September 24, 2009

Tueng Bila dalam Masyarakat Aceh

Oleh: Agus Budi Wibowo
A.Pendahuluan

Setiap komunitas di seluruh dunia mempunyai karakteristik khas. Karakteristik ini membedakan antara satu komunitas dengan komunitas lainnya. Aceh merupakan sebuah entitas wilayah dan suku bangsa yang berbeda dengan komunitas lainnya di Indonesia. Pengetahuan tentang karekteristik suatu masyarakat sangat penting bagi sebuah negara yang terbentuk dari berbagai suku bangsa seperti Republik Indonesia.
Ureueng Aceh memiliki budaya tersendiri dalam bertingkah laku, bersikap, beradat, berbudaya, dan sebagainya. Ureueng Aceh umumnya berkarakter keras, tidak mau begitu saja didikte, tidak cepat menyerah hampir dalam semua kesempatan dan teguh dalam menghadapi masalah (Kurdi, 2001: 29; Zainuddin, 2007: 124). Sedangkan menurut pandangan Abdullah (2007: 2-3) lebih mempertegas lagi bahwa adat tata kelakuan masyarakat Aceh identik dengan nilai-nilai budaya Islam. Hal ini ditandai dengan empat ikon nilai-nilai budaya Islami yang menandakan keberadaan ureueng Aceh. Pertama, Aceh dikenal sebagai tempat di mana agama dan adat menjadi dua pilar penting dalam penataan sosial: "Adat bak Po Teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala". Sisi kehidupan sosial budaya Aceh yang dibangun atas dasar agama dan adat membentuk suatu sumber penataan sosial (Sufi dan Wibowo, 2004: 88). Kedua, ureueng Aceh dikenal sebagai pemberani yang mendapatkan pembenaran historis pada perang melawan Portugis selama 120 tahun dan perang Aceh melawan Belanda hampir 70 tahun sejak maklumat perang disampaikan Belanda pada 26 Maret 1873. Kedua perang memperlihatkan keteguhan hati orang Aceh dalam mempertahankan wilayah dan sesuatu yang diyakini benar, khususnya jika itu menyangkut kebenaran agama. Ketiga, ureueng Aceh juga memiliki keyakinan dan kepercayaan diri yang tinggi yang disebabkan oleh adanya kebanggaan sebagai ureueng Aceh. Kebanggaan ini tentu saja bersumber dari sejarah dan hikayat yang terus menerus dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Keempat, ureueng Aceh menjunjung tinggi nilai-nilai kolektif. Hal ini antara lain tampak dari kebiasaan ureueng Aceh untuk berkumpul di warung kopi, saling mengunjungi, kenduri, serta ucapara-upacara yang melibatkan banyak orang (Wibowo, 2004).
Pada bagian lain Sufi (1997: 4) mengatakan bahwa salah satu karakteristik budaya masyarakat Aceh adalah suka melakukan tueng bila, maksudnya menuntut bela. Stereotif tersebut, benar atau salah, sering memberikan kesan yang menakutkan bagi pihak luar. Stereotif ini menjadi negatif apabila tidak dimaknai dengan benar. Ada pendapat bahwa menuntut bela ini dapat dimaknai sebagai dendam dalam arti negatif sehingga masyarakat Aceh dianggap sebagai masyarakat yang pendendam. Oleh karena itu, pemaknaan sebuah karakter komunitas harus dilihat dari sudut pandang pemilik karakter tersebut. Dengan demikian, tidak akan menimbulkan sikap etnosentrisme yang sempit. Apalabila dirunut sejarahnya, tueng bila telah dilakukan oleh ureueng Aceh sejak zaman kolonialis Belanda, bahkan mungkin terjadi pada masa-masa sebelumnya.


B.Arti Tueng Bila

Tueng bila merupakan bagian dari protipe watak orang Aceh, yang tampak pada pikiran, perilaku, tindakan, sikap, dan tutur kata. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Harun (2008: 16) terhadap hadih maja yang mengandung nilai filosofis, tampak bahwa orang Aceh memiliki prototipe watak yang (1) reaktif, (2) militan, (3) optimis, (4) konsisten, dan (5) loyal. Ciri-ciri tersebut mewarnai pola pikir dan pola tindak mereka dalam kehidupan, salah satunya terkait dengan perilaku tueng bila yang dilakukan oleh ureueng Aceh. Menurut Syamsuddin (2000) bahwa tueng bila itu sifat dari orang Aceh untuk balas dendam terhadap sesuatu yang mana balas dendam tersebut dapat dilakukan kapanpun juga tergantung kesempatan.
Oleh karena itu, istilah tueng bila merupakan suatu kata yang tidak asing lagi bagi kalangan ureung Aceh. Seperti telah disebutkan sebelumnya dalam adat dan kebiasaan ureueng Aceh perkataan tueng bila sudah sangat terikat dengan kepribadiannya (Sufi, 2003; Adan, 2006: 86). Menurut Aboebakar dkk (2001: 1004) dalam Kamus Bahasa Aceh-Indonesia, Teung bila berasal dari dua suku kata, yaitu tueng dan bila yang artinya mengambil atau menuntut bela. Akan tetapi, dalam buku Kamus Aceh-Bahasa Indonesia (Aboebakar dkk, 2001: 83) terdapat juga kata bila yang merupakan kata benda dari bela yang artinya pembalasan, menuntut ajal lawan atau keluarganya sedangkan kata Tueng dapat diartikan sebagai menerima (Daud dan Durie, 2002: 42), atau dapat juga diartikan menjemput, Dengan demikian, tueng bila dapat diartikan menjemput atau menuntut balas/ajal terhadap lawan atau keluarganya.
Sufi (2003: 14) mengartikan tueng bila sebagai menuntut bela. Tentunya, seorang Aceh akan menuntut atas kerugian yang dideritanya. Menuntut bela ini hendaknya diartikan dalam kerangka yang positif karena memang dalam bahasa Aceh terdapat pula perkataan menuntut balas (dendam) yang disebut dam dan menyimpan dendam (trόh dam). Akan tetapi, penggunaannya sangat negatif.
Adan (2006: 85) menyatakan bahwa tueng bila yang dalam bahasa Melayu bermakna sebagai balas dendam merupakan sebuah fenomena lama yang dapat dikonotasikan juga sedikit negatif dalam arti sebuah pembalasan dendam. Selanjutnya, apabila kita telusuri lebih jauh makna serta hakikat daripada kata tueng bila, ia tidak terlepas dari sebuah manifestasi imaginasi konkrit dari seseorang yang merasa dikhianati untuk meluruskan persoalan yang sebenarnya.
Ajaran agama Islam sebenarnya juga mengenal menuntut balas atau membela kehormatan. Akan tetapi, menuntut balas yang dilakukan adalah atas kerugian yang diderita. Pada masa Nabi Muhammad SAW penyerangan-penyerangan tentara Islam terhadap orang kafir dilakukan setelah lebih dahulu diberikan peringatan serta ajakan untuk memilih agama yang benar. Selain itu, keputusan untuk melaksanakan hukum hudud dan qishas, merajam melalui persetujuan Nabi Muhammad SAW.
Menuntut balas bukan dilakukan berdasarkan pada subjektifitas seseorang dan merupakan wajib bagi umat Islam. Dasar dari menuntut balas ini terdapat pada Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 178, yang Artinya,
Wahai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) Qisas2 berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik dan membayar diat (pampasan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rakhmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka ia mendapat azab yang sangat pedih.
Selain itu juga pada surat Al Maidah ayat 45 disebutkan upaya menuntut balas diwajibkan bagi umat Islam, yang artinya,
Kami telah menetapkan bagi mereka didalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya (balasan yang sama). Barang siapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu (menjadi) penebus bagi dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.
Oleh karena itu, menurut Ismail (2006:3), asas tueng bila yang dilakukan oleh ureueng Aceh harus memenuhi kriteria tertentu, tidak asal melakukannya begitu saja. Selanjutnya Ismail menyatakan sebagai berikut,
“Dalam kehidupan keluarga Aceh, tidak ada ”dendam”, karena amat bertentangan dengan syari’at Islam (hukom ngon agama, lagei zat ngon sifeut). ”Tueng bila” dilakukan karena terpaksa demi untuk ”membela diri/bila droe” menegakkan kehormatan, agama, martabat keluarga, harta benda dan nyawa atas segala kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang lain”.

C.Makna Tueng Bila sebagai Harkat dan Martabat

Dipermalukan secara terbuka atau di muka umum berupa provokasi tertentu pada hal-hal khusus sampai batas derajat tertentu pasti membuat luka yang dalam dan mengganggu keseimbangan emosi. Hal yang disebutkan itu dapat menjadi awal dari perilaku tueng bila bagi ureueng Aceh. Lebih lanjut ureueng Aceh akan merasa terhina akibat perlakuan buruk yang dirasakan dan menjatuhkan martabat kemanusiaannya.
Malu (bahasa Aceh: malee) bagi ureueng Aceh adalah sesuatu yang harus ditutupi, harus “ditelan” dan tidak boleh orang tahu. Tidak ada air talang dipancung, tak ada emas bungkal diasah adalah alasan untuk melakukan apa saja, apabila suatu keadaan menjadi darurat (noodzaak), yaitu untuk menutupi malu. Kehilangan harga diri bagi orang Aceh adalah kehilangan segala-galanya karena tidak hanya membuat diri sendiri, tetapi juga malu kawom. Menurut Sufi (2000) mengatakan bahwa,
“Yang namanya orang Aceh, hubungan kaum atau kekerabatannya sangat tinggi. Kalau salah satu anggota kaum tersebut terkena sesuatu, maka keluarga dari anggota kaum itu akan menuntut. Mereka akan tueng bila”.
Membuat tingkah laku yang memalukan tidak hanya merusak diri pribadinya, tetapi juga memalukan dan merusak kawomnya secara keseluruhan, keluarga, dan kampungnya (saboh keubeue meukubang, ban saboh weue meuleuhob) (Satu kerbau berkubang, seisi kandang berlumpur). Dalam hal ini juga Islam juga memerintahkan untuk menjaga martabat, harga diri, dan malu (Aswar, 2007: 25-27). Selain itu juga rasa malu merupakan refleksi daripada kata hati yang dapat berupa perasaan salah, penyesalan, kesadaran atau kewajiban, tanggung jawab, dan ketaatan agama (Alisyahbana, tt: 56-57; Hasyim dkk, 1997: 30).
Untuk itu, provokasi yang membuat malu harus dihindari atau pantang (tabu). Bahkan untuk sekedar mencoba-coba atau bergurau sekalipun. Menurut Dally (2006: 1) ada lima perilaku yang tidak boleh dilakukan agar tidak mendorong tueng bila bagi ureueng Aceh. Pertama, menyangkut penghinaan terhadap agama Allah, Tuhan, Rasul-rasul Allah, pelecehan terhadap Nabi Muhammad SAW, para Rasul Anbiya, Kitab Suci Al Qur’an, dan segala simbol yang dianggap suci dalam agama Allah. Kedua, mempermalukan kedua orang tua di depan umum lebih-lebih jika anak-anaknya (laki-laki) hadir di sana. Lembaga orang tua sangat dimuliakan, sangat terhormat di mata anak-anaknya dan keturunannya. Ketiga, mempecundangi, menggoda atau berselingkuh dengan istrinya. Istri merupakan lambang kesucian dan kehormatan diri, keluarga, dan keturunannya kelak. Bagi lelaki Aceh hal ini tidak ada toleransi sedikitpun. Keempat, mengganggu anak gadisnya yang mana sama kedudukannya dengan istrinya sebagai lambang kesucian keturunannya. Apabila berminat lamarlah dengan baik dan terhormat. Kelima, tanah (lahan) dan air sawah saat segera akan bertanam padi. Membuat provokasi berupa menggeser sempadan atau garis batas lahan walau sejengkal sekalipun. Mengeringkan air sawahnya pada saat bertanam mutlak suatu penghinaan yang sangat serius. Ungkapan ini sering dikembangkan sebagai membela “tanah air”. Kelima hal tersebut di atas terangkum dalam narit maja di bawah ini,
Méë ta maté bak limong pat maleë
Keu sa bak agama Allah ji peuhina
Dua ma ngon ku teuh ji peumaléë
Lhee aneuk dara teuh ji peukaru
Peuet inong peurumoh ka gop cuca
Limong ceue ji peuiseuk ie ji peutho jan seumula
Artinya:
Patut kita (bela sampai) mati pada lima macam permaluan
Pertama bila agama Allah diperhinakan
Dua ibu dan ayah dipermalukan
Tiga istri diselingkuh orang
Empat anak gadis diganggu/dilecehkan orang
Lima digesernya sempadan, dikeringkan air sawah saat akan bertanam padi
Setiap perilaku terhadap seseorang yang menyangkut lima hal tersebut dapat menjadi sebuah penghinaan. Setiap penghinaan akan dirasakan sebagai kehilangan martabat atau harga diri, tidak dihargai, dianggap sepi sehingga secara total merasa diri tidak berharga. Akibatnya, orang akan berusaha membela kehormatan diri dengan berbagai cara dan bentuknya, baik bertindak positif maupun negatif, untuk membuat perhitungan agar diri kembali berharga, termasuk menyambung nyawa, memamerkan kemampuannya dalam membinasakan hidup orang lain dengan nyawanya sendiri sebagai taruhan. Nibak putéh mata get putéh tulueng (daripada putih mata lebih baik lebih baik putih tulang) merupakan ungkapan yang mendukung pertaruhan terhadap harga diri ureueng Aceh. Jadi kebanggaan bagi laki-laki Aceh adalah jadi orang akan memilih mati (sebagai satria) daripada hidup terhina.
Untuk itu, konsep tueng bila ini merupakan salah satu prinsip hidup yang masih sulit ditinggalkan sebagian besar ureueng Aceh, karena berkaitan dengan harkat dan martabat dirinya sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial. Karena itu, jika suatu pembunuhan tidak diselesaikan dengan perdamaian, terutama perdamaian menurut adat, hampir dipastikan bakal ada pembunuhan balasan dengan cara yang sama atau lebih jahat lagi. Dalam konteks ini lebih jauh berkaitan dengan perbenturan fisik atau dalam konsep tueng bila ‘menuntut balas’, tidak lagi pada tataran hinaan dengan kata-kata atau perilaku. Jadi, kalau si A membacok si B, maka si B akan membacok si A, atau kalau si A membacok si B sampai mati, maka keluarga si B akan balas membacok si A sampai mati juga.
Menurut Harun (2008: 16) kondisi tersebut tidak terlepas dari watak orang Aceh yang sangat reaktif dalam menanggapai suatu masalah yang terjadi dalam lingkungan hidupnya sehari-hari. Reaksi itu muncul, terutama jika berhubungan dengan eksistensi dirinya sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial. Sebagai makhluk pribadi, orang Aceh memiliki harga diri yang keberadaannya dipertaruhkan dalam konstelasi sosial budaya kehidupannya. Karena itu, sifat reaktif diperlukan untuk mengawal harga diri dan menunjukkan eksistensi diri sebagai makhluk pribadi dan sosial. Ureueng Aceh memang dikenal sebagai salah satu suku bangsa yang cenderung memiliki sifat reaktif yang kuat dalam konteks menjaga harga dirinya. Hal ini, antara lain, dapat tampak pada hadih maja berikut ini.
Meunyo até hana teupèh
Aneuk krèh jeuet taraba
Meunyo até ka teupèh
Bu leubèh han jipeutaba
Artinya
(Kalau hatinya tidak tersinggung
Buah pelir pun boleh diraba-raba
Kalau hatinya sudah tersinggung
Nasi lebih (sisa) pun tidak akan ditawarkannya)
Selanjutnya Harun menyatakan bahwa secara umum hadih maja di atas menggambarkan salah satu sifat ureueng Aceh yang suka bersikap ramah dan baik hati kepada semua orang, tetapi kadangkala juga dapat bersifat pemarah dan pendendam. Kedua sisi sifat tersebut tentu saja timbul karena ada relasi sebab-akibat. Dalam dua baris pertama, misalnya, dilukiskan bahwa jika ureueng Aceh tidak tersinggung perasaannya, mereka tidak pernah memperlihatkan rasa permusuhan kepada siapa pun, dan bahkan akan terjalin suatu persahabatan yang melebihi sahabat karib. Hal ini ditandai oleh ungkapan aneuk krèh jeuet taraba (biji pelir pun boleh diraba-raba).
Adagium ini tentu tidak lahir begitu saja tanpa dipengaruhi oleh perjalanan sejarah dan unsur budaya, karena menyangkut alat kejantanan laki-laki (kemaluan) yang melambangkan harga diri seseorang. Dalam dunia nyata, meraba testis seseorang (mungkin bukan hanya untuk kasus ureueng Aceh) adalah tindakan kurang ajar dan dapat menyebabkan perkelahian atau bahkan pembunuhan terhadap si pelaku. Namun, demikianlah kiranya kesabaran, keluwesan, kelembutan budi, keterbukaan yang diperlihatkan ureueng Aceh dalam pergaulan sehari-hari, asalkan perasaan mereka tidak tersinggung atau hati mereka tidak terlukai. Kenyataan ini, misalnya, dapat dibuktikan dengan banyaknya etnis yang mendiami Aceh dan dapat hidup berdampingan secara damai karena mereka tidak pernah membuat tersinggung ureueng Aceh.
Di sisi lain, jika ureueng Aceh sudah tersinggung perasaannya, mereka akan memperlihatkan sikap yang cenderung apatis, tertutup, pemarah, bahkan pembenci; sangat tergantung situasi dan kualitas ketersinggungan mereka. Baris ketiga dan keempat dalam (1) menunjukkan tingkat ketersinggungan yang sedang (medium). Dalam kaitan ini, orang-orang yang menyakiti hati mereka akan mereka tempatkan pada posisi ‘bukan sahabat’, ‘bukan tamu’, ‘bukan keluarga’, dan ‘bukan musafir’. Hal ini, antara lain, ditandai oleh klausa bu leubèh han jipeutaba ‘nasi lebih (sisa nasi) pun tidak akan ditawarkannya’ yang merepresentasikan rasa muak, jengkel, dan kesal mereka.
Seperti yang telah disebutkan di atas, keaiban yang menimpa seseorang, misalnya dalam lingkungan rumah tangga, merupakan hal yang paling sensitif bagi masyarakat Aceh. Tindakan menjadikan diri sendiri sebagai hakim dengan melakukan tueng bila, bukan hanya terjadi di masa lalu saja, tetapi khususnya yang menyangkut soal nama baik rumah tangga hingga saat ini pun masih ada. Di bawah ini merupakan salah satu contoh yang dijumpai oleh Panglima Polem (1977: 108-109) di Indrapuri Aceh Besar,
“Pada suatu malam, seorang suami ketika saya pulang dari mencari ikan, melihat gejala yang mencurigakan di dalam rumahnya, dimana istrinya ditinggalkan seorang diri. Sang suami bertambah yakin akan dugaannya ketika di dekat tangga ia melihat adanya sepasang sandal seorang laki-laki. Dengan tidak berfikir panjang, ia mencabut parang yang senantiasa tersisip di atas rumahnya sekaligus mendobrak pintu kamarnya. Rupanya laki-laki hidung belang itu, dapat menyelamatkan dirinya melalui pintu samping. Karena emosi yang tidak terkendalikan dan merasa aib, tanpa berfikir panjang, suami tersebut langsung membunuh istrinya yang telah berbuat serong itu dan seketika itu juga meninggal dunia. Tindakan suami yang demikian oleh masyarakat dianggap sebagai perbuatan “jantan” dan bahkan sangat disesalkan mengapa tidak terbunuh kedua-duanya”.
Apa yang dilakukan oleh suami (dalam contoh di atas) tersebut merupakan sebuah upaya membela kehormatan dirinya sebagai laki-laki. Harga diri bagi banyak orang merupakan suatu hal yang sangat utama. Untuk itu, ia akan melakukan apa saja yang dipandang perlu agar seseorang tidak kehilangan harga dirinya. Perbuatan mengganggu istri orang berarti telah melanggar pantangan dalam adat Aceh. Kalau hal ini dilanggar berarti ia telah siap melangkahi mayat suaminya. Nasihat kepada istri sering dikatakan tika eh lakoe ta jaga beuget (tempat tidur suami harus dijaga dengan sangat baik) (Aswar, 2008: 10). Senada dengan dikatakan oleh Dally (2006: 1), Harun (2008: 16-26) mengatakan bahwa semangat juang yang tinggi untuk menegakkan kebenaran dan atau menjaga harga diri, dalam pandangan orang Aceh, pada saat tertentu menjadi sesuatu yang “wajib”. Hal ini, sesuai dengan hadih maja yang menyatakan bawa Nibak mirah blang bah mirah jurèe, Nibak malèe bahlé maté (Daripada merah sawah biarlah merah kamar Daripada malu biarlah mati).
Dalam konteks yang agak terbatas, hadih maja di atas diucapkan untuk melukiskan kewajiban seorang suami membunuh laki-laki yang tertangkap basah berzina dengan istrinya. Artinya, seorang suami yang memiliki harga diri akan lebih baik mati di rumahnya sendiri dalam membela kehormatan rumah tangga daripada hidup menanggung malu karena dicemooh orang kampungnya selama hidupnya. Jika hal itu tidak dilakukannya, ia dikatakan oleh masyarakat sebagai lelaki yang tidak pernah meraba pelirnya ‘agam hana raba krèh’ atau dengan kata lain ia bukanlah lelaki yang sering diasosiasikan dengan keberanian dan keperkasaan; ia lelaki yang tidak bertanggung jawab dan penakut.
Diksi ‘merah’ dalam baris pertama menunjukkan kepada darah yang dalam konteks ini merupakan ekses dari pembunuhan atau perkelahian. Perkelahian tersebut tidak jarang mengakibatkan meninggalnya sang suami, atau sang pengganggu, atau kedua-duanya. Bagi pengganggu, kematian itu adalah kematian ternista, sedangkan bagi suami kematian itu merupakan kematian terhormat (secara sosial). Karena itu, dapat disimpulkan bahwa untuk menjaga kehormatan diri dan keluarga, seseorang pantas mengambil tindakan tegas terhadap pengganggu rumah tangganya tanpa harus menunggu proses hukum. Tindakan ini menurut adat Aceh hanya dipahami kalau berlaku dalam rumah dan halaman, di luar kawasan itu dianggap kriminal atau pembunuhan biasa.
Simbolisasi harga diri yang cukup besar bagi masyarakat Aceh, menurut Hamidy (1977: 37), dapat kita runut akarnya pada hikayat yang pernah ada di daerah ini. Salah satu hikayat yang dimaksud adalah Hikayat Maleem Diwa. Hikayat tersebut menceritakan seorang tokoh – dalam hal ini Maleem Dewa – yang dapat memperistri wanita yang berasal dari kahyangan. Hal demikian, menurut Hamidy, telah menaikkan harga diri masyarakat manusia di bumi. Maleem Diwa sebagai wakil masyarakat dapat disejajarkan dengan makhluk kayangan. Penghargaan dan pandangan seperti itu tidaklah mengherankan akhirnya berkembang menjadi suatu pengakuan terhadap Maleem Diwa sebagai makhluk keramat atau sakti.
Kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh Belanda telah memicu dendam yang tidak berkesudahan bagi pribadi-pribadi ureueng Aceh. Menurut Abdullah (1996: 18) tradisi wali dan karong, turunan darah pihak ayah dan turunan darah pihak ibu sebagai pihak pertama dan pihak kedua yang akan bangkit menuntut bela (tueng bila) atas kematian keluarganya. Kesiapan menuntut bela ini merupakan prestise dan martabat keluarga. Jika tidak ada seorang pun yang bangkit membalaskan dendam keluarga, takut menghadapi musuh, maka keluarga tersebut dipandang tidak berharga sedikit pun di mata masyarakat. Oleh karena itu, seorang pemuda yang tidak terjun ke medan perang untuk menuntut bela kematian orang tuanya akan menerima sanksi yang berat dari masyarakat. Bahkan istri-istri yang ditinggal gugur oleh suaminya bangkit menuntut bela suami-suaminya (misalnya, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, dan lain-lain). Tradisi ini ditambah dengan fanatisme agama, perang sabililillah yang dipompakan melalui pembacaan Hikayat Prang Sabi yang termasyur itu lengkaplah pemicu perang yang sulit dipatahkan oleh Belanda. Oleh karena itu, seperti telah disebutkan dalam bahasan sebelumnya, tueng bila pada masa kolonial Belanda mewujud dalam perilaku bertempur habis-habisan sampai menemui syahid dan perlawanan secara sendiri-sendiri, yang disebut oleh ureueng Aceh sebagai aksi poh kaphe atau Aceh Moorden bagi orang Belanda. Untuk itu, R.A. Kern (1994: 75) yang pernah mengadakan penyelidikan tentang motivasi perang dilakukan oleh rakyat, menyatakan tentang latar belakang timbulnya pembunuhan-pembunuhan Aceh dilakukan karena rasa/komplek benci kaphe/kaphe complex yang dimilikinya dengan cara tueng bila. Selanjutnya, Kern mengatakan bahwa,
“Hal itu sebenarnya dilatarbelakangi oleh kebencian yang meluap-luap terhadap orang-orang yang dianggap kafir dan adanya hasrat mati syahid. Selain itu, juga karena adanya perasaan ingin tueng bila (semacam balas dendam) terhadap mereka yang telah membunuh keluarganya atau kepada mereka yang telah membuat malu keluarga atau dirinya”.
Motif pembalasan dendam yang dilakukan dengan modus tueng bila, menurut Kern seperti disebut di atas, dapat ditimbulkan oleh berbagai sebab, yaitu
1. Perlakuan tidak baik
2. Perampasan kebebasan
3. Melukai perasaan
4. Keresahan karena tidak diperlakukan secara adil
5. Perlakuan yang tidak adil oleh kepala-kepala
6. Patah hati karena asmara
7. Tidak puas menurut perasaan keadilan.
Kebencian yang meluap-luap atas keberadaan kafir Belanda di Aceh yang telah memporakporandakan sendi-sendi kehidupan dan mengakibatkan kematian anggota keluarga membuat seseorang ingin melakukan tueng bila. Hal ini tampak pula pada diri pahlawan nasional Cut Nyak Dhien. Sufi (2008: 10) menyatakan hasrat tueng bila pada diri Cut Nyak Dhien ini tampak pada pernyataan sebagai berikut,
“Hasrat Cut Nyak Dhien untuk melakukan tueng bila atas kematian suaminya yang merupakan salah satu penyebab mengapa ia bersedia nikah lagi dengan Teuku Umar yang telah beristri dua. Di sini jelas bahwa Cut Nyak Dhien memanfaatkan Teuku Umar yang dianggap mempunyai potensi dalam upaya untuk tueng bila atas kematian suaminya yang pertama...”
Berikut ini juga ditampilkan salah satu pembunuhan yang didasari oleh semangat tueng bila terhadap seorang perwira Belanda yang dilaporkan Komandan Divisi 5 Marsose, Anton yang dikutip oleh Sufi (2002: v) yang mengatakan bahwa
“Salah seorang perwira Belanda yang menjadi korban akibat pembunuhan khas Aceh ini ialah Kapten C.E. Schmid, komandan Divisi 5 Korps Marsose di Lhoksukon pada tanggl 11 Juli 1933 yang dilakukan oleh Amat Lepon, sementara pada bulan Nopember 1933 dua orang anak-anak Belanda yang sedang bermain di Taman Sari Kutaraja (sekarang Banda Aceh) juga menjadi korban pembunuhan khas Aceh ini. Amat Lepon menyaksikan ayahnya Teungku Beureunuen syahid tewas ditembak serdadu Belanda tatkala ia berumur 10-12 tahun, rasa dendam dengan semangat ingin menuntut bela (tueng bila) dipendamnya selama lebih 20 tahun kemudian”.
Hal tersebut juga diakui pula oleh Adan (2006: 87) yang menyatakan bahwa perjuangan yang dilakukan oleh para pejuang Aceh melawan Belanda merupakan manifestasi dari tueng bila yang melekat dalam jiwa dan raga para mujahid besar, seperti Teungku Chik Di Tiro, Cut Nyak Dhien, Fakinah, Pocut Baren, dan lain-lain. Beberapa kasus yang dapat ditangkap sebagai wujud perilaku tueng bila tampak dari pernyataan Adan di bawah ini,
“Menghayati proses tueng bila bagi bangsa Aceh memang sungguh sangat menarik serta punya makna tersendiri. Sejarah telah mencatat apabila orang Aceh telah meudarah ate (sakit hait yang sangat mendalam), maka jalan keluarnya adalah tueng bila. Dua contoh yang dikemukakan penulis terkemuka H.M. Zainuddin merupakan rujukan saheh serta akurat walaupun tidak berani dijadikan referensi. Ketika perang melawan Belanda sedang berkecamuk di bumi Aceh seorang kampung Nyong di Kecamatan Geulumpang Minyeuk (sekarang Geulumpang Baro), Pidie, Abdul Hamid dengan bersahaja seorang diri menghadang pasukan Belanda di sebuah jambo (gubuk) di tengah sawah untuk membunuh sebagai sebuah manifestasi tueng bila terhadap pembunuhan orang-orang kampung tersebut oleh pihak Belanda. Dalam kasus lain seorang perempuan setengah baya dalam sebuah kereta api dari arah Langsa ke Sigli dengan geramnya menusuk seorang Belanda yang tengah duduk santai di kursi kereta api tersebut. Ketika ditanyai orang banyak sang wanita menjawab: aku benci kafir itu yang telah menghancur luluhkan Islam dan ummat Islam di bumi ini dan itulah ganjaran tueng bila daripadaku, ujarnya tegas”.
Pada masa konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dengan pemerintah Republik Indonesia terminologi kata tueng bila sering kali dipakai ketika Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk menuntut balas atas kematian warga akibat operasi-operasi yang dilakukan oleh TNI di berbagai daerah di Aceh. Hal ini dapat kita lihat dari berita-berita yang dilansir oleh media lokal di Aceh. Selain penyerangan yang dilakukan oleh sekumpulan pasukan GAM terhadap aparat di Aceh selama konflik, mereka juga melakukannya secara individu seperti membacok atau menikam di tempat keramaian umum seperti pasar. Pola yang sama pernah terjadi pada masa kolonial Belanda.
Mengenai tueng bila yang sering dinyatakan oleh Gerakan Aceh Merdeka sebagai sebuah pembalasan terhadap aparat TNI/Polisi, Siegel (2000: 391) mengatakan bahwa,
”The failure of Indonesia, like its success, is a question of ”the people” metamorphose into ”the masses” and into criminals while their spokes persons become themselves criminal. The pattern of violence varies accordingly. The violence in Aceh ini 1999 was mainly produced by the army, and so too was the massacre in Aceh in 1965-66 of all suspected communists. The difference comes with public support – or not – of the army. When I was in Aceh ini 1999, there had been about thirty murders known as “revenge killings” (tueng bila). In most these incidents two or three men on a motorbike rode to a village coffe shop, that someone with a rifle, and rode off. Those killed were often identified as informer for the army. People knew that the army had forced certain villagers to identify their neighbors as members of the GAM on pain of the rape of their sisters, the kidnapping of their fathers, and so on. The government was blamed for this practice, but knowlodge of it also supported the possibility that the killer”
Artinya
“Kegagalan Indonesia sebagaimana kesuksesannya merupakan suatu hal yang mengalami metamorfosis dimulai dari “rakyat” yang menjadi “massa” yang selanjutnya berubah menjadi pelaku kriminal ketika pemimpin mereka sendiri adalah penjahat. Pola kejahatannya itu bervariasi sesuai dengan metamorfosis yang terjadi. Kejahatan yang terjadi di Aceh pada tahun 1999 umumnya dilakukan oleh tentara. Demikian juga dengan pembataian terhadap para tersangka penganut komunis yang terjadi di Aceh pada tahun 1965-1966. Perbedaannya terdapat pada ada atau tidaknya dukungan warga terhadap tentara. Pada saat saya berada di Aceh tahun 1999 terdapat 30 kasus pembunuhan yang dikenal sebagai “pembunuhan balas dendam” (tueng bila). Dalam kebanyakan kasus seperti ini, biasanya dua atau tiga laki-laki yang mengendarai motor menuju warung kopi, kemudian menembak, lalu pergi. Orang yang terbunuh dengan cara ini dianggap sebagai informan tentara. Orang-orang tahu bahwa para tentara memaksa penduduk untuk memberi informasi siapa diantara mereka yang menjadi anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan ancaman pemerkosaan terhadap saudara perempuan mereka, penculikan terhadap orang tua, dan lain sebagainya. Dalam praktek ini pemerintahlah yang disalahkan bahkan pengetahuan akan hal ini jug mendukung kemungkinan bahwa pembunuh…”.

D.Penutup

Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa Tueng bila merupakan bagian dari upaya ureueng Aceh dalam rangka menegakkan harkat dan martabat ureueng Aceh sebagai manusia. Untuk itu, kekerasan yang terjadi (sebagai akibat tueng bila) dihargai dan “direstui” oleh budaya masyarakat. Tueng bila adalah sebuah tindakan yang harus diterima (taken for granted) dan dianggap “bermoral”, wajar dan bukan perbuatan tercela. Bahkan apabila dalam suatu kasus, seseorang tidak melakukan tueng bila, ia akan mendapat hinaan dari masyarakat. Untuk itu, ureueng Aceh akan melakukan tindakan apa saja dalam rangka tueng bila, sekalipun harus mengorbankan nyawa sebagai taruhannya.
Tueng bila merupakan harga diri dan watak dari ureueng Aceh. Berawal dipermalukan dan merasa terhina, seseorang akan membangun kembali harga diri dan martabatnya. Pembelaan terhadap harga diri seringkali dilakukan dengan tindakan-tindakan yang seringkali tidak masuk akal, misalnya melakukan pembunuhan nekad, yang pada zaman kolonial Belanda sering disebut Aceh Moorden (bahasa Aceh: po kaphe).
Predikat sebagai orang yang membela kehormatan agama merupakan kebanggaan tersendiri bagi mereka yang melakukan tueng bila terhadap penodaan agama. Di samping itu, tueng bila juga dilakukan sebagai tindakan pembalasan terhadap orang yang melakukan pelecehan harga diri, misalnya gangguan terhadap istri dan anak gadis, yang menyebabkan ureueng Aceh malee. Dalam konteks ini tueng bila merupakan institusionalisasi kekerasan yang mencerminkan monopoli kekuasaan dan perlindungan laki-laki terhadap perempuan dan manifestasi dari peran dan tugas laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Makna-makna yang ada dalam motif tueng bila seperti tersebut di atas dapat dikatakan sebagai bagian dari sistem komunikasi budaya. Bagi pelaku tueng bila dan masyarakat, tueng bila dianggap sebagai simbol tentang sikap dan perilaku kekerasan terhadap pelecehan harga diri keluarga, kawom, dan masyarakat dimana mereka berada. Mereka yang telah melakukan tueng bila dianggap telah melaksanakan kewajiban sosialnya terhadap keluarga, kawom, dan masyarakat, dan bahkan negara, baik laki-laki maupun perempuan.

Daftar Pustaka
Abdullah, T. Imran. 1996. ”Alam Budaya Pantai Barat”, dalam Piasan Raya Alam Budaya Pantai Barat, Imran T. Abdullan dkk (eds). Meulaboh: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Barat.
Abdullah, Irwan. 2007. “Potret Retak Komunalisme Aceh”. Makalah Bahan Perbincangan Masa Depan Aceh di Aceh Institute tanggal 8 Juni 2007.
Aboebakar dkk. 2001. Kamus Bahasa Aceh-Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Adan, Hasanuddin Yusuf. 2006. Politik dan Tamaddun Aceh. Banda Aceh: Adnin Foundation Aceh.
Aswar, Teuku Raja Itam. 2007. “Malu dalam Adat Aceh”. Jeumala No. 21/2007. Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Hamidy, U.U. 1977. “Peranan Cerita Rakyat dalam Masyarakat Aceh” dalam Alfian (ed.) Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh. Jakarta: LP3ES.
Harun, Mohd. 2008. “Prototipe Watak Orang Aceh”, Jeumala No. 25/2008. Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Hasyim, Abidin dkk. 1997. Budaya Malu dalam Keluarga Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.
Ismail, Badruzzaman. 2006. ”Pengaruh Faktor Budaya Aceh dalam Menjaga Perdamaian dan Rekonstruksi”, Makalah disampai-kan pada Seminar Faktor Budaya Aceh Dalam Perdamaian dan Rekonstruksi, yang dilaksanakan oleh Tunas Aceh Research Institute, Darussalam, tanggal 20 September 2006.
________________. 2008. Sistem Adat Budaya Aceh. Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Kern, R.A. 1994. Hasil-hasil Penyelidikan Sebab-Musabab terjadinya Pembunuhan Aceh (terj. Aboebakar). Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.
Kurdi, Muliadi. 2005. Menelusuri Karakteristik Masyarakat Desa Pendekatan Sosiologi Budaya Dalam Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Pena.
Panglima Polem, T. Bachtiar Effendi. 1977. “Pengendalian Sosial di Aceh Besar” dalam Alfian Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh. Jakarta: LP3ES.
Dally, Ramli A. 2006. Ungkapan Peribahasa Aceh dari Sabda Leluhur. Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Siegel, James T. 2000. The Rope of God. Michigan: University of Michigan Press.
Sufi, Rusdi. 1997. “Pembunuhan Khas Aceh dan Sebutan Aceh Pungo”. Serambi Indonesia, 15 Desember.
__________. 2003. “Etnis Aceh”, dalam Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, Ragam Sejarah Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
__________. 2008. “Menelusuri Tindak Cut Nyak Dhien melawan Kolonial Belanda (sebagai inspirasi bagi Perempuan di Era Pembangunan)”, Makalah disampai-kan pada Seminar di Rumah Cut Nyak Dien Lampisang yang diselenggakarakan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan di Banda Aceh tanggal 6 November.
Sufi, Rusdi dan Agus Budi Wibowo. 2004. Jelajah Aceh Guide Book to Aceh. Banda Aceh: Dinas Pariwisata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Wibowo, Agus Budi. 2004. “Hikayat dalam Perspektif Sejarah” dalam Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, Ragam Sejarah Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Zainuddin, Muslim. 2007. “Syariat Islam di Aceh dalam Dimensi Sosiologis”, dalam Tim Penulis IAIN Ar-Raniry Pergulatan Panjang Budaya Damai dalam Masyarakat Multikultural Kajian Edukasi, Syar’i, Historis, Filosofis, dan Media Masa. Banda Aceh: Yayasan Pena dan Ar-Raniry Press.