August 12, 2008

Pengkajian Nilai-nilai Budaya Islami dalam Pengembangan Pariwisata Budaya

Oleh Drs. Agus Budi W. M.Si

A. Pendahuluan
Sektor Pariwisata saat ini semakin berperan dafam menunjang pembangunan nasional maupun daerah. Sejak tahun 1997 diharapkan sektor pariwisata menjadi sumber andalan devisa negara di luar sektor nonmigas. Pemerintah dalam pengembangan pariwisata menegaskan bahwa : "Dalam rangka pembangunan Nasional, guna rneningkatkan kesejahteraan rakyat, GBHN telah menetapkan bahwa pembangunan kepariwisataan dilanjutkan dan ditingkatkan dengan mengembangkan dan mendayagunakan sumber dan potensi kepariwisataan Nasional menjadi kegiatan ekonorni yang diandalkan untuk memperbesar penerimaan devisa, memperluas dan meratakan kesempatan berusaha dari lapangan kerja terutama bagi masyarakat setempat, rnendorong pembangunan daerah serta memperkenalkan alam, nilai dan budaya bangsa" (Rostiyati, 2004: 1). Untuk mencapai target tersebut, maka kegiatan pariwisata perlu ditingkatkan, karena selain menambah devisa negara, juga memperluas lapangan Kerja dan memperkenalkan keanekaragaman kebudayaan serta alam Indonesia yang indah.
Seperti juga daerah lain di Indonesia, Aceh mempunyai potensi yang besar dalam pengembangan pariwisata, karena selain memliki alam yang indah juga aneka ragam budaya dan adat istiadat. Sayangnya, potensi mi belum tergarap secara optimal, mungkin karena alasan dana atau sumber daya manusianya yang belum siap. Selain itu juga karenaakonflik yang berkepanjangan diikuti dengan gempa serta tsunami tahun 2004 yang lalu telah mengakibatkan dunia pariwisata Aceh makin terpuruk. Untuk itu, pemerintah saat ini mulai berupaya rnenggali potensi alam atau budaya yang bisa dipakai sebagai tujuan wisata. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui pengkajian-pengkajian sehingga semua aspek potensi pariwisata dan pengembangannya dapat diketahui. Kemudian, langkah lebih lanjut adalah pembangunan dunia pariwisata sesuai dengan hasil kajian yang telah dilakukan.

B. Konsep Nilai Budaya
Merujuk pada tema yang diminta oleh panitia kegiatan, maka apabila kita berbicara nilai-nilai budaya, kita harus membuka dahulu ruang untuk menyamakan pandangan tentang konsep nilai budaya dengan budaya. Nilai budaya adalah bagian dari budaya. Sedangkan budaya merupakan sebuah konsep lebih luas daripada sekedar nilai budaya. Untuk itu, sebelum membahas tentang nilai budaya ada baiknya kita bahas terlebih dahulu konsep tentang budaya. Dengan demikian, pemahaman kita tentang budaya/nilai budaya menjadi lebih fokus.
Budaya (kebudayaan/kultur) seringkali diartikan oleh beranekaragam arti atau makna. Antara satu makna dengan makna yang lain dapat berbeda. Antara orang awan dan akademisi pun dapat berbeda pendapat tentang arti budaya ini. Bahkan di antara akademisi mempunyai pandangan yang tidak sama. Kenyataannya, budaya memang adalah sebuah konsep yang bermakna beranekaragam. Ada yang memaknainya secara luas dan ada pula yang memaknainya secara sempit. Bagi mereka yang memaknai sempit/terbatas, budaya diartikan hanya sekedar sebuah seni, candi, tari-tarian, kesusastraan, dan sebagainya. Padahal bagian dari arti-arti seperti disebutkan adalah bagian dari budaya.
Dalam tulisan ini, konsep budaya dipahami sebagai konsep yang didefinisikan oleh Koentjaraningrat (1981: 180) yaitu
“Keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”.
Sistem gagasan atau sistem ide milik satu masyarakat yang dijadikan acuan tingkah laku dalam kehidupan sosial dari masyarakat yang bersangkutan merupakan wujud kebudayaan itu yang bersifat abstrak, sedangkan perilaku/tindakan dan hasil karya (benda-benda/“benda budaya”) merupakan “gejala-gejala kebudayaan” saja.
Selanjutnya, konsep budaya dapat dikembangkan dalam suatu perincian untuk mendapatkan pemahaman atau makna yang lebih operasional. Perincian itu terdiri dari unsur-unsur gagasan tadi yang terkait dalam suatu sistem yang dikenal dengan konsep “sistem budaya” (cultural system). Sistem budaya itu sendiri adalah seperangkat pengetahuan yang meliputi pandangan hidup, keyakinan, nilai, norma, aturan, hukum yang menjadi milik suatu masyarakat melalui proses belajar, yang kemudian diacu sebagai pedoman untuk menata, menilai, menginterpretasi sejumlah benda dan peristiwa dalam beragam aspek kehidupan dalam kehidupan lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Keseluruhan unsur tadi terkait dalam satu sistem yang dapat disebut “roh” dari kehidupan satu masyarakat. Yang terpenting di antaranya adalah nilai atau nilai budaya (cultural value) yang merupakan suatu konsepsi abstrak yang dianggap baik dan amat bernilai tinggi dalam hidup, yang menjadi pedoman tertinggi kelakuan dalam kehidupan satu masyarakat (Junus Melalatoa, 2005).

Bagan 1: Pemerincian Kebudayaan





Nilai budaya yang dimiliki satu masyarakat dapat terdiri dari beberapa kategori nilai, yaitu nilai pengetahuan, nilai religi, nilai sosial, nilai seni, dan nilai ekonomi. Dalam kategori nilai sosial ada sejumlah nilai, misalnya nilai tertib, setia kawan, harga diri, tolong-menolong, rukun, kompetitif, disiplin, dan sebagainya. Nilai disiplin juga merupakan unsur nilai religi, di samping takwa, iman, yang menjadi unsur nilai seni di samping indah, melankolis, halus, riang, dinamis, kreatif, dan lain-lain. Dengan kata lain, sebuah atau beberapa nilai tersebar sebagai unsur dalam kategori nilai-nilai: pengetahuan, religi, sosial, seni, dan ekonomi. Keseluruhan nilai-nilai itu terkait satu dengan yang lain, sehingga merupakan satu sistem nilai budaya (cultural value system).
Adapun unsur-unsur kebudayaan universal mencakup tujuh unsur yang terdapat pada tiap kebudayaan di dunia adalah Bahasa, Sistem Pengetahuan, Organisasi Sosial, Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi, Sistem Mata Pencaharian Hidup, Sistem Religi, dan Kesenian. Ke dalam setiap unsur tersebut terdapat tiga wujud budaya, yaitu: wujud sistem budaya, sistem sosial, dan wujud kebudayaan fisik.
Bagan 2: Kerangka Kebudayaan





C. Dimensi Nilai-nilai Budaya Aceh
Pada bagian di atas telah di bahas tentang konsep nilai-nilai budaya. Dalam konteks keacehan dapat dipertanyakan bahwa nilai-nilai budaya yang bagaimanakah yang dimiliki oleh masyarakat Aceh ? Aceh yang terletak di jalur padat Selat Malaka merupakan tempat persinggahan berbagai bangsa dalam aktivitas perdagangan, selain Aceh sendiri telah menjalin kerjasama perdagangan dengan berbagai daerah di Semenanjung dan India (Van Leur, 1983). Posisi dan aktivitas ini memperlihatkan keterbukaan Aceh dengan dunia luar sehingga tidak jarang ACEH disebut sebagai singkatan dari Arab, Cina, Eropa, dan Hindia/Hindustan. Melihat pada posisi geografis dan sejarah Aceh yang pada masa Kesultanan Iskandar Muda melakukan ekspansi ke wilayah barat Sumatera, maka Aceh merupakan daerah modal yang penting dalam konstelasi sosial ekonomi dan politik nasional. Sumbangan Aceh dalam bentuk pesawat kepada Presiden Soekarno, yang kemudian menjadi cikal bakal Garuda Indonesia pertama, menandakan suatu bentuk nasionalisme dan dukungan modal Aceh dalam perkembangan negara kesatuan.
Berdasarkan kodisi semacam ini dapat disebutkan, paling tidak, menurut pandangan Abdullah (2007: 2-3) terdapat empat ikon nilai-nilai budaya Islami yang menandakan kehadiran orang Aceh.
Pertama, Aceh dikenal sebagai tempat di mana agama dan adat menjadi dua pilar penting dalam penataan sosial, "Adat bak Po Teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala" (Sufi dan Wibowo, 2004). Sisi-sisi kehidupan sosial budaya Aceh dibangun atas dasar agama dan adat ini yang membentuk suatu sumber dalam penataan sosial yang berlangsung di Aceh. Keberadaan ulama merupakan manifestasi dari adanya pilar agama dan adat yang perannya sangat penting hingga pada masa Belanda. Hingga saat ini agama masih dianggap sebagai bagian terpenting kehidupan orang Aceh, walaupun mulai tampak adanya kesenjangan antara kaum muda dan kaum tua di mana kaum tua cenderung melakukan romantisasi terhadap agama, sebagaimana pemberlakuan Syariah Islam, sementara Aceh semakin bergerak ke arah sekuler.
Kedua, orang Aceh dikenal sebagai pemberani yang mendapatkan pembenaran historis pada Perang Aceh sejak maklumat perang disampaikan Belanda pada 26 Maret 1873. Perang yang memakan waktu hampir 70 tahun memperlihatkan keteguhan hati orang Aceh dalam mempertahankan wilayah dan sesuatu yang diyakini benar, khususnya jika itu menyangkut kebenaran agama, seperti ideologi Perang Sabil yang disosialisasikan pada masyarakat dalam usaha melawan Belanda. Patriotisme orang Aceh, misalnya, mendapatkan pengakuan yang luas seperti yang disampaikan Zentgraaff :
"Yang sebenarnya adalah bahwa orang-orang Aceh, baik pria maupun wanita, pada umumnya telah berjuang dengan gigih sekali untuk sesuatu yang mereka pandang sebagai kepentingan nasional atau agama mereka. Di antara pejuang itu terdapat banyak sekali pria dan wanita yang menjadi kebanggaan setiap bangsa; mereka tidak kalah gagahnya daripada tokoh-tokoh terkenal kita" (Wibowo, 2004: 75).

Keberanian dalam berjuang memperlihatkan kesetiaan pada cita-cita dan pemimpin yang adil, suatu sifat yang diutamakan dalam masyarakat Aceh. Dalam masyarakat Aceh, keadilan dan tatanan sosial yang baik adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dan harus dicapai dengan segala cara.
Ketiga, orang Aceh juga memiliki keyakinan dan kepercayaan diri yang tinggi yang disebabkan oleh adanya kebanggaan sebagai orang Aceh. Kebanggaan ini tentu saja bersumber dari sejarah dan hikayat yang terus menerus dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Hikayat menceritakan kejayaan Aceh dan keberhasilan perang melawan Belanda. Simbol-simbol masjid, demikian juga tempat-tempat bersejarah dan peninggalan budaya telah ikut mendorong kebanggaan dan rasa percaya diri yang tinggi pada orang Aceh. Sejarah perang dan kekayaan budaya Aceh telah menjadi kekuatan psikologis yang membentuk suatu identitas dan memberikan kebanggaan.
Keempat, orang Aceh menjunjung tinggi nilai-nilai kolektif. Hal ini tampak dari kebiasaan orang Aceh untuk berkumpul, dari fenomena warung kopi, saling kunjung, kenduri, serta ucapara-upacara yang melibatkan banyak orang (Wibowo, 2004). Dalam kumpulan sernacarn ini sosialisasi nilai keacehan dan identitas bersama dibangun, tumbuh melalui kesenian-kesenian. Seudati, Saman, Debus, Rapa’I dan berbagai tarian Aceh menegaskan kekayaan seni budaya dan pranata sosial yang melibatkan banyak orang di dalam setiap aktivitas kebudayaan. Basis komunal dalam berbagai kegiatan, upacara adat, perkawinan, pertemuan kampung, musyawarah adat, dan berbagai ucapara lingkaran hidup Aceh memperlihatkan pentingnya komunalisme di Aceh di mana nilai-nilai dibangun, dikembangkan, dan diadaptasikan secara kolektif dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, meunasah atau masjid memiliki fungsi penting di Aceh sebagai ruang bersama (common space) untuk berbagai kegiatan. Musyawarah desa berlangsung di meunasah atau masjid.



D. Pengkajian Nilai-nilai Budaya Islami Dalam Rangka Pengembangan Pariwisata Budaya
Perkembangan dunia pariwisata. dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang pesat. Jumlah foreign tourist (wisatawan asing) yang berkunjung ke Indonesia tak pernah surut. Bahkan bagi masyarakat Indonesia sendiri kesadaran untuk melakukan perjalanan dari suatu daerah ke daerah lain semakin menjadi suatu kebutuhan yang harus direalisasikan. Tentu banyak alasan. mengapa orang-orang baik secara individual maupun kelompok, melakukan suatu perjalanan ke suatu tempat yang diidamkan. Mereka melakukan wisata ada yang disebabkan mungkin menikmati keadaan suatu daerah, baik budaya ataupun pesona alamnya. Atau juga berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya spiritual, yang jelas dorongan untuk melakukan suatu perjalanan ke daerah jauh dari tempat tinggal selalu ada pada setiap orang. Pada dasarnya, manusia itu memang senang bertualang, melihat keindahan alam, menyaksikan atraksi seni budaya, shopping ke tempat-tempat yang bisa menjadi suatu kebanggaan, atau mengoleksi kenangan dari sekian banyak daerah dengan keanekaragaman identitas kultural.
Bagi negara-negara yang memiliki potensi objek wisata yang bisa dijual, maka sektor pariwisata menajdi bagian terpenting dari devisa negara. Bahkan Indonesia mempertegas dengan "dekade Kunjungan Indonesia" (Dekuni) 1993-2000. Tentu saja Indonesia termasuk negara yang memiliki potensi objek wisata yang ideal; beragam adat istiadat, beragam seni budaya, dan beragam pesona alam. Memang Bali masih menjadi primadona wisatawan asing, tapi dalam perkembangannya sekarang ini, wisatawan asing sudah lebih banyak mengenal kekuatan objek wisata Indonesia secara menyeluruh.
Menurut Theobald (1994) pariwisata merupakan industri yang kompleks bahkan merupakan industri terbesar di dunia, meliputi : persoalan pendapatan, nilai tambah, penanaman modal, lapangan kerja, dan pajak. Dalam tahun 1992 pengeluaran diperkirakan mencapai USD 2,5 triliun, lebih 12% dari semua pengeluaran yang lain, Industri perjalanan dan pariwisata menggunakan jumlah tenaga pengelola yang banyak di dunia, terdiri atas 130 juta jenis pekerjaan, memerlukan hampir 7% dari jumlah semua pegawai, Industri ini juga menghasilkan lebih dari 6% gross national prod­uct dunia, dengan inventasi lebih dari USD 422 miliar, dan menyumbangkan hampir USD 400 miliar macam-macam pajak per tahun" (Rostiyati, 2004:3-4).
Di Indonesia sendiri pengembangan pariwisata bisa dilihat di Bali. Dulu, masih banyak yang lebih mengenal Bali daripada Indonesia. Harus diakui, Bali memang bisa dijadikan contoh pengkajian ideal bagi acuan pengembangan pariwisata di Indonesia. Bali memang memiliki kelebihan secara alami, yakni adanya harmonisasri antara alam, manusia dan kulturnya. Masyarakat Bali enerima kehadiran wisatawan asing. bukan lagj "sesuatu yang asing", melainkan menempatkan sebagai tamu karib yang datang silih berganti.
Manusia dan alam mernang merupakan komponen yang serasi dan merupakan suatu kesatuan yang penting untuk pariwisata. Salah satu tantangan yang dihadapi sekian banyak objek wisata yang potensial di luar Bali, adalah membina harmonisasi tersebut. Dengan sendirinya selain alam diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mampu rnemiliki wawasan untuk mewujudkan usaha ke arah itu.
Tidak kalah dengan daerah-daerah lain di Indonesia, Aceh termasuk propinsi yang memliki potensi obyek wisata yang menarik atau bisa dijual, baik alam maupun dikelilingi oleh kehijauan bukit dan gunung yang banyak ditumbuhi beraneka ragam flora dan fauna. Bahkan, Sabang sudah dapat dikatakan daerah yang menjadi kunjungan wisatawan lokal dan asing. Oleh sebab itu Aceh sejak lama dijadikan mata rantai tujuan wisata karena rnemiliki potensi budaya dan alam yang mempesona. Dengan kondisi alam tersebut menjadikan Aceh sebagai salah satu tujuan wisatawan baik dari dalam rnaupun luar negeri.
Membangun industri pariwisata memang tidak hanya cukup dengan keindahan alam dan keragaman budaya saja, melainkan juga harus didukung oleh sarana lainnya seperti jasa usaha, transportasi, penting adalah faktor kesiapan sumber daya manusia dalam menunjang pariwisata. Betapa pentingnya keterlibatan masyarakat dalam menunjang pariwisata tersebut. Daya tarik dan potensi daerah tujuan wisata akan berhasil dengan dukungan prasarana, sarana dan kesiapan masyarakat sebagai sumber daya manusia yang terlibat dalam industri pariwisata. Sebab bagaimanapun juga kegiatan pariwisata merupakan pariwisata sosial budaya yang melibatkan unsur manusia di dalamnya (Linberg,1976:102).
Menurut Donald untuk mewujudkan masyarakat industri pariwisata perlu didukung oleh sikap perilaku dan nilai-nilai budaya yang mendukung kegiatan tersebut. Oleh sebab itu dalam indusiri pariwisata, unsur manusia menjadt sentral perhatian baik dia sebagai obyek maupun subyek. Kemasan pariwisata tidak bisa ditampilkan terpilah-pilah atau terlepas darj unsur manusianya, melainkan harus merupakan suatu kesatuan yang utuh yang diwujudkan dengan pelayanan yang baik, keramah tamahan, kebersihan, keamanan, keindahan dan ketertiban yang ditampilkan oleh masyarakat pendukungnya. Untuk menuju sebuah harus dimulai dengan sebuah perencanaan yang didukung oleh data dan fakta yang sahih yang diperoleh dari lapangan.
Adalah sangat sulit dan bahkan tidak mungkin sama sekali untuk memperoleh data yang sangat terpecaya yang dapat digunakan dalam perecanaan pembangunan, jika penelitian/pengkajian tidak pernah dilaksanakan serta kenyataan-kenyataan tidak pernah diuji lebih dahulu melalui penelitian. Tidak ada satu negara yang sudah maju dan berhasil dalam pembangunan, tanpa melibatkan banyak daya dan dana dalam bidang penelitian.
Di negara-negara maju apresiasi terhadap karya penelitian/pengkajian sudah begitu melembaga dan penggunaan dana untuk keperluan penelitian tidak pernah dipertanyakan lagi manfaatnya. Pengeluaran negara untuk penelitian mencapai 1-2 persen dari total pengeluaran negara. Amerika Serikat, misalnya, menggunakan 0,27 persen dari total pendapatan negara untuk keperluan penelitian antara tahun 1940-1944 dan meningkat menjadi 1 persen di tahun 1953 dan naik lagi menjadi 1,3 persen di tahun 1955. Dari keseluruhan pembiayaan tersebut 94 persen digunakan untuk penelitian terapan dan 6 persen untuk penelitian dasar. Banyak studi menyimpulkan bahwa kontribusi dari penelitian/pengkajian mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan (Nazir, 1999: 27).
Aceh merupakan salah satu daerah yang pernah menjadi field study dari banyak sarjana/pakar dari berbagai bidang ilmu. Tujuan dari para pakar adalah bermacam-macam, ada yang melakukan penelitian murni dan ada pula penelitian yang terapan. Terdapat hal yang menarik bahwa Snouck Hurgronje pernah mendapat “pesanan” dari pemerintah kolonial Belanda untuk melakukan penelitian tentang sosial budaya masyarakat Aceh. Hasil penelitian tersebut digunakan untuk mencari jawaban atas penyebab begitu lamanya ureung Aceh ditaklukan oleh Belanda, sehingga Belanda dapat meredam perlawanan yang dilakukan ureung Aceh.
Belajar dari manfaat dan pentingnya penelitian/pengkajian dalam rangka menjawab berbagai permasalahan, maka pengkajian nilai-nilai budaya Islami perlu dilaksanakan dalam rangka pengembangan pariwisata budaya di Aceh. Masih banyak masalah yang melingkupi dalam pengembangan pariwisata di daerah ini, yaitu:
Pertama, konsep ideal dalam pengembangan pariwisata yang berbasis nilai-nilai budaya Islami. Berbeda dengan daerah lain yang belum mendeklarasikan bahwa daerahnya menjalankan syariat Islam, pengembangan wisata di daerah ini harus memperhatikan nilai-nilai Islami yang dianut oleh masyarakat Aceh. Apabila tidak memperhatikan hal tersebut, maka akan terjadi benturan-benturan antara investor, wisatawan, dan masyarakat di objek wisata. Pernah ada wacana dari Dinas Pariwisata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam bahwa untuk membuka zona khusus bagi turis asing (Amoer, 2006: 13). Diharapkan dengan model seperti ini turis asing dapat ke Aceh dengan tetap dilaksanakannya syariat Islam di suatu objek wisata. Namun wacana masih belum final dan perlu kajian lebih mendalam.
Kedua, “Pemanfaatan” secara positif atas potensi-potensi nilai-nilai budaya Islami yang dimiliki oleh masyarakat Aceh dalam rangka pengembangan pariwisata budaya. Untuk itu, dalam pemanfaatan ini harus dapat dibedakan antara nilai-nilai budaya yang sifatnya profan dengan nilai-nilai budaya yang sakral. Dengan demikian, nilai-nilai budaya tersebut tidak tercemari oleh nuansa komersialisasi dan nilai-nilai luar yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya yang ada pada masyarakat. Misalnya, Kalau kita masuk ke Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, maka semua pengunjung, baik laki-laki maupun perempuan, diwajibkan berpakaian yang memenuhi syariat Islam; pemanfaatan kegiatan kenduri maulid akbar, makmeugang sebagai event tetap yang “dijual” sebagai daya tarik pariwisata.
Ketiga, pemberdayaan masyarakat, lembaga adat, dan objek dalam rangka pengembangan pariwisata. Pemberdayaan yang dilakukan agar nilai-nilai budaya yang melandasi pengembangan pariwisata budaya tetap lestari dan masyarakat dapat menerima manfaat dari pengembangan pariwisata budaya tersebut.
Permasalahan yang disebutkan dapat dijawab apabila kita melakukan pengkajian dengan seksama dan berkesinambungan. Rumusan yang dihasilkan dapat dijadikan pengambilan kebijakan terhadap pengembangan pariwisata budaya di Aceh. Dengan demikian, pengembangan pariwisata budaya di daerah ini didasarkan pada bukti dan penemuan empiris di lapangan, bukan sekedar kebijakan yang didasarkan pada kepentingan sesaat. Apabila kita salah dalam pengambilan keputusan dalam pengembangan wisata budaya tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga asset yang ada di Aceh. Kusudianto (1996) pernah mengingatkan bahwa
“... terdapat cukup banyak contoh tentang bagaimana tidak terencananya suatu pembangunan pariwisata dilakukan semena-mena dan oleh orang yang tidak memiliki pengetahuan sehingga pariwisata tidak memberikan hasil yang memuaskan bahkan menimbulkan kerusakan lingkungan, pengikisan nilai-nilai agama, budaya, dan adat istiadat” (Ali, 2006: 18).

Terkait dengan masalah pertama Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh telah melaksanakan penelitian tentang pengetahuan, sikap dan perilaku Masyarakat terhadap Pariwisata dengan mengambil lokasi penelitian di Banda Aceh, Aceh Besar, dan Sabang. Di antara hasil kesimpulan tersebut penelitian tersebut adalah Aceh memiliki potensi yang cukup besar, baik dalam aspek wisata alam, wisata budaya/sejarah, dan wisata bahari; masyarakat bersikap positif terhadap pembangunan pariwisata di Aceh dengan harapan tetap memperhatikan nilai-nilai budaya masyarakat Aceh; dan hambatan terhadap pengembangan pariwisata meliputi dana (Wibowo dkk, 2006: 143-144).

D. Penutup
Aceh dengan segala potensi yang dimilikinya dapat menjadi daerah yang sangat potensial dikembangkan dalam pembangunan pariwisata. Perjalanan sejarah yang panjang yang pernah dilalui masyarakat Aceh telah membentuk karakter nilai-nilai budaya masyarakat yang kemudian melahirkan pembangunan pariwisata yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Karakter pembangunan pariwisata di daerah ini menuntut adanya penerapan syariat Islam secara kaffah. Untuk menuju pembangunan pariwisata Aceh seperti yang diidam-idamkan, pembangunan pariwisata memerlukan sebuah perencanaan matang dengan pelaksanaan yang terus berkesinambungan.
Pasca MOU Helsinki dan Gempa serta Tsunami tahun 2004 yang lalu merupakan moment penting bagi kebangkitan dunia pariwisata Aceh. Moment penting ini akan berlalu tanpa makna apabila kita tidak raih dengan sebaik-baiknya.


Daftar Rujukan

Abdullah, Irwan. 2007. “Potret Retak Komunalisme Aceh”. Makalah Bahan Perbicangan Masa Depan Aceh di Aceh Institute tanggal 8 Juni 2007.

Ali, Helmi. 2006. “Perlu Reformasi Sistem Pembangunan Pariwisata Aceh”. Dalam Aceh Economic Review edisi III/Mei 2006.

Jaroet, Amoer. 2006. “Perlukah “Zona Khusus” Buat Turis Asing Yang Berkunjung ke Aceh”. Dalam Aceh Economic Review edisi III/Mei 2006.

Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta. Rineka Cipta.

Linberg, Donald E. 1976. “The Tourist Business”.

Nazir, Moh. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Rostiyati, Ani dkk. 2004. Potensi Wisata Di Daerah Pameungpeuk Kabupaten Garut. Bandung: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.

Sufi, Rusdi dan Agus Budi Wibowo. 2004. Aneka Budaya Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Van Leur, J. 1983. Indonesia Trade and Society. Dordrecht: Foris Publications.

Wibowo, Agus Budi. 2004. “Hikayat dalam Perspektif Sejarah” dalam Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, Ragam Sejarah Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Wibowo, Agus Budi dkk. 2006. “Pariwisata: Sikap, Perilaku, dan Kepercayaan Masyarakat”. Laporan Penelitian. Banda Aceh: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh

Maulid Nabi Muhammad SAW sebagai asset wisata religius di Aceh



Oleh: Sri Waryanti dan Agus Budi Wibowo[1]

Setiap bulan Rabiul Awal tiba sebagian kaum muslim di Indonesia, bahkan di dunia, mulai tampak sibuk. Pada bulan inilah kaum muslim memperingati dan merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Setiap daerah merayakannya dengan cara berbeda-beda menurut kebiasaan yang mereka laksanakan. Misalnya di Banten, banyak orang melakukan ziarah ke makam para sultan, antara lain Sultan Hasanuddin, secara bergiliran. Sebagian diantaranya berendam di kolam masjid untuk mendapatkan berkah. Ada juga di antara mereka yang sengaja mengambil air untuk dibawa pulang sebagai obat.
Sementara itu di Cirebon, banyak orang Islam berdatangan ke makam Sunan Gunung Jati, salah seorang Wali Sanga, di kawasan Jawa Barat dan Banten. Biasanya, di Kraton Kasepuhan diselenggarakan upacara Panjang Jimat , yakni upacara memandikan pusaka-pusaka Kraton peninggalan Sunan Gunung Jati. Banyak orang berebut untuk memperoleh air bekas cucian tersebut karena dipercaya membawa keberuntungan.
Di Cirebon, Yogyakarta, dan Surabaya perayaan Maulid dikenal dengan istilah Sekaten. Istilah ini berasal dari kata Shahadatain, yaitu pengakuan tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai utusan Allah. Kemeriahan serupa juga dapat dilihat di setiap negeri muslim sekarang ini, seperti di Mesir, Syria, Lebanon, Yordania, Palestina, Irak, Kuwait, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Sudan, Yaman, Iran, Malaysia, dan banyak negeri Islam lainnya. Di kebanyakan negara Islam, hari itu merupakan hari libur nasional.
Di tanah air, dalam rangka perayaan hari Maulid, baik yang akbar maupun yang biasa-biasa saja, ada satu sesi yang tidak pernah tertinggal bahkan seolah menjadi syarat penting, yaitu pembacaan karya tulis Kitab al-Barzanji. Barzanji adalah karya tulis seni sastra yang isinya bertutur tentang kehidupan Muhammad SAW mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi Rasul. Karya ini juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad SAW serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia.
Dalam catatan sejarah, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pertama kali diperkenalkan oleh seorang penguasa Dinasti Fatimiyah (909-117 M). Jauh sebelum al-Barzanji lahir dan menciptakan puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Langkah ini secara tidak langsung dimaksudkan sebagai sebuah penegasan kepada khalayak bahwa dinasti ini betul-betul keturunan Nabi Muhammad SAW.
Peringatan Maulid kemudian menjadi sebuah upacara yang kerap dilakukan umat Islam di berbagai belahan dunia. Hal itu terjadi setelah Abu Sa’id al-Kokburi, Gubernur Irbil, Irak mempopulerkannya pada masa pemerintahan Salahuddin al-Ayyubi (1138-1193 M). Waktu itu tujuannya untuk memperkokoh semangat keagamaan umat Islam umumnya, khususnya mental para tentara yang tengah bersiap menghadapi serangan tentara Nasrani dari Eropa pada episode Perang Salib yang terkenal itu.

Kenduri Maulid Pada Masyarakat Aceh
Pelaksanaan kanduri Maulod (kenduri Maulid) pada masyarakat Aceh terkait erat dengan peringatan hari kelahiran Pang Ulee (penghulu alam) Nabi Muhammad SAW, utusan Allah SWT yang terakhir pembawa dan penyebar ajaran agama Islam. Kenduri ini sering pula disebut kanduri Pang Ulee.
Masyarakat Aceh sebagai penganut agama Islam melaksanakan kenduri maulid setiap bulan Rabiul Awal, Rabiul Akhir dan Jumadil Awal. Kenduri maulid yang dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal disebut maulod awai (maulid awal) dimulai dari tanggal 12 Rabiul Awal sampai berakhir bulan Rabiul Awal. Sedangkan kenduri maulid yang dilaksanakan pada bulan Rabiul Akhir disebut maulod teungoh (maulid tengah) dimulai dari tanggal 1 bulan Rabiul Akhir sampai berakhirnya bulan. Selanjutnya, kenduri maulid pada bulan Jumadil Awal disebut maulod akhee (maulid akhir) dan dilaksanakan sepanjang bulan Jumadil Akhir.
Pelaksanaan kenduri maulid berdasarkan rentang tiga bulan di atas, mempunyai tujuan supaya warga masyarakat dapat melaksanakan kenduri secara keseluruhan dan merata. Maksudnya apabila pada bulan Rabiul Awal warga belum mampu melaksanakan kenduri, pada bulan Rabiul Akhir belum juga mampu, maka masih ada kesempatan pada bulan Jumadil awal. Umumnya seluruh masyarakat mengadakan kenduri Maulid hanya waktu pelaksanaannya yang berbeda-beda, tergantung pada kemampuan menyelenggarakan dari masyarakat.
Kenduri Maulid oleh masyarakat Aceh dianggap sebagai suatu tradisi. Hal itu didasarkan pada pemahaman bahwa Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari alam kebodohan ke alam berilmu pengetahuan.
Penyelenggaraan kenduri maulid dapat dilangsung-kan kapan saja asal tidak melewati batas bulan Rabiul Awal, Rabiul Akhir, dan Jumadil Awal, tepatnya mulai tanggal 12 Rabiul Awal sampai tanggal 30 Jumadil Awal. Selain itu waktu kenduri maulid ada yang menyelenggarakan pada siang hari dan ada pula yang menyelenggarakannya pada malam hari.
Bagi desa-desa yang menyelenggarakan kenduri pada siang hari mulai jam 12 siang hidangan telah siap untuk diantar ke meunasah atau mesjid. Demikian pula bagi yang menyelenggarakan kenduri di rumah, hidangan [2]telah ditata rapi untuk para tamu. Pertandingan meudikee maulod (zikir marhaban atau zikir maulid) dimulai sejak pukul 9 pagi dan berhenti ketika Sembahyang dhuhur untuk kemudian dilanjutkan kembali.
Selanjutnya desa-desa yang menyelenggarakan kenduri pada malam hari hidangan dibawa ke meunasah atau mesjid setelah sembahyang Ashar atau menjelang maghrib, sedangkan lomba meudikee maulod dilangsungkan setelah sembahyang Isya.
Penyelenggaraan kenduri maulid umumnya dilangsungkan di meunasah atau mesjid. Panitia pelaksana kenduri mengundang penduduk dari desa-desa lain yang berdekatan atau desa tetangga dan ada juga yang mengundang semua desa dalam kemukimannya . Kondisi ini diperngaruhi oleh jumlah hidangan yang disediakan oleh warga desa.
Di samping itu ada juga yang melaksanakan kenduri di rumah saja atau secara pribadi disebut maulod kaoy (maulid nazar). Maulid ini diselenggarakan untuk melepas nazar yang menyangkut kehidupan pribadi atau keluarga disebabkan permohonan mereka kepada Allah SWT telah dikabulkan. Penyelenggaraan kenduri maulid ini sesuai dengan nazar yang dicetuskan sebelumnya. Apabila nazarnya ingin menyembelih seekor kerbau, maka pada saat kenduri akan disembelih hewan tersebut, demikian pula jika nazar ingin menyembelih seekor kambing.
Daging hewan yang dinazarkan setelah dimasak dan ditambah lauk-pauk lainnya akan dihidangkan kepada undangan. Besar atau kecilnya kenduri tergantung kepada kemampuan orang yang melaksanakan.
Pihak yang mengadakan kenduri, sebelumnya telah memberitahu kepada keuchik (kepala desa) dan teungku meunasah (imam desa). Apabila kendurinya besar akan dibentuk panitia yang berasal dari penduduk desa setempat. Penduduk dari luar desa tidak diundang, kecuali sanak saudara atau ahli famili pihak yang mengadakan kenduri serta anak yatim yang berada di sekitarnya.
Hidangan yang menjadi tradisi keharusan dalam kenduri Maulid di meunasah dan di rumah berupa beuleukat kuah tuhee (nasi ketan dengan kuah), sebagai hidangan siang hari selain nasi dan lauk pauk. kuah tuhee lalu dimakan bersama ketan. Pada malam hari hidangan yang harus disediakan berupa beuleukat kuah peungat. Kuah peungat adalah santan dicampur dengan pisang raja dan nangka serta diberi gula secukupnya.
Seperti telah disebutkan di atas Kenduri maulid dapat dilaksanakan dalam 3 bulan dimulai dari bulan Rabiul awal, Rabiul Akhir, dan Jumadil Awal. Apabila kenduri telah dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal berarti pelaksanaan kenduri pada tahun bersangkutan telah dilaksanakan, tidak perlu diadakan lagi pada pada bulan Rabiul Akhir dan bulan Jumadil Awal.
Kenduri maulid yang dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal, Rabiul Akhir dan Jumadil Awal mempunyai nilai yang sama tidak ada yang lebih tinggi atau rendah, hanya tergantung kepada kemampuan dan kesempatan warga desa.
Maulid Nabi sebagai aset Wisata
Aceh telah memproklamirkan sebagai daerah yang berlandaskan syariat Islam. Oleh karena itu, segala aspek kehidupan berhulu pada ajaran agama Islam. Kenduri Maulid memang khas sebagai adat dan budaya Aceh. Tentunya, ia sangat relevan dengan kehidupan masyarakat di daerah ini, yang telah pula memproklamirkan diri sebagai daerah dengan pelaksanaan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai sebuah daerah yang bersyariat Islam, maka semua aspek kehidupan diarahkan kepada nilai-nilai ajaran Islam. Sikap, perilaku, tatakrama didasarkan kepada syariat Islam.
Apalagi dalam perayaannya Maulid Nabi dilaksanakan secara besar-besaran. Sebelum konflik memanas, di Banda Aceh dilaksanakan kenduri Maulid secara besar-besaran. Kenduri ini diikuti oleh ribuan orang, yang meliputi utusan dari lembaga-lembaga pemerintahan, masyarakat, dan kalangan swasta. Kegiatan Maulid Nabi ini dilaksanakan di Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.
Tidak jauh berbeda yang dilaksanakan di Banda Aceh, di kabupaten/kota pun dilaksanakan kenduri maulid secara besar-besaran. Namun tatkala konflik terus berkembang dan semakin memanas kenduri Maulid tidak pernah dilaksanakan lagi. Untuk itu, dalam kondisi Aceh yang semakin aman, maka hendaknya kenduri Maulid ini dilaksanakan lagi seperti dulu. Kenduri Maulid dapat dijadikan sebagai objek wisata. Seperti daerah lain, misalnya pelaksanaan Maulid di Yogyakarta dilaksanakan secara besar-besaran dan menjadi objek wisata yang cukup menarik bagi wisatawan, baik asing maupun domestik. Apalagi kecenderungan wisatawan asing mengungungi sebuah objek wisata untuk melihat suasana kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Trend wisata pada akhir-akhir ini adalah wisata yang back to nature sehingga kenduri Maulid sangat menjanjikan sebagai sebuah atraksi budaya bagi wisatawan.

[1]Sri Waryanti dan Agus Budi Wibowo merupakan peneliti muda pada Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh
[2]Hidangan yang dibawa untuk kenduri ditempatkan pada tempat yang disediakan, yang disebut idang. Namun di Desa Jurong Teupin Pukat Muerah Dua sudah bertahun-tahun menyelenggarakan kenduri Maulid ala rantangan, Baca Abdullah Gani, “Teupin Pukat, Maulid Ala Rantangan”, dalam Serambi Indonesia tanggal 13 April 2007