February 20, 2009

UPACARA ADAT MEMBANGUN RUMAH: SEBUAH KEARIFAN MASYARAKAT ACEH

Oleh: Agus Budi Wibowo

Pendahuluan
Pada beberapa tahun terakhir, bangsa Indonesia dirundung oleh berbagai bencana. Bencana ini tidak hanya mengakibatkan hilangnya harta benda, tetapi juga menimbulkan jatuhnya korban jiwa manusia. Tidak terbilang nilai nominal akibat dari bencana yang terjadi. Bencana tersebut dapat disebutkan beberapa di antaranya berupa tanah longsor dan banjir.
Terkait dengan dua contoh bencana di atas, banyak faktor yang dapat dituduh sebagai penyebabnya. Selain karena faktor alam, tanah longsong dan banjir dapat disebabkan karena ulah manusia yang tidak dapat mengelola sumberdaya alam dengan baik. Alam dikelola dengan konsep serampangan dan tidak memperhatikan keseimbangan alam. Antara daya dukung alam dengan kebutuhan tidak perhatikan sehingga mengakibatkan alam mengalami degradasi dan kehancuran yang cukup parah.
Setiap komunitas masyarakat di dunia biasanya mempunyai tata aturan di dalam kehidupannya. Tata aturan ini mengatur kehidupan manusia dalam kaitan dengan antar manusia, alam, dan Tuhan Yang Maha Esa. Tata aturan ini seringkali -disebut adat-istiadat.
Terkait dengan konteks tulisan ini banyak studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa masyarakat adat di Indonesia secara tradisional berhasil menjaga dan memperkaya keanekaan hayati alami. Adalah suatu realitas behwa sebagian besar masyarakat adat ada yang masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain sesuai dengan kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Mereka umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan sumber daya lokal yang diwariskan dan ditumbuhkembangkan terus-menerus secara turun temurun.1
Salah satu masyarakat adat di Nusantara yang mempunyai kearifan lokal adat adalah masyarakat Aceh. Banyak hal yang dapat diangkat terkait dengan masalah tersebut, tetapi kali ini penulis hanya memfokukan pada upacara adat dalam membangun rumah.

Upacara Adat Membangun Rumah
Upacara adat adalah sejenis kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat secara turun-temurun yang telah menjadi kebiasaan mereka. Upacara adat dalam mendirikan rumoh Aceh banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu dan Islam. Sebab di samping diadakannya do’a-do’a sesuai menurut ajaran Islam, dalam upacara tersebut juga terlihat adanya unsur-unsur kepercayaan terhadap roh-roh gaib dan benda-benda yang dianggap keramat.2
Upacara adat dalam mendirikan rumoh Aceh dilaksanakan secara tiga tahap. Pertama dilaksanakan pada saat pengambilan bahan-bahan rumah dari hutan. Tahap kedua ketika hendak mendirikan rumah dan tahap yang ketiga dilaksanakan upacara adat ketika rumah adat telah siap untuk dihuni/ditempati.

1. Upacara Pengambilan Bahan dari Hutan
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa sebagian besar bahan-bahan rumoh Aceh seperti tiang dan papan dibuat di dalam hutan di mana bahan-bahan tersebut diambil, tujuannya tidak lain adalah untuk mempermudah pengangkutan bahan-bahan tersebut.
Dalam rangka pengangkutan kayu-kayu itu dari hutan biasanya disertai dengan melaksanakan upacara adat. Pengangkutan dilaksanakan secara bergotong-royong dengan mengundang sanak famili beserta masyarakat. Bahkan dalam upacara tersebut selalu disertai dengan pemotongan korban seperti sapi, kerbau, kambing dan sekurqang-kurangnya pemotongan ayam atau itik. Tujuan dari pada pemotongan hewan korban tersebut adalah untuk menghindari terjadinya berbagai kemungkinan yang dapat menghalangi atau mempersulit pengambilan semua bahan perumahan tersebut.3 Di samping itu, tujuan pemotongan hewan korban itu tidak lain adalah untuk lebih semaraknya acara jamuan makan bagi semua yang ikut dalam bergotong-royong itu.
Menurut kepercayaan orang Aceh, bahwa setiap tempat dipermukaan bumi ini, baik yang berada di darat maupun yang berada di laut terdapat semacam makhluk halus (roh-roh) yang menjaga atau menguasainya. Lebih-lebih wilayah yang berada di hutan. Untuk memasuki hutan dan mengambil isinya harus dipatuhi ketentuan-ketentuan adat yang berlaku, agar makhluk halus yang menguasai hutan itu bersedia memberikan keizinannya. Salah satu cara untuk memperoleh keizinan penguasa hutan tersebut adalah dengan cara menyembelih hewan korban.
Pertama kali kayu yang akan diangkut disatukan terlebih dulu kemudian diikat dengan rotan guna ditarik beramai-ramai. Untuk mempermudah penarikannya diberi landasan berupa kayu bulat sebanyak 2, 3 atau lebih. Setiap kayu landasan dipegang oleh seorang, apabila kayu yang pertama telah lewat ditarik, maka kayu yang tertinggal tadi diambil dan diletakkan kembali di depan kayu yang sedang ditarik itu. Apabila salah satu kayu landasan itu sangkut, maka pemukulan canang yang dilakukan oleh wanita-wanita tadi harus diperkuat dan dipercepat serta sorakan anak-anak menjadi lebih bergemuruh. Tujuan pemukulan canang dan sorakan ini agar makhluk halus yang mungkin telah mencoba menghalangi pengangkutan kayu itu menjadi takut dan lari. Selain itu, pemukulan canang dan sorakan itu juga bertujuan untuk memberikan semangat kepada para penarik, dan juga agar mereka merasa malu jika bagian landasan yang dipegangnya sering tersangkut.
Jumlah rotan (tali pengikat) biasanya bersesuaian dengan jumlah belah 4 (kampung) yang hadir, sebab setiap belah memegang sebuah rotan pengikat. Jika jumlah belah yang hadir lebih banyak, maka kayu-kayu tersebut dapat ditarik sampai dua atau tiga kayu sekaligus. Dalam hal ini tidak dibenarkan menempati tali rotan yang telah dipegang oleh orang lain, karena hal tersebut bisa menimbulkan bentrokan antar belah (kampung). Upacara ini biasanya dipimpin oleh seorang raja (reje) yang mengepalai belah secara keseluruhan.
Untuk daerah Aceh bagian pesisir, seperti Aceh Besar, Aceh Utara, Aceh Barat dan Pidie, penebangan dan penarikan kayu harus ditentukan waktunya, tidak boleh pada waktu air sedang pasang, sebab apabila ditebang pada waktu air sedang pasang dapat menyebabkan kayu-kayu tersebut mudah dimakan rayap atau “bubuk”. Karenanya di daerah pesisisr setiap penebangan kayu untuk bahan perumahan terlebih dahulu harus membaca dan mengetahui dengan jelas perjalanan dan pergantian bulan, sehingga mudah mengetahui kapan air pasang dan kapan pula surutnya.5

2. Upacara pada Saat Mendirikan Rumah
Sebagaimana pada upacara pengambilan bahan dari hutan, maka pada upacara pendirian rumoh Aceh, juga diadakan penyembelihan hewan korban, disertai dengan acara makan bersama dengan mengundang para ahli famili terdekat, karib kerabat beserta masyarakat sekitarnya. Dalam acara tersebut diadakan pula pembacaan do’a yang biasanya dipimpin oleh Tgk. Imam Meunasah atau Tgk. Imam Mesjid. Do’a ini merupakan sikap penyerahan diri (tawakal) kepada Allah SWT, serta memohon agar pembangunan rumah itu dapat berjalan dengan baikdan diharapkan dapat membawa berkah, ketenangan serta ketentraman bagi para penghuninya.6
Setelah selesai acara makan bersama dan pembacaan do’a, barulah orang yang hendak mendirikan rumah tersdebut menyampaikan maksud dan tujuannya kepada para undangan yang hadir. Kemudian segala persoalan selanjutnya yang menyangkut tentang hari pelaksanaan mendirikan rumah itu diserhkan kepada Kepala Desa atau “Keuchik” untuk menentukannya.
Dalam upacara mendirikan rumoh Aceh ada dua kegiatan penting yang harus dilakukan. Pertama upacara “Tanom Kurah” dan yang kedua upacara “Peusijuk”.
Upacara “Tanom Kurah” adalah sejenis upacara yang kalau sekarang disebut upacara “peletakan batu pertama”. Disebut upacara “Tanom Kurah”, karena dalam upacara ini dilakukan penanaman kurah persis di tengah-tengah tempat di mana rumah akan dibangun. Penanaman kurah dilakukan pada malam hari, tepat pada pukul 24.00 WIB. Hal ini menurut kepercayaan orang Aceh dapat membawa ketentraman dan kebahagiaan bagi penghuni rumah itu, terutama sekali menyangkut tentang kenyamanan tidur pada malam hari.
Sedangkan upacara “Peusijuk” dilaksanakan pada pagi harinya oleh si pemilik rumah sendiri atau bisa juga diwakili oleh Tgk. Imam Meunasah. Kegiatan pokok dalam upacara ini adalah penepung tawaran seluruh lokasi tempat di mana rumah itu akan dibangun, sekaligus juga dilaksanakan penepung tawaran terhadap bahan-bahan perlengkapan rumah yang telah dipersiapkan sebelumnya di tempat itu.
Alat-alat yang dipergunakan dalam penepung tawaran terdiri dari “On sisejuk” atau (sineujuk) disebut juga “Daun Sidingin”, yaitu sejenis rumput yang daunnya agak lebar dan dingin, anak pohon pisang dicampur dengan bunga, ditambah dengan rumput atau “Naleung” yang dinamakan “Sambo”, yaitu sejenis rumput yang biasanya tumbuh dengan akar serabut yang sangat kuat dan sukar dicabut. Rumput ini dipergunakan langsung dengan akar-akarnya. Semua alat-alat tersebut diikat menjadi satu kemudian dimasukkan ke dalam sebuah ayan kecil yuang diisi air secukupnya. Pada tempat yang terpisah disediakan juga padi dan beras secukupnya.
Penepung tawaran dilakukan dengan cara mencelupkan bagian akar dari alat-alat yang telah diikat menjadi satu tadi ke dalam air itu, kemudian memercikkannya ke sekeliling tempat lokasi di mana rumah itu akan dibangun.Penyiraman dilakukan mulai dari “Pancang Kurah” tadi terus berputar ke kanan sampai seluruh lokasi itu terkena siraman (percikan) air.
Setelah selesai penepung tawaran, maka “On Sineujuk” (daun sidingin), “Naleung Sambo” beserta anak pohon pisang tadi ditanam sekalian di bagian paling pinggir sebelah utara dari rumah itu.
Tujuan upacara “Peusijuk” ini adalah agar suasana rumah itu selalu sejuk dan nyaman. Upacara ini biasanya dilaksankan pada pagi hari, yaitu sebelum matahari tinggi. Ini melambangkan suatu kepercayaan bahwa waktu pagi itu sangat baik untuk mendatangkan rezeki bagi penghuni rumah tersebut.7
Selanjutnya, pada tiang Putri atau “Tameh Putro” ditanam sebuah periuk tanah (Kanot Tanoh). Periuk tanah ini di beberapa daerah di Aceh pada zaman dahulu sering diisi dengan emas seberat ½ sampai 1 mayam beserta perak, ini terutama sekali berlaku di daerah Linge atau (Lingga), yaitu suatu daerah yang terletak di perbatasan antara Aceh Utara dengan Aceh Tengah. Akan tetapi belakangan ini hal tersebut sudah jarang bahkan tidak ada lagi dilakukan oleh masyarakat Aceh. Sekarang yang masih banyak dilakukan hanya penanaman “Kanot Tanoh” itu saja dan diisi dengan kunyit dan padi atau beras secukupnya. Penanaman “kanot tanoh” ini bertujuan agar kehidupan penghuni rumah tersebut selallu berada dalam berkecukupan, terutama dalam hal terpenuhinya kebutuhan pokok (primer).
Setelah semua upacara “Peusijuk” itu selesai, barulah dimulai mendirikan tiang-tiang yang sebelumnya telah dirangkai sesuai menurut posisi dan letaknya masing-masing. Untuk mempermudah mendirikan tiang-tiang tersebut dipancangkan kayu sejajar dengan tiang yang akan dinaikkan itu. Pada bagian atas pancang itu diikatkan sepotong kayu bulat dengan posisi membujur (horizontal) gunak meletakkan tali (rotan) penarik tiang. Jadi fungsi kayu yang dipancang dan kayu bulat yang membujur di atasnya adalah sebagai alat penggerak guna mempermudah mendirikan tiang-tiang rumah itu.
“Raja” tetap berada di atas untuk memimpin dan mengarahkan anggota penarik selama tiang-tiang yang lain belum selesai semuanya dinaikkan. Setelah berhasil tiang dinaikkan barulah dipasang “pasak” atau (baji) atau “Ruk”, “Lheu”, “Gase”. Kemudian barulah “Raja” turun ke bawah. Dengan turunnya “Raja” berarti upacara pendirian rumah itu dianggap telah selesai. Untuk pembangunan selanjutnya diserahkan kepada tukang atau kepada keluarga yang akan menduduki rumah tersebut.8

3. Upacara Adat Ketika Menempati Rumah Baru
Setelah bangunan rumah selesai, masih ada dua upacara lagi yang harus dilaksankan oleh pemilik rumah, yaitu : “Upacara Peusijuk Utoh” (tukang) dan “Upacara Kenduri E’ Rumoh Baro” atau (upacara menempati rumah baru).9
Upacara “Peusijuk Utoh” (penepung tawaran tukang) adalah sejenis upacara yang dilaksanakan oleh si pemilik rumah.Upacara ini mengandung berbagai arti, antara lain adalah sebagai ucapan terimakasih si pemilik rumah kepada tukang yang telah mengerjakan rumahnya dengan baik hingga siap untuk ditempati. Rasa terimakasih itu biasanya dinyatakan secara simbolis dalam bentuk penyerahan seperangkat pakaian seperti baju, celana, kain sarung dan kopiah beserta hidangan makanan ala kadarnya kepadanya.
Dalam upacara ini biasanya diselesaikan juga segala hal ihwal yang menyangkut tentang perongkosan dalam pembuatan rumah tersebut. Zaman dulu ongkos membuat rumah biasanya dibayar dalam bentuk padi, namun sekarang sistem pembayaran ini umumnya telah memakai uang. Jadi upacara ini selain mengandung arti ucapan terimakasih dari si pemilik rumah kepada “Utoh”, juga merupakan semacam acara serah terima perongkosan, baik serah terima perongkosan dari si pemilik rumah kepada “Utoh”, maupun serah terima bangunan dari tukang atau “Utoh” kepada si pemilik rumah.
Sedangkan “Upacara Kenduri E’Rumah Baro” adalah semacam upacara syukuran yang diselenggarakan si pemilik rumah karena bangunan itu telah selesai. Upacara ini biasanya dilaksanakan setelah selesai shalat magrib di rumah baru yang hendak ditempati itu.
Dalam upacara kenduri ini diundang semua pihak yang dianggap telah ikut berjasa dalam membuat rumah tersebut, seperti “Utoh” (tukang), Bapak Keuchik (Kepala Desa), Teungku Imam baik Imam Meunasah maupun Imam Mesjid beserta seluruh kerabat, ahli famili beserta seluruh masyarakat. Tata cara yang dilaksanakan dalam upacara ini sama halnya dengan upacara lainnya, yaitu didahului dengan acara makan bersama, kemudian baru dilakukan dengan ucapan terimakasih dari si pemilik rumah kepada semua pihak yang ikut membantu dalam mendirikan rumah tersebut. Upacara ini diakhiri dengan pembacaan do’a yang biasanya dipimpin oleh Teungku Imam.

4. Keterkaitan dengan adat lain
Kedudukan rumah dalam lingkungan keluarga pada dasarnya berkolerasi dengan kebiasaan menetap setelah kawin. Pada masyarakat Aceh, khususnya Aceh Besar dan Pidie, berlaku kebiasaan bahwa pasangan suami-istri muda menetap di lingkungan keluarga pihak istri.10 Kebiasaan menetap secara demikian berlangsung hingga tiba saatnya pasangan muda itu dipisahkan dan membentuk keluarga batih sendiri. Pemisahan itu biasanya dilakukan dengan suatu upacara yang disebut “Peumeukleh” (pemisahan). Dengan disaksikan oleh menantu dan tetua kampung serta beberapa anggota kerabat lainnya, orang tua istri memberikan sejumlah harta yang jenis dan nilainya tergantung kepada kemampuannya, kepada anak perempuan yang hendak dipisahkan itu. Pemberian itu disebut “Peunulang” atau pemberian.11
Bagi mereka yang mampu pemberian itu meliputi rumah tempat tinggal, tanah sawah, kebun kelapa, ternak, perhiasan serta peralatan rumah tangga lainnya. Penyaksian oleh menantu ketika pemberian itu berlangsung terutama dimaksudkan supaya ia ikut memelihara atau merawatnya, terutama rumah tempat tinggal.
Dalam kondisi seperti itu, kedudukan suami dalam lingkungan keluarga sebetulnya tidak lebih dari tamu di rumah istrinya. Ia tidak leluasa berada di rumah istrinya. Akan tetapi dalam realita masih ada lagi lelaki lain yang lebih menentukan dalam pengambilan keputusan keluarga, yaitu mertua. Karenanya, bukanlah pemandangan yang aneh jika pada siang hari suami muda lebih banyak berada di luar rumah ketimbang berada bersama istrinya di rumah. Status sebagai kepala keluarga baru benar-benar dapat dirasakan setelah adanya pemisahan. Biasanya saat untuk itu, baru dapat dirasakan setelah suami-istri muda itu mendapatkan kelahiran anak pertama, meskipun dalam kenyataannya ada yang lebih lama dari itu.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan oleh suami muda untuk mendapatkan status sebagai suami yang sesungguhnya adalah dengan cara pergi merantau. Apabila ia sudah cukup berhasil mendapatkan status sosial ekonomi yang lebih baik di rantau serta telah mampu membeli atau menyewa rumah tempat tinggal, dia dapat memboyong istrinya untuk hidup bersama di rantau, meskipun saat untuk pemisahan dari keluarga luas orang tua istrinya belum tiba. Dalam kehidupan bersama di rantau, suami dapat menempatkan dirinya sebagai kepala keluarga yang sesungguhnya, sebab telah jauh dari pengaruh dan baying-bayang mertuanya. Lingkungan tempat tinggal mereka yang baru sudah jauh berbedadengan lingkungan semula keluarga istrinya. Kebiasaan memboyong istri merantau boleh dikatakan menonjol. Semenjak tahun enam puluhan, yaitu ketika fasilitas transportasi dan perjalanan di kota mulai membaik. Pada mulanya yang memboyong istri merantau adalah para pegawai negri sipil. Kemudian kebiasaan ini meluas kepada pedagang serta pekerja lainnya. Dalam hal ini faktor yang paling menentukan adalah kondisi ekonomi.
Selain dengan cara merantau, untuk membentuk keluarga batih yang berdiri sendiri, suami sebetulnya dapat pula memboyong istrinya ke lingkungan kerabat orang tuanya, baik untuk tinggal bersama keluarga batih orang tua suami atau dengan cara mendirikan rumah baru. Akan tetapi masyarakat Aceh, khususnya Aceh Besar dan Pidie memandang hal itu tercela, karena dapat menimbulkan aib di pihak keluarga istri serta menimbulkan tanda Tanya di hati mereka, apa kekurangan dan keburukan mereka dan apa pula kelebihan pihak kerabat suami sehingga mereka (pengantin baru) itu tidak mau menetap di tempat mereka. Hal ini dapat menimbulkan ketegangan dan percekcokkan di antara kedua belah pihak, yaitu antara keluarga batih pihak istri dan keluarga batih pihak suami. Bahkan tindakan yang demikian dapat menyebabkan istri tidak diberikan harta “Peunulang” oleh orang tuanya.
Apabila dikaji lebih mendalam, maka pemberian harta “Peunulang” terutama bertujuan agar si istri tetap berada di lingkungan kerabatnya (bersama orang tuanya), walaupun berdasarkan ketentuan hokum bahwa setelah perkawinan istri beralih ke dalam tanggung jawab suami. Keselarasan hubungan kekerabatan akan terwujud apabila apa yang diinginkan suami dengan apa yang seharusnya dilakukan. Ini berarti bahwa walaupun berdasarkan ketentuan hokum istri seharusnya beralih ke dalam tanggung jawab suami, namun mereka (orang tua istri) menginginkan supaya mereka tetap berada di lingkungan keluarganya sendiri. Keinginan yang demikian tidaklah terbatas pada pandangan suami-istri itu semata-mata, tetapi juga kepada anak-anak yang mereka lahirkan. Atau dengan ungkapan lain bisa dinyatakan bahwa ada kecenderungan pada orang Aceh untuk berupaya mengabsahkan perilaku adat dengan tanpa mengabaikan ketentuan hokum (dalam hal ini adalah ketentuan hokum Islam).
Di beberapa kota besar di Aceh, khususnya Pidie dan Aceh Besar, kecenderungan untuk mempertahankan anak perempuan agar tetap berada di lingkungan kerabatnya sendiri masih terlihat pada sebagian pendatang dari desa. Namun karena berbagai keterbatasan yang dihadapi, kecenderungan yang demikian kelihatannya mulai pudar. Faktor penyebab yang terpenting antara lain keterbatasan rumah tempat tinggal dan biaya hidup yang relatif lebih tinggi. Lokasi perumahan di kota relatif lebih sempit dibandingkan dengan di desa. Kemungkinan perluasan tempat tinggal juga relatif terbatas, karena pekarangan rumah juga umumnya terbatas luasnya. Karenanya, untuk membentuk keluarga batih baru yang terpisah dari orang tua memerlukan lokasi tempat tinggal yang lain yang berada pada lingkungan yang berbeda atau relatif jauh terpisah. Biaya hidup yang relatif tinggi sering merupakan beban yang amat berat dirasakan untuk bisa ditanggung oleh seorang kepala keluarga. Di satu pihak, berbagai keterbatasan yang dihadapi itu dapat memudarkan ketentuan adat bahwa anak perempuan seharusnya tetap tinggal bersama orang tuanya, tetapi pada pihak lain keterbatasan tersebut memberi peluang bagi suami untuk membentuk keluarga batih yang berdiri sendiri.12

Kearifan Lokal
Menurut Geertz, kebudayaan pada dasarnya terdiri dari pola-pola pengetahuan, penilaian dan simbol. Pertama pola-pola pengetahuan disebut juga dengan pola bagi yang artinya suatu pengetahuan yang ada dikepala manusia untuk membentuk gejala sosial (mis. Tingkah laku atau benda-benda) di alam nyata, sebagai contoh bentuk bangunan yang akan didirikan. Pola-pola bangunan telah ada dalam pengetahuan si arsitek sedangkan bentuk bangunan secara nyatanya belum terjadi. Atau dalam bentuk tindakan adalah tindakan-tindakan apa yang akan dilakukan berkenaan dengan gejala yang dihadapi.
Kedua, Pola-pola penilaian disebut juga dengan pola dari atau suatu gejala yang tampak nyata diberi penilaian dan dimasukkan kedalam penilaian budaya diberikan suatu pola tertentu, jadi suatu gejala yang tampak nyata diartikan dan diterjemahkan (diinterpretasi). Gejala-gejala yang tampak nyata yang ada di luar tubuh manusia dipahami dan diberi penilaian, sehingga manusia dapat memberikan penilaian atas gejala yang tampak sebagai sesuatu yang baik atau buruk, dapat dimakan atau tidak, dsb. Bentuk ketiga adalah simbol, artinya bagaimana seseorang dari kebudayaan tertentu menghubungkan antara pola pengetahuan dan pola penilaian dengan simbol-simbol tertentu, sehingga kenyataan yang ada diterjemahkan dan dipahami menurut kebudayaan tertentu. Dan ditanggapi dengan suatu tindakan tertentu berkaitan dengan gejala yang tampak tadi.13
Perwujudan kebudayaan melalui pengorganisasian antara pola bagi dan pola dari yang berbentuk simbol akan tampak sebagai suatu lingkungan (dapat berupa arsitektur rumah, pola permukiman, kendaraan, model-model mata pencaharian dsb). Simbol-simbol inilah yang kemudian diinternalisasikan kepada orang lain (generasi selanjutnya) agar nilai-nilai budaya yang ada menjadi terkelola dan dapat menyesuaikan dirinya dengan segala perubahan yang terjadi di lingkungan hidup yang dihadapi individu-individunya sebagai anggota masyarakat.
Gambaran dari adat upacara dalam membangun rumah pada masyarakat Aceh merupakan manifestasi dari perwujudan suatu hasil dari suatu proses pengambilan keputusan oleh banyak pihak dalam kurun waktu tertentu. Pengaruh dan bentuk-bentuk kondisi sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-budaya yang berbeda yang melatar-belakangi proses dalam waktu pembentukan lingkungan tersebut, memberikan warna dan ciri tersendiri pada wujud fisiknya. Secara lebih nyata, hasil pengolahan pemahaman dan interpretasi terhadap lingkungan hidup, akan diwujudkan kedalam bentuk tindakan (cultural behavior) dan biasanya terwujud juga dalam bentuk benda-benda budaya (cultural artifact).
Dalam konteks ini dapat kita lihat pada upacara adat membangun rumah pada masyarakat Aceh seperti telah dipaparkan pada bagian di atas. Misalnya, tindakan yang diboleh dan tidak dibolehkan (larangan/ pantangan). Pemilihan bahan untuk membangun rumah atau pengaturan pembangunan rumah bagi anggota masyarakat yang baru.
Rumah yang dibangun oleh masyarakat Aceh tidak hanya dipandang sebagai sebuah kebudayaan materi semata, tetapi juga dapat dipandang sebagai interaksi manusia dengan lingkungan hidup yang dihadapinya. Selain itu, hasil karya manusia yang berbentuk benda-benda materi pada dasarnya juga berkaitan dengan peradaban (civilization) yang melingkupi manusia tersebut. Lingkungan sebagai suatu area yang harus dipahami mendorong manusia untuk menggunakan teknologinya guna kepentingan pemenuhan yang kemudian mendorong bekerjanya aspek-aspek lain dalam kebudayaan seperti kekerabatan, kepercayaan, kesenian, struktur sosial. Yang kesemuanya itu untuk pemenuhan kebutuhan manusia secara biologi, sosial dan psikologi.
Akhirnya, segala simbol-simbol pengetahuan yang terdapat dalam upacara adat pembangunan rumah pada masyarakat Aceh terintegrasi dengan sistem teknologi, dan struktur sosial. Kesemua hal itu merupakan satu perangkat kognitif manusia sebagai sebuah kebudayaan. Seringkali apabila diperhatikan kebudayaan ini memiliki nilai-nilai kearifan di dalam mengelola agar lingkungan tidak cepat rusak/punah.

Penutup
Dalam pembangunan rumah masyarakat Aceh banyak faktor yang dilibatkan, yang meliputi aspek tangible dan intangible. Kedua aspek sangat diperhatikan. Lebih-lebih pada pada masyarakat yang masih memegang teguh adat-istiadat. Mereka menjadikan adat-istiadat sebagai pedoman atau penuntun. Apabila dikaji, mereka memiliki kearifan lingkungan sehingga seringkali lingkungan tetap lestari. Untuk itu, kita jarang sekali mendengar terjadinya bencana alam yang terkait dengan lingkungan di kalangan masyarakat seperti ini.14 Untuk itu, kita harus terus menumbuhkembangkan kearifan lingkungan yang kita punyai. Apabila kearifan kita telah hilang bencanalah yang akan kita peroleh.

Catatan Akhir
Abdon Nababan. “Pengelolaan Sumber daya Alam Berbasis Masyarakat Adat Tantangan dan Peluang”. www.aman.or.id/14-2-2007. hlm. 1
2T. Syamsuddin. Adat-Istiadat Daerah Propinsi D.I Aceh. (Banda Aceh: PPKD, 1977). hlm. 9. Lihat pula Hasimi A. Jalil. ”Budaya Islam dalam Arsitektur Rumoh Aceh”, Skripsi Fakultas Adab IAIN Jami’ah Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh.
3Muhammad ZZ. Seni Rupa Aceh Jilid 1-8. (Banda Aceh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Kebudayaan, 1980). Hlm. 19.
4Istilah belah banyak digunakan pada suku bangsa Gayo
5J.J.C.H. Waardenburg. Pengaruh Pertanian terhadap Adat Istiadat, Bahasa, dan Kesusastraan Rakyat Aceh. Terj. Aboe Bakar. (Banda Aceh: PDIA, 1978). Hlm. 103.
6Hasimi A. Jalil.op.cit. hlm. 74-77.
7Muhammad Husein. Adat Atjeh. (Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi D.I. Aceh, 1970). Hlm. 126.
8 Muhammad ZZ, op.cit. hlm. 14.
9 Ibid.
10 M.Y. Mansyur. Sistem Kekerabatan (Kinship) Masyarakat Aceh Utara dan Aceh Besar. Laporan Penelitian (Banda Aceh: PIIS, 1983). Hlm. 42. Lihat juga Hasimi A. Jalil. op.cit. hlm. 81-85.
11 Syekh A.K. ”Haeruta Penulang di wilayah Kecamatan Seunagan”. Laporan Penelitian Study Purna Ulama (SPU) IAIN Ar-Raniry. (Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry, 1982). Hlm. 16.
12Hasimi A. Jalil. op.cit. hlm
13 Bambang Rudito dan Mira Indiwara Pakan, “Penataan Kembali Permukiman Orang-orang Aceh Pasca Tsunami Berdasarkan pada Kebudayaan Aceh (khususnya daerah perkotaan, pedesaan, dan diantaranya) atau Cultural Mapping Sebuah Laporan Survey dari Antropologi”, Makalah survey dalam Rangka Pemetaan Budaya, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2004. Lihat juga Agus Budi Wibowo. Kearifan Lingkungan dalam Adat “Berumah” Masyarakat Melayu di Sumatra Timur”. Dalam Haba No. 35/2005. (Banda Aceh: BKSNT Banda Aceh, 2005). Hlm. 19-24.
14Dapat kita ambil contoh pada masyarakat Kampung Naga dan suku Baduy di Jawa Barat, masyarakat Tengger di Jawa Timur dan sebagainya.

No comments: