February 13, 2009

PANDANGAN TEORI LIMINALITAS VICTOR TURNER TERHADAP ADAT DAN UPACARA KEMATIAN DI ACEH

Oleh: Agus Budi Wibowo

Pendahuluan
Manusia adalah salah satu makhluk ciptaan Tuhan. Namun manusia diciptakan oleh Tuhan amat berbeda dengan makhluk Tuhan yang lain. Manusia diciptakan oleh-Nya dengan berbagai kelebihan yang tidak dipunyai oleh makhluk lain, yaitu otak. Otak manusia mengandung kemampuan akal, yaitu ke-mampuan untuk membentuk gagasan dan konsep-konsep yang makin lama makin tajam, untuk memilih alternatif tindakan yang menguntungkan bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Gagasan-gagasan dan konsep itu dikomunikasikan dengan lambang-lambang (yang disebut bahasa) tidak hanya kepada individu lain dalam kelompoknya, tetapi juga kepada keturunannya.
Kemampuan otak manusia mem-bentuk gagasan dari konsep-konsep dalam akalnya menyebabkan manusia dapat mem-bentuk suatu kebudayaan yang amat berguna sebagai bekal hidup. Dengan kebudayaan yang dikembangkannya tersebut manusia mengolah sumber daya alam dan hayati. Akan tetapi, alam sekitar manusia memberi pula batas kemampuan untuk berbuat dan melakukan sesuatu sesuai dengan "akal" atau "budi" dan "daya"nya. Di sini manusia, kebudayaan dan alam sekitar merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Sebagai makhluk sosial di mana manusia sebagai individu saling berinteraksi satu sama lain, maka manusia memerlukan seperangkat aturan atau norma yang mengatur interaksi tersebut. Dalam setiap kebudayaan itulah terdapat norma-norma, nilai-nilai kehidupan yang menjadi pedoman bagi setiap warga masyarakat dalam tata pergaulan masyarakat yang bersangkutan. Karenanya, tiap-tiap kelompok masyarakat mempunyai tata cara, tradisi, norma serta sistem nilai tersendiri yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya.
Norma-norma tersebut disosialisasi-kan melalui suatu proses belajar. Proses belajar ini dapat berlangsung lama, bahkan dapat ber-langsung mulai dari janin berada dalam kandungan seorang ibu sampai seseorang meninggal dunia. Proses belajar ini sangat penting bagi keberlangsungan suatu budaya dalam masyarakatnya. Saat ini, proses belajar ini dapat melalui pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan non-formal. Namun demikian, proses belajar ini dapat pula dilakukan melalui berbagai upacara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat.

Kerangka Teoritis Tentang Religi
Sebagai makhluk hidup, manusia memiliki sejumlah kebutuhan dasar yang di-gerakkan oleh insting dalam rangka usahanya tetap hidup. Dalam konteks ini manusia tidak berbeda dengan binatang, ia harus makan, minum, dan lain-lain agar tetap survive. Usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan itu telah menciptakan kebudayaan. Karenanya, ke-budayaan dapat pula didefinisikan sebagai tanggapan aktif manusia terhadap lingkungan alam atau gejala alam. Di dalam menghadapi lingkungan alam atau gejala alam tersebut karena keterbatasannya manusia menemukan hal-hal yang berada di luar kemampuannya. Ada suatu yang lebih tinggi. Inilah yang kemudian menimbulkan suatu kepercayaan terhadap makhluk halus yang mendatangkan kebahagiaan (kesejahteraan), tetapi juga kemalangan (bencana).
Aspek religi atau sistem keyakinan ini mempunyai arti yang sangat penting bahkan dapat dikatakan menempati posisi yang sentral, artinya aspek keyakinan ini akan mempengaruhi beberapa aspek kehidupan lainnya. Karenanya aspek ini pun banyak menarik perhatian para Antropolog. Akibatnya banyak pula pemikiran mengenai azas dan asal mula religi yang dibuat oleh para ahli tersebut.
Dari banyak teori yang dimunculkan oleh para ahli tersebut dapat digolongkan menjadi dua kelompok, tetapi oleh Koentjaraningrat (1987: 58) digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu 1) teori-teori yang pen-dekatannya berorientasi kepada keyakinan religi, seperti teori A. Lang, R.R. Marret, A.C. Kruyt; 2) teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi kepada sikap manusia terhadap alam gaib atau hal-hal yang gaib, seperti teori dari R. Otto; dan 3) teori-teori yang pendekatannya berorientasi kepada upacara religi, seperti teori W.R. Smith, K.Th. Preuse, R. Hertz, dan A. Van Gennep.
E.B. Tylor, misalnya, menangkap adanya aktivitas berpikir pada suku-suku bangsa primitif yang mengamati adanya per-bedaan antara makhluk hidup dengan yang sudah mati, serta perenungan terhadap peristiwa mimpi. Penemuan E.B. Tylor ini kemudian melahirkan sebuah teori tentang asas religi yang dikenal dengan teori animisme. Menurut teori ini yang menjadi asal mulanya religi adalah tumbuhnya kesadaran pada diri manusia tentang adanya jiwa atau roh. Anggapan dasar teori ini ialah ada suatu keyakinan pada setiap penganut religi bahwa setiap makhluk hidup terdapat jiwa. Jiwa inilah yang memungkinkan manusia hidup dan jiwa akan tetap ada sekalipun manusia itu sudah mati. Mereka pun berkeyakinan bahwa di alam semesta ini banyak terdapat roh-roh yang bertingkat-tingkat dengan dewa sebagai puncaknya.
Namun demikian, teori ini kemudian mendapat kritik tajam dari banyak ahli, yang kemudian melahirkan teori praanimisme atau dinamisme. Salah satu tokoh yang mem-pelopori teori ini adalah R.H. Cordrington. Menurutnya, sistem religi yang tertua bukanlah animisme, melainkan kepercayaan manusia akan adanya kekuatan gaib yang supernatural, yang disebut "manna". Manna adalah kekuatan atau daya yang adikodrati dalam arti tertentu, daya yang menyimpang dari yang biasa. Daya ini dapat menjadikan orang menjadi terhormat dan ditakuti. Manna dapat berada pada segala sesuatu tidak hanya pada manusia, tetapi juga terdapat pada binatang, batu-batu, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda lainnya.
Saat ini berbagai penduduk dunia masih ada yang percaya di balik kenyataan fiksi yang langsung dapat dilihat terdapat pada roh halus, bahkan benda-benda mati, seperti batu, tanah, juga mengandung kekuatan yang dinamakan manna ini. Suku Indian Sioux menamakannya wakan dan Suku Iroko Orenda, serta Suku Algonki menamakannya manitou. Bagi suku-suku seperti ini, seluruh lingkungan mengandung sesuatu yang hidup (Alvin Toffeler, 1990: 21).
Ajaran Islam sangat berpengaruh di Aceh. Hal ini nampak dalam kehidupan sehari-hari. Namun demikian, pengaruh adat tidak hilang begitu saja. Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa sungguhpun hampir seluruh penduduknya beragama Islam, dalam waktu yang sama ada sebagian orang Aceh percaya juga pada kekuatan-kekuatan gaib atau makhluk halus di luar ajaran Islam.
Konkritisasi hal itu dengan jelas terlihat pada mitos tradisional tongkat Teungku Chik Di Pasi, Teungku Chik Di Ribee, dan Teungku Chik Di Trueng Campli. Ketiganya dapat membangun saluran air/lueng dengan hanya menggariskan tongkat di tanah. Tokoh kharismatik Teungku M. Daud Beureueh mempergunakan tongkatnya sebagai alat memimpin masyarakatnya (Ja’cuba Karepesina, 1988: 18). Tongkatnya di-identifikasikan dengan tongkat ulama-ulama keramat. Zentgraaff (1982) pernah menulis bahwa pada jenazah Teungku Di Cot Plieng ditemukan semacam azimat penangkal ber-bentuk rantai dengan sebuah peluru dan ulat yang sudah membantu. Azimat ini disebut rantaĆ© bui (rantai babi) (H.C. Zentgraff, 1983: 57).
Selain teori-teori tersebut masih banyak lagi tokoh-tokoh ilmu sosial lain yang telah mengajukan teori-teori yang terakumulasi dan kompleks. Seperti teori yang diajukan oleh A. Lang yang disebut teori tokoh dewa tertinggi. Menurutnya, suku-suku bangsa yang masih amat bersahaja masih percaya bahwa ada satu tokoh dewa yang dipandang sebagai dewa tertinggi. Tokoh dewa ini bukanlah roh seperti yang digambarkan oleh teori Tylor, dan juga bukan manusia serta ia pun tidak pernah mati. Teori ini pun tidak luput dari berbagai kritik dari ahli-ahli yang lain.

Adat dan Upacara Kematian di Aceh
Upacara kematian pada masyarakat Aceh umumnya dilaksanakan menurut upacara agama Islam karena masyarakat Aceh sebagian besar beragama Islam. Bila ada seseorang yang meninggal dalam suatu gampong, maka salah seorang ahli warisnya memberitahukan terlebih dahulu kepada teungku (pimpinan agama) dan keuchik (kepala kampung). Kemudian, mereka menyuruh salah seorang salah seorang warga kampung untuk membunyikan tambur sebanyak tiga kali. Dengan demikian, seluruh warga kampung akan tahu bahwa di kampung itu ada seseorang yang telah meninggal dunia. Selanjutnya, seluruh warga kampung, sudah menjadi kawajiban adat untuk mengunjungi-nya dengan membawa uang sedekah ala kadarnya sebagai tanda berduka cita. Uang sedekah tersebut biasanya tidak langsung diberikan kepada ahli waris si mati, tetapi diletakkan ke dalam beras yang telah disedia-kan dalam sebuah piring.
Orang yang telah meninggal di-baringkan di atas kasur dan diselimuti dengan batik panjang, sebelum mayat itu dimandikan. Pada masyarakat Aneuk Jamee di samping mayat dibakar kemenyan sebagai peng-hormatan kepada arwah, bahkan kemenyan itu dibakar di rumah sampai hari ke tujuh. Bagi masyarakat Aceh lainnya sudah jarang mem-bakar kemenyan ini pada orang yang meninggal (T. Syamsuddin, 1978: 141).
Beberapa orang warga kampung pergi menggali lubang keburan, sementara mayat di rumah dimandikan oleh teungku. Upacara memandikan mayat dilakukan menurut tradisi yang terdapat dalam ajaran agama Islam. Mayat dipangku oleh anak cucunya kalau yang meninggal itu orang tua, atau oleh pamannya kalau yang meninggal itu masih anak-anak. Setelah selesai dimandikan kemudian mayat dikafani dengan kain putih diberi kapas dan cendana. Semua keluarganya dibenarkan untuk melihat terakhir sebelum dibungkus dengan kain kafan. Setelah mayat dibungkus dengan seksama, lalu disembahyangkan secara berjamaah. Acara sembahyang ini ada yang dilakukan di dalam mesjid.
Setelah selesai acara sembahyang mayat, kemudian dibawa ke kuburan dengan digotong dalam keranda bersama-sama. Se-sampainya di kuburan, keranda dimasukkan ke dalam lubang kuburan yang dalamnya kira-kira 1,25 meter bagi mayat laki-laki dan 1,8 meter bagi mayat perempuan. Setelah itu lubang kuburan ditutup kembali dengan tanah ditimbun dengan baik lau disirami dengan air wangi bunga-bungaan tiga kali dari kepala sampai dengan ke kaki oleh teungku. Di kepada dan di kaki ditanami dengan pohon pudeng atau nawah. Tikar dibentang di kepala tempat duduk teungku untuk membaca talkin. Bagi orang yang menganut aliran Muhammadiyah acara talkin ditiadakan.
Semua pakaian dan kain-kain yang menyelimuti mayat tadi disimpan pada suatu tempat. Kain-kain ini disebut dengan reuhab. Biasanya, disimpan di atas tempat tidur untuk selama empat puluh hari atau empat puluh empat hari. Setelah selesai upacara penguburan tadi, mulai malam pertama sampai dengan malam ketiga diadakan samadiah atau tahlil. Pada malam-malam ini hadir semua kerabat dan jiran-jiran setempat. Biasanya acara ini diakhiri dengan acara makan-makan bersama (kenduri) atau cukup minum dengan kue-kue saja. Pada malam kelima, ketujuh diadakan kenduri lagi. Pada malam ini kadang-kadang diadakan acara mengaji (membaca Al Qur'an). Pada malam kesepuluh, kedua puluh dan ketiga puluh diadakan acara makan untuk teungku saja.
Pada hari ke-40 atau ke-44 merupakan upacara puncak dari upacara kematian dan diadakan agak besar. Bagi orang yang mem-punyai kemampuan biasanya memotong kerbau atau lembu. Dalam upacara ini hadir semua kerabatnya, jiran-jiran dan orang-orang yang patut. Biasanya orang diundang terlebih dahulu. Acara ini dilakukan pada malam hari. Setelah selesai tamu makan kenduri, acara akan dilanjutkan dengan mengaji atau berzikir kadang-kadang ber-langsung sampai pagi hari. Kepada mereka yang mengaji atau berzikir biasanya diberikan sejumlah sedekah. Acara ini di kota-kota atau pengikut aliran Muhammadiyah atau yang di Gayo dinamakan kaum mude sudah tidak dilakukan lagi. Acara seperti tadi masih di-lakukan oleh masyarakat pedesaan Aceh.
Setelah selesai acara penguburan, besok paginya datang sekali lagi ke kuburan dengan membawa nasi kuning dan dua buah batu nisan. Acara ini disebut dengan pula batee (tanam batu). Kedua batu nisan itu ditanami masing-masing di kepala dan di kaki. Setelah selesailah acara upacara kematian. Dahulu sering pula dirayakan untuk hari ke seratus, seperti dengan hari ke empat puluh atau empat puluh empat tadi. Namun pada saat ini sudah jarang dilakukan karena terlalu banyak memakan biaya.

Pandangan Teori Liminalitas Victor Turner
Berbeda dengan kerangka teoritis tentang religi yang telah dibuat oleh ahli-ahli lain seperti disebutkan pada bagian di atas, adat dan upacara kematian yang sering dilaksanakan oleh masyarakat Aceh dapat dianalisis dengan pendekatan teori liminalitas Victor Turner.
Pada dasarnya, masyarakat Aceh percaya bahwa di luar dirinya terdapat ke-kuatan "besar" yang mengatur tata kehidupan manusia. Karenanya, ketika ada anggota kerabatnya yang meninggal, maka mereka memberi penghormatan terhadap kekeradaan dunia "sana". Wujud penghormatan itu terbentuk dalam suatu upacara yang bertujuan menghantarkan arwah/roh orang yang meninggal. Arwah/roh tadi dihantarkan menuju struktur baru yang lain dengan struktur yang ada di dunia. Namun demikian, untuk beralih dari struktur kehidupan lama (dunia sini) menuju struktur baru (dunia sana/dunia gaib) ternyata tidak semudah mem-balikkan tangan karena pola-pola kehidupan lama tidak begitu saja mudah ditinggalkan. Untuk segera masuk ke wilayah pola struktur kehidupan baru (dunia sana) juga tidak mudah karena gambaran struktur kehidupan tadi masih kabur. Kita belum tahu bagaimana bentuk serta wujud struktur kehidupan setelah mati. Ibarat berdiri diambang pintu, sebelah kaki sudah melangkah, namun sebelah kaki yang lain sudah melangkah. Orang menjadi ambigu struktur mana yang sepatutnya dia ikuti. Ambiguitas itu akhirnya membawa masyarakat kepada pola-pola yang bersifat antistruktur, yaitu "tidak berada di sana dan tidak pula berada di sini" (Syafri Sairin, 1998).
Demikianlah gambaran masyarakat Aceh yang melaksanakan adat dan upacara kematian. Pada saat upacara nampak bahwa peserta upacara mengadakan pembacaan zikir agar arwah/roh yang meninggal agar diterima ke dalam struktur baru. Di sisi lain, ada pula sebagian anggota masyarakat yang membakar kemenyan untuk menghormati keberadaan arwah/roh. Mereka melakukan berbagai macam perilaku sesuai dengan naluri dan tujuan yang ingin dicapai, yaitu memberi bekal suatu kepada arwah/roh sampai kepada struktur dunia sana. Di satu sisi mereka percaya adanya bentuk kehidupan dunia lain (dunia sana/gaib), namun mereka belum tahu wujud sesungguhnya dunia lain tadi.
Victor Turner (Syafri Sairin, 1998) mengatakan bahwa masyarakat yang tidak berada di sini dan tidak berada di sana dapat disebut sebagai masyarakat yang berada dalam keadaan liminality. Masyarakat seperti ini memang tidak mempunyai rujukan budaya yang jelas dan sangat mudah dipengaruhi. Dengan demikian, sering kali mereka melakukan tindakan yang tidak dapat "diterima" oleh nalar.

Penutup
Upacara tradisional warisan budaya leluhur sampai sekarang diupayakan akan kelestariannya karena di dalamnya banyak mengandung pengertian dan pemahaman nilai-nilai dan gagasan vital dalam rangka pem-binaaan sosial budaya terhadap anggota masyarakat yang sedang menjalani pergeseran nilai-nilai maupun perkembangan budaya. Mengingat masyarakat sifanya majemuk dengan aneka ragam latar belakang budaya hal ini perlu ditanamkan kepada masyarakat selaku pendukung upacara dan tidak akan kehilangan arah maupun pegangan serta tujuan hidup bermasyarakat.
Sementara itu ada anggapan bahwa bentuk-bentuk upacara itu di dalamnya banyak mengandung petunjuk yang penyampaiannya melalui lambang atau simbol. Simbol atau lambang yang dinyatakan dalam bentuk upacara yang masih terselubung itu biasanya mengandung perilaku seseorang yang di-ungkapkan melalui isyarat-isyarat tertentu dan belum banyak diketahui selain masyarakat pendukungnya. Untuk itu, hal itu dapat dimengerti oleh pihak lain, maka masyarakat lain tersebut perlu mempelajarinya.









No comments: