) konsisten, dan (5) loyal. Ciri-ciri tersebut mewarnai pola pikir dan pola tindak mereka dalam kehidupan, salah satunya terkait dengan perilaku tueng bila yang dilakukan oleh ureueng Aceh. Menurut Syamsuddin (2000) bahwa tueng bila itu sifat dari orang Aceh untuk balas dendam terhadap sesuatu yang mana balas dendam tersebut dapat dilakukan kapanpun juga tergantung kesempatan. <br />Oleh karena itu, istilah tueng bila merupakan suatu kata yang tidak asing lagi bagi kalangan ureung Aceh. Seperti telah disebutkan sebelumnya dalam adat dan kebiasaan ureueng Aceh perkataan tueng bila sudah sangat terikat dengan kepribadiannya (Sufi, 2003; Adan, 2006: 86). Menurut Aboebakar dkk (2001: 1004) dalam Kamus Bahasa Aceh-Indonesia, Teung bila berasal dari dua suku kata, yaitu tueng dan bila yang artinya mengambil atau menuntut bela. Akan tetapi, dalam buku Kamus Aceh-Bahasa Indonesia (Aboebakar dkk, 2001: 83) terdapat juga kata bila yang merupakan kata benda dari bela yang artinya pembalasan, menuntut ajal lawan atau keluarganya sedangkan kata Tueng dapat diartikan sebagai menerima (Daud dan Durie, 2002: 42), atau dapat juga diartikan menjemput, Dengan demikian, tueng bila dapat diartikan menjemput atau menuntut balas/ajal terhadap lawan atau keluarganya.<br />Sufi (2003: 14) mengartikan tueng bila sebagai menuntut bela. Tentunya, seorang Aceh akan menuntut atas kerugian yang dideritanya. Menuntut bela ini hendaknya diartikan dalam kerangka yang positif karena memang dalam bahasa Aceh terdapat pula perkataan menuntut balas (dendam) yang disebut dam dan menyimpan dendam (trόh dam). Akan tetapi, penggunaannya sangat negatif. <br />Adan (2006: 85) menyatakan bahwa tueng bila yang dalam bahasa Melayu bermakna sebagai balas dendam merupakan sebuah fenomena lama yang dapat dikonotasikan juga sedikit negatif dalam arti sebuah pembalasan dendam. Selanjutnya, apabila kita telusuri lebih jauh makna serta hakikat daripada kata tueng bila, ia tidak terlepas dari sebuah manifestasi imaginasi konkrit dari seseorang yang merasa dikhianati untuk meluruskan persoalan yang sebenarnya. <br />Ajaran agama Islam sebenarnya juga mengenal menuntut balas atau membela kehormatan. Akan tetapi, menuntut balas yang dilakukan adalah atas kerugian yang diderita. Pada masa Nabi Muhammad SAW penyerangan-penyerangan tentara Islam terhadap orang kafir dilakukan setelah lebih dahulu diberikan peringatan serta ajakan untuk memilih agama yang benar. Selain itu, keputusan untuk melaksanakan hukum hudud dan qishas, merajam melalui persetujuan Nabi Muhammad SAW. <br />Menuntut balas bukan dilakukan berdasarkan pada subjektifitas seseorang dan merupakan wajib bagi umat Islam. Dasar dari menuntut balas ini terdapat pada Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 178, yang Artinya,<br />Wahai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) Qisas2 berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik dan membayar diat (pampasan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rakhmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka ia mendapat azab yang sangat pedih.<br />Selain itu juga pada surat Al Maidah ayat 45 disebutkan upaya menuntut balas diwajibkan bagi umat Islam, yang artinya,<br />Kami telah menetapkan bagi mereka didalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya (balasan yang sama). Barang siapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu (menjadi) penebus bagi dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.<br /> Oleh karena itu, menurut Ismail (2006:3), asas tueng bila yang dilakukan oleh ureueng Aceh harus memenuhi kriteria tertentu, tidak asal melakukannya begitu saja. Selanjutnya Ismail menyatakan sebagai berikut,<br />“Dalam kehidupan keluarga Aceh, tidak ada ”dendam”, karena amat bertentangan dengan syari’at Islam (hukom ngon agama, lagei zat ngon sifeut). ”Tueng bila” dilakukan karena terpaksa demi untuk ”membela diri/bila droe” menegakkan kehormatan, agama, martabat keluarga, harta benda dan nyawa atas segala kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang lain”.<br /><br />C.Makna Tueng Bila sebagai Harkat dan Martabat<br /><br />Dipermalukan secara terbuka atau di muka umum berupa provokasi tertentu pada hal-hal khusus sampai batas derajat tertentu pasti membuat luka yang dalam dan mengganggu keseimbangan emosi. Hal yang disebutkan itu dapat menjadi awal dari perilaku tueng bila bagi ureueng Aceh. Lebih lanjut ureueng Aceh akan merasa terhina akibat perlakuan buruk yang dirasakan dan menjatuhkan martabat kemanusiaannya. <br />Malu (bahasa Aceh: malee) bagi ureueng Aceh adalah sesuatu yang harus ditutupi, harus “ditelan” dan tidak boleh orang tahu. Tidak ada air talang dipancung, tak ada emas bungkal diasah adalah alasan untuk melakukan apa saja, apabila suatu keadaan menjadi darurat (noodzaak), yaitu untuk menutupi malu. Kehilangan harga diri bagi orang Aceh adalah kehilangan segala-galanya karena tidak hanya membuat diri sendiri, tetapi juga malu kawom. Menurut Sufi (2000) mengatakan bahwa,<br />“Yang namanya orang Aceh, hubungan kaum atau kekerabatannya sangat tinggi. Kalau salah satu anggota kaum tersebut terkena sesuatu, maka keluarga dari anggota kaum itu akan menuntut. Mereka akan tueng bila”.<br />Membuat tingkah laku yang memalukan tidak hanya merusak diri pribadinya, tetapi juga memalukan dan merusak kawomnya secara keseluruhan, keluarga, dan kampungnya (saboh keubeue meukubang, ban saboh weue meuleuhob) (Satu kerbau berkubang, seisi kandang berlumpur). Dalam hal ini juga Islam juga memerintahkan untuk menjaga martabat, harga diri, dan malu (Aswar, 2007: 25-27). Selain itu juga rasa malu merupakan refleksi daripada kata hati yang dapat berupa perasaan salah, penyesalan, kesadaran atau kewajiban, tanggung jawab, dan ketaatan agama (Alisyahbana, tt: 56-57; Hasyim dkk, 1997: 30).<br />Untuk itu, provokasi yang membuat malu harus dihindari atau pantang (tabu). Bahkan untuk sekedar mencoba-coba atau bergurau sekalipun. Menurut Dally (2006: 1) ada lima perilaku yang tidak boleh dilakukan agar tidak mendorong tueng bila bagi ureueng Aceh. Pertama, menyangkut penghinaan terhadap agama Allah, Tuhan, Rasul-rasul Allah, pelecehan terhadap Nabi Muhammad SAW, para Rasul Anbiya, Kitab Suci Al Qur’an, dan segala simbol yang dianggap suci dalam agama Allah. Kedua, mempermalukan kedua orang tua di depan umum lebih-lebih jika anak-anaknya (laki-laki) hadir di sana. Lembaga orang tua sangat dimuliakan, sangat terhormat di mata anak-anaknya dan keturunannya. Ketiga, mempecundangi, menggoda atau berselingkuh dengan istrinya. Istri merupakan lambang kesucian dan kehormatan diri, keluarga, dan keturunannya kelak. Bagi lelaki Aceh hal ini tidak ada toleransi sedikitpun. Keempat, mengganggu anak gadisnya yang mana sama kedudukannya dengan istrinya sebagai lambang kesucian keturunannya. Apabila berminat lamarlah dengan baik dan terhormat. Kelima, tanah (lahan) dan air sawah saat segera akan bertanam padi. Membuat provokasi berupa menggeser sempadan atau garis batas lahan walau sejengkal sekalipun. Mengeringkan air sawahnya pada saat bertanam mutlak suatu penghinaan yang sangat serius. Ungkapan ini sering dikembangkan sebagai membela “tanah air”. Kelima hal tersebut di atas terangkum dalam narit maja di bawah ini,<br />Méë ta maté bak limong pat maleë<br />Keu sa bak agama Allah ji peuhina<br />Dua ma ngon ku teuh ji peumaléë<br />Lhee aneuk dara teuh ji peukaru<br />Peuet inong peurumoh ka gop cuca<br />Limong ceue ji peuiseuk ie ji peutho jan seumula<br />Artinya:<br />Patut kita (bela sampai) mati pada lima macam permaluan<br />Pertama bila agama Allah diperhinakan<br />Dua ibu dan ayah dipermalukan<br />Tiga istri diselingkuh orang<br />Empat anak gadis diganggu/dilecehkan orang<br />Lima digesernya sempadan, dikeringkan air sawah saat akan bertanam padi<br /> Setiap perilaku terhadap seseorang yang menyangkut lima hal tersebut dapat menjadi sebuah penghinaan. Setiap penghinaan akan dirasakan sebagai kehilangan martabat atau harga diri, tidak dihargai, dianggap sepi sehingga secara total merasa diri tidak berharga. Akibatnya, orang akan berusaha membela kehormatan diri dengan berbagai cara dan bentuknya, baik bertindak positif maupun negatif, untuk membuat perhitungan agar diri kembali berharga, termasuk menyambung nyawa, memamerkan kemampuannya dalam membinasakan hidup orang lain dengan nyawanya sendiri sebagai taruhan. Nibak putéh mata get putéh tulueng (daripada putih mata lebih baik lebih baik putih tulang) merupakan ungkapan yang mendukung pertaruhan terhadap harga diri ureueng Aceh. Jadi kebanggaan bagi laki-laki Aceh adalah jadi orang akan memilih mati (sebagai satria) daripada hidup terhina.<br /> Untuk itu, konsep tueng bila ini merupakan salah satu prinsip hidup yang masih sulit ditinggalkan sebagian besar ureueng Aceh, karena berkaitan dengan harkat dan martabat dirinya sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial. Karena itu, jika suatu pembunuhan tidak diselesaikan dengan perdamaian, terutama perdamaian menurut adat, hampir dipastikan bakal ada pembunuhan balasan dengan cara yang sama atau lebih jahat lagi. Dalam konteks ini lebih jauh berkaitan dengan perbenturan fisik atau dalam konsep tueng bila ‘menuntut balas’, tidak lagi pada tataran hinaan dengan kata-kata atau perilaku. Jadi, kalau si A membacok si B, maka si B akan membacok si A, atau kalau si A membacok si B sampai mati, maka keluarga si B akan balas membacok si A sampai mati juga.<br /> Menurut Harun (2008: 16) kondisi tersebut tidak terlepas dari watak orang Aceh yang sangat reaktif dalam menanggapai suatu masalah yang terjadi dalam lingkungan hidupnya sehari-hari. Reaksi itu muncul, terutama jika berhubungan dengan eksistensi dirinya sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial. Sebagai makhluk pribadi, orang Aceh memiliki harga diri yang keberadaannya dipertaruhkan dalam konstelasi sosial budaya kehidupannya. Karena itu, sifat reaktif diperlukan untuk mengawal harga diri dan menunjukkan eksistensi diri sebagai makhluk pribadi dan sosial. Ureueng Aceh memang dikenal sebagai salah satu suku bangsa yang cenderung memiliki sifat reaktif yang kuat dalam konteks menjaga harga dirinya. Hal ini, antara lain, dapat tampak pada hadih maja berikut ini.<br /> Meunyo até hana teupèh<br /> Aneuk krèh jeuet taraba<br /> Meunyo até ka teupèh<br /> Bu leubèh han jipeutaba<br />Artinya <br />(Kalau hatinya tidak tersinggung<br />Buah pelir pun boleh diraba-raba<br />Kalau hatinya sudah tersinggung<br /> Nasi lebih (sisa) pun tidak akan ditawarkannya)<br />Selanjutnya Harun menyatakan bahwa secara umum hadih maja di atas menggambarkan salah satu sifat ureueng Aceh yang suka bersikap ramah dan baik hati kepada semua orang, tetapi kadangkala juga dapat bersifat pemarah dan pendendam. Kedua sisi sifat tersebut tentu saja timbul karena ada relasi sebab-akibat. Dalam dua baris pertama, misalnya, dilukiskan bahwa jika ureueng Aceh tidak tersinggung perasaannya, mereka tidak pernah memperlihatkan rasa permusuhan kepada siapa pun, dan bahkan akan terjalin suatu persahabatan yang melebihi sahabat karib. Hal ini ditandai oleh ungkapan aneuk krèh jeuet taraba (biji pelir pun boleh diraba-raba). <br />Adagium ini tentu tidak lahir begitu saja tanpa dipengaruhi oleh perjalanan sejarah dan unsur budaya, karena menyangkut alat kejantanan laki-laki (kemaluan) yang melambangkan harga diri seseorang. Dalam dunia nyata, meraba testis seseorang (mungkin bukan hanya untuk kasus ureueng Aceh) adalah tindakan kurang ajar dan dapat menyebabkan perkelahian atau bahkan pembunuhan terhadap si pelaku. Namun, demikianlah kiranya kesabaran, keluwesan, kelembutan budi, keterbukaan yang diperlihatkan ureueng Aceh dalam pergaulan sehari-hari, asalkan perasaan mereka tidak tersinggung atau hati mereka tidak terlukai. Kenyataan ini, misalnya, dapat dibuktikan dengan banyaknya etnis yang mendiami Aceh dan dapat hidup berdampingan secara damai karena mereka tidak pernah membuat tersinggung ureueng Aceh.<br />Di sisi lain, jika ureueng Aceh sudah tersinggung perasaannya, mereka akan memperlihatkan sikap yang cenderung apatis, tertutup, pemarah, bahkan pembenci; sangat tergantung situasi dan kualitas ketersinggungan mereka. Baris ketiga dan keempat dalam (1) menunjukkan tingkat ketersinggungan yang sedang (medium). Dalam kaitan ini, orang-orang yang menyakiti hati mereka akan mereka tempatkan pada posisi ‘bukan sahabat’, ‘bukan tamu’, ‘bukan keluarga’, dan ‘bukan musafir’. Hal ini, antara lain, ditandai oleh klausa bu leubèh han jipeutaba ‘nasi lebih (sisa nasi) pun tidak akan ditawarkannya’ yang merepresentasikan rasa muak, jengkel, dan kesal mereka.<br />Seperti yang telah disebutkan di atas, keaiban yang menimpa seseorang, misalnya dalam lingkungan rumah tangga, merupakan hal yang paling sensitif bagi masyarakat Aceh. Tindakan menjadikan diri sendiri sebagai hakim dengan melakukan tueng bila, bukan hanya terjadi di masa lalu saja, tetapi khususnya yang menyangkut soal nama baik rumah tangga hingga saat ini pun masih ada. Di bawah ini merupakan salah satu contoh yang dijumpai oleh Panglima Polem (1977: 108-109) di Indrapuri Aceh Besar,<br />“Pada suatu malam, seorang suami ketika saya pulang dari mencari ikan, melihat gejala yang mencurigakan di dalam rumahnya, dimana istrinya ditinggalkan seorang diri. Sang suami bertambah yakin akan dugaannya ketika di dekat tangga ia melihat adanya sepasang sandal seorang laki-laki. Dengan tidak berfikir panjang, ia mencabut parang yang senantiasa tersisip di atas rumahnya sekaligus mendobrak pintu kamarnya. Rupanya laki-laki hidung belang itu, dapat menyelamatkan dirinya melalui pintu samping. Karena emosi yang tidak terkendalikan dan merasa aib, tanpa berfikir panjang, suami tersebut langsung membunuh istrinya yang telah berbuat serong itu dan seketika itu juga meninggal dunia. Tindakan suami yang demikian oleh masyarakat dianggap sebagai perbuatan “jantan” dan bahkan sangat disesalkan mengapa tidak terbunuh kedua-duanya”.<br />Apa yang dilakukan oleh suami (dalam contoh di atas) tersebut merupakan sebuah upaya membela kehormatan dirinya sebagai laki-laki. Harga diri bagi banyak orang merupakan suatu hal yang sangat utama. Untuk itu, ia akan melakukan apa saja yang dipandang perlu agar seseorang tidak kehilangan harga dirinya. Perbuatan mengganggu istri orang berarti telah melanggar pantangan dalam adat Aceh. Kalau hal ini dilanggar berarti ia telah siap melangkahi mayat suaminya. Nasihat kepada istri sering dikatakan tika eh lakoe ta jaga beuget (tempat tidur suami harus dijaga dengan sangat baik) (Aswar, 2008: 10). Senada dengan dikatakan oleh Dally (2006: 1), Harun (2008: 16-26) mengatakan bahwa semangat juang yang tinggi untuk menegakkan kebenaran dan atau menjaga harga diri, dalam pandangan orang Aceh, pada saat tertentu menjadi sesuatu yang “wajib”. Hal ini, sesuai dengan hadih maja yang menyatakan bawa Nibak mirah blang bah mirah jurèe, Nibak malèe bahlé maté (Daripada merah sawah biarlah merah kamar Daripada malu biarlah mati).<br />Dalam konteks yang agak terbatas, hadih maja di atas diucapkan untuk melukiskan kewajiban seorang suami membunuh laki-laki yang tertangkap basah berzina dengan istrinya. Artinya, seorang suami yang memiliki harga diri akan lebih baik mati di rumahnya sendiri dalam membela kehormatan rumah tangga daripada hidup menanggung malu karena dicemooh orang kampungnya selama hidupnya. Jika hal itu tidak dilakukannya, ia dikatakan oleh masyarakat sebagai lelaki yang tidak pernah meraba pelirnya ‘agam hana raba krèh’ atau dengan kata lain ia bukanlah lelaki yang sering diasosiasikan dengan keberanian dan keperkasaan; ia lelaki yang tidak bertanggung jawab dan penakut. <br />Diksi ‘merah’ dalam baris pertama menunjukkan kepada darah yang dalam konteks ini merupakan ekses dari pembunuhan atau perkelahian. Perkelahian tersebut tidak jarang mengakibatkan meninggalnya sang suami, atau sang pengganggu, atau kedua-duanya. Bagi pengganggu, kematian itu adalah kematian ternista, sedangkan bagi suami kematian itu merupakan kematian terhormat (secara sosial). Karena itu, dapat disimpulkan bahwa untuk menjaga kehormatan diri dan keluarga, seseorang pantas mengambil tindakan tegas terhadap pengganggu rumah tangganya tanpa harus menunggu proses hukum. Tindakan ini menurut adat Aceh hanya dipahami kalau berlaku dalam rumah dan halaman, di luar kawasan itu dianggap kriminal atau pembunuhan biasa. <br />Simbolisasi harga diri yang cukup besar bagi masyarakat Aceh, menurut Hamidy (1977: 37), dapat kita runut akarnya pada hikayat yang pernah ada di daerah ini. Salah satu hikayat yang dimaksud adalah Hikayat Maleem Diwa. Hikayat tersebut menceritakan seorang tokoh – dalam hal ini Maleem Dewa – yang dapat memperistri wanita yang berasal dari kahyangan. Hal demikian, menurut Hamidy, telah menaikkan harga diri masyarakat manusia di bumi. Maleem Diwa sebagai wakil masyarakat dapat disejajarkan dengan makhluk kayangan. Penghargaan dan pandangan seperti itu tidaklah mengherankan akhirnya berkembang menjadi suatu pengakuan terhadap Maleem Diwa sebagai makhluk keramat atau sakti.<br />Kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh Belanda telah memicu dendam yang tidak berkesudahan bagi pribadi-pribadi ureueng Aceh. Menurut Abdullah (1996: 18) tradisi wali dan karong, turunan darah pihak ayah dan turunan darah pihak ibu sebagai pihak pertama dan pihak kedua yang akan bangkit menuntut bela (tueng bila) atas kematian keluarganya. Kesiapan menuntut bela ini merupakan prestise dan martabat keluarga. Jika tidak ada seorang pun yang bangkit membalaskan dendam keluarga, takut menghadapi musuh, maka keluarga tersebut dipandang tidak berharga sedikit pun di mata masyarakat. Oleh karena itu, seorang pemuda yang tidak terjun ke medan perang untuk menuntut bela kematian orang tuanya akan menerima sanksi yang berat dari masyarakat. Bahkan istri-istri yang ditinggal gugur oleh suaminya bangkit menuntut bela suami-suaminya (misalnya, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, dan lain-lain). Tradisi ini ditambah dengan fanatisme agama, perang sabililillah yang dipompakan melalui pembacaan Hikayat Prang Sabi yang termasyur itu lengkaplah pemicu perang yang sulit dipatahkan oleh Belanda. Oleh karena itu, seperti telah disebutkan dalam bahasan sebelumnya, tueng bila pada masa kolonial Belanda mewujud dalam perilaku bertempur habis-habisan sampai menemui syahid dan perlawanan secara sendiri-sendiri, yang disebut oleh ureueng Aceh sebagai aksi poh kaphe atau Aceh Moorden bagi orang Belanda. Untuk itu, R.A. Kern (1994: 75) yang pernah mengadakan penyelidikan tentang motivasi perang dilakukan oleh rakyat, menyatakan tentang latar belakang timbulnya pembunuhan-pembunuhan Aceh dilakukan karena rasa/komplek benci kaphe/kaphe complex yang dimilikinya dengan cara tueng bila. Selanjutnya, Kern mengatakan bahwa,<br />“Hal itu sebenarnya dilatarbelakangi oleh kebencian yang meluap-luap terhadap orang-orang yang dianggap kafir dan adanya hasrat mati syahid. Selain itu, juga karena adanya perasaan ingin tueng bila (semacam balas dendam) terhadap mereka yang telah membunuh keluarganya atau kepada mereka yang telah membuat malu keluarga atau dirinya”.<br />Motif pembalasan dendam yang dilakukan dengan modus tueng bila, menurut Kern seperti disebut di atas, dapat ditimbulkan oleh berbagai sebab, yaitu<br />1. Perlakuan tidak baik<br />2. Perampasan kebebasan<br />3. Melukai perasaan<br />4. Keresahan karena tidak diperlakukan secara adil<br />5. Perlakuan yang tidak adil oleh kepala-kepala<br />6. Patah hati karena asmara<br />7. Tidak puas menurut perasaan keadilan.<br />Kebencian yang meluap-luap atas keberadaan kafir Belanda di Aceh yang telah memporakporandakan sendi-sendi kehidupan dan mengakibatkan kematian anggota keluarga membuat seseorang ingin melakukan tueng bila. Hal ini tampak pula pada diri pahlawan nasional Cut Nyak Dhien. Sufi (2008: 10) menyatakan hasrat tueng bila pada diri Cut Nyak Dhien ini tampak pada pernyataan sebagai berikut,<br /> “Hasrat Cut Nyak Dhien untuk melakukan tueng bila atas kematian suaminya yang merupakan salah satu penyebab mengapa ia bersedia nikah lagi dengan Teuku Umar yang telah beristri dua. Di sini jelas bahwa Cut Nyak Dhien memanfaatkan Teuku Umar yang dianggap mempunyai potensi dalam upaya untuk tueng bila atas kematian suaminya yang pertama...”<br />Berikut ini juga ditampilkan salah satu pembunuhan yang didasari oleh semangat tueng bila terhadap seorang perwira Belanda yang dilaporkan Komandan Divisi 5 Marsose, Anton yang dikutip oleh Sufi (2002: v) yang mengatakan bahwa<br /> “Salah seorang perwira Belanda yang menjadi korban akibat pembunuhan khas Aceh ini ialah Kapten C.E. Schmid, komandan Divisi 5 Korps Marsose di Lhoksukon pada tanggl 11 Juli 1933 yang dilakukan oleh Amat Lepon, sementara pada bulan Nopember 1933 dua orang anak-anak Belanda yang sedang bermain di Taman Sari Kutaraja (sekarang Banda Aceh) juga menjadi korban pembunuhan khas Aceh ini. Amat Lepon menyaksikan ayahnya Teungku Beureunuen syahid tewas ditembak serdadu Belanda tatkala ia berumur 10-12 tahun, rasa dendam dengan semangat ingin menuntut bela (tueng bila) dipendamnya selama lebih 20 tahun kemudian”.<br />Hal tersebut juga diakui pula oleh Adan (2006: 87) yang menyatakan bahwa perjuangan yang dilakukan oleh para pejuang Aceh melawan Belanda merupakan manifestasi dari tueng bila yang melekat dalam jiwa dan raga para mujahid besar, seperti Teungku Chik Di Tiro, Cut Nyak Dhien, Fakinah, Pocut Baren, dan lain-lain. Beberapa kasus yang dapat ditangkap sebagai wujud perilaku tueng bila tampak dari pernyataan Adan di bawah ini,<br />“Menghayati proses tueng bila bagi bangsa Aceh memang sungguh sangat menarik serta punya makna tersendiri. Sejarah telah mencatat apabila orang Aceh telah meudarah ate (sakit hait yang sangat mendalam), maka jalan keluarnya adalah tueng bila. Dua contoh yang dikemukakan penulis terkemuka H.M. Zainuddin merupakan rujukan saheh serta akurat walaupun tidak berani dijadikan referensi. Ketika perang melawan Belanda sedang berkecamuk di bumi Aceh seorang kampung Nyong di Kecamatan Geulumpang Minyeuk (sekarang Geulumpang Baro), Pidie, Abdul Hamid dengan bersahaja seorang diri menghadang pasukan Belanda di sebuah jambo (gubuk) di tengah sawah untuk membunuh sebagai sebuah manifestasi tueng bila terhadap pembunuhan orang-orang kampung tersebut oleh pihak Belanda. Dalam kasus lain seorang perempuan setengah baya dalam sebuah kereta api dari arah Langsa ke Sigli dengan geramnya menusuk seorang Belanda yang tengah duduk santai di kursi kereta api tersebut. Ketika ditanyai orang banyak sang wanita menjawab: aku benci kafir itu yang telah menghancur luluhkan Islam dan ummat Islam di bumi ini dan itulah ganjaran tueng bila daripadaku, ujarnya tegas”.<br />Pada masa konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dengan pemerintah Republik Indonesia terminologi kata tueng bila sering kali dipakai ketika Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk menuntut balas atas kematian warga akibat operasi-operasi yang dilakukan oleh TNI di berbagai daerah di Aceh. Hal ini dapat kita lihat dari berita-berita yang dilansir oleh media lokal di Aceh. Selain penyerangan yang dilakukan oleh sekumpulan pasukan GAM terhadap aparat di Aceh selama konflik, mereka juga melakukannya secara individu seperti membacok atau menikam di tempat keramaian umum seperti pasar. Pola yang sama pernah terjadi pada masa kolonial Belanda. <br /> Mengenai tueng bila yang sering dinyatakan oleh Gerakan Aceh Merdeka sebagai sebuah pembalasan terhadap aparat TNI/Polisi, Siegel (2000: 391) mengatakan bahwa,<br /> ”The failure of Indonesia, like its success, is a question of ”the people” metamorphose into ”the masses” and into criminals while their spokes persons become themselves criminal. The pattern of violence varies accordingly. The violence in Aceh ini 1999 was mainly produced by the army, and so too was the massacre in Aceh in 1965-66 of all suspected communists. The difference comes with public support – or not – of the army. When I was in Aceh ini 1999, there had been about thirty murders known as “revenge killings” (tueng bila). In most these incidents two or three men on a motorbike rode to a village coffe shop, that someone with a rifle, and rode off. Those killed were often identified as informer for the army. People knew that the army had forced certain villagers to identify their neighbors as members of the GAM on pain of the rape of their sisters, the kidnapping of their fathers, and so on. The government was blamed for this practice, but knowlodge of it also supported the possibility that the killer”<br />Artinya<br /> “Kegagalan Indonesia sebagaimana kesuksesannya merupakan suatu hal yang mengalami metamorfosis dimulai dari “rakyat” yang menjadi “massa” yang selanjutnya berubah menjadi pelaku kriminal ketika pemimpin mereka sendiri adalah penjahat. Pola kejahatannya itu bervariasi sesuai dengan metamorfosis yang terjadi. Kejahatan yang terjadi di Aceh pada tahun 1999 umumnya dilakukan oleh tentara. Demikian juga dengan pembataian terhadap para tersangka penganut komunis yang terjadi di Aceh pada tahun 1965-1966. Perbedaannya terdapat pada ada atau tidaknya dukungan warga terhadap tentara. Pada saat saya berada di Aceh tahun 1999 terdapat 30 kasus pembunuhan yang dikenal sebagai “pembunuhan balas dendam” (tueng bila). Dalam kebanyakan kasus seperti ini, biasanya dua atau tiga laki-laki yang mengendarai motor menuju warung kopi, kemudian menembak, lalu pergi. Orang yang terbunuh dengan cara ini dianggap sebagai informan tentara. Orang-orang tahu bahwa para tentara memaksa penduduk untuk memberi informasi siapa diantara mereka yang menjadi anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan ancaman pemerkosaan terhadap saudara perempuan mereka, penculikan terhadap orang tua, dan lain sebagainya. Dalam praktek ini pemerintahlah yang disalahkan bahkan pengetahuan akan hal ini jug mendukung kemungkinan bahwa pembunuh…”.<br /> <br />D.Penutup<br /><br /> Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa Tueng bila merupakan bagian dari upaya ureueng Aceh dalam rangka menegakkan harkat dan martabat ureueng Aceh sebagai manusia. Untuk itu, kekerasan yang terjadi (sebagai akibat tueng bila) dihargai dan “direstui” oleh budaya masyarakat. Tueng bila adalah sebuah tindakan yang harus diterima (taken for granted) dan dianggap “bermoral”, wajar dan bukan perbuatan tercela. Bahkan apabila dalam suatu kasus, seseorang tidak melakukan tueng bila, ia akan mendapat hinaan dari masyarakat. Untuk itu, ureueng Aceh akan melakukan tindakan apa saja dalam rangka tueng bila, sekalipun harus mengorbankan nyawa sebagai taruhannya.<br /> Tueng bila merupakan harga diri dan watak dari ureueng Aceh. Berawal dipermalukan dan merasa terhina, seseorang akan membangun kembali harga diri dan martabatnya. Pembelaan terhadap harga diri seringkali dilakukan dengan tindakan-tindakan yang seringkali tidak masuk akal, misalnya melakukan pembunuhan nekad, yang pada zaman kolonial Belanda sering disebut Aceh Moorden (bahasa Aceh: po kaphe).<br /> Predikat sebagai orang yang membela kehormatan agama merupakan kebanggaan tersendiri bagi mereka yang melakukan tueng bila terhadap penodaan agama. Di samping itu, tueng bila juga dilakukan sebagai tindakan pembalasan terhadap orang yang melakukan pelecehan harga diri, misalnya gangguan terhadap istri dan anak gadis, yang menyebabkan ureueng Aceh malee. Dalam konteks ini tueng bila merupakan institusionalisasi kekerasan yang mencerminkan monopoli kekuasaan dan perlindungan laki-laki terhadap perempuan dan manifestasi dari peran dan tugas laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Makna-makna yang ada dalam motif tueng bila seperti tersebut di atas dapat dikatakan sebagai bagian dari sistem komunikasi budaya. Bagi pelaku tueng bila dan masyarakat, tueng bila dianggap sebagai simbol tentang sikap dan perilaku kekerasan terhadap pelecehan harga diri keluarga, kawom, dan masyarakat dimana mereka berada. Mereka yang telah melakukan tueng bila dianggap telah melaksanakan kewajiban sosialnya terhadap keluarga, kawom, dan masyarakat, dan bahkan negara, baik laki-laki maupun perempuan.<br /><br />Daftar Pustaka<br />Abdullah, T. Imran. 1996. ”Alam Budaya Pantai Barat”, dalam Piasan Raya Alam Budaya Pantai Barat, Imran T. Abdullan dkk (eds). Meulaboh: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Barat.<br />Abdullah, Irwan. 2007. “Potret Retak Komunalisme Aceh”. Makalah Bahan Perbincangan Masa Depan Aceh di Aceh Institute tanggal 8 Juni 2007.<br />Aboebakar dkk. 2001. Kamus Bahasa Aceh-Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.<br />Adan, Hasanuddin Yusuf. 2006. Politik dan Tamaddun Aceh. Banda Aceh: Adnin Foundation Aceh.<br />Aswar, Teuku Raja Itam. 2007. “Malu dalam Adat Aceh”. Jeumala No. 21/2007. Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.<br />Hamidy, U.U. 1977. “Peranan Cerita Rakyat dalam Masyarakat Aceh” dalam Alfian (ed.) Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh. Jakarta: LP3ES.<br />Harun, Mohd. 2008. “Prototipe Watak Orang Aceh”, Jeumala No. 25/2008. Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.<br />Hasyim, Abidin dkk. 1997. Budaya Malu dalam Keluarga Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.<br />Ismail, Badruzzaman. 2006. ”Pengaruh Faktor Budaya Aceh dalam Menjaga Perdamaian dan Rekonstruksi”, Makalah disampai-kan pada Seminar Faktor Budaya Aceh Dalam Perdamaian dan Rekonstruksi, yang dilaksanakan oleh Tunas Aceh Research Institute, Darussalam, tanggal 20 September 2006. <br />________________. 2008. Sistem Adat Budaya Aceh. Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.<br />Kern, R.A. 1994. Hasil-hasil Penyelidikan Sebab-Musabab terjadinya Pembunuhan Aceh (terj. Aboebakar). Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh. <br />Kurdi, Muliadi. 2005. Menelusuri Karakteristik Masyarakat Desa Pendekatan Sosiologi Budaya Dalam Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Pena.<br />Panglima Polem, T. Bachtiar Effendi. 1977. “Pengendalian Sosial di Aceh Besar” dalam Alfian Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh. Jakarta: LP3ES.<br />Dally, Ramli A. 2006. Ungkapan Peribahasa Aceh dari Sabda Leluhur. Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.<br />Siegel, James T. 2000. The Rope of God. Michigan: University of Michigan Press.<br />Sufi, Rusdi. 1997. “Pembunuhan Khas Aceh dan Sebutan Aceh Pungo”. Serambi Indonesia, 15 Desember.<br />__________. 2003. “Etnis Aceh”, dalam Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, Ragam Sejarah Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.<br />__________. 2008. “Menelusuri Tindak Cut Nyak Dhien melawan Kolonial Belanda (sebagai inspirasi bagi Perempuan di Era Pembangunan)”, Makalah disampai-kan pada Seminar di Rumah Cut Nyak Dien Lampisang yang diselenggakarakan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan di Banda Aceh tanggal 6 November.<br />Sufi, Rusdi dan Agus Budi Wibowo. 2004. Jelajah Aceh Guide Book to Aceh. Banda Aceh: Dinas Pariwisata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.<br />Wibowo, Agus Budi. 2004. “Hikayat dalam Perspektif Sejarah” dalam Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, Ragam Sejarah Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.<br />Zainuddin, Muslim. 2007. “Syariat Islam di Aceh dalam Dimensi Sosiologis”, dalam Tim Penulis IAIN Ar-Raniry Pergulatan Panjang Budaya Damai dalam Masyarakat Multikultural Kajian Edukasi, Syar’i, Historis, Filosofis, dan Media Masa. Banda Aceh: Yayasan Pena dan Ar-Raniry Press.Agus Budi Whttp://www.blogger.com/profile/13161122292896882482noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6950921972703102550.post-40851241767360502832009-08-05T16:29:00.002+12:002009-08-05T16:33:50.995+12:00Tueng Bila Masyarakat Aceh Pada Masa Kolonialisme BelandaOleh: Agus Budi Wibowo<br /><br /><strong>A.Pendahuluan</strong>S<br /><br />etiap komunitas di dunia memiliki karakteristik khas, yang membedakan satu komunitas dengan komunitas lainnya. Pengetahuan terhadap karakteristik khas ini sangat diperlukan tatkala kita akan menjalin hubungan atau komunikasi dengan komunitas tersebut, sehingga kita akan terhindar dari konflik yang tidak diinginkan dan akan mempermudah kita masuk ke dalam dunia budaya komunitas tersebut.<br />Tulisan ini akan membahas tentang salah satu karakteristik masyarakat Aceh, yaitu tueng bila. Bagi masyarakat Aceh kata ini tidak asing lagi. Akan tetapi, bagi masyarakat luar Aceh tentunya belum banyak mengenal dengan istilah ini. Diharapkan tulisan ini akan membantu pemahaman tentang salah satu aspek dari karakteristik dari masyarakat Aceh, khususnya di era kolonialisme Belanda. <br /><br /><strong>B.Makna Tueng Bila</strong><br /><br />Tueng bila merupakan bagian dari protipe watak orang Aceh, yang tampak pada pikiran, perilaku, tindakan, sikap, dan tutur kata. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Harun (2008: 16) terhadap hadih maja yang mengandung nilai filosofis, tampak bahwa orang Aceh memiliki prototipe watak yang (1) reaktif, (2) militan, (3) optimis, (4) konsisten, dan (5) loyal. Ciri-ciri tersebut mewarnai pola pikir dan pola tindak mereka dalam kehidupan, salah satunya terkait dengan perilaku tueng bila yang dilakukan oleh ureueng Aceh. Menurut Syamsuddin (2000) bahwa tueng bila itu sifat dari orang Aceh untuk balas dendam terhadap sesuatu yang mana balas dendam tersebut dapat dilakukan kapanpun juga tergantung kesempatan. <br />Oleh karena itu, istilah tueng bila merupakan suatu kata yang tidak asing lagi bagi kalangan ureung Aceh. Seperti telah disebutkan sebelumnya dalam adat dan kebiasaan ureueng Aceh perkataan tueng bila sudah sangat terikat dengan kepribadiannya (Sufi, 2003; Adan, 2006: 86). Menurut Aboebakar dkk (2001: 1004) dalam Kamus Bahasa Aceh-Indonesia, Teung bila berasal dari dua suku kata, yaitu tueng dan bila yang artinya mengambil atau menuntut bela. Akan tetapi, dalam buku Kamus Aceh-Bahasa Indonesia (Aboebakar dkk, 2001: 83) terdapat juga kata bila yang merupakan kata benda dari bela yang artinya pembalasan, menuntut ajal lawan atau keluarganya sedangkan kata Tueng dapat diartikan sebagai menerima (Daud dan Durie, 2002: 42), atau dapat juga diartikan menjemput, Dengan demikian, tueng bila dapat diartikan menjemput atau menuntut balas/ajal terhadap lawan atau keluarganya.<br />Sufi (2003: 14) mengartikan tueng bila sebagai menuntut bela. Tentunya, seorang Aceh akan menuntut atas kerugian yang dideritanya. Menuntut bela ini hendaknya diartikan dalam kerangka yang positif karena memang dalam bahasa Aceh terdapat pula perkataan menuntut balas (dendam) yang disebut dam dan menyimpan dendam (trόh dam). Akan tetapi, penggunaannya sangat negatif. Selanjutnya, Sufi mengatakan bahwa,<br /><br />“Dalam buku-buku yang dikarang oleh orang-orang Belanda pada masa lalu ada yang menyebutkan bahwa orang Aceh itu pendendam. Gambaran ini sebenarnya keliru. Orang Aceh sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya sebenarnya hanya mengenal kata tueng bila, maksudnya menuntut bela. Seorang Aceh akan menuntut bela atas kerugian yang dideritanya. Menuntut bela menurut Islam adalah wajib. Ini dijelaskan dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 178 atau surat Al Maidah ayat 45. Akan tetapi, karena prinsip hidup orang Aceh yang lebih menyukai damai itu, maka menjadi tugas bagi eumbah atau ma di sebuah kampung, sebagai tokoh-tokoh yang berwibawa untuk bertindak, sehingga semua persoalan sengketa dapat dinetralkan kembali dalam pergaulan masyarakat di kampung itu. Memang dalam bahasa Aceh ada perkataan dendam yang disebut dam. Akan tetapi, penggunaannya sangat negatif. Jadi, jika dalam praktik terjadi penyimpangan daripada yang disebut di atas, maka orang ini tidak memahami prinsip hidupnya sebagai orang Aceh”.<br /><br />Adan (2006: 85) menyatakan bahwa tueng bila yang dalam bahasa Melayu bermakna sebagai balas dendam merupakan sebuah fenomena lama yang dapat dikonotasikan juga sedikit negatif dalam arti sebuah pembalasan dendam. Selanjutnya, apabila kita telusuri lebih jauh makna serta hakikat daripada kata tueng bila, ia tidak terlepas dari sebuah manifestasi imaginasi konkrit dari seseorang yang merasa dikhianati untuk meluruskan persoalan yang sebenarnya. Dalam hal ini, Adan mengatakan bahwa,<br /><br />“Selalunya tueng bila terjadi sebagai umpan balik dari sesuatu pengkhinatan yang tidak bisa diterima akal sehat dan hukum syara’, seumpama penipuan, pemerkosaan, pembunuhan tanpa syarat, pencurian, dan sebagainya. Dalam kamus orang Aceh lama tueng bila ini merupakan sesuatu yang mesti dilakukan untuk menebus kerugiannya walau apapun risiko yang akan menimpa dirinya, aksi seumpama ini kerap terjadi dalam kehidupan bermasyarakat setelah pihak berkuasa gagal atau tidak tahu menyelesaikan sesuatu konflik yang merugikan salah satu pihak daripada mereka”.<br /><br />Ajaran agama Islam sebenarnya juga mengenal menuntut balas atau membela kehormatan. Akan tetapi, menuntut balas yang dilakukan adalah atas kerugian yang diderita. Pada masa Nabi Muhammad SAW penyerangan-penyerangan tentara Islam terhadap orang kafir dilakukan setelah lebih dahulu diberikan peringatan serta ajakan untuk memilih agama yang benar. Selain itu, keputusan untuk melaksanakan hukum hudud dan qishas, merajam melalui persetujuan Nabi Muhammad SAW. <br /><br />Menuntut balas bukan dilakukan berdasarkan pada subjektifitas seseorang dan merupakan wajib bagi umat Islam. Dasar dari menuntut balas ini terdapat pada Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 178, yang artinya,<br />Wahai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) Qisas1 berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik dan membayar diat (pampasan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rakhmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka ia mendapat azab yang sangat pedih.<br /><br />Selain itu juga pada surat Al Maidah ayat 45 disebutkan upaya menuntut balas diwajibkan bagi umat Islam, yang artinya,<br />Kami telah menetapkan bagi mereka didalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya (balasan yang sama). Barang siapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu (menjadi) penebus bagi dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.<br /><br /> Oleh karena itu, menurut Ismail (2006:3), asas tueng bila yang dilakukan oleh ureueng Aceh harus memenuhi kriteria tertentu, tidak asal melakukannya begitu saja. Selanjutnya Ismail menyatakan sebagai berikut,<br />“Dalam kehidupan keluarga Aceh, tidak ada ”dendam”, karena amat bertentangan dengan syari’at Islam (hukom ngon agama, lagei zat ngon sifeut). ”Tueng bila” dilakukan karena terpaksa demi untuk ”membela diri/bila droe” menegakkan kehormatan, agama, martabat keluarga, harta benda dan nyawa atas segala kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang lain”.<br /><br /><strong>C.Tueng Bila Pada Masa Kolonialisme Belanda</strong><br /><br />Perang Belanda di Aceh merupakan salah satu perang yang dikategorikan cukup lama, membawa korban banyak dan biaya yang besar. Dalam rangka menyelesaikan perang agar tidak terus berkepanjangan ini, Belanda menugaskan Snouck Hurgronje untuk mengadakan penelitian. Hasil penelitian, rakyat Aceh yang taat beragama Islam tidak mungkin menyerah kepada kafir sebelum mereka ditundukkan dengan kekerasan, sikap menunggu dan kompromi tidak akan membawa hasil. Hasil penelitian ini kemudian dijabarkan dengan membentuk korps Marechausee, pasukan berani mati dan sangat kejam. Dengan gerak cepat, pasukan ini akhirnya dapat menaklukkan daerah-daerah sejak dari Aceh Besar sampai ke pantai timur (Doup, 1930; Schmidt, 1942). Setelah Kuta (benteng) Batee Iliek (Samalanga) (1901) menyusul Peukan Baro dan Peukan Sot (1902) (Pidie) jatuh ke tangan Jend. Van Heutsz pasukan reguler Sultan kian terdesak. Akhirnya, karena mendapat tekanan yang terus menerus dan tertangkapnya istri-istri sultan, Pocut Murong dan Pocut Putroe, maka Sultan pun terpaksa menghentikan perlawanan dan berdamai pada tahun 1903 setelah 29 tahun berperang melawan kompeni Belanda.<br />Walaupun begitu, perlawanan individu-individu masyarakat Aceh tetap berlangsung. Kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh Belanda telah memicu dendam yang tidak berkesudahan bagi pribadi-pribadi ureueng Aceh. Menurut Abdullah (1996: 18) tradisi wali dan karong, turunan darah pihak ayah dan turunan darah pihak ibu sebagai pihak pertama dan pihak kedua yang akan bangkit menuntut bela (tueng bila) atas kematian keluarganya.2 Kesiapan menuntut bela ini merupakan prestise dan martabat keluarga. Jika tidak ada seorang pun yang bangkit membalaskan dendam keluarga, takut menghadapi musuh, maka keluarga tersebut dipandang tidak berharga sedikit pun di mata masyarakat. Oleh karena itu, seorang pemuda yang tidak terjun ke medan perang untuk menuntut bela kematian orang tuanya akan menerima sanksi yang berat dari masyarakat. Bahkan istri-istri yang ditinggal gugur oleh suaminya bangkit menuntut bela suami-suaminya (misalnya, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, dan lain-lain). Tradisi ini ditambah dengan fanatisme agama, perang sabililillah yang dipompakan melalui pembacaan Hikayat Prang Sabi yang termasyur itu lengkaplah pemicu perang yang sulit dipatahkan oleh Belanda. Oleh karena itu, tueng bila pada masa kolonial Belanda mewujud dalam perilaku bertempur habis-habisan sampai menemui syahid dan perlawanan secara sendiri-sendiri, yang disebut oleh ureueng Aceh sebagai aksi poh kaphe atau Aceh Moorden bagi orang Belanda. Untuk itu, R.A. Kern (1994: 75) yang pernah mengadakan penyelidikan tentang motivasi perang dilakukan oleh rakyat, menyatakan tentang latar belakang timbulnya pembunuhan-pembunuhan Aceh dilakukan karena rasa/komplek benci kaphe/kaphe complex yang dimilikinya dengan cara tueng bila. Selanjutnya, Kern mengatakan bahwa,<br /><br />“Hal itu sebenarnya dilatarbelakangi oleh kebencian yang meluap-luap terhadap orang-orang yang dianggap kafir dan adanya hasrat mati syahid. Selain itu, juga karena adanya perasaan ingin tueng bila (semacam balas dendam) terhadap mereka yang telah membunuh keluarganya atau kepada mereka yang telah membuat malu keluarga atau dirinya”.<br /><br />Motif pembalasan dendam yang dilakukan dengan modus tueng bila, menurut Kern seperti disebut di atas, dapat ditimbulkan oleh berbagai sebab, yaitu perlakuan tidak baik, perampasan kebebasan, melukai perasaan, keresahan karena tidak diperlakukan secara adil, perlakuan yang tidak adil oleh kepala-kepala, patah hati karena asmara, tidak puas menurut perasaan keadilan.<br /><br />Kebencian yang meluap-luap atas keberadaan kafir Belanda di Aceh yang telah memporakporandakan sendi-sendi kehidupan dan mengakibatkan kematian anggota keluarga membuat seseorang ingin melakukan tueng bila. Hal ini tampak pula pada diri pahlawan nasional Cut Nyak Dhien. Sufi (2008: 10) menyatakan hasrat tueng bila pada diri Cut Nyak Dhien ini tampak pada pernyataan sebagai berikut,<br /><br /> “Hasrat Cut Nyak Dhien untuk melakukan tueng bila atas kematian suaminya yang merupakan salah satu penyebab mengapa ia bersedia nikah lagi dengan Teuku Umar yang telah beristri dua. Di sini jelas bahwa Cut Nyak Dhien memanfaatkan Teuku Umar yang dianggap mempunyai potensi dalam upaya untuk tueng bila atas kematian suaminya yang pertama...”<br /><br />Berikut ini juga ditampilkan salah satu pembunuhan yang didasari oleh semangat tueng bila terhadap seorang perwira Belanda yang dilaporkan Komandan Divisi 5 Marsose, Anton yang dikutip oleh Sufi (2002: v) yang mengatakan bahwa<br /><br /> “Salah seorang perwira Belanda yang menjadi korban akibat pembunuhan khas Aceh ini ialah Kapten C.E. Schmid, komandan Divisi 5 Korps Marsose di Lhoksukon pada tanggl 11 Juli 1933 yang dilakukan oleh Amat Lepon, sementara pada bulan Nopember 1933 dua orang anak-anak Belanda yang sedang bermain di Taman Sari Kutaraja (sekarang Banda Aceh) juga menjadi korban pembunuhan khas Aceh ini. Amat Lepon menyaksikan ayahnya Teungku Beureunuen syahid tewas ditembak serdadu Belanda tatkala ia berumur 10-12 tahun, rasa dendam dengan semangat ingin menuntut bela (tueng bila) dipendamnya selama lebih 20 tahun kemudian”.<br /><br />Hal tersebut juga diakui pula oleh Adan (2006: 87) yang menyatakan bahwa perjuangan yang dilakukan oleh para pejuang Aceh melawan Belanda merupakan manifestasi dari tueng bila yang melekat dalam jiwa dan raga para mujahid besar, seperti Teungku Chik Di Tiro, Cut Nyak Dhien, Fakinah, Pocut Baren, dan lain-lain. Beberapa kasus yang dapat ditangkap sebagai wujud perilaku tueng bila tampak dari pernyataan Adan di bawah ini,<br /><br />“Menghayati proses tueng bila bagi bangsa Aceh memang sungguh sangat menarik serta punya makna tersendiri. Sejarah telah mencatat apabila orang Aceh telah meudarah ate (sakit hait yang sangat mendalam), maka jalan keluarnya adalah tueng bila. Dua contoh yang dikemukakan penulis terkemuka H.M. Zainuddin merupakan rujukan saheh serta akurat walaupun tidak berani dijadikan referensi. Ketika perang melawan Belanda sedang berkecamuk di bumi Aceh seorang kampung Nyong di Kecamatan Geulumpang Minyeuk (sekarang Geulumpang Baro), Pidie, Abdul Hamid dengan bersahaja seorang diri menghadang pasukan Belanda di sebuah jambo (gubuk) di tengah sawah untuk membunuh sebagai sebuah manifestasi tueng bila terhadap pembunuhan orang-orang kampung tersebut oleh pihak Belanda. Dalam kasus lain seorang perempuan setengah baya dalam sebuah kereta api dari arah Langsa ke Sigli dengan geramnya menusuk seorang Belanda yang tengah duduk santai di kursi kereta api tersebut. Ketika ditanyai orang banyak sang wanita menjawab: aku benci kafir itu yang telah menghancur luluhkan Islam dan ummat Islam di bumi ini dan itulah ganjaran tueng bila daripadaku, ujarnya tegas”.<br /><br /><strong>D.Penutup</strong><br /><br />Salah satu karakteristik ureueng Aceh adalah melakukan tueng bila. Perbuatan ini dilaksanakan dalam rangka menuntut bela atas kerugian yang pernah diderita. Jadi tueng bila dilakukan bukan tanpa alasan. Kalau tidak ada masalah, tentunya tidak ada tueng bila. Oleh karena itu, ketika Belanda masuk ke Aceh dan menimbulkan korban, baik harta maupun nyawa serta harkat dan martabat masyarakat Aceh, uereueng Aceh melakukan tueng bila terhadap pihak Belanda.<br /><br /><strong>Catatan Akhir</strong><br /><br />1Qisas ialah hukuman yang semisal dengan kejahatan yang dilakukan atas diri manusia.<br /><br />2Motivasi berperang melawan Belanda bagi ureueng Aceh dapat dikarenakan mencari syahid, ingin membalas atas kematian anggota keluarga/kawomnya, dan sebagainya. <br /><br /><br /><br /><strong>Daftar Pustaka</strong><br />Aboebakar dkk<br />2001 Kamus Bahasa Aceh-Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.<br /><br />Adan, Hasanuddin Yusuf<br />2006 Politik dan Tamaddun Aceh. Banda Aceh: Adnin Foundation Aceh.<br /><br />Daud, Bukhari dan Mark Durie<br /> 2002 Kamus Bahasa Aceh. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.<br /><br />Harun, Mohd<br />2008 “Prototipe Watak Orang Aceh”, Jeumala No. 25/2008. Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.<br /><br />Ismail, Badruzzaman<br />2006 ”Pengaruh Faktor Budaya Aceh dalam Menjaga Perdamaian dan Rekonstruksi”, Makalah disampai-kan pada Seminar Faktor Budaya Aceh Dalam Perdamaian dan Rekonstruksi, yang dilaksanakan oleh Tunas Aceh Research Institute, Darussalam, tanggal 20 September 2006. <br /><br />Kern, R.A.<br />1994 Hasil-hasil Penyelidikan Sebab-Musabab terjadinya Pembunuhan Aceh (terj. Aboebakar). Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.<br /> <br />Sufi, Rusdi<br /> 1997 “Pembunuhan Khas Aceh dan Sebutan Aceh Pungo”. Serambi Indonesia, 15 Desember.<br /> 2000 ”Sikap Pusat Bisa Lahirkan Aceh Pungo”, dalam Kontras No. 95 Tahun II 25 Juli - 2 Agustus 2000.<br /><br />2002 “Kata Sambutan Pembunuhan Khas Aceh dan Kelirunya Sebutan Aceh Pungo” dalam Ridwan Azwad dan Ramli A. Dally (eds.) Aksi Poh Kaphe di Aceh. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.<br /><br />2003 “Etnis Aceh”, dalam Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, Ragam Sejarah Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.<br /><br />2008 “Menelusuri Tindak Cut Nyak Dhien melawan Kolonial Belanda (sebagai inspirasi bagi Perempuan di Era Pembangunan)”, Makalah disampaikan pada Seminar di Rumah Cut Nyak Dien Lampisang yang diselenggarakan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan di Banda Aceh tanggal 6 November.<br /><br />Syamsuddin, Teuku<br />2000 “Sayam Itu Langkah Terakhir Setelah Dialog” dalam Kontras No. 95 Tahun II 25 Juli - 2 Agustus 2000.Agus Budi Whttp://www.blogger.com/profile/13161122292896882482noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6950921972703102550.post-1473394654281240202009-08-05T16:12:00.000+12:002009-08-05T16:13:17.398+12:00Budaya Damai dalam Masyarakat AcehOleh: Agus Budi Wibowo<br /><br />A. Pendahuluan<br />Dalam kehidupan sehari-hari manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi sesamanya. Melalui interaksi ini manusia memenuhi segala kebutuhan. Interaksi sosial ini dapat terjadi di antara kerabat, tetangga, dan di luar komunitasnya. Interaksi dapat pula terjadi di rumah, lingkungan tempat tinggal, di pasar, dan sebagainya. Dalam berinteraksi manusia tidak selalu berjalan dengan mulus. Kadang kala interakai sosial ini malah menimbulkan masalah, bahkan konflik atau persengketaan. Persengketaan mengandung arti adanya pihak yang bersalah sebagai penyebab ketidakserasian atau ketidaksepahaman antar perorangan atau antar kelompok masyarakat yang saling berhubungan, karena adanya hak atau kepentingan-kepentingan dari salah satu pihak terganggu, dirugikan, ataupun dilanggar. <br /> Tentunya, konflik atau persengketaan ini tidak diharapkan oleh siapapun yang melakukan interaksi karena pada dasarnya interaksi merupakan suatu cara manusia untuk tetap survive. Penyebab terjadinya konflik ini bermacam. Berawal dari masalah-masalah sepele hingga masalah-masalah yang lebih rumit.<br /> Manusia merupakan makhluk yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan dibekali akal. Melalui akal inilah manusia mengatur segala tindak tanduknya. Dapat dikatakan tindakan manusia tidak didasarkan oleh naluri semata, seperti pada binatang. Salah satu hasil dari kerja akal adalah bagaimana manusia menyelesaikan konflik di antara sesama manusia. Dalam masyarakat yang teratur, setiap sengketa diselesaikan dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat, baik yang dikategorikan sebagai norma hukum positif maupun bukan. <br /> Hasil kerja akal seperti diuraikan di atas dalam terminologi antropologi seringkali disebut dengan adat-istiadat. Melalui adat-istiadat tata kehidupan masyarakat suatu komunitas diatur. Salah satu aturan yang diterapkan adalah mengenai konflik-konflik yang terjadi pada masyarakat dan cara penyelesaiannya. Salah satu komunitas budaya yang menerapkan tata aturan penyelesaian konflik adalah masyarakat Aceh. <br /><br />B. Penyelesaian Sengketa atau Konflik dalam Masyarakat <br />Dalam kehidupan keluarga Aceh, sebenarnya tidak ada dendam, karena sifat itu amat bertentangan dengan syari’at Islam (hukom ngon agama, lage zat ngon sifeuet). Masyarakat mengenal tueng bila yang dilakukan karena terpaksa demi untuk ”membela diri/bila droe” guna menegakkan kehormatan, agama, martabat keluarga, harta benda dan nyawa atas segala kerugian yang disebabkan oleh perbuatan menghina/melukai hati orang lain. Dalam hubungan ”harkat martabat/harga diri”, paduan nilai-nilai preventif dengan represif hampir berimbang dalam benak kultur masyarakat Aceh. Karena itu faktor equilibrium/penyeimbang yang disebut dengan damai sangat dominan dalam kehidupan masyarakat dan biasanya menjadi senjata pamungkas yang diterapkan oleh elit struktural Aceh sepanjang sejarah, bila timbul persengketaan (peranan lembaga-lembaga adat).<br />Nilai-nilai damai itu dilahirkan oleh kesepakatan bersama para pihak, yang dipimpin oleh ”Ureueng-ureueng patot/Ureueng Tuha Adat/Ulama”, bersama penguasa dalam masyarakat setempat menurut wilayahnya (dulu uleebalang, ulama, tokoh adat dan cerdik pandai lainnya) berupa berbagai kompensasi. Damai bermakna membangun kembali silaturrahmi yang telah hancur dan berantakan menjadi rukun damai dan tentram penuh persaudaraan (Ismail, 2008). Prinsip-prinsip damai itu tergambar dalam narit maja, sebagai berikut, <br />”Hai aneuk hai, beik lee ta mupakee”<br />”Masalah nyang rayeuk ta peu ubit<br />Nyang ubit ta peu gadoh ”<br />”Beu lee saba...,<br />(Hai anak hai, jangan banyak membuat keributan<br />Masalah yang besar kita kecilkan<br />Yang kecil kita hilangkan<br />Yang banyak sabar)<br />”Aman nanggroe sare, rakyat makmu rata,<br />Sifat seunukat sabe meusigo ngon ade raja”<br /><br />(Aman negeri semua, rakyat makmur adil<br />Sifat takaran sama bersatu dengan keadilan raja)<br />Ta meu jroeh-jroeh sabee keu droe-droe,<br />Mak got nanggroe makmue beurata<br />Tajak bak troek, ta eu bak deuh,<br />Beik rugoe meuh sakeit hatee<br />(Berbaik-baikan dengan sesama<br />Biar bagus nanggroe makmur semua<br />Kalau pergi kita harus sampai kalau melihat harus tampak<br />Jangan rugi emas sakit hati)<br />Damai dalam adat Aceh sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam, karena dijiwai oleh al-Qur’an, yang dikenal melalui bacaaannya sejak kecil, di rumah, rangkang dan meunasah.<br /> Di Aceh, terdapat suatu pranata adat yang disebut suloh, dan berfungsi untuk mendamaikan persengketaan dalam masyarakat. Jika perselisihan itu mengakibatkan keluar darah, sanksi menurut suloh dibebankan kepada orang yang dinyatakan bersalah. Sanksinya berupa dam, yaitu kenduri dengan menyembelih ayam, kambing, sapi atau kerbau, yang jumlah dan jenisnya tergantung kepada besar kecilnya akibat yang ditimbulkan dari suatu pelanggaran. Pada pelanggaran kecil, kenduri dalam penyelesaian persengketaan melalui lembaga suloh, cukup dengan minuman dan makanan yang disertai dengan ketan kuning.<br /> Suloh itu, di berbagai daerah Aceh disebut dengan istilah lokal yang berbeda-beda. Di Kabupaten Aceh Selatan, disebut takanai, di Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Pidie, serta Kabupaten Aceh Barat, disebut sayam. Sedangkan di Kabupaten Aceh Besar, disebut dhiet/diyat. Ruang lingkup persengketaan yang diselesaikan melalui pranata suloh tersebut, meliputi semua pelanggaran norma-norma dalam masyarakat, yang secara umum meliputi pelanggaran yang menyebabkan kerugian, menyebabkan penyakit atau pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Sanksi adat tersebut dapat berakibat kerugian material dan penderitaan batin atau jatuhnya harkat dan martabat si pelanggar.<br />Intisari dari fungsi pranata suloh tersebut, dalam bahasa Aceh terangkum dalam istilah hukom peujroh, yaitu menetapkan yang terbaik bagi para pihak dan masyarakat begitu rupa, sehingga penyelesaiannya itu ditempuh melalui tahap-tahap yang bijaksana dan dirasakan adil oleh semua pihak (Djuned, 1998). Penyelenggaraan damai adat, ada dua mekanisme yang dilalui, yaitu:<br />• Pertama: prosesi penyelesaian nilai-nilai normatif (hukum adat), melalui forum Adat Musapat, musyawarah para tokoh adat/lembaga terkait dan pihak-pihak bersangkutan dalam hubungan penyelesaian sengketa/pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dengan menggunakan asas luka tasipat, darah ta sukat (kompensasi/kerugian). Buet nyan geit peureulee beu bagah, bek jeuet susah watee iblih teuka. <br />• Kedua: prosesi penyelesaian formal melalui sere-monial adat (publik) di depan umum, dengan inti acara: peusijuk, bermaafan, sayam (penyerahan kompensasi), nasehat dan do’a <br />• Kompilasi hukum adat (Adat Meukuta Alam tentang Kejahatan dan Pelanggaran) mencatat: Adapun bangun (diyat–dhiet) orang merdeka 100 unta dibayar kepada ahli waris yang mati. Jikalau sudah dibayar bangun yang mati kepada ahli warisnya, tiada boleh dibunuh orang yang menganiaya itu, karena sudah taubat dan berdamai (Sulaiman, 2002:121). <br />• Kebiasaan lain dalam masyarakat adalah penyelesaian secara sayam, yaitu hampir sama dengan diyat, dimana dasar pertimbangannya dilihat kepada kemampuan pihak pelaku (diat ditanggung bersama keluarga). <br />Bentuk aktivitas adat dan budaya yang melekat pada institusi adat meulangga, diyat, sayam dan suloh adalah peusijuek dan peumat jaroe. Kedua institusi ini memegang peranan penting dalam menjalin rasa persaudaraan (ukhuwah) antara pelaku pidana dengan korban atau ahli waris korban. Masyarakat Aceh anggap belum sempurna penyelesaian pidana melalui diyat, sayam dan suloh, bila tidak dibarengi dengan pesijuek dan peumat jaroe (Kurdi, 2005: 157).<br />Kata peusijuek barasal dari akar kata sijuek yang berarti dingin. Biasanya acara peusijuek (menepung tawari) dilakukan masyarakat Aceh sebagai bentuk syukur terhadap keselamatan dan kesuksesan meraih sesuatu, baik yang berkaitan dengan benda maupun orang (Sufi, 2002: 18). Oleh karena itu, peusijuek dalam masyarakat dilakukan ketika menempati tempat baru, seperti rumah ibadah, rumah baru, tempat kerja, menerima tamu, dan lain-lain. Peusijuek terhadap manusia umumnya dilakukan pada upacara perkawinan, khitan, orang hamil, terlepas dari bahaya, kembali dari rantau dan lain-lain. Menurut Husin (1970) semua pesijuek ini ditujukan sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah SWT, atas nikmat yang diberikan-Nya, sekaligus sebagai permohonan dan harapan untuk memperoleh keberkahan dan keselamatan hidup. Selain itu, peusijuek juga merupakan simbol adat untuk meminta maaf kepada sesama atas suatu kesalahan dan kekhilafan (Kurdi, 2005:158).<br />Dalam kaitan dengan penyelesaian kasus pidana setelah tercapai perdamaian, baik berupa pembunuhan maupun penganiayaan, peusijuek ditujukan untuk membina kembali hubungan yang retak akibat terjadinya tindak pidana. Persiapan peusijuek baik dalam konteks adat meulangga, diyat, sayam maupun suloh dilakukan oleh pelaku pelanggaran atau keluarganya, dan yang di-peusijuek adalah para pihak yang secara langsung dirugikan sebagai korban dalam pelanggaran tersebut. Pelaksanaan peusijuek dilakukan oleh imeum (teungku meunasah), kepala desa (keuchik) dan orang yang dihormati di desa.<br />Peumat jaroe (berjabat tangan untuk saling memaafkan) merupakan simbol perbaikan hubungan antara para pihak yang bermasalah, dengan harapan konflik antar mereka berakhir. Oleh karena itu, dalam prosesi peumat jaroe, pihak yang memfasilitasi seperti imeum, keuchik dan pemangku adat mengucapkan kata-kata khusus (Syafioeddin, 1982: 50) seperti, "Nyoe kaseb oh no dan bek na dendam le. Nyoe beujeuet keujalinan silaturrahmi, karena nyan ajaran agama geutanyoe (Masalah ini cukup di sini dan jangan diperpanjang lagi. Bersalaman ini diharapkan menjadi (awal) dari jalinan silaturrahmi antara anda berdua, sebab ini ajaran agama kita).<br />Upacara peumat jaroe disaksikan oleh banyak orang yang diundang pada acara kenduri dan peusijuek. Urutan kegiatan adat ini dimulai dengan peusijuek, peumat jaroe dan makan bersama (kenduri). Ketiga kegiatan ini merupakan rangkaian perjalanan panjang dari proses perdamaian untuk penyelesaian kasus pelanggaran dalam kerangka adat Aceh. Peran ulama dan pemangku adat sangat dominan pada acara pra kenduri, peusijuek dan peumat jaroe. Namun pasca peusijuek dan peumatjaroe peran mereka berkurang. Artinya, keluarga kedua belah pihak yang akan melanjutkan peran untuk menjalin hubungan silaturrahmi sesuai dengan pesan pada upacara peumat jaroe.<br />Bentuk silaturrahmi lanjutan lazimnya diawali dengan kunjungan keluarga kedua pihak pada hari khusus seperti hari meugang (hari memotong sapi atau ternak lain, sehari sebelum Hari Raya atau puasa Ramadan), Hari Raya, kenduri molod, dan lain-lain. Upaya keluarga pelaku pidana yang mengaku bersalah biasanya ditanggapi dengan baik sebagai bentuk manifestasi habblumminannas oleh keluarga korban, sesuai dengan pesan peumat jaroe.<br /><br />C. Penutup<br /> Tidak ada suatu masalah yang tidak selesai. Demikian juga tidak ada konflik yang tidak berakhir. Dalam narit maja Aceh dikatakan bahwa Pat ujeuen yang han pirang, pat prang yang han reuda (tidak ada hujan yang tidak berhenti dan tidak ada perang yang tidak berakhir. Untuk itu, masyarakat Aceh telah memiliki sebuah mekanisme dalam menyelesaikan konflik atau persengkatan yang terjadi. Mekanisme dijalankan oleh seluruh lapisan masyarakat sehingga konflik/persengketaan tidak menjadi dendam di masa yang akan dating.<br /><br />Catatan Akhir<br /> Suloh berasal dari bahasa Arab Sulh. Sulh secara etimologis berarti memutuskan atau menyelesaikan persengketaan atau mengadakan perdamaian. Istilah ditemukan dalam literatur fikih yang berkaitan dengan persoalan transaksi, perkawinan, peperangan, dan pemberontakan. Secara terminologis, sulh didefinisikan sebagai akad yang ditentukan untuk menyelesaikan pertengkaran (Saleh, 2007: 5).<br /><br />2Sarakata Sultan Aceh Syamsul Alam tahun 1723 menyebutkan bahwa dhiet nyawong (diyat nyawa) kejahatan pembunuhan berat adalah 100 ekor unta dan yang ringan 80 ekor unta. Seratus onta dikonversikan pada masa itu ±2,956 kg emas murni. Sarakata itu menekankan untuk memakai hukum Allah (Islam) dan tidak boleh menggunakan hukum adat (Van Langen, 1888). <br /><br /><br />Daftar Pustaka<br />Ismail, Badruzzaman. 2006. Sistem Adat Budaya Aceh. Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.<br />Kurdi, Muliadi. 2005. Menelusuri Karakteristik Masyarakat Desa Pendekatan Sosiologi Budaya Dalam Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Pena.<br />Saleh, Fauzi. 2007. “Konsep Suluh dan Konstruksi Pendidikan Damai di IAIN Ar-Raniry: Kontribusi Kampus dalam Dakwah Perdamaian di Aceh”, dalam Tim Penulis IAIN Ar-Raniry Pergulatan Panjang Budaya Damai dalam Masyarakat Multikultural Kajian Edukasi, Syar’i, Historis, Filosofis, dan Media Masa. Banda Aceh: Yayasan Pena dan Ar-Raniry Press<br />Syafioeddin, M. Hisyam. 1982 Perdamian Adat dalam Masyarakat Aceh: Studi di Kabupaten Aceh Besar dan Pidie. Banda Aceh: PLPIIS. <br />Sufi, Rusdi. 2002 Adat Istiadat Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh.Agus Budi Whttp://www.blogger.com/profile/13161122292896882482noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6950921972703102550.post-43892938423916302492009-08-05T16:07:00.001+12:002009-08-05T16:10:22.645+12:00Agama, Seni, dan Nilai Budaya Masyarakat Terasing Gunung Khong di Nagan Raya NADOleh: Isa Sulaiman dan Agus Budi Wibowo<br /><br />A. Pendahuluan<br /> Masyarakat terasing Gunung Kong Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya bukanlah masyarakat terasing seperti yang digambarkan sebagai masyarakat terasing yang kita ketahui. Masyarakat terasing Gunung Kong merupakan sekelompok masyarakat yang masih tetap memelihara dan setia kepada tradisi miliki dan warisi secara turun temurun. Cikal bakal kelompok ini berasal dari T. Raja Tampok yang menolak kekuatan asing, pemerintah kolonial Belanda, yang menganeksasi Pantai Barat Aceh, terutama Seunagan pada awal abad ke-20.<br /> Sejak akhir masa pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan T. Raja Tampok mampu merekrut dan memperbesar jumlah pengikutnya, baik orang Aceh maupun orang Gayo, untuk membentuk suatu komunitas ekslusif di pedalaman Krueng Tripa dan menutup diri dari pengaruh luar serta mengembangkan tradisi sendiri. Setelah T. Raja Tampok meninggal pada tahun 1962 kepemimpinan komunitas masyarakat ini diteruskan oleh anaknya T. Raja Ubit hingga tahun 1997.<br /> Pada tahun 1978/1979 pemerintah daerah Aceh Barat dan Kanwil Departemen Sosial membangun pemukiman untuk mereka di Gunung Kong dalam upaya “membangun” komunitas ini agar lebih hidup “wajar” seperti masyarakat lainnya. Akan tetapi, kenyataan hanya sebagian saja di antara mereka yang beradaptasi dalam pemukiman baru dan sementara sebagian yang lain masih tetap bertahan dengan pola kehidupan yang eksklusif. Tulisan ini memaparkan salah satu aspek kehidupan dari masyarakat Gunung Kong tersebut. <br /><br />B. Agama, Seni dan Nilai Budaya<br /><br /> Seperti masyarakat Aceh lainnya, komunitas terasing pengikut T.R. Tampok adalah pemeluk agama Islam. Hanya saja dalam pengamalan ajaran Islam terlihat lebih bersifat upacara dan bercampur baur dengan tradisi lokal. Ketika T.R. Tampok masih hidup, ia sendiri gemar melakukan pertapaan atau khalwat . Kurang diketahui apakah praktek khalwat yang ia amalkan itu sama seperti Tarekat Syatariah yang dikembangkan oleh Habib Muda 1899-1973 di Pulo Ie dan Peuleukong; Jeuram.1 Namun suatu hal yang jelas murid spritual T.R. Tampok yang pernah melakukan khalwat itu antara lain khatib Minim, Tgk. Blang Baro (Mak Diah), Tgk. Bileu Salam, Tgk. Suak, keuchik Uyam, Pang Ganto dan Pang Gumbak <br /> Berbeda dengan orang tuanya, T.R. Ubit tidak meneruskan praktek khalwat atau menjalankan kehidupan zuhud. Ia lebih suka berganti-ganti istri di antara mana 2 telah meninggal dunia dan 3 orang minta cerai. Suatu hal yang jelas jumlah istrinya itu sudah melampui ketentuan syariat dalam Islam.<br /> Pengajian agama dengan maksud mensosialisasikan ajaran Islam di kalangan komunitas itu hanya berlangsung secara teratur pada dasa warsa 1950-an dan 1960-an ketika komunitas itu berdiam di seuneubok Luar dan seuneubok dalam, Krueng Itam. Menurut informasi yang diperoleh pengajian agama dan pelaksanaan upacara agama waktu itu berada di tangan Tgk. Kali Hasan, khatib Munin, Tgk. Blang Baro dan Pang Ganto (Suhendang, 1990: 34 dan 49). sewaktu berada di seuneubok Alue Tgk. Suak, pelaksanaan ajaran agama berada di tangan Pang Meuse.<br /> Kuburan Syekh Liwaul Hamdi (leluhur T.R. Tampok) yang terletak di Blang Tripa, kuburan T.R. tampak dan kuburan Cut Caya mereka percayai dihuni atau dijaga oleh harimau. Harimau tersebut, menurut mereka, tidak akan mengganggu seseorang yang berziarah ke situ jika dilakukan dengan niat bersih dan hati yang tulus. Kuburan tersebut juga menjadi salah satu objek melepas nazar di antara seseorang warga komunitas bersangkutan.<br /> Di samping itu mereka percaya juga bahwa makhluk halus dalam wujud aulia, jin dan hantu berkeliaran dan bersemayam di berbagai tempat yang terdapat di sekitar mereka. Kesemua makhluk halus itu dapat memberi pertolongan dan juga malapetaka kepada manusia. Di lain pihak mereka juga percaya bahwa benda-benda tertentu seperti rante bui (cacing yang telah membatu didapati pada mulut babi) dapat memberikan kekuatan sakti kepada si pemakainya.<br /> Kesadaran akan makhluk halus atau kekuatan sakti telah mendorong sebagian di antara mereka memperdalam pengetahuan ilmu gaib atau magis (euleume) dengan harapan yang bersangkutan mempunyai kemampuan magis. Mereka yang telah memiliki kemampuan magis itu dipercayai kebal dari senjata tajam dapat berubah rupa atau menghilang seketika, dapat mengobati sesuatu penyakit atau mengguna-gunai lawan dan musuh, serta mempunyai keahlian tertentu. Orang-orang seperti itu biasanya memperoleh kehormatan melalui panggilan pang (ksatria), dukun atau pawang. T.R. Tampok mereka percayai kebal dan dapat berubah rupa atau menghilang seketika. Para ksatria seperti Pang Bakar dan Pang Ganto mereka percayai kebal terhadap senjata tajam.<br /> Di samping itu kesadaran akan makhluk halus atau kekuatan sakti telah mendorong mereka untuk mematuhi berbagai tabu atau pantangan. Hal demikian mereka lakukan baik di dalam rumah tangga seperti pantangan pada wanita hamil maupun sewaktu mencari rezeki (berburu, berladang dan menangkap ikan) atau sewaktu pergi memerangi musuh. Dalam mempersiapkan penyerangan terhadap tentara, mereka pergi bertapa di kuburan Habib Nagan terlebih dahulu.<br /> Upacara ritual yang masih mereka lakukan adalah kenduri Maulid Nabi, Khitanan, Perkawinan, Kematian, Pembuatan rumah dan Kenduri Ladang. Penyelenggaraan upacara berlangsung sederhana di bawah pimpinan pemimpin spiritual mereka. Bentuk upacaranya adalah berdoa, bersaji dan memotong ayam.<br /> Kesenian atau permainan yang paling digemari oleh komunitas terasing pengikut T.R. Tampok adalah pembacaan hikayat dan rapai. Pembacaan hikayat biasanya dilantunkan oleh pembaca hikayat yang mempunyai suara merdu. Hikayat yang paling populer di kalangan mereka umumnya berasal dari cerita-cerita lama seperti hikayat Tuan Ta Husin dan Hikayat Prang Sabil. Hikayat pertama berkenaan dengan peperangan yang berlangsung antara Jazid bin Muawiyah dengan Saidina Husin cucu Nabi yang berakhir gugurnya Saidina Husin.Hikayat kedua berisikan tentang pahala orang yang gugur dalam perang sabil melawan kafir. Hikayat-hikayat tersebut dengan sendirinya menanamkan kesadaran tentang imbalan yang diperoleh berjihad demi agama.<br /> Dampak nyata peran hikayat dalam kehidupan mereka dapat diamati melalui nama putra-puti atau cucu dari T.R. Ubit. Nama-nama Gumbak Meuh, Meureudam Dewi, Tani Angsa, Sanadewa dan lain sebagainya adalah nama-nama aktor yang terdapat dalam cerita-cerita Hikayat Aceh Lama. <br /> Rapai adalah permainan dabus yang dibarengi pertunjukan kekuatan magis dalam wujud kekebalan tubuh dari senjata tajam. Permainan ini diselenggarakan pada malam Jum'at atau bila ada seseorang warga komunitas menyelengarakan upacara khitanan atau perkawinan. Pemainnya terdiri atas 8-10 orang yang menabuhkan gendang (rapai) di bawah pimpinan seorang khalifah. Penabuh gendang memukul gendangnya sesuai dengan nada dan irama syair yang dilantunkan oleh khalifah. Sewaktu pukulan Rapai sedang bertalu-talu, para hadirin memasuki arena permainan untuk melakukan atraksi menikam diri, menyayat diri, membakar diri atau memukulkan benda keras kepada dirinya yang lagi berada dalam suasana ekstasi. Pendek kata permainan itu merupakan wahana uji ketangkasan dan kekebalan tubuh dari senjata tajam. Selama berada di Krueng Itam orang-orang yang pernah menjadi khalifah antara lain T. Hasan, Tgk. Lingga, Tgk. Salam dam K. Badai.<br /> Dalam kehidupan sehari-hari komunitas terasing pengikut T.R. Tampok itu mengembangkan norma-norma atau kebiasaan yang harus ditaati oleh warganya. Hal tersebut terlihat jelas dalam hal busana, perhiasan, atau senjata. Setiap warga mereka, baik laki-laki maupun perempuan, berpakaian warna hitam dan tidak boleh memakai sandal atau sepatu. Kaum laki-laki memakai destar di kepala yang berfungsi sebagai topi, selimut, atau wadah pengangkut barang. Anak-anak kecil dicukur rambutnya dengan meninggalkan sedikit rambut seperti jambul di ubun-ubun (gumbak cudiek), sedangkan orang dewasa rambutnya dibiarkan panjang tanpa dipangkas. Tiap laki-laki yang telah remaja memakai senjata rencong dan pedang (beberapa orang di antara mereka senapan rampasan) sebagai ksatria.<br /> Kebiasaan berpakaian atau berbusana seperti itu tetap dipelihara hingga akhir hayat T.R. Ubit. Pelanggarnya, jika diketahui, akan memperoleh hukuman keras dalam wujud makian, pukulan, dan malah ditetak oleh T.R. Ubit. Larangan atau pantangan memakai sandal atau sepatu dan topi malah juga diberlakukan oleh T.R. Tampok dan T.R. Ubit terhadap orang luar yang datang bertamu untuk menjumpai mereka.<br /> Frekuensi kontak dengan dunia luar yang semakin meningkat sejak akhir dasa warsa tahun 1980-an menimbulkan dampak pula terhadap kelestarian adat di kalangan putra dan cucu T.R. Ubit. Kalangan anak laki-laki hanya mematuhi tata busana seperti yang telah ditetapkan bila sedang berhadapan dengan T.R. Ubit atau berada di seuneubok Alue Tgk Suak. Sebaliknya, bila berjalan-jalan ke Gunung Kong, pusat desa atau ke Pasar Alue Bilie mereka berpakaian seperti remaja atau anak muda lainnya. Pakaian pengganti itu biasanya dititipkan di rumah salah seorang kerabatnya di Blang Tripa.<br /> Ketika T.R. Tampok masih hidup konon terdapat beberapa tata krama yang harus dipatuhi oleh para pengikutnya. Seorang pengikut yang datang menghadap atau audiensi dengannya diharuskan memberi salam dengan cara mengangkat kedua tangan di atas kepala. Seseorang yang turun ke bawah rumah atau ke sungai tidak boleh mengucapkan "turun" (tron), melainkan "turun ke bawah" (jak ujueb atau jak ubaroh) karena perkataan "turun" mengandung makna turun berdamai dengan musuh.<br /><br />C. Penutup<br /> Gambaran yang dipaparkan pada bagian di atas menunjukkan bagaimana sesungguhnya salah satu aspek kehidupan masyarakat terasing Gunung Kong, yang masih mereka pegang sebagai tradisi yang tetap dilestarikan. Akan tetapi, frekuensi hubungan yang semakin sering dengan dunia luar telah membawa dampak pada bergesernya sebagian dari nilai-nilai yang mereka anut.<br /> Tentunya kondisi ini merupakan suatu yang wajar dalam hubungan antarbudaya dimana antara satu budaya dengan budaya lain akan saling mempengaruhi. Akan tetapi, hendaknya perubahan itu jangan menghilangkan jati diri dari sebuah komunitas.<br /><br />Daftar Pustaka<br />M. Isa Sulaiman dan Agus Budi Wibowo. 1998. Aspek Historis Kultural Masyarakat Terasing Gunung Kong Aceh Barat. Banda Aceh, 1998: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.<br /><br />Suhendang, Kustadi, et.al., 1990. Kehidupan Beragama di Kalangan Masyarakat Terasing Gunung Kong Aceh Barat. Banda Aceh, P3M IAIN Ar-Raniry.<br /><br />Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa.2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.Agus Budi Whttp://www.blogger.com/profile/13161122292896882482noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6950921972703102550.post-5228249852114428262009-08-05T15:56:00.001+12:002009-08-05T16:01:16.072+12:00Pekan Kebudayaan Aceh V dan Pelestarian BudayaOleh: Agus Budi Wibowo<br /><br />Berabad-abad yang lalu, Aceh adalah sebuah nanggroe yang sangat terkenal sampai manca negara. Keharuman, kemegahan, dan keberanian menjadi decak kagum apabila orang bicara tentang Aceh. Aceh yang terletak di ujung paling barat Pulau Sumatera merupakan sebuah wilayah yang sangat strategis bagi setiap bangsa di dunia. Di sini lah terpampang Selat Malaka yang menjadi jalur masuk menuju Samudra Atlantik dari Samudra Hindia. Siapa pun yang dapat mengusai jalur ini dapat memetik keuntungan yang beranekaragam, baik secara ekonomi, politik, pertahanan keamanan, maupun sosial dan budaya sehingga dapat dijadikan modal yang sangat strategis. Tidak heran, banyak bangsa-bangsa di dunia ingin mengusainya.<br /><br />Letak yang begitu strategis membawa Aceh kepada perkembangan yang begitu maju. Berbagai bangsa hadir di daerah ini. Aceh menjadi daerah cosmopolitan. Posisi dan aktivitas ini memperlihatkan keterbukaan Aceh terhadap dunia luar sehingga tidak jarang ada sebagian pendapat yang menyatakan bahwa ACEH disebut sebagai singkatan dari Arab, Cina, Eropa, dan Hindia. Keterbukaan ini pulalah yang kemudian Aceh juga menjadi ikon bagi perkembangan Islam di Nusantara karena Aceh merupakan asal muasal Islam berada di wilayah ini. Selain mempengaruhi dalam lingkungan internal di luar Aceh, Islam juga mempengaruhi gaya hidup masyarakat Aceh itu sendiri. Bagi ureueng Aceh, Islam telah mendarahdaging dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku, tutur kata, sikap, dijiwai oleh ajaran Islam. Agama dan adat menjadi pilar penting dalam penataan social “Adat bak Po Teumeurohom, hukom bak Syiah Kuala”. Pada bagian lain Aceh terkenal juga dengan keberaniannya dalam melawan setiap ketidakadilan, seperti dalam bentuk penjajahan yang dilakukan oleh para imperialis dan kolonialis. Patriotisme orang Aceh banyak diakui, baik orang Indonesia sendiri maupun orang luar. Lihatlah bagaimana Belanda merasa kewalahan menghadapi perlawanan rakyat Aceh. Semua lapisan masyarakat Aceh bersatu padu mengusir Belanda dari bumi Iskandar Muda. Tidak mengherankan apabila kemudian Aceh sering disebut Tanah Rencong.<br />Nilai-nilai kolektif merupakan nilai-nilai yang juga dijunjung oleh orang Aceh. Fenomena minum di warung kopi, saling mengunjung, kenduri, upacara-upacara yang melibatkan banyak orang merupakan manifestasi sifat itu. Dalam kumpulan semacam itu sosialisasi nilai keacehan dan identitas bersama dibangun, tumbuh melalui berbagai kesenian. Seudati, Saman, Dabus, dan berbagai tarian Aceh menegaskan orientasi kolektif tersebut.<br /><br />Di era abad 21 dunia makin berkembang dengan cepat. Lompatan peradaban dan kebudayaan tidak mungkin dapat dihindari oleh seluruh bangsa di dunia. Saling pengaruh antar budaya sudah menjadi hal biasa di era abad digital ini. Globalisasi telah menghadirkan perbedaan-perbedaan yang meruntuhkan totalitas, kesatuan nilai dari kepercayaan. Budaya global ditandai oleh integrasi budaya local ke dalam suatu tatanan global, yang kemudian dapat diikuti oleh proses menghilangnya batas-batas kebudayaan, yang oleh Arjun Appadurai (1991) sebagai “deteritorialisasi”.<br />Akibatnya, pada suatu saat nanti kita akan susah mencari budaya “asli” dari sebuah bangsa. Bahkan bukan suatu keniscayaan bahwa jati diri kita pun akan hilang karena nilai-nilai budaya luar yang beragam menjadi basis dalam pembentukan sub-sub kebudayaan yang berdiri sendiri dengan kebebasan berekspresi. Globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan memunculkan praktik kehidupan yang beragam. Berbagai dimensi kehidupan mengalami redefinisi dan diferensiasi terjadi secara meluas yang menunjuk sifat relative suatu praktik social. <br /><br />Hal ini pun dialami oleh masyarakat Indonesia pada umumnya dan Ureueng Aceh pada khususnya. Nilai-nilai budaya yang telah mentradisi sedikit demi sedikit dirasuki oleh nilai-nilai budaya yang datangnya dari luar. Walaupun nilai-nilai budaya luar ada yang baik untuk kemajuan, tetapi tidak sedikit pula yang membawa kita pada hal-hal yang tidak baik. Mungkin suatu saat nanti, kalau kita tidak hati-hati bersikap; kita belajar berbagai tarian Aceh di luar negeri, kita kehilangan sifat komunalisme (tidak ada lagi sifat gotong royong), matinya bahasa ibu (bahasa Aceh), dan sebagainya.<br /><br />Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) V merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh masyarakat Aceh dalam rangka tetap melestarikan budaya seperti dikatakan dalam narit maja Aceh yang menyebut “Matee aneuk meupat jeurat, Gadoh adat pat tamita” (Mati anak tahu makamnya, Hilang adat dimana dicari). Apa yang ditampilkan dan dipamerkan dalam event ini adalah wujud dari gambaran seutuhnya budaya Aceh yang dijunjung dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Romantisme tentang kebesaran dan kemegahan budaya Aceh yang selama ini dirasakan, semoga menjadi penggugah dan motivasi untuk terus ditumbuhkembangkan sehingga ureueng Aceh merasa tetap hardabeni (rasa memiliki) terhadap budayanya. Sebaik-baik atau sehebat-hebatnya budaya luar masih lebih baik budaya sendiri. <br /><br />Bagaimanapun system refensi tradisional yang berasal dari budaya local harus diperkuat bukan untuk meredam pengaruh budaya global, tetapi lebih untuk memanfaatkan sebaik mungkin pertemuan dengan budaya luar sebagai modal di dalam pengembangan budaya local. Budaya yang menyangkut substansi doktrin, nilai-nilai, dan pola tingkah laku dalam keberagaman merupakan “Culture modalities” yang menentukan bagaimana Aceh dengan perubahan-perubahannya dikonsepkan dan ditata. Pada saat pasar mengambil alih kekuasan, maka budaya beralih, yang dikhawatirkan tidak mampu lagi memberikan referensi bagi penataan social. <br />Namun demikian, kita juga tidak perlu takut dengan globalisasi. Jadikanlah globalisasi sebagai sebuah upaya memperkaya dan melengkapi kebudayaan local. Bahkan kehadiran budaya lain di tengah budaya local dapat menjadi unsure dinamisasi budaya local. Sesungguhnya permasalahan pokok terkait antara kebudayaan dan globalisasi itu bukan globalisasi, tetapi terletak pada eksistensi kebudayaan itu sendiri. Untuk itu, upaya-upaya pembakuan dan modernisasi yang mengarah paa proses pembunuhan tradisi lah yang harus dilawan.<br /><br />Pekan Kebudayaan Aceh dapat menjadi event wisata, event budaya, event nasionalisme, event mencerminkan sikap religius. Marwah Pekan Kebudayaan Aceh yang adiluhung tetap harus terjaga. Selain itu, menjadi momentum bagi dilakukannya upaya-upaya revitalisasi dan reaktualisasi budaya daerah yang akan memperkuat jati diri dan kearifan local ureueng Aceh.Agus Budi Whttp://www.blogger.com/profile/13161122292896882482noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6950921972703102550.post-22453063133584294222009-06-18T15:27:00.000+12:002009-06-18T15:34:40.222+12:00Banda Aceh Sebagai Pusat Perdagangan Di Selat Malaka Pada Abad 16-19Oleh: Agus Budi Wibowo<br /><br /><strong>A. Pendahuluan</strong><br /><br />Banda Aceh yang akan berulang tahun ke-804 pada tanggal 22 April nanti merupakan ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan usia yang demikian, Banda Aceh merupakan salah kota tua yang ada di Republik Indonesia. Tentunya, perjalanan panjang yang diwarnai dengan pasang-surut telah dilalui kota ini sesuai dengan perkembangan zamannya. <br /> Aceh memiliki letak yang sangat strategis, yaitu berada di pintu gerbang masuk wilayah Indonesia bagian barat. Di daerah terdapat selat Malaka yang merupakan jalur pelayaran internasional. Semua kapal yang akan menuju Samudra Hindia akan melalui Selat Malaka, apalagi tatkala pelabuhan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Pedagang yang sebelumnya berniaga di Malaka menyingkir ke Banda Aceh. Dengan demikian, sangat strategis, baik dari segi kemiliteran maupun dari segi perekonomian. Oleh karena itu, tidak mengherankan Aceh menjadi daerah terbuka dan menjadi tempat persinggahan kapal-kapal berbagai bangsa dalam aktivitas perdagangan. Selain Aceh sendiri telah menjalin kerjasama perdagangan dengan berbagai daerah di Semenanjung Malaya dan India (Abdullah, 2007). Sekilas gambaran di atas menunjukkan posisi yang begitu penting yang dimiliki oleh Aceh sejak zaman dahulu. Dengan posisi yang strategis tersebut suatu yangg wajar bahwa dikatakan sejak zaman dahulu Aceh merupakan suatu daerah yang sangat ramai dalam dunia perdagangan di Selat Malaka. <br /> Tulisan ini membahas tentang Banda Aceh sebagai pusat perdagangan di Selat Malaka pada abad 16-18, mencakup situasi pelabuhan Banda Aceh, pola perkampungan, struktur kota, pertahanan kota, kunjungan para pedagang/pelaut asing, peradilan, dan komoditi yang diperdagangkan.<br /><br /><strong>B. Banda Aceh Sebagai Pusat Perdagangan<br /> 1. Pedagang Asing</strong><br /><br />Apabila kita ingin merunut sejarah keberadaan kota Banda Aceh atau kerajaan Aceh kita dapat melihat melalui catatan sejarah yang pernah dibuat oleh para pelaut yang pernah singgah di kota ini. Dalam catatan sejarah tertua dan yang pertama yang dibuat lebih banyak bercerita tentang mengenai kerajaan-kerajaan di Aceh karena tatkala catatan sejarah itu dibuat kota Banda Aceh belum terbentuk. <br />Catatan ini tertua dan pertama bersumber dari sejarah Cina. Dalam catatan sejarah Dinasti Liang (506-556 M), disebutkan adanya suatu kerajaan yang terletak di Sumatera bagian utara pada abad ke-6 yang dinamakan Po-li dan beragama Buddha. Pada abad ke-13 teks-teks Cina (Zhao Rugua dalam bukunya Zhufanzhi) menyebutkan Lanwuli (Lamuri) di pantai timur Aceh. Dan pada tahun 1282 M, diketahui bahwa raja Samudera Pasai mengirim dua orang (Sulaiman dan Shamsudin) utusan ke negeri Cina. Dalam sumber yang lain (Ying Yai Sheng Lan), Ma Huan dalam pelayarannya bersama dengan Laksamana Cheng Ho, mencatat dengan lengkap mengenai kota-kota di Aceh seperti, A-lu (Aru), Sumendala (Samudera), dan Lanwuli (Lamuri). Dalam catatan Dong Xi Yang Kao (penelitian laut-laut timur dan barat) yang dikarang oleh Zhang Xie pada tahun 1618, mencatat secara terperinci mengenai Aceh yang telah modern (http://www.acehinstitute.org, download Golden Horde, Hubungan Sejarah Aceh dan Tiongkok). ampaknya, catatan-catatan tersebut belum menyebut kota Banda Aceh.<br />Selanjutnya, selain kota-kota tersebut di atas, Kota Pasai dan Perlak pernah masuk dalam catatan karena kedua kota ini juga pernah disinggahi oleh Marco Polo (abad ke-13) dan Ibnu Batuta (abad ke-14) dalam perjalanannya ke Cina. Barang dagangan utama yang paling terkenal dari Pasai adalah lada yang banyak diekspor ke Cina. Sebaliknya barang-barang dari Cina seperti sutera, keramik, dan lain-lain diimpor ke Pasai. Pada abad ke-15, armada Cheng Ho juga mampir dalam pelayarannya ke Pasai dan memberikan lonceng besar yang tertanggal 1409 M (Cakra Donya) kepada raja Pasai. Selain pribumi di Kota Samudera Pasai banyak tinggal komunitas Cina. Mengenai keberadaan komunitas Cina di sana juga didapatkan dalam Hikayat Raja-Raja Pasai yang menyebutkan adanya “Kampung Cina”. Jadi jauh sebelum kerajaan Aceh Darussalam berdiri (abad ke-16), komunitas Cina telah berada di Aceh sejak abad ke-13. (http://www.acehinstitute.org, download Golden Horde, Hubungan Sejarah Aceh dan Tiongkok). Pada tahun 1524 Samudera Pasai ditaklukan oleh Sultan Ali Mughayat Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam, dan sejak itu Samudra Pasai pudar pamornya. <br />Pada abad 16-17 Teluk Aceh dapat dimasuki melalui tiga terusan atau alur sepaya berdekatan dari pulau-pulau yang dikelilingi gorong-gorong. Yang pertama disebut terusan “Surat” dipakai untuk menuju Gujarat, yang kedua disebut “Terusan Benggali” untuk menuju pantai timur India dan yang tidak bernama adalah dimaksud ke selat Malaka”.<br />Gambaran lingkungan alam Banda Aceh dan sekitarnya, berdasarkan catatan-catatan dari Eropa menunjukkan bahwa lingkungan alam kota Banda Aceh pada abad 16 dan 17 tidaklah “ramah” terhadap para pelaut asing (Eropa). Ketidakramahan ini dialami oleh mereka ketika mereka akan memasuki pantai di sekitar Banda Aceh. Menurut catatan Tome Pires (1513) tertulis bahwa ia mengalami suatu yang tidak menyenangkan ketika akan memasuki Banda Aceh. Selanjutnya, dikatakan bahwa walaupun kota Banda aceh dikeliling oleh Pulau Gomes (Ganispola, yang maksudnya adalah pulau dihadapan pelabuhan Aceh), tetapi tidaklah mudah untuk masuk ke Bandar sebab kalau tidak hati-hati kapal dapat kandas. Hal yang sama dialami oleh Graf (1640-1650) yang menulis catatan pengalamannya sebagai berikut,<br /><br />“Kami berlayar menyusuri pantai barat Sumatra dan nyaris kandas pada karang-karang Pulo Weh, dan seandainya laut pada waktu tidak tinggi, rasa-rasanya kami tidak bakal selamat”.<br /><br />Tidak jauh berbeda dengan dua pelaut yang disebutkan tersebut, Laksamana Perancis Beaulieu ketika hendak berlabuh di kota Banda Aceh memerlukan waktu delapan hari sebelum benar-benar berlabuh padahal untuk itu jaraknya hanya tinggal 4 mil dari tempat kapalnya berhenti dan menjatuhkan jangkarnya untuk berapung. Ketika hendak masuk ke Banda Aceh melalui sungai, ia masih disambut oleh angin yang bertiup dari haluan sampai ia kehilangan jangkar. Pada bulan April 1637 Peter Mundy juga dengan susah payah mencapai tempat berlabuh: “Wee gott into Achein, being hindred until now by currants and contrairy winds, getting little these 2 or 3 days” (Lombard, 1986: 55)..<br />Walaupun jalan menuju Banda Aceh tidak ramah dan menjadi benteng alam, namun kondisi kota Banda Aceh terletak di dataran rendah yang subur sekelilingnya dan dilingkari oleh perbukitan. Marsden melukiskan kota Banda Aceh pada saat dengan mengatakan bahwa, ...”the town is situated on plain in a wide valley formed like an amphiteatre by lofty range of hills, sedangkan Anderson mengatakan bahwa “The country above the town is highly cultivated and abounds with small villages” (Lombard, 1986).<br />Setelah Sultan Ali Mughayatsyah berkuasa di Kerajaan Aceh, ia membangun basis kekuasaannya di kota Banda Aceh dan melibatkan kota ini langsung ke dalam arus perniagaan internasional. Walaupun tidak sesibuk Pidie dan Pasai, tetapi kapal yang digunakan dan komoditi yang diperdagangkan cukup banyak dan melimpah. Mengenai hal ini Tome Pires pernah mengatakan bahwa <br /><br />“Sultan terlibat dalam perniagaan dengan memiliki kapal (lanchara) sebanyak 40 buah. Komoditi yang diperdagangkan adalah berupa bahan makanan, beras, dan rempah-rempah. Walaupun daerah hiterland Banda Aceh telah menghasilkan lada, akan tetapi produksinya lebih rendah dari apa yang dihasilkan di daerah Pidie”.<br /><br />Banda Aceh menjadi semakin berkembang ketika sultan Aceh berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan otonom yang telah ada di kedua sisi pantai pantai Sumatra, yaitu Daya, Singkel, Barus, Tiku, Pariaman, Lamuri, Pidie, Pasei, Peureulak, Aru, Deli Siak, bahkan Johor atau Pahang. Daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang kaya sumber daya komoditi pertanian/hutan dan bahan mineral. Karena potensi daerah pedalaman yang terbatas untuk menunjang kebutuhan ibukota kerajaan dan sebagai sumber pemasukan dan pembiayaan istana, maka sultan kemudian memberlakukan serangkaian kebijakan yang bersifat pembatasan daerah takluk dengan dunia keluar dan sekaligus memaksa kapal-kapal asing untuk berhubungan dengan ibukota (Banda Aceh). <br />Kebijakan tersebut membawa dampak bahwa Bandar Aceh Darusssalam (Banda Aceh-sekarang) tumbuh menjadi kota perniagaan yang ramai. Banyak pedagang asing singgah dan menetap, diantaranya dari Arab, Persia, Pegu, Gujarat, Jawa, Turki, Bengali, Tionghoa, Siam, Eropa dan lain-lain. Kota ini tumbuh menjadi sebuah kota kosmopolitan yang berkarakter multietnis. John Davis of Sandridge, yang bekerja untuk sebuah kapal Belanda di bawah pimpinan de Houtman bersaudara (Cornelis dan Frederick) berada di Aceh pada 1598 (ketika Aceh berada di bawah Sultan Alaudin Riayat Syah Al-Mukammil (1589-1604)) menulis kesan-kesannya tentang keberadaan orang asing dan perdagangan di Aceh dengan mengatakan bahwa,<br /><br />“The one and twentieth (June 1599) we anchored in the Bay of Achin, in twelve fathome. Being here, the King sent hos Officers to measure the length and breadth of our ships, to take the number of our Men and Ordnance, which they did. With those Officers, our Baase (Dutch baas, boss) sent two of his people with Present to the King, a Looking-glasse, a Drinking-glasse, and Bracelet of Corall. The one and twentieth, our men came aboord, whome the King had apparelled after his Countrey manner, in white Calicut cloth: they brought newes of peace, Welcome and plenty of Scicery. We found foure Banks riding the Bay, three of Arabia, and of Pegu, that came to lade Pepper. Here was also a Portugall, named Don Alfonso Vincent, that came with foure Barkes from Malacca, to prevent our trade (Ali, 2008: 4)<br /><br />(Tanggal 21 (Juni 1599) kami bersauh di pantai Aceh, sedalam dua belas depa. Raja mengirim pejabatnya untuk mengukur panjang dan luasnya kapal-kapal kami, menghitung jumlah anggota kami dan peralatan militer. Bersama dengan pejabat-pejabat itu, pemimpin kami mengirim dua anggotannya dengan (membawa) hadiah-hadiah kepada raja, sebuah cermin dan gelas, serta gelang batu. Pada tanggal 21 kami mendarat dimana raja telah berdandan khas daerah dalam pakaian putih Kalikut: mereka menyampaikan berita perdamaian, keramah-tamahan, dan sekian banyak rempah-rempah. Kami melihat empat barks (kapal, tongkang ?) yang berlayar di pantai, tiga milik orang Arab dan satunya lagi milik orang Pegu, yang datang untuk memuat lada. Juga orang Portugas, bernama Don Alfonso Vincent, yang datang dengan empat barks dari Malaka, untuk merintangi perdagangan kami).<br /><br />Tiga tahun kemudian Sir James Lancaster (Rusdi dan Wibowo, 2004) juga mengunjungi kota ini, melukiskan kesan-kesannya dengan mengatakan bahwa, <br /><br />“... in the roade of Achem, some two miles of the city; where we found eighteen saile of shippes of divers nations, some goserats, some of Benggala some of Calicut (called Malabares), some Pegues, and some Patanyes, which came to trade there”<br /><br />(“... dalam perjalanan menuju Aceh, kira-kira dua mil dari kota, kita melihat 18 pelaut dari kapal-kapal niaga dari bermacam-macam bangsa, beberapa dari Gujarat, beberapa dari Benggala, beberapa dari Kalikut (disebut juga Malabar), beberapa dari Pegue, beberapa dari Pataya, yang datang untuk berdagang di sana)”.<br /><br />Sedangkan dalam Hikayat Malem Dagang, kondisi Banda Aceh digambar dengan kata-kata sebagai berikut,<br /><br /> “Bak masa nyan (Iskandar Muda) rame pi that, peu nyan hajat dum halena. Nanggroe pi luah, banda pi rame han meu ne/ne keunan teuka. Padum-padum kapay di Kleng jime bakong beusoe meulila. Padum kapay Meulabari ngon Geujarati ngon Beunggala... Padum kapay na yang me tjawan, krikay, dulang, pingan raya. Padum-padum kapay di Keudah,- idja mirah meuneukat jiba, tunong baroh, timu barat, dempeu alat pi na jiba. Di Atjeh kon troih u barat, meuceuhu that po meukuta”.<br /><br /> Pasar adalah sebuah tempat bertransaksi dan salah satu pusat keramaian. Adanya pasar dapat menarik bangsa-bangsa lain untuk datang ke Aceh. Apalagi Malaka sebagai salah satu pusat perdagangan di selat Malaka dikuasai oleh Portugis. Banda Aceh yang saat itu menggantikan posisi Malaka menjadi semakin ramai. Menurut Dampier, kota itu rumahnya 7 atau 8000. “Achin kelilingnya kira-kira 2 mil”, kata de Graff. Pasar, seperti yang disebut Davis, berupa lapangan besar yang setiap hari menjadi pasar segala macam barang dagangan. Yang dilihat Graff hanya tinggal dua lapangan besar untuk mengadakan pasar, yang satu “di tengah-tengah kota” dan yang lain “di ujung atas” (hulu sungai ?). Di tempat itulah para pedagang, baik yang muslim maupun yang menyembah berhala, dengan segala macam dagangannya. Peter Mundy memberitakan bahwa ada yang menjual telur penyu rebus. Warung mereka masing-masing dipungut bea sekeping emas sebulan untuk orang kaya Sri Maharaja (Ambary, 1988: 91-92). Dalam hal ini, John Davis (Ali, 2008) juga menggambarkan keadaan kota Banda Aceh dengan mengatakan,<br /><br /> “the citie of Achin, if it may be so called, is very spacious, built in wood, so that we could not see a house till we were upon it. Neither could we go into any place, but wee found houses, and great councourse of people: so that I thinke the town spreadeth over the whole land... I saw three great market places, which are everdy frequented as faires with all kindes of merchandize to sell”.<br /><br /> (Kota Aceh, jika boleh disebutkan kota, yang dibangun di tengah hutan, sangat luas, hingga kita tak bisa melihat rumah kecuali telah berada di sana. Kemana pun pergi, kita temukan rumah-rumah dan kerumunan orang hingga saya kira kota tersebut meluas ke seluruh negeri... saya melihat tiga pasar besar yang dikunjungi orang setiap hari dengan seluruh jenis barang dagangan untuk dijual).<br /><br /> Selain pasar, pusat kegiatan umum yang menghidupkan denyut jantung kota adalah masjid. Pada masa Iskandar Muda berkuasa, masjid selalu dibangun dalam jumlah besar. Bahkan Masjid Bait ur Rahman pernah dipugar dan diperbesar pada tahun 1614. Akan tetapi, sangat disayangkan, pada masa pemerintahan Sultan Nurul Alam (1675-1678) terbakar. Namun demikian, sebelumnya Peter Mundi (1673) pernah membuat dokumentasi bagaimana bentuk masjid tersebut. <br />Untuk menunjang aktivitas perdagangan, Banda Aceh pada zamannya, sultan selalu memperhatikan pekerjaan bangunan kota dan berusaha supaya jumlahnya cukup banyak untuk menampung pendatang baru yang tertarik oleh pengembangan kota besar. Menurut Beaulieu, Sultanlah yang memberi pengarahan, dia sendiri yang menentukan bagaimana contoh gedung yang hanya mempunyai satu lantai dan dindingnya dari anyaman. Ia juga mengawasi supaya pembangunannya berlangsung secepat-cepatnya, dan budak-budak raja dipakainya dalam pekerjaan itu sibuk siang malam, “tanpa menyia-nyiakan terang cahaya bulan”. <br />Akan tetapi, ada keluhan tentang masalah rumah ini bagi pelaut/penjelajah asing, yaitu harga tanah dan bangunan mahal. “The ground and house cost almost one hundred pound starling”, kata James Lancaster. Sedangkan Beaulieu mempunyai pengalaman saat mencari rumah sewaan yang begitu tinggi meskipun menurutnya sudah menawar dengan harga tinggi pula, <br /><br />“sesudah makan kami bersama-sama melihat rumah dekat rumah orang Inggris yang cukup nyaman. Tetapi, kapten pengawal, pemiliknya, minta seratus real setiap bulan; harga itu menurut saya terlalu tinggi, maka saya tak jadi menyewanya, meskipun saya sudah menawarkan 40 real sebulan”.<br /><br />Walaupun mahal, rumah-rumah itu sendiri sedikit sekali yang dibangun dengan batu. Graff memberi gambaran bahwa rumah-rumah dari alang-alang dan dari bambu... tetapi semuanya terdiri di atas tiang bambu setinggi 4 atau bahkan sampai 6 kaki (1,20 m – 1,80 m) di atas tanah larena pasang purnama dan sungai hampir setiap tahun menggenangi kota sehingga orang terpaksa naik perahu dari rumah ke satu rumah lainnya (Lombard, 1986).<br /> Untuk mendukung Banda Aceh sebagai pusat perdagangan kota Banda Aceh pada abad 16-17 tampak pula pengelompokkan kampung berdasarkan pada asal pedagang dan bangsa asing. Menurut catatan Davis di kota ini terdapat Kampung Portugis, Gujarat, Arab, Benggali, Pegu, “here are many of China that use trade, and have their particular towne, so have the Portugais, the Gusarates, the Arabinas, and those of Benggala and Pegu”.. Bahkan menurut Graff mereka yang menyembah berhala seperti Hindu mempunyai meru-meru mereka sendiri. Kampung Cina dan Eropa malah berhimpitan dan ada kampung-kampung lain yang rumahnya lebih jauh letaknya. Pada umumnya rumah terbuat dari kayu, bambu dengan atap alang-alang.<br /> Selain perkampungan, tata ruang kota, fasilitas kota, di Banda Aceh juga telah ditetapkan peradilan yang mengatur tata tertib kehidupan masyarakat. Menurut Beaulieu, pada masa Sultan Iskandar Muda terdapat 4 peradilan, yaitu perdata, pidana, agama, dan niaga. Pengkhususan yang sedemikian tidak mengherankan dalam masyarakat sedemikian beragam dan kosmopolit. Peradilan perdata dilaksanakan setiap pagi, kecuali hari Jumat, di tempat balai peradilan yang letaknya dekat masjid Baiturrahman. Peradilan pidana juga bertempat di balai dekat balai perdata dan peradilan agama melaksanakan perkara-perkara khusus dengan tujuan menegakkan akhlak Islam bagi masyarakat Aceh, terutama dalam hal-hal berjudi, minuman keras, zinah dan sebagainya. Peradilan niaga dilakukan di balai yang terletak di dekat pelabuhan untuk menyelesaikan perselisihan antara pedagang, baik pedagang asing maupun pribumi. Peradilan niaga diketuai oleh Orang Kaya Laksamana yang kedudukannya sama dengan “walikota” (Lombard, 1986).<br /> Kondisi alam yang tidak ramah bagi pelaut ketika akan memasuki Banda Aceh dapat menjadi benteng pertahanan alam yang tidak mudah masuk ke kota dari arah laut. Kesukaran-kesukaran tersebut merupakan jawaban mengapa kota tidak dilindungi oleh tembok kota untuk pertahanan dan secara sadar orang Aceh pun merasa tidak perlu tembok tersebut. Akan tetapi, gajah-gajah tempurlah sesungguhnya benteng kota (Lombard, 1986). Jumlah binatang ini pada masa jaya kerajaan Aceh sekitar 900 ekor. Selain itu, kerajaan Aceh juga memiliki kapal layar dan kapal galley. Di antara kapal-kapal tersebut mempunyai ukuran yang melebihi ukuran kapal yang dibangun oleh orang Eropa. Sebagai penunjang pertempuran, kerajaan Aceh memiliki meriam. Menurut Beaulieu pernah mencatat di Banda Aceh terdapat 2000 pucuk meriam, terdiri atas 1200 meriam berkaliber sedang dan 800 meriam berkaliber besar (Sufi, 1988: 145-146).<br /><br /> 2. <strong>Komoditi Perdagangan</strong> <br />Sebagai pelabuhan yang cukup ramai dalam perdagangan, Komoditi yang diperdagangkan pun beranekaragam. Menurut sumber Adat Aceh (Lombard, 1986: 148) Aceh adalah pengekspor gajah dan kuda. Selain itu, belerang, kayu cendana, damar, sari dan wangi-wangian, lada, bunga lawang, gading, tali temali dari sabut kelapa, dan sutera merupakan komoditi yang juga diekspor oleh Aceh ke mancanegara.<br /> Di samping mengambil posisi sebagai enterport komoditi ekspor, seperti disebutkan kota Banda aceh juga menjadi tempat mengimpor berbagai kebutuhan penduduk. Komoditi yang didatangkan mencakup barang-barang, seperti beras, tembakau, opium, kain, mesiu, dan tembikar. <br /><br /><strong>D. Penutup</strong><br /> Seperangkat informasi yang telah dibahas pada bagian tersebut di atas menunjukkan bahwa Banda Aceh merupakan sebuah kota yang menjadi pusat perdagangan di kawasan Selat Malaka. Selain itu, hal ini juga memberi makna bahwa kota ini telah menarik perhatian dunia luar dengan ekonomi dan perdagangan yang dikendalikan Aceh. Menjadi penting juga bahwa Banda Aceh kemudian berkembang menjadi sebuah kota yang kosmopolitan.<br /> Yang menjadi pertanyaan kemudian, mengapa Banda Aceh yang dulu sangat mempunyai kedudukan dan peran strategis lama ke lamaan meredup hingga Banda Aceh mengalami kemunduran yang begitu mendalam. Tentu hal ini menjadi sebuah pelajaran yang menarik bagi kita semua.<br /> Pasca gempa dan tsunami Banda Aceh menjadi pusat perhatian dunia. Banda Aceh menjadi kunjungan orang asing dari berbagai negara. Kepedulian terhadap penderitaan yang dialami oleh masyarakat Aceh menjadikan hilangnya perbedaan berbagai dikotomi, baik ras maupun bangsa. Mereka berbaur menjadi satu tekad membangun Aceh kembali. Kehadiran mereka, menjadikan Banda Aceh seperti kota kosmopolitan kembali, walau dalam bentuk lain. Moment ini hendaknya menjadi suatu awal kebangkitan pembangunan kembali Banda Aceh pasca konflik dan gempa/tsunami menuju kejayaan yang pernah dialaminya. Karena kota bukanlah organisme. Mereka tidak tumbuh atau berubah karena mereka sendiri. Kota tidak berkembang biak atau memperbaiki dirinya sendiri. Tujuan dan keinginan-keinginan manusia yang menjadikan sebuah kota terbentuk.<br /><br /><strong>Daftar Pustaka</strong><br /><br />A. Hasmjmy.1988. “Sulthan Alaidin Johan Syah Pendiri Banda Aceh Darussalam”, dalam Kota Banda Aceh Hampir Seribu Tahun. (Banda Aceh: Pemerintah Kota Madya Daerah Tingkat II Banda Aceh. <br />Irwan Abdullah. 2007. “Potret Retak Komunalisme Aceh”. Makalah Bahan Perbincangan Masa Depan Aceh di Aceh Institute tanggal 8 Juni. <br />http://www.acehinstitute.org, download Golden Horde, Hubungan Sejarah Aceh dan Tiongkok<br />Denys Lombard.1986. Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Balai Pustaka.<br />Fachry Ali. 2009. “Satu Aceh Beragam Sejarah Sebuah Refleksi Pasca Konflik”. Makalah yang disampaikan dalam Seminar Kebudayaan Aceh dalam Rangka HUT Ke-20 Serambi Indonesia di Aula Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Banda Aceh tanggal 23 Maret.<br />Sufi, Rusdi dan Agus Budi Wibowo.2004. Jelajah Aceh Guide Book to Aceh. Banda Aceh: Dinas Pariwisata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.<br />Hasan Muarif Ambary. 1988. “Banda Aceh sebagai Pusat Kebudayaan dan Tamaddun”, dalam Kota Banda Aceh Hampir Seribu Tahun. Banda Aceh: Pemerintah Kota Madya Daerah Tingkat II Banda Aceh.<br />Rusdi Sufi. 1988. “Peran Banda Aceh sebagai Pusat Perlawanan Kolonialisme dan Imperialisme di Kawasan Selat Malaka. Dalam dalam Kota Banda Aceh Hampir Seribu Tahun. Banda Aceh, Pemerintah Kota Madya Daerah Tingkat II Banda Aceh.Agus Budi Whttp://www.blogger.com/profile/13161122292896882482noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6950921972703102550.post-87931387529194542362009-06-18T15:20:00.002+12:002009-06-18T15:23:59.804+12:00Peusijuek dalam Penyelesaian Konflik atau Persengkatan dalam Masyarakat AcehOleh: Agus Budi Wibowo<br /><br /><strong>A.Pendahuluan</strong><br /><br />Setiap komunitas di dunia memiliki budaya atau adat istiadatnya masing-masing yang disesuaikan dengan kondisi komunitas tersebut. Budaya merupakan “buku” yang berisi tentang aspek perilaku, pandangan, tata cara, dan benda-benda karena ia berisi tentang sistem nilai, sistem sosial dan juga hasil karya manusia. Oleh karena itu, budaya menjadi suatu yang sangat penting, baik bagi komunitas itu sendiri maupun bagi di luar komunitas. <br />Bagi orang-orang luar, pengetahuan tentang keberadaan suatu komunitas sangat bermanfaat karena dapat membantu “memasuki” alam yang dimiliki komunitas, misalnya kita dapat mengetahui suatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, sacral dan profane, kelebihan dan kekurangan, dan sebagainya. Dengan demikian, akan mengurangi friksi atau konflik yang terjadi.<br />Apabila konflik tidak dapat dihindari, maka kita harus menyelesaikannya. Salah satu rangkaian penyelesaian konflik atau persengkatan menurut adat istiadat Aceh adalah melalui peusijuk. Untuk itu, tulisan ini membahas peran dari peusijuek karena ritual tersebut mempunyai peran yang sangat penting terselesaikannya konflik atau sengketa yang terjadi.<br /><br /><strong>B.Pengertian Peusijuek</strong><br /><br />Dalam terminologi bahasa-bahasa daerah di Nusantara, kebahagiaan, kedamaian, ketentraman, dan kesejahteraan semua tergabung dalam konsep “sejuk”, sedangkan kata “panas” mewakili segala kekuatan jahat. Oleh karena itu, apabila seseorang baru saja menghalau serangan kekuatan “panas” atau cukup mujur membebaskan diri dari serangan itu, adat menggariskan cara “penyejuk” untuk memantapkan diri kesejahteraan diri yang telah ditemukannya kembali atau berhasil diselamatkan dari ancaman (Hurgronje, 1985: 342). <br />Di Aceh penyejukan ini disebut dengan peusijuek. Kata peusijuek (=mendinginkan) barasal dari akar kata sijue’ yang berarti dingin. Dingin atau sejuk, dalam negeri-negeri tertentu di daerah tropis berarti juga: kebahagiaan, ketentraman, kedamaian panas (bahasa Aceh: seu’uem) adalah serupa dengan menimbulkan bencana. Jika seseorang memperoleh pengaruh-pengaruh “panas” atau sedang berada dalam keadaan demikian, maka orang itu akan mencari obat-obat pendingin untuk menghilangkan atau menolak pengaruh-pengaruh panas itu. Pada setiap umurnya, manusia tidak terlepas dari pengaruh itu; oleh karenanya peusijue” itu dilakukan pada seluruh umur. <br />Sebagai obat pendingin termasuk juga beras (bahasa Aceh: breueh) dan padi (bahasa Aceh: padè), 2 butir telur mentah dan semangkok air yang dibubuhi kedalamnya tepung beras sedikit (bahasa Aceh: teupông taweue). Dalam air itu dimasukkan juga tumbuh-tumbuhan yang bersifat dindin, yaitu: ôn sisijue’, ôn manè’ manoe dan naleueng sambô; kadang kala dimasukkan juga ôn kala dan ôn pineueng mirah. Tumbuh-tumbuhan itu diikat menjadi sebuah berkas kecil dan dengan itu dipercikkanlah orang yang hendak didinginkan atau obyek itu. Kemudian orang tersebut disuntingkan (bahasa Aceh: peusunténg) ketan kuning di belakang daun telinganya (Van Waardenburg, 1936: 3).<br />Selain itu, biasanya acara peusijuek (menepung tawari) dilakukan masyarakat Aceh sebagai bentuk syukur terhadap keselamatan dan kesuksesan meraih sesuatu, baik yang berkaitan dengan benda maupun orang (Sufi, 2002: 18). Oleh karena itu, peusijuek dalam masyarakat dilakukan ketika menempati tempat baru, seperti rumah ibadah, rumah baru, tempat kerja, menerima tamu, dan lain-lain. Peusijuek terhadap manusia umumnya dilakukan pada upacara perkawinan, khitan, orang hamil, terlepas dari bahaya, kembali dari rantau dan lain-lain. Menurut Husin (1970) semua pesijuek ini ditujukan sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah SWT, atas nikmat yang diberikan-Nya, sekaligus sebagai permohonan dan harapan untuk memperoleh keberkahan dan ke-selamatan hidup. Selain itu, peusijuek juga merupakan simbol adat untuk meminta maaf kepada sesama atas suatu kesalahan dan kekhilafan (Kurdi, 2005:158).<br /><br /><strong>C. Peran Peusijuek dalam Penyelesaian Konflik</strong><br /><br />Konflik adalah suatu hal yang dapat menyebabkan keburukan baik manusia, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Akan tetapi, dalam banyak hal, konflik juga merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari oleh manusia. Karl Marx menyatakan bahwa konflik ataupun kekerasan adalah bagian yang tidak terelakkan dalam sebuah masyarakat (Pruit dan Rubin, 2004: 12) sehingga kekerasan dapat dikatakan juga sebagai bagian dari budaya manusia (human culture). Untuk, itu menurut pandangan tertentu, konflik itu merupakan suatu kebutuhan, terutama sebagai proses sosial (Sugihen, 2004: v). Menurut pandangan Saby (2007: xvi-xvii) bahwa,<br /><br />“Tanpa konflik rasanya tidak ada karya besar yang dapat dihasilkan peradaban manusia. Konflik yang demokratis dalam masyarakat yang berdemokrasi adalah sehat sehingga perlu dipelihara, dikembangkan, sedangkan konflik dalam konteks lainnya dapat merugikan dipadamkan. Harus diakui bahwa begitu banyak konflik yang telah menghancurkan manusia dan peradabannya”.<br /><br />Dalam upaya penyelesaian konflik masyarakat Aceh mempunyai suatu mekanisme tersendiri karena masyarakat Aceh pada dasarnya adalah masyarakat yang cinta damai dan tidak mengenal kata dendam. Sifat itu amat bertentangan dengan syari’at Islam (hukom ngon agama, lage zat ngon sifeuet). Masyarakat mengenal tueng bila (yang artinya menutut bela atas kerugiannya yang diterima) yang dilakukan karena terpaksa demi untuk ”membela diri/bila droe” guna menegakkan kehormatan, agama, martabat keluarga, harta benda dan nyawa atas segala kerugian yang disebabkan oleh perbuatan menghina/melukai hati orang lain. <br />Dalam hubungan ”harkat martabat/harga diri”, paduan nilai-nilai preventif dengan represif hampir berimbang dalam benak kultur masyarakat Aceh. Karena itu faktor equilibrium/penyeimbang yang disebut dengan damai sangat dominan dalam kehidupan masyarakat dan biasanya menjadi senjata pamungkas yang diterapkan oleh elit struktural Aceh sepanjang sejarah, bila timbul persengketaan (peranan lembaga-lembaga adat) (Ismail, 2008).<br />Seperti telah disebutkan di atas, salah satu rangkaian penyelesaian konflik adalah peusijuek. Ritual ini sangat penting dan berperan sehingga mau tidak mau harus dilaksanakan oleh semua pihak yang berkonflik. Peusijuek ditujukan untuk membina kembali hubungan yang retak akibat terjadinya konflik yang terjadi, misalnya kasus pidana baik berupa pembunuhan maupun penganiayaan. Peusijuek dilaksanakan setelah tercapai perdamaian, <br />Persiapan peusijuek baik dalam konteks adat meulangga, diyat, sayam maupun suloh dilakukan oleh pelaku pelanggaran atau keluarganya, dan yang dipeusijuek adalah para pihak yang secara langsung dirugikan sebagai korban dalam pelanggaran tersebut. Pelaksanaan peusijuek dilakukan oleh imeum (teungku meunasah), kepala desa (keuchik) dan orang yang dihormati di desa.<br />Setelah dilakukan peusijuek, pihak-pihak yang berkonflik melakukan Peumat jaroe (berjabat tangan untuk saling memaafkan), yang merupakan simbol perbaikan hubungan antara para pihak yang bermasalah. Diharapkan adanya peumat jaroe, maka konflik antar mereka berakhir dan tidak ada konflik baru muncul di kemudian hari. Oleh karena itu, dalam prosesi peumat jaroe, pihak yang memfasilitasi seperti imeum, keuchik dan pemangku adat mengucapkan kata-kata khusus (Syafioeddin, 1982: 50) seperti, <br /><br />"Nyoe kaseb oh no dan bek na dendam le. Nyoe beujeuet keujalinan silaturrahmi, karena nyan ajaran agama geutanyoe.<br /><br />(Masalah ini cukup di sini dan jangan diperpanjang lagi. Bersalaman ini diharapkan menjadi (awal) dari jalinan silaturrahmi antara anda berdua, sebab ini ajaran agama kita).<br /><br />Upacara peumat jaroe disaksikan oleh banyak orang yang diundang pada acara kenduri dan peusijuek. <br />Urutan kegiatan adat ini dimulai dengan peusijuek, peumat jaroe dan makan bersama (kenduri). Ketiga kegiatan ini merupakan rangkaian perjalanan panjang dari proses perdamaian untuk penyelesaian kasus pelanggaran dalam kerangka adat Aceh. Peran ulama dan pemangku adat sangat dominan pada acara pra kenduri, peusijuek dan peumat jaroe. Namun pasca peusijuek dan peumat jaroe peran mereka berkurang. Artinya, keluarga kedua belah pihak yang akan melanjutkan peran untuk menjalin hubungan silaturrahmi sesuai dengan pesan pada upacara peumat jaroe.<br />Bentuk silaturrahmi lanjutan lazimnya diawali dengan kunjungan keluarga kedua pihak pada hari khusus seperti hari meugang (hari memotong sapi atau ternak lain, sehari sebelum Hari Raya atau puasa Ramadan), Hari Raya, kenduri molod, dan lain-lain. Upaya keluarga pelaku pidana yang mengaku bersalah biasanya ditanggapi dengan baik sebagai bentuk manifestasi habblumminannas oleh keluarga korban, sesuai dengan pesan peumat jaroe.<br /><br /><strong>C.Penutup</strong><br /><br />Dalam terminologi budaya Aceh terdapat sebuah istilah yang sangat sering diucapkan dan dilaksanakan oleh masyarakat, yaitu peusijuek. Ritual adat ini sepertinya menjadi suatu yang harus dilaksanakan dalam rangka mencapai keseimbangan hidup (equilibrium) pascakonflik. Tanpa kegiatan ini, perdamaian yang telah dicapai masih dirasakan “kurang sempurna” karena adat telah menetapkan pelaksanaan ritual tersebut, yang mungkin saja dapat menimbulkan konflik baru di kemudian hari. Dengan peusijuek yang disusul oleh peumat jaroe dan kenduri diharapkan dapat memutuskan mata rantai dendam yang berkepanjangan, baik terhadap pihak-pihak yang berkonflik maupun keluarga besarnya.<br /><br /><br /><strong>Daftar Pustaka</strong><br /><br />Hurgronje, Snouck. 1985. Aceh di Mata Kolonialis. Jakarta: Soko Guru.<br />Ismail, Badruzzaman. 2008. Sistem Adat Budaya Aceh. Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.<br />Kurdi, Muliadi. 2005. Menelusuri Karakteristik Masyarakat Desa Pendekatan Sosiologi Budaya Dalam Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Pena.<br />Porst, Dean G dan Jefrey Z Rubin. 2004. Teori Konflik Sosial. Jakarta: Pustaka Pelajar.<br />Saby, Yusny. 2007. “Konflik dan Damai Budaya yang dapat Direkayasa”, dalam Tim Penulis IAIN Ar-Raniry Pergulatan Panjang Budaya Damai dalam Masyarakat Multikultural Kajian Edukasi, Syar’i, Historis, Filosofis, dan Media Masa. Banda Aceh: Yayasan Pena dan Ar-Raniry Press<br />Sufi, Rusdi. 2002. “Kata Sambutan Pembunuhan Khas Aceh dan Kelirunya Sebutan Aceh Pungo” dalam Ridwan Azwad dan Ramli A. Dally (eds.) Aksi Poh Kaphe di Aceh. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.<br />Sugihen, Bahrein T. 2004. “Pengantar Kata”. Dalam Gerhan Lantara. Aceh Menggugat Penolakan Masyarakat Aceh Terhadap GAM. Tanpa penerbit.<br />Syafioeddin, M. Hisyam. 1982. Perdamian Adat dalam Masyarakat Aceh: Studi di Kabupaten Aceh Besar dan Pidie. Banda Aceh: PLPIIS. <br />Van Waardenburg, Jan Julius Cornelis Hendrik. 1936. De invloed van den Landbouw op de zeden, de taal en letterkunde de Atjehers. Batavia: Gedrukt te Leinden Bij N.V. Dubbeldeman’s BoekhandelAgus Budi Whttp://www.blogger.com/profile/13161122292896882482noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6950921972703102550.post-7492825697286925782009-05-22T20:44:00.000+12:002009-05-22T20:47:24.605+12:00Konsep Merantau dalam Masyarakat AcehOleh: Agus Budi Wibowo<br /><br />Pendahuluan <br />Riwayat migrasi adalah setua riwayat manusia. Definisi migrasi menurut Brinley Thomas adalah gerakan perpindahan dari satu negara ke negara lain yang terjadi karena kemauan sendiri dari yang bersangkutan, baik secara perseorangan maupun perkelompok (Indriani, 1999: 17). Kenyataannya migrasi terjadi karena terpaksa, sedangkan pelaksanaannya pun ada yang diatur dan yang tidak diatur dengan berbagai faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor) seperti keadaan alam, keadaan politik dan keamanan, tetapi di antara faktor tersebut yang paling dominan adalah faktor ekonomi. Bagaimanapun, secara demografis, migrasi akan mempengaruhi daerah asal pengiriman dan penerimaan.<br />Salah satu bentuk migrasi adalah merantau. Merantau berasal dari kata rantau. Menurut Winstedt, Iskandar dan Puwadarminta adalah kata benda yang menunjuk kepada sebuah dataran atau pinggiran sungai sehingga dikenal dengan daerah pantai. Merantau dengan awalan me dapat berarti pergi ke rantau dan sering juga disebut melakukan perantauan. Merantau mengandung beberapa elemen utama yaitu meninggalkan kampung halaman, dengan kemauan sendiri, untuk jangka waktu yang lama atau tidak dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman, biasanya dengan maksud kembali pulang dan merantau merupakan lembaga sosial yang membudaya (Naim, 1974: 18). <br />Di Indonesia ada beberapa suku bangsa yang mempunyai budaya merantau, yaitu suku bangsa Minang, Jawa, Bugis, Madura, dan Aceh. Tulisan ini akan membahas konsep, macam dan latar belakang dari budaya merantau pada masyarakat Aceh, Diharapkan tulisan ini akan menambah khasanah etnografi dari suku bangsa yang ada di Indonesia dan pengetahuan dan wawasan masyarakat sehingga mengurangi rasa etnosentrisme yang sempit.<br /><br /><br /><br />B. Macam dan Latar Belakang Budaya Merantau<br />Masyarakat Aceh mendefinisikan merantau sebagai pergi mencari penghidupan ke negara lain. Masyarakat di daerah ini mengenal beberapa macam istilah yang mengandung makna merantau, antara lain jak u timo (pergi ke timur/merantau ke timur) dan jak meudagang (belajar ke pesantren serta meurantao (pergi mencari pengalaman dan penghasilan). Dari berbagai versi merantau yang ada di Aceh Siegel (1969) menggolongkan merantau itu menjadi dua tipe rantau, yaitu merantau ke timur (jak u timo) dan merantau ke pesantren. Untuk pembahasannya akan difokuskan pada dua macam merantau tersebut, sesuai dengan konsep dari Siegel.<br />Bentuk atau tipe pertama, merantau ke timur (jak u timo) menurut Siegel sudah muncul sejak lama, sebelum tipe rantau kedua muncul. Prosesnya dimulai dengan berangkatnya orang-orang Aceh ke daerah pesisir pantai Barat untuk menanam lada di ladang kemudian orang-orang Aceh juga pergi ke pesisir timur (jak u timo), sehingga masyarakat Aceh mengenal istilah rantau barat dan rantau timur yang berarti merantau ke pantai barat dan merantau ke pantai timur. Merantau ke timur merupakan rantau berjarak jauh, sehingga kaum laki-laki hanya pulang ke kampung setiap beberapa tahun. Sifat rantau ini hanya sementara, sehingga mereka tidak membawa istri dan anak-anaknya di daerah perantauan. Siegel menyebutkan bahwa tipe rantau ini lebih berkaitan dengan tujuan ekonomi (Budiarti, 1989: 31).<br />Tipe rantau kedua, yaitu merantau ke pesantren (jak meudagang) muncul karena pengaruh ulama. Ulama menawarkan suatu alternatif bagi laki-laki untuk merantau dengan jarak dekat agar seseorang laki-laki (suami) mempunyai hak terhadap istri dan anak-anaknya karena mereka tidak meninggalkan kampung halaman. Kehidupan pesantren dapat dipandang sebagai bentuk merantau. Menurut Snouch Hurgronje (1906: 26) kata yang berarti untuk belajar ke pesantren berarti sama seperti meudagang sesungguhnya berarti untuk menjadi orang asing yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Seseorang tidak dapat menjadi ulama dengan belajar di daerah kelahirannya, tanpa ke luar kampung dan mencari tempat tepat untuk menjadi ulama. Orang Aceh mengatakan bahwa tidak akan pernah ada seorang laki-laki pun yang menjadi alem tanpa ke luar kampung untuk merantau ke pesantren. Karenanya, setiap orang Aceh harus ke luar dari daerahnya untuk menjadi orang yang dihargai di daerahnya sendiri.<br />Dalam beberapa tulisan Siegel menjelaskan bahwa alasan ekonomi menjadi dasar dari gejala merantau di Aceh daripada sosial budaya. Hal ini dikarenakan pada saat ia melakukan penelitian, keadaan ekonomi pedesaan di Aceh saat itu sangat buruk yang mana kondisi ekonomi ini diakibatkan revolusi sosial yang sedang berlangsung di Aceh. Siegel kurang memperhatikan faktor lain selain faktor ekonomi. Padahal ada faktor lain yang mendorong orang Aceh melakukan perantauan. Budiarti (1989: 33-34) menunjukkan bahwa faktor sosial budaya merupakan faktor penting yang harus turut diperhatikan untuk menganalisis penyebab tradisi merantau di daerah Aceh ini. Pertama, di sana struktur sosial masyarakat Aceh yang matrilokal, pasangan pengantin harus tinggal di kerabat istrinya sampai anak pertama lahir (sekitar 3–4 tahun). Setelah itu mereka berpisah rumah karena mertua memberi rumah kepada anak perempuannya. Seorang suami karenanya tidak otonom, tetapi tergantung kepada mertuanya, ia tidak memiliki kekuasaan mantap di rumah istrinya dan tidak pula di rumah ibunya. Istri di Aceh disebut po rumoh (yang punya rumah), yakni yang memiliki kekuasaan atas rumah yang mereka tempati.<br />Kedua, pola pengasuhan anak yang membuat seseorang anak tidak betah di rumah. Dalam masyarakat Aceh terdapat suatu kecenderungan yang mana anak laki-laki yang telah berumur kira-kira 5 tahun atau 6 tahun diharuskan meninggalkan rumah di shubuh buta untuk pergi ke meunasah belajar Al Qur’an. Setelah mengaji biasanya langsung ke tempat-tempat yang tidak jauh dari meunasah yang disebut bale (B. Alamsyah, 1992: 70). Mereka yang pulang kalau akan makan atau dipanggil oleh orang tua untuk membantu bekerja sesudah anak laki-laki mencapai umur 12 tahun dan sudah disunat sebagai tanda bahwa mereka telah dewasa, maka tidak ada kesempatan baginya untuk tinggal di rumah. Mereka sudah harus tidur di meunasah. Dari fenomena sosial ini dapat dilihat bahwa kebiasaan untuk tidak tinggal di rumah telah tumbuh pada diri seseorang sejak masih kecil, yaitu sejak umur 6 tahun sampai memasuki jenjang kedewasaannya. Dari kecil dibiasakan untuk menjauhi rumah, sehingga perasaan tinggal di rumah sangat terbatas.<br />Ketiga, perantau merupakan sebuah upaya untuk menghindarkan ketidaksesuaian dalam keluarga yang bersifat meluas. Dalam sistem keluarga luas suami dan istri masing-masing tetap merupakan bagian dari keluarga induk. Hubungan marital mereka sering mengalami kegoncangan karena hubungan lebih ditentukan oleh faktor eksternal berupa interaksi antarkeluarga induk. Laki-laki walaupun terhitung sebagai anggota keluarga di rumah ibunya tidak mendapat bagian harta warisan. Peranan suami di rumah istrinya tidak begitu penting, baik sebagai suami maupun sebagai ayah. Ia tidak begitu berperan dalam kehidupan ekonomi dan tidak berperan dalam proses membesarkan dan mendidik anak karena ia jarang tinggal di rumah. Kaum laki-laki seperti tamu di rumah istrinya. Dengan demikian, struktur sosial yang seperti dikemukakan di muka inilah yang telah melahirkan pola merantau di Aceh.<br /><br />Penutup <br />Manusia adalah makhluk yang mobil dalam usahanya memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itu, manusia yang tidak dapat bertahan di suatu daerah akan melakukan migrasi ke suatu daerah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Karenanya, migrasi merupakan salah satu cara mengatasi suatu tekanan ekonomis dan sosiologis ataupun budaya di suatu daerah. <br /> Merantau yang dikenal dalam masyarakat Aceh, menurut Siegel, tedapat dua macam, yaitu jak u timo dan jak meudagang. Lebih lanjut Siegel juga mengemukakan bahwa alasan mengapa masyarakat Aceh melakukan merantau adalah alasan ekonomi dan pengaruh ulama. Namun alasan Siegel ini dianggap belum memadai untuk menjelaskan alasan merantau. Ada faktor lain yang turut berpengaruh. Budiarti menunjukkan alasan sosial budaya sebagai faktor pendorong mengapa masyarakat merantau.<br /><br />Daftar Pustaka<br />Budiarti, Hari. 1989. “Dua Tipe Rantau Di Aceh”. Bulletin Antropologi, Th. V, No. 15. Jurusan Antropologi FS UGM Yogyakarta<br /><br />Hurgronje , Snouck. 1906. The Acehnese. Jilid. London.<br /><br />Indriani. 1999. “Migrasi dan Kegiatan Ekonomi Suku Bangsa Cina Pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda (1983-1930). Buletin Haba. Banda Aceh: BKSNT Banda Aceh.<br /><br /><br /><br /><br />Naim, Mochtar. 1979. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.<br /><br />Siegel. J.T. 1969. The Rope of God. Berkeley. University of California PressAgus Budi Whttp://www.blogger.com/profile/13161122292896882482noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6950921972703102550.post-20524019890614198222009-03-31T16:27:00.000+12:002009-03-31T16:30:08.982+12:00Aspek Geografis Nanggroe Aceh DarussalamOleh: Agus Budi Wibowo<br /><br />Nanggroe Aceh Darussalam adalah sebuah daerah istimewa setingkat provinsi yang terletak di Pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan. Secara geografis dari arah barat laut ke tenggara terletak pada posisi 2º-6° Lintang Utara dan 95º-98° Bujur Timur. Adapun yang menjadi batas wilayah provinsi ini adalah sebelah utara dengan Selat Malaka dan Teluk Benggala sebelah selatan dengan Samudera Indonesia sebelah barat dengan Samudera Indonesia dan sebelah timur dengan Selat Malaka dan Propinsi Sumatera Utara. Mengenai Aceh, G.P. Tolson (1880) pernah mengatakan bahwa,<br />”Aceh adalah ”nama yang sesungguhnya dari bagian paling utara Pulau Sumatera yang membentang dari Tamiang di Timur ke Trumon di bagian pesisir Barat, meskipun ia sering disebut oleh orang-orang Eropah dengan nama Acheen”.<br />Selain itu, G.P. Tolson (Hadi, 2006: 18) juga menyebut Aceh dengan menulis, ”Masyarakat yang mendiami wilayah yang berbatasan dengan laut sampai ke pedalaman yang berbukit ...” sedangkan Hurgronje (1985: 1) pernah mengatakan tentang wilayah Aceh sebagai berikut,<br />”Batas-batas kerajaan Aceh di Sumatera menurut orang Aceh sendiri terletak sampai di Teumieng (Tamiang) di pantai timur dan lebih jauh ke selatan di pantai barat, sampai ke Baros atau di suatu tempat dimana mereka meletakkan batas antara daerah raja-raja Minangkabau dan daerah-daerah sultan-sultan Aceh. Namun mereka menganggap ”Aceh” yang sebenarnya adalah yang biasanya dinamakan ”Aceh Besar”, adalah suatu yang jauh lebih kecil”.<br /> Berdasarkan posisi geografisnya ini, jelas tampak bahwa Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berada di pintu gerbang masuk wilayah Indonesia bagian barat. Dengan demikian, sangat strategis, baik dari segi kemiliteran maupun dari segi perekonomian. Semua kapal yang akan menuju Samudra Hindia akan melalui Selat Malaka. Oleh karena itu, tidak mengherankan Aceh menjadi daerah terbuka dan menjadi tempat persinggahan kapal-kapal berbagai bangsa dalam aktivitas perdagangan. Selain Aceh sendiri telah menjalin kerjasama perdagangan dengan berbagai daerah di Semenanjung Malaya dan India (Van Leur, 1983; Abdullah, 2007b: 128). Mengenai hal tersebut, Sir James Lancaster (Sufi dan Wibowo, 2004: 2) pernah menulis, <br />“... in the roade of Achem, some two miles of the city; where we found eighteen saile of shippes of divers nations, some goserats, some of Benggala some of Calicut (called Malabares), some Pegues, and some Patanyes, which came to trade there”<br />(“... dalam jalan menuju Aceh, kira-kira dua mil dari kota, kita melihat 80 pelaut dari kapal-kapal berbeda bangsa, beberapa dari Gujarat, beberapa dari Benggala, beberapa dari Kalikut (disebut juga Malabar), beberapa dari Pegue, beberapa dari Pataya, yang datang untuk berdagang di sana)”.<br />Selain itu, John Davis of Sandridge, yang bekerja untuk sebuah kapal Belanda di bawah pimpinan de Houtman bersaudara (Cornelis dan Frederick) berada di Aceh pada 1598, menulis kesan-kesannya tentang keberadaan orang asing dan perdagangan di Aceh dengan mengatakan bahwa,<br /> “The one and twentieth (June 1599) we anchored in the Bay of Achin, in twelve fathome. Being here, the King sent hos Officers to measure the length and breadth of our ships, to take the number of our Men and Ordnance, which they did. With those Officers, our Baase (Dutch baas, boss) sent two of his people with Present to the King, a Looking-glasse, a Drinking-glasse, and Bracelet of Corall. The one and twentieth, our men came aboord, whome the King had apparelled after his Countrey manner, in white Calicut cloth: they brought newes of peace, Welcome and plenty of Scicery. We found foure Banks riding the Bay, three of Arabia, and of Pegu, that came to lade Pepper. Here was also a Portugall, named Don Alfonso Vincent, that came with foure Barkes from Malacca, to prevent our trade (Ali, 2008: 4)<br /> (Tanggal 21 (Juni 1599) kami bersauh di pantai Aceh, sedalam dua belas depa. Raja mengirim pejabatnya untuk mengukur panjang dan luasnya kapal-kapal kami, menghitung jumlah anggota kami dan peralatan militer. Bersama dengan pejabat-pejabat itu, pemimpin kami mengirim dua anggotannya dengan (membaw) hadiah-hadiah kepada raja, sebuah cermin dan gelas, serta gelang batu. Pada tanggal 21 kami mendarat dimana raja telah berdandan khas daerah dalam pakaian putih Kalikut: mereka menyampaikan berita perdamaian, keramah-tamahan, dan sekian banyak rempah-rempah. Kami melihat empat barks (kapal, tongkang ?) yang berlayar di pantai, tiga milik orang Arab dan satunya lagi milik orang Pegu, yang datang untuk memuat lada. Juga orang Portugas, bernama Don Alfonso Vincent, yang datang dengan empat barks dari Malaka, untuk merintangi perdangan kami)<br />Luas wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yaitu: 57.365,57 Km² atau 2,88 % dari luas negara Republik Indonesia. Pemekaran wilayah administratif pemerintahan sekarang ini mencapai 23 daerah tingkat II, yang terdiri dari 18 Kabupaten dan 5 kota. Kedelapan belas kabupaten tersebut adalah Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Nagan Raya Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Singkil, dan Kabupaten Simeulu. Lima pemerintahan kota yaitu Kota Banda Aceh (Ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), Kota Sabang, Kota Lhokseumawe, Kota Langsa, dan Kota Subulussalam. Keseluruhan daerah ini terdiri dari 139 kecamatan yang meliputi 591 mukim dan 5.463 desa. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki tinggi rata-rata diatas permukaan laut 125 m dengan kondisi daerah: 74,8 persen yang terdiri dari hutan 11,67 persen lahan pertanian 1,59 persen desa/kemukiman 8,7 persen gunung, danau dan sungai. Adapun gunung terdiri atas: 39 buah, danau 2 buah dan sungai 73 buah. <br />Wilayah Nanggroe Aceh Darussalam bagian tengah merupakan pegunungan yang merupakan bentangan Bukit Barisan. Pegunungan Bukit Barisan ini memanjang mulai dari Banda Aceh/Aceh Besar hingga Aceh Tenggara. Dalam rangkaian pegunungan Bukit Barisan terdapat beberapa gunung yang cukup terkenal di antaranya Gunung Seulawah Agam (1.806 m), dan Gunung Leuser (3. 381 m). Gunung ini adalah gunung tertinggi yang ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sungai-sungai yang terdapat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam bermuara di tiga laut, yang sebahagian muaranya ke Samudera Indonesia, Selat Malaka, dan yang sebahagian lagi bermuara ke Laut Andaman/Teluk Benggala. Seperti telah dijelaskan diatas bahwa di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terdapat dua buah danau yang berukuran besar, yaitu Danau Laut Tawar di Kabupaten Aceh Tengah (Takengon) dan Danau Aneuk Laot di Kotamadya Sabang. Luas Danau Laut Tawar adalah 660 km², dengan ketinggian 1.225 m dari permukaan laut. Sedangkan Danau Aneuk Laot luasnya sekitar 300 km². Kedua danau tersebut mempunyai potensi ekonomi dan pariwisata yang sangat besar untuk perkembangan daerah.<br />Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dikelilingi oleh sejumlah pulau yang berukuran besar maupun kecil. Jumlah pulau secara keseluruhan adalah 19 buah, ini baik pulau yang dihuni ataupun pulau yang tidak ada penghuninya. Pulau yang memiliki luas wilayah dengan penghuni yang banyak adalah Pulau Simeulue dan Pulau Banyak, pulau tersebut berada di sebelah pantai selatan. Di samping itu, terdapat juga Pulau Weh, Pulau Breueh, Pulau Rondo, dan Pulau Nasi yang berada di sebelah pantai barat laut. Sementara pulau-pulau lainnya diantaranya adalah Pulau Asu, Pulau Babi, Pulau Bangkaru, Pulau Keureuse, Pulau Kluang, dan Kepulauan Kokos.<br />Luas perairan Aceh lebih kurang 35.000 km², meliputi perairan laut Samudera Indonesia di posisi sebelah barat dan selatan, sedangkan laut Andaman/Teluk Benggala berada di posisi sebelah utara. Banyak pulau-pulau yang terdapat di Aceh, namun pulau-pulau tersebut dipisahkan oleh selat. Misalnya saja Selat Malaka yang merupakan pemisah antara Pulau Weh dengan daratan Aceh, disamping Selat Lampuyang dan Teluk Benggala. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki juga sejumlah tanjung dan teluk. Beberapa tanjung dan teluk yang cukup terkenal antara lain adalah Teluk Sabang Tanjung Bateeputih, Tanjung Pidie, Tanjung Peusangan, Tanjung Jambo Aye, Teluk Seumawe (Lhok Seumawe), Tanjung Peureulak, Tanjung Tamiang, Teluk Sanaton, Teluk Sibigo. <br />Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam termasuk wilayah beriklim tropis, meliputi dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Musim kemarau diperkirakan terjadi pada bulan Maret sampai bulan Agustus sedangkan musim hujan terjadi mulai dari bulan September sampai dengan bulan Februari. Adapun curah hujan rata-rata minimal mencapai 23 - 25° C dan rata-rata maksimal mencapai 30 - 33° C dengan kelembaban relatif antara 65% - 75%.Agus Budi Whttp://www.blogger.com/profile/13161122292896882482noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6950921972703102550.post-6510580631249965692009-03-31T16:23:00.001+12:002009-03-31T16:27:10.934+12:00Penyelesaian Konflik atau Sengketa dalam Masyarakat AcehOleh: Agus Budi Wibowo<br /><br />Dalam kehidupan sehari-hari manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi sesamanya. Melalui interaksi ini manusia memenuhi segala kebutuhan. Interaksi sosial ini dapat terjadi di antara kerabat, tetangga, dan di luar komunitasnya. Interaksi dapat pula terjadi di rumah, lingkungan tempat tinggal, di pasar, dan sebagainya. Dalam berinteraksi manusia tidak selalu berjalan dengan mulus. Kadang kala interakai sosial ini malah menimbulkan masalah, bahkan konflik atau persengketaan. Persengketaan mengandung arti adanya pihak yang bersalah sebagai penyebab ketidakserasian atau ketidaksepahaman antar perorangan atau antar kelompok masyarakat yang saling berhubungan, karena adanya hak atau kepentingan-kepentingan dari salah satu pihak terganggu, dirugikan, ataupun dilanggar. <br /> Tentunya, konflik atau persengketaan ini tidak diharapkan oleh siapapun yang melakukan interaksi karena pada dasarnya interaksi merupakan suatu cara manusia untuk tetap survive. Penyebab terjadinya konflik ini bermacam. Berawal dari masalah-masalah sepele hingga masalah-masalah yang lebih rumit.<br /> Manusia merupakan makhluk yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan dibekali akal. Melalui akal inilah manusia mengatur segala tindak tanduknya. Dapat dikatakan tindakan manusia tidak didasarkan oleh naluri semata, seperti pada binatang. Salah satu hasil dari kerja akal adalah bagaimana manusia menyelesaikan konflik di antara sesama manusia. Dalam masyarakat yang teratur, setiap sengketa diselesaikan dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat, baik yang dikategorikan sebagai norma hukum positif maupun bukan. <br /> Hasil kerja akal seperti diuraikan di atas dalam terminologi antropologi seringkali disebut dengan adat-istiadat. Melalui adat-istiadat tata kehidupan masyarakat suatu komunitas diatur. Salah satu aturan yang diterapkan adalah mengenai konflik-konflik yang terjadi pada masyarakat dan cara penyelesaiannya. Salah satu komunitas budaya yang menerapkan tata aturan penyelesaian konflik adalah masyarakat Aceh. <br />Dalam kehidupan keluarga Aceh, sebenarnya tidak ada dendam, karena sifat itu amat bertentangan dengan syari’at Islam (hukom ngon agama, lage zat ngon sifeuet). Masyarakat mengenal tueng bila yang dilakukan karena terpaksa demi untuk ”membela diri/bila droe” guna menegakkan kehormatan, agama, martabat keluarga, harta benda dan nyawa atas segala kerugian yang disebabkan oleh perbuatan menghina/melukai hati orang lain. Dalam hubungan ”harkat martabat/harga diri”, paduan nilai-nilai preventif dengan represif hampir berimbang dalam benak kultur masyarakat Aceh. Karena itu faktor equilibrium/penyeimbang yang disebut dengan damai sangat dominan dalam kehidupan masyarakat dan biasanya menjadi senjata pamungkas yang diterapkan oleh elit struktural Aceh sepanjang sejarah, bila timbul persengketaan (peranan lembaga-lembaga adat).<br />Nilai-nilai damai itu dilahirkan oleh kesepakatan bersama para pihak, yang dipimpin oleh ”Ureueng-ureueng patot/Ureueng Tuha Adat/Ulama”, bersama penguasa dalam masyarakat setempat menurut wilayahnya (dulu uleebalang, ulama, tokoh adat dan cerdik pandai lainnya) berupa berbagai kompensasi. Damai bermakna membangun kembali silaturrahmi yang telah hancur dan berantakan menjadi rukun damai dan tentram penuh persaudaraan (Ismail, 2008). Prinsip-prinsip damai itu tergambar dalam narit maja, sebagai berikut, <br />”Hai aneuk hai, beik lee ta mupakee”<br />”Masalah nyang rayeuk ta peu ubit<br />Nyang ubit ta peu gadoh ”<br />”Beu lee saba...,<br />(Hai anak hai, jangan banyak membuat keributan<br />Masalah yang besar kita kecilkan<br />Yang kecil kita hilangkan<br />Yang banyak sabar)<br />”Aman nanggroe sare, rakyat makmu rata,<br />Sifat seunukat sabe meusigo ngon ade raja”<br /><br />(Aman negeri semua, rakyat makmur adil<br />Sifat takaran sama bersatu dengan keadilan raja)<br />Ta meu jroeh-jroeh sabee keu droe-droe,<br />Mak got nanggroe makmue beurata<br />Tajak bak troek, ta eu bak deuh,<br />Beik rugoe meuh sakeit hatee<br />(Berbaik-baikan dengan sesama<br />Biar bagus nanggroe makmur semua<br />Kalau pergi kita harus sampai kalau melihat harus tampak<br />Jangan rugi emas sakit hati)<br />Damai dalam adat Aceh sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam, karena dijiwai oleh al-Qur’an, yang dikenal melalui bacaaannya sejak kecil, di rumah, rangkang dan meunasah.<br /> Di Aceh, terdapat suatu pranata adat yang disebut suloh, dan berfungsi untuk mendamaikan persengketaan dalam masyarakat. Jika perselisihan itu mengakibatkan keluar darah, sanksi menurut suloh dibebankan kepada orang yang dinyatakan bersalah. Sanksinya berupa dam, yaitu kenduri dengan menyembelih ayam, kambing, sapi atau kerbau, yang jumlah dan jenisnya tergantung kepada besar kecilnya akibat yang ditimbulkan dari suatu pelanggaran. Pada pelanggaran kecil, kenduri dalam penyelesaian persengketaan melalui lembaga suloh, cukup dengan minuman dan makanan yang disertai dengan ketan kuning.<br /> Suloh itu, di berbagai daerah Aceh disebut dengan istilah lokal yang berbeda-beda. Di Kabupaten Aceh Selatan, disebut takanai, di Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Pidie, serta Kabupaten Aceh Barat, disebut sayam. Sedangkan di Kabupaten Aceh Besar, disebut dhiet/diyat. Ruang lingkup persengketaan yang diselesaikan melalui pranata suloh tersebut, meliputi semua pelanggaran norma-norma dalam masyarakat, yang secara umum meliputi pelanggaran yang menyebabkan kerugian, menyebabkan penyakit atau pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Sanksi adat tersebut dapat berakibat kerugian material dan penderitaan batin atau jatuhnya harkat dan martabat si pelanggar.<br />Intisari dari fungsi pranata suloh tersebut, dalam bahasa Aceh terangkum dalam istilah hukom peujroh, yaitu menetapkan yang terbaik bagi para pihak dan masyarakat begitu rupa, sehingga penyelesaiannya itu ditempuh melalui tahap-tahap yang bijaksana dan dirasakan adil oleh semua pihak (Djuned, 1998). Penyelenggaraan damai adat, ada dua mekanisme yang dilalui, yaitu:<br />• Pertama: prosesi penyelesaian nilai-nilai normatif (hukum adat), melalui forum Adat Musapat, musyawarah para tokoh adat/lembaga terkait dan pihak-pihak bersangkutan dalam hubungan penyelesaian sengketa/pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dengan menggunakan asas luka tasipat, darah ta sukat (kompensasi/kerugian). Buet nyan geit peureulee beu bagah, bek jeuet susah watee iblih teuka. <br />• Kedua: prosesi penyelesaian formal melalui sere-monial adat (publik) di depan umum, dengan inti acara: peusijuk, bermaafan, sayam (penyerahan kompensasi), nasehat dan do’a <br />• Kompilasi hukum adat (Adat Meukuta Alam tentang Kejahatan dan Pelanggaran) mencatat: Adapun bangun (diyat–dhiet) orang merdeka 100 unta dibayar kepada ahli waris yang mati. Jikalau sudah dibayar bangun yang mati kepada ahli warisnya, tiada boleh dibunuh orang yang menganiaya itu, karena sudah taubat dan berdamai (Sulaiman, 2002:121). <br />• Kebiasaan lain dalam masyarakat adalah penyelesaian secara sayam, yaitu hampir sama dengan diyat, dimana dasar pertimbangannya dilihat kepada kemampuan pihak pelaku (diat ditanggung bersama keluarga). <br />Bentuk aktivitas adat dan budaya yang melekat pada institusi adat meulangga, diyat, sayam dan suloh adalah peusijuek dan peumat jaroe. Kedua institusi ini memegang peranan penting dalam menjalin rasa persaudaraan (ukhuwah) antara pelaku pidana dengan korban atau ahli waris korban. Masyarakat Aceh anggap belum sempurna penyelesaian pidana melalui diyat, sayam dan suloh1, bila tidak dibarengi dengan pesijuek dan peumat jaroe (Kurdi, 2005: 157).<br />Kata peusijuek barasal dari akar kata sijuek yang berarti dingin. Biasanya acara peusijuek (menepung tawari) dilakukan masyarakat Aceh sebagai bentuk syukur terhadap keselamatan dan kesuksesan meraih sesuatu, baik yang berkaitan dengan benda maupun orang (Sufi, 2002: 18). Oleh karena itu, peusijuek dalam masyarakat dilakukan ketika menempati tempat baru, seperti rumah ibadah, rumah baru, tempat kerja, menerima tamu, dan lain-lain. Peusijuek terhadap manusia umumnya dilakukan pada upacara perkawinan, khitan, orang hamil, terlepas dari bahaya, kembali dari rantau dan lain-lain. Menurut Husin (1970) semua pesijuek ini ditujukan sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah SWT, atas nikmat yang diberikan-Nya, sekaligus sebagai permohonan dan harapan untuk memperoleh keberkahan dan keselamatan hidup. Selain itu, peusijuek juga merupakan simbol adat untuk meminta maaf kepada sesama atas suatu kesalahan dan kekhilafan (Kurdi, 2005:158).<br />Dalam kaitan dengan penyelesaian kasus pidana setelah tercapai perdamaian, baik berupa pembunuhan maupun penganiayaan, peusijuek ditujukan untuk membina kembali hubungan yang retak akibat terjadinya tindak pidana. Persiapan peusijuek baik dalam konteks adat meulangga, diyat2, sayam maupun suloh dilakukan oleh pelaku pelanggaran atau keluarganya, dan yang di-peusijuek adalah para pihak yang secara langsung dirugikan sebagai korban dalam pelanggaran tersebut. Pelaksanaan peusijuek dilakukan oleh imeum (teungku meunasah), kepala desa (keuchik) dan orang yang dihormati di desa.<br />Peumat jaroe (berjabat tangan untuk saling memaafkan) merupakan simbol perbaikan hubungan antara para pihak yang bermasalah, dengan harapan konflik antar mereka berakhir. Oleh karena itu, dalam prosesi peumat jaroe, pihak yang memfasilitasi seperti imeum, keuchik dan pemangku adat mengucapkan kata-kata khusus (Syafioeddin, 1982: 50) seperti, <br />"Nyoe kaseb oh no dan bek na dendam le. Nyoe beujeuet keujalinan silaturrahmi, karena nyan ajaran agama geutanyoe.<br /> (Masalah ini cukup di sini dan jangan diperpanjang lagi. Bersalaman ini diharapkan menjadi (awal) dari jalinan silaturrahmi antara anda berdua, sebab ini ajaran agama kita).<br />Upacara peumat jaroe disaksikan oleh banyak orang yang diundang pada acara kenduri dan peusijuek. Urutan kegiatan adat ini dimulai dengan peusijuek, peumat jaroe dan makan bersama (kenduri). Ketiga kegiatan ini merupakan rangkaian perjalanan panjang dari proses perdamaian untuk penyelesaian kasus pelanggaran dalam kerangka adat Aceh. Peran ulama dan pemangku adat sangat dominan pada acara pra kenduri, peusijuek dan peumat jaroe. Namun pasca peusijuek dan peumatjaroe peran mereka berkurang. Artinya, keluarga kedua belah pihak yang akan melanjutkan peran untuk menjalin hubungan silaturrahmi sesuai dengan pesan pada upacara peumat jaroe.<br />Bentuk silaturrahmi lanjutan lazimnya diawali dengan kunjungan keluarga kedua pihak pada hari khusus seperti hari meugang (hari memotong sapi atau ternak lain, sehari sebelum Hari Raya atau puasa Ramadan), Hari Raya, kenduri molod, dan lain-lain. Upaya keluarga pelaku pidana yang mengaku bersalah biasanya ditanggapi dengan baik sebagai bentuk manifestasi habblumminannas oleh keluarga korban, sesuai dengan pesan peumat jaroe.<br /><br />Catatan Akhir<br /> 1Suloh berasal dari bahasa Arab Sulh. Sulh secara etimologis berarti memutuskan atau menyelesaikan persengketaan atau mengadakan perdamaian. Istilah ditemukan dalam literatur fikih yang berkaitan dengan persoalan transaksi, perkawinan, peperangan, dan pemberontakan. Secara terminologis, sulh didefinisikan sebagai akad yang ditentukan untuk menyelesaikan pertengkaran (Saleh, 2007: 5).<br /><br />2Sarakata Sultan Aceh Syamsul Alam tahun 1723 menyebutkan bahwa dhiet nyawong (diyat nyawa) kejahatan pembunuhan berat adalah 100 ekor unta dan yang ringan 80 ekor unta. Seratus onta dikonversikan pada masa itu ±2,956 kg emas murni. Sarakata itu menekankan untuk memakai hukum Allah (Islam) dan tidak boleh menggunakan hukum adat (Van Langen, 1888). <br /><br /><br />Daftar Pustaka<br />Ismail, Badruzzaman. 2006. Sistem Adat Budaya Aceh. Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.<br />Kurdi, Muliadi. 2005. Menelusuri Karakteristik Masyarakat Desa Pendekatan Sosiologi Budaya Dalam Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Pena.<br />Saleh, Fauzi. 2007. “Konsep Suluh dan Konstruksi Pendidikan Damai di IAIN Ar-Raniry: Kontribusi Kampus dalam Dakwah Perdamaian di Aceh”, dalam Tim Penulis IAIN Ar-Raniry Pergulatan Panjang Budaya Damai dalam Masyarakat Multikultural Kajian Edukasi, Syar’i, Historis, Filosofis, dan Media Masa. Banda Aceh: Yayasan Pena dan Ar-Raniry Press<br />Syafioeddin, M. Hisyam. 1982 Perdamian Adat dalam Masyarakat Aceh: Studi di Kabupaten Aceh Besar dan Pidie. Banda Aceh: PLPIIS. <br />Sufi, Rusdi. 2002 Adat Istiadat Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh.Agus Budi Whttp://www.blogger.com/profile/13161122292896882482noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6950921972703102550.post-37997595522558996702009-03-17T21:41:00.001+12:002009-03-17T21:44:09.714+12:00Sultan Iskandar MudaOleh: Agus Budi Wibowo<br /><br />Kapan tanggal dan tahun kelahiran Sultan Iskandar Muda belum diketahui secara pasti. Beberapa sumber yang memberi informasi berkenaan dengan kelahiran sultan tersebut berbeda-beda. Menurut sebuah manuskrip (MS) Sultan Iskandar Muda lahir pada hari Senin Rabiul Awal 999 Hijriah yang bila dicocokkan pada tahun Masehi jatuh pada hari Selasa (bukan Senin) tanggal 27 Januari 1591. Adapun transkripsi dari MS tersebut adalah sebagai berikut,<br /> “Bismillah Alrahman alrahim. Bahwasanya pada tarikh tahun hijriah sembilan ratus sembilan puluh sembilan, 999 pada dua belas Rabi'lawal hari Isnin, pada waktu dhuha telah dilahirkan Allah ta'ala seorang hamba yang kuat lagi perkasa bernama Abdullah Sulaiman bin Mansur yaitu dalam Dar al Dunia Madinat al Salatin al-Syih al-Kubra, Bandar al-ma'mur Aceh Dar al-Salam, yaitu pada zaman kerajaan Paduka Sri Sultan Ala ad-Din Mansur Syah bin Ahmad, raja Perak. Maka pada hari itu disembelih kambing satu. Dan pada pisang, buah zahib. Maka pada hari tujuh disembelih dengan lembu akikah dan dicukur rambut dan ditimbang dengan emas. Maka diberi sedekah pada fakir miskin serta khanduri. Hadir alim ulama membaca do'a selamat.<br /> Pada hari itulah dinamakan oleh Sultan Ala ad-Din Mansur Syah, Raja Perak Pocul Abdullah Sulaiman Mansur yang memegang Kerajaan Aceh. Kemudian al-Syaikh Abd'l-Khair, berkata inilah Iskandar Muda Mansur al-Asyi. Kemudian maka berkata al-Syekh Muhammad Yamin: Inilah Mahkota Mansur, kemudian tuan kita yang mengimani, mengempu negeri bawah angin, Mahkota Alam Iskandar Muda Perkasa Alam Syah al-Kuat. Intiha.<br /> Dengan mukhtasar Tadzkirat tabaqat Mahkota Alam oleh Wazir al-sabil al-Mijahid Amir al-Mijahidal-Ulama Teungku di-Mele, Sayid Abdullah ibn Ahmad ibn Ali ibn Abdul Rahman ibn Usman ibn Hasan Ibn Wandi Mule Sayidi Laila al-Habib Syarif Abdullah ibn Said Abdullah al-Habib Syarif Ibrahim Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir al-Jamal Lail”.<br /> Menurut catatan R.A. Hoesein Djajadiningrat dalam karyanya disebutkan bahwa Sultan Alaudin Riayat Syah Al Mukammil (1588-1604) mempunyai enam orang anak, empat laki-laki dan dua perempuan. Yang laki-laki bernama Maharaja Di Raja, Sultan Muda, Sultan Husen, dan Sultan Abangta Merah Upak. Anak yang pertama meninggal pada saat ia masih hidup, anak kedua diangkat menjadi pembantu dalam memerintah Kerajaan Aceh, yang ketiga ditetapkan sebagai Sultan di Pedir, dan yang keempat juga meninggal di Kerajaan Johor. Anak yang perempuan bernama Putri Raja Indra Bangsa dan Raja Putri. Yang tersebut pertama merupakan putri kesayangan Sultan Alaudin Riayat Syah Al Mukammil. Ia dinikahkan dengan Sultan Manshur, cucu Sultan Alaudin Riayat Al Kahhar (yang memerintah Kerajaan Aceh tahun 1537-1571). Dari perkawinan ini pada tahun 1950 lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Darma Wangsa Tun Pangkat, yang kemudian bergelar Sultan Iskandar Muda. Jadi kalau kita bandingkan antara keterangan dari MS di atas dengan yang dikemukakan oleh R.A. Hoesein Dajajadiningrat tentang tahun kelahiran sultan tersebut terdapat satu tahun perbedaan.<br /> Selain itu, menurut keterangan Hikayat Aceh perkawinan Mansyur Syah dengan Putri Indra Bangsa diadakan pada masa pemerintahan Sultan Alaudin, anak Sultan Ahmad dari Perak. Menurut sumber lain memerintah dari tahun 1579 hingga 1558/6. Hikayat tersebut menegaskan pula bahwa Putri Raja Bangsa hamil sesudah pernikahannya. Penjelasan ini cocok dengan cerita Thomas Best yang mengunjungi Kerajaan Aceh pada tahun 1613. Dia mengatakan bahwa Sang Raja (Sultan Iskandar Muda) pada saat itu berumur 32 tahun. Oleh karena itu, kalau pasti menurut perhitungan Islam, ada alasan untuk menganggap Iskandar Muda lahir kira-kira tahun 1583 kalau hitungan Masehi menjadi 1581 dan mangkat pada usia 55/56 tahun pada tahun 1636. Hal ini berarti bahwa umurnya kira-kira 24 tahun waktu naik tahta. Dalam hal ini mungkin karena keterbatasan sumber dan ketidakpastian informasi dari sumber yang ada, maka umumnya para penulis sejarah belum menunjukkan suatu kesepakatan tentang angka yang konkrit sehubungan dengan kelahiran Sultan Iskandar Muda.<br /> Naskah Hikayat Aceh mengkisahkan tentang pertumbuhan Sultan Iskandar Muda. Disebutkan bahwa ketika umurnya 4 tahun kakeknya yang menyayanginya secara khusus memberinya “gajah emas dan kuda untuk permainannya”. Selain itu, juga memberi sebuah mainan otomatis berupa dua ekor domba yang dapat berlaga, lalu gasing dan kelereng dari emas atau dari suasa. Ketika ia berumur 5 tahun, kakeknya memberikan seekor anak gajah yang bernama Indrajaya sebagai teman bermain. Pada umur 7 tahun anak itu sudah berburu gajah liar, pada umur 8 tahun ia suka bermain perahu di sungai mengatur perang, peperangan dengan meriam-meriam kecil. Pada umur 9 tahun ia melakukan perang-perangan sambil membangun benteng-benteng pertahanan kecil. Pada umur 12 tahun ia berburu kerbau liar dan waktu mencapai umur 13 tahun ia mulai bekerja dengan bimbingan Fakih Raja Indra. Si kakek menyuruh membuatkan 30 batu tulis dari logam mulia bagi cucunya dan teman-temannya. Ia juga belajar membaca Al Qur'an dan seorang guru pedang ditugaskan mengajarkan kepandaian main pedang kepadanya.<br /> Di atas telah disinggung bahwa yang membantu atau yang melindungi Sultan Alaudin Riayat Syah Al Mukammil (karena ia telah berusia lanjut) dalam memerintah Kerajaan Aceh adalah Sultan Muda. Rupa-rupanya putranya ini berambisi hendak menjadi sultan penuh. Untuk ini ia menyingkirkan ayahnya dari kedudukan sultan dan ia sendiri naik tahta memerintah sebagai sultan dengan gelar Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607). Tahun-tahun pertama dari pemerintahan sultan yang baru ini ditandai dengan adanya bencana-bencana besar yang menimpa Kerajaan Aceh, yaitu adanya suatu musim kemarau panjang dan ganas luar biasa yang telah menimbulkan bahaya kelaparan dan berjangkitnya suatu wabah penyakit yang menimbulkan banyak kematian di kalangan penduduknya. Sultan ini tidak mampu mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut dan ditambah lagi dengan adanya suatu pertikaian berdarah dengan saudaranya yang menjabat sebagai sultan di Pedir. Meskipun untuk beberapa lama Sultan Ali Riayat Syah masih menduduki jabatan sultan, tetapi kerajaannya pada waktu itu merupakan sebuah kancah perampokan, pembunuhan, dan ketidakteraturan yang sangat menyedihkan. Oleh karena itu, pemerintahannya berjalan dengan tidak memuaskan rakyatnya. Hal ini disebabkan juga karena ia menduduki jabatan sultan dengan menyingkirkan ayahnya sendiri dan ia kurang memperhatikan bahaya yang mengancam kerajaannya. Rasa tidak puas terhadap kepemimpinannya diperlihatkan pula oleh kemenakannya Darma Wangsa Tun Pangkat. Hal ini menyebabkan sultan tidak senang kepadanya sehingga dia ditangkap dan dijatuhi hukuman. Darma Wangsa Tun Pangkat kemudian dapat melarikan diri dari tahanan dan mencari perlindungan pamannya yang bernama Sultan Husen di Pedir. Di sana dia diterima dengan baik, tetapi Sultan Aceh menghendaki agar Darma Wangsa Tun Pangkat diserahkan kembali kepadanya oleh Sultan Pedir. Namun Sultan Pedir tidak bersedia, mengingat Darma Wangsa Tun Pangkat adalah cucu dari anak kesayangan ayah mereka. Perkara ini menimbulkan ketegangan antara Kerajaan Aceh dan Kerajaan otonom Pedir. Setelah terjadi beberapa kali pertempuran antara kedua kerajaan ini yang menimbulkan banyak korban jiwa, akhirnya rakyat Pedir tidak mampu lagi menghadapi pihak Aceh dan Sultan Pedir (Sultan Husen) terpaksa menyerahkan kemenakannya kepada saudaranya, Sultan Aceh.<br /> Pada saat orang-orang Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Castro pada bulan Juni 1606 menyerang Aceh, Darma Wangsa Tun Pangkat masih ditahan sebagai tawanan. Ketika dia mendengar adanya penyerangan itu, maka ia mohon kepada sultan agar dia diperkenankan ikut berperang melawan orang-orang Portugis. Permohonan ini rupa-rupanya dikabulkan oleh Sultan Aceh. Kemudian ia bersama-sama dengan tentara Aceh lainnya melakukan penyerangan terhadap orang-orang Portugis di sebuah benteng Aceh yang telah direbutnya. <br /> Sesudah beberapa lama bertempur, tentara Aceh berhasil menghancurkan benteng terakhir Portugis “Kuta Lubok” dekat Krueng Raya dengan pasukan kavaleri bergajah dan mengusir kembali armada orang-orang Portugis dari Aceh dengan kerugian besar. Oleh karenanya Darwa Wangsa Tun Pangkat yang telah berjasa karena keberaniannya dalam pertempuran itu menjadi terkenal dan menarik perhatian orang-orang di kalangan istana Aceh.<br /> Sultan Muda Ali Riayat Syah menurut Kitab Bustanus Salatin meninggal pada hari Rabu 4 April 1607. Sebagai penggantinya adalah kemenakannya sendiri, yaitu Maharaja Darma Wangsa Tun Pangkat dengan gelar Sultan Iskandar Muda. Pada mulanya sebahagian pejabat-pejabat di istana berkeberatan untuk menobatkan Darma Wangsa Tun Pangkat sebagai sultan karena mereka menganggap masih ada saudara Sultan Ali Riayat Syah yang lebih berhak untuk memangku jabatan tersebut, yaitu Sultan Husen dari Pedir. Menurut laporan Agustin de Beaulieu, Darma Wangsa Tun Pangkat dapat diangkat karena ibunya (Putri Raja Indra Bangsa) yang berhasil mempengaruhi orang-orang di kalangan istana, sebelum Sultan Husen datang dari Pedir. Setelah Sultan Husen mengetahui tentang kematian saudaranya Sultan Aceh, ia datang ke Aceh untuk menerima warisan dari saudaranya itu. Ketika sampai ke Aceh, ia tidak mendapatkan penyambutan yang selayaknya. Tatkala memasuki istana Aceh, Sultan Aceh yang baru yaitu Sultan Iskandar Muda yang dulu dibela dan dilindunginya, kini segera menangkapnya dan memasukkan ke dalam penjara.<br /> Demikianlah riwayat hidup Sultan Iskandar Muda dari masa kecil hingga dia mencapai tahta sebagai Sultan Kerajaan Aceh. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mencapai puncak kejayaannya. Wilayah kekuasaanya sampai ke Sumatra Barat. Selain itu, semasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh berusaha mengusir para penjajah. Bahkan ia berusaha mengusir Portugis yang berada di Malaka. Atas jasa-jasa yang dilakukannya terhadap bangsa dan negara, pemerintah Republik Indonesia me-nganugrahi Sultan Iskandar Muda sebagai Pahlawan Nasional.Agus Budi Whttp://www.blogger.com/profile/13161122292896882482noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6950921972703102550.post-86023295622275254202009-03-17T21:27:00.003+12:002009-03-17T21:45:22.916+12:00Permainan Tradisional Masyarakat AcehOleh: Agus Budi Wibowo<br /><br />Masyarakat Aceh mengenal beberapa permainan tradisional. Beberapa di antaranya adalah <br /><br /> 1. Geulayang Tunang<br /> Geulayang Tunang terdiri dari dua kata yaitu geulayang yang berarti layang-layang dan Tunang yang berarti pertandingan. Jadi geulayang tunang adalah pertandingan layang-layang atau adu layang yang diselenggarakan pada waktu tertentu. Permainan ini sangat digemari di berbagai daerah di Aceh. Mengenai nama permainan ini kadang-kadang juga ada pula yang menyebutnya adud geulayang. Kedua istilah yang disebutkan terakhir sama artinya, hanya lokasinyalah yang berbeda.<br /> Pada zaman dahulu permainan ini diselenggarakan sebagai pengisi waktu setelah mereka panen padi. Sebagai pengisi waktu, permainan ini sangat bersifat rekreatif. Oleh karena itu, permainan ini sering kali dilombakan dalam acara peringatan hari kemerdekaan RI atau event-event lainnya.<br /><br /> 2. Geudeue-Geudeue<br /> Geudeue-geudeue atau disebut juga due-due adalah permainan ketangkasan yang terdapat di Pidie. Di samping ketangkasan, gesit, keberanian dan ketabahan pemain geudeue-geudeue harus bertubuh tegap dan kuat. Permainan ini kadang-kadang berbahaya karena permainan ini merupakan permainan adu kekuatan.<br /> Cara memainkannya adalah seorang yang berbadan tegap tampil di arena. Ia menantang dua orang lain yang juga bertubuh tegap. Pihak pertama mengajak pihak kedua yang terdiri dari 2 orang supaya menyerbu kepadanya. Ketika terjadi penyerbuan, pihak pertama memukul dan menghempaskan penyerangnya (pok), sedangkan pihak yang pihak kedua menghempaskan pihak yang pertama.<br /> Dalam tiap permainan bertindak 4 orang juru pemisah yang disebut ureueng seumubla (juri), yang berdiri selang-seling mengawasi setiap pemain.<br /><br /> 3. Peupok Leumo<br /> Peupok leumo adalah sejenis permainan yang khas terdapat di Aceh Besar. Permainan ini merupakan suatu permainan mengadu sapi. Permainan ini sebelumnya berkembang di kalangan peternak sapi. Zaman dahulu lazimnya peupok leumo diselenggarakan oleh sekelompok peternak yang berada pada satu lokasi seperti yang berada pada satu kampung atau lebih luas lagi satu mukim, diselenggarakan seminggu sekali. Untuk menentukan hari-hari penyelenggaraan setiap hari minggu, Jumat atau hari-hari lainnya. Dapat juga diselenggarakan pada sore hari, pukul 16.00-18.00.<br /> Selain peupok leumo masih ada lagi acara peupok leumo tunang, yaitu permainan peupok leumo untuk mencari sapi yang akan keluar sebagai pemenang. Acara peupok leumo tunang ini biasanya diselenggarakan oleh sebuah panitia. Waktunya tergantung kepada cuaca dan musim-musim tertentu seperti sehabis panen atau waktu-waktu lain seperti pada hari-hari besar dan sebagainya.<br /><br /> 4. Pacu Kude<br /> Pacu kude dapat diartikan duduk di atas kuda yang lari atau dapat diartikan sebagai pacuan kuda. Permainan ini terdapat di Kabupaten Aceh Tengah. Karena daerah ini terdapat padang rumput yang sangat luas serta kuda adalah alat angkutan yang sangat praktis di daerah pegunungan, di samping dipergunakan untuk membajak sawah.<br /> Sehabis panen kuda-kuda ini tidak mempunyai kegiatan apa-apa yang dianggap penting. Waktu-waktu seperti itu sering kuda-kuda tersebut berlari-lari berkelompok. Kebiasaan ini dikoordinir akhirnya terbentuk permainan pacu kude.<br /> Pada awalnya permainan ini adalah permainan informal, tidak ada aturan yang baku untuk dilaksanakan. Namun lama kelamaan, permainan ini ditingkatkan menjadi permainan resmi dan terdapat aturan-aturan yang harus dipatuhi. Akhirnya, pada bulan Agustus 1930 pertandingan pacu kude resmi diselenggarakan dalam rangka memperingati hari kelahiran Ratu Belanda, Welhilmina. Saat ini, pacu kude diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan RI. Adapun aturan-aturan dalam permainan ini di antaranya joki adalah orang laki-laki berumur 12-20 tahun dan beratnya dibatasi maksimum 40 kg.<br /><br /> 5. Peh Kayee<br />Meuen Peh Kayee disebut juga meuen gok atau meuen sungkeet. Para pemain adalah anak-anak yang sudah bisa berhitung, karena untuk mengakhiri permainan dengan hitungan. Perlengkapan yang dibutuhkan sebuah gagang sepanjang lebih kurang 60 cm yang dipergunakan sebagai alat untuk memukul dan sebuah anak kayu sepanjang lebih kurang 10 sampai 15 cm untuk dipukul oleh pemain, juga dibutuhkan lapanga yang luas. Gagang dan anak kayu biasanya dari pelepah rumbia yang telah dipotong-potong dan dibulatkan dengan maksud tidak mencederai bagi pemainkarena ringan.<br />Dalam permainan peh kayee ada beberapa istilah, yaitu boh sungkeet, boh peh, dan boh jeungki. Boh Sungkeet adalah bola pertama dalam memulai permainan dengan menyungkit anak yang telah diletakkan diatas lobang yang telah disediakan dengan gagang sekuat mungkin ke arah lawan. Boh Peh adalah bola kedua di mana anak diumpamakan sebagai bola sesudah dilambung ke atas kemudian dipukul sekuat mungkin ke arah lawan. Boh Jeungki adalah bola ketiga dimana anak diletakkan secara membujur yang sebagian berada di dalam lubang dan kemudian dipukul bagian atas sampai naik, setelah naik diusahakan untuk dipukul secara lemah beberapa kali, seandainya tidak dapat dipukul secara lemah barulah dipukul yang kuat ke arah lawan.Agus Budi Whttp://www.blogger.com/profile/13161122292896882482noreply@blogger.com0