February 16, 2009

HIKAYAT DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

Oleh: Agus Budi Wibowo

Dalam Kontras Nomor 180 edisi 6 Maret – 12 Maret 2002, Mohd. Harun Al Rasyid menulis dan membahas masalah hikayat dalam kesusastraan Aceh. Dalam artikel tersebut dikemukakan bahwa hikayat mengalami perkembangan hingga saat sekarang ini. Penulis-penulis hikayat modern seperti Syeh Rasyid Rawa, Nurman Syamhas telah membawa hikayat Aceh kepada bentuk hikayat modern.
Selanjutnya, penulis mengangkat masalah perkembangan hikayat Aceh yang bersumber dari makalah yang dipresentasikan oleh M. Isa Sulaiman pada sebuah seminar dalam rangka peresmian kantor Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh tanggal 3 Oktober 1995, dengan beberapa tambahan penulis sendiri.
Hikayat telah mengalami suatu proses perkembangan melalui fase-fase. Hal ini merupakan kulminasi dari proses historis. Setiap fase dalam perkembangan hikayat memuat kondisi dari fase sebelumnya. Untuk itu dalam artikel ini akan ditelusuri bagaimana hikayat beradaptasi terhadap fenomena yang mengelilinginya dalam kurun waktu yang demikian panjang.
Hikayat sebagai salah satu cabang sastra di Aceh, perlu ditelusuri asal-usulnya, yaitu melalui proses Islamisasi dan pembentukan komunitas politik Islam pada saat terbentuknya Kerajaan Pasai abad ke-13 dan diikuti oleh Kesultanan Aceh dua abad kemudian. Kedua kerajaan merupakan bagian dunia Melayu yang mempunyai landasan kultural yang sama dengan Aceh, yaitu agama dan bahasa. Argumentasi ini didasarkan pada perkembangan tradisi narasi yang muncul dan berkembang di Melayu dalam bentuk prosa, menggunakan bahasa Melayu, dan bertuliskan aksara Arab (Arab Jawoe).
Hikayat yang muncul dan menonjol pada periode awal adalah Hikayat Pasai dan Hikayat Aceh. Namun, kapan waktu yang pasti tentang kedua hikayat tersebut muncul sampai saat ini belum ditemukan. Amin Sweeney misalnya memperkirakan keduanya muncul sekitar abad 14 sementara Winstedt memperkirakan sekitar abad 15. Bahkan nama pengarang kedua hikayat juga tidak diketahui.
Berdasarkan sistem sosial yang ada pada masa tersebut, dapat dipastikan penulis hikayat adalah penulis yang mempunyai ilmu agama Islam yang tinggi dan si penulis mempunyai hubungan dekat dengan istana. Dan apabila ditinjau dari materi teks yang terdapat dalam hikayat tersebut lebih dari seorang. Hal ini karena dalam hikayat tersebut mempunyai tingkatan-tingkatan. Hal ini pula yang mengindikasikan bahwa penulisan hikayat berantai hingga mencapai titik akhir (penutup).
Hikayat dalam wujud seperti tersebut di atas hanya bertahan pada masa kesultanan mengalami kejayaan. Perkembangan selanjutnya, menunjukkan bahwa hikayat dalam masyarakat Aceh mengalami perubahan bentuk. Bentuk hikayat yang berkembang setelah itu dalam wujud puisi atau syair bahasa Aceh. Perubahan bentuk hikayat ini diduga berkaitan dengan meningkatnya jumlah penulis hikayat yang berlatar belakang penutur bahasa Aceh.
Dalam penentuan judul awal kemunculan hikayat dalam bentuk baru sangat sulit dilakukan karena hikayat dalam bentuk baru tersebut dituturkan dari mulut ke mulut sehingga tidak diketahui penulisnya. Namun kajian terhadap teks dan materi isi, Hikayat Malem Diwa dapat dijadikan landasan sebagai hikayat tertua yang berbeda dari bentuk hikayat sebelumnya. Hal ini berdasarkan latar atau setting hikayat yang menggambarkan keadaan Pasai pada masa perpaduan kebudayaan Hindu dan kebudayaan Islam.
Islam telah menjadi sumber inspirasi bagi pujangga-pujangga hikayat lama dalam menggubah atau menyusun hikayat. Oleh karena itu, subjek cerita yang ditampilkan pada umumnya menyangkut hal-hal keagamaan dari kehidupan Muhammad SAW dan sahabatnya, nabi-nabi terdahulu, atau masa permulaan Islam. Seiring banyaknya persoalan kehidupan manusia, materi yang disajikan oleh penggubah hikayat bergeser kepada permasalahan yang menyangkut masalah-masalah umumnya, misalnya ekspedisi Iskandar Muda ke Semenanjung Malaka, perlawanan Raja Sulaiman terhadap pamannya Sultan Mansursyah pada pertengahan abad 19, atau peperangan melawan Belanda tahun 1873 – 1904.
Lirik hikayat berbentuk puisi berbeda dengan lirik pantun yang mempunyai sampiran. Namun syair hikayat mempunyai kaidah menyangkut kaidah intonasi dan persajakan. Hal ini bertujuan untuk memberikan efek estetik pada pendengarnya. Seperti dalam kutipan Hikayat Malem Dagang edisi HKJ Cowan berikut.
Tujoh blaih buleuen poteu di djho, leumah keu musoh bak panglima..
Leumah keu musoh bak Malem Dagang, panglima prang that peukasa.
Kapai jidong dum di laot, tihang seupot sang bak nala.
Kapai jidong dum meuranjo, bangon pulo di laot raya.
Awal abad 20 bermunculan di Aceh lembaga pendidikan modern. Kemunculan lembaga pendidikan modern tersebut menimbulkan lapisan sosial yang memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah. Selama menempuh pendidikan, para siswa memperoleh pelajaran bahasa Aceh dan juga ejaannya, sehingga muncul penulis-penulis generasi baru hikayat seperti Abdullah Arif, Ismail Muhammad, Arabi Ahmad, dan Ali Muhammad. Beliau-beliau ini pada umumnya telah menggunakan aksara latin dalam menulis hikayat. Namun hikayat-hikayat yang ditulis oleh mereka sebenarnya merupakan reproduksi dari hikayat-hikayat lama, seperti Hikayat Prang Sabil yang ditulis kembali oleh Abdullah Arif dan Anzib Lamyong, Hikayat Malem Diwa oleh Teungku Abdullah, dan Hikayat Hasan Husen oleh Syekh Rih Krueng Raya.
Dalam upaya penulisan kembali hikayat-hikayat lama, bermunculan juga hikayat-hikayat karya baru. Pada umumnya pokok cerita yang ditampilkan oleh penulis hikayat adalah peristiwa-peristiwa besar yang memberikan dampak terhadap kehidupan masyarakat Aceh seperti revolusi sosial tahun 1945-1946, dan juga masalah-masalah yang menyangkut masyarakat Aceh, baik yang bersifat nasional maupun internasional. Dengan perkembangan zaman dan era keterbukaan membuat para penulis hikayat memberikan nilai-nilai lama yang masih relevan dengan perkembangan zaman. Hal ini merupakan salah satu upaya guna menangkal pengaruh negatif dari nilai-nilai yang berasal dari luar nilai-nilai Islami yang menjadi ciri khas masyarakat Aceh.
Dalam perkembangan selanjutnya, teks atau naskah hikayat tidak banyak mengalami perubahan terutama menyangkut hal-hal seperti intonasi, matra atau ritma. Perubahan yang dapat ditemukan hanya meliputi masalah format atau bentuk syair, ortografi, dan leksikografi (kata).
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat diambil sebuah simpulan bahwa hikayat dalam masyarakat Aceh telah mampu melakukan daya penyesuaian yang luar biasa dalam rentang waktu yang sangat lama sehingga sampai dengan saat ini masih dapat bertahan dalam masyarakat. Namun penyesuaian yang dilakukan terhadap hikayat masih bersifat formal dan belum menyentuh substansi hikayat yang sebenarnya. Oleh karena itu, dapat disebutkan dalam tulisan ini bahwa hikayat masih merupakan “pengawal tradisi” masyarakat tempat hikayat tersebut atau ditulis. Hal ini dapat kita perhatikan dari materi hikayat yang berisi ajaran moral atau nasihat yang terkandung dalam teks dan juga melalui kaidah fenomis yang digunakan dalam teksnya.
Secara umum, dewasa ini telah terjadi pergeseran kedudukan hikayat dalam masyarakat Aceh. Hal ini dibarengi dengan kemunculan berbagai sarana hiburan berupa audio dan audio visual elektronik. Hal ini dapat dilihat dari semakin sedikit ahli masalah hikayat, khususnya hikayat Aceh. Dalam perkembangan di masa mendatang apakah hikayat dalam masyarakat Aceh akan tetap mendapatkan tempat atau tidak akan tersisa lagi merupakan tantangan yang tidak hanya direnungkan, tetapi dibutuhkan langkah nyata bersama segenap komponen masyarakat.

No comments: