September 24, 2009

Tueng Bila dalam Masyarakat Aceh

Oleh: Agus Budi Wibowo
A.Pendahuluan

Setiap komunitas di seluruh dunia mempunyai karakteristik khas. Karakteristik ini membedakan antara satu komunitas dengan komunitas lainnya. Aceh merupakan sebuah entitas wilayah dan suku bangsa yang berbeda dengan komunitas lainnya di Indonesia. Pengetahuan tentang karekteristik suatu masyarakat sangat penting bagi sebuah negara yang terbentuk dari berbagai suku bangsa seperti Republik Indonesia.
Ureueng Aceh memiliki budaya tersendiri dalam bertingkah laku, bersikap, beradat, berbudaya, dan sebagainya. Ureueng Aceh umumnya berkarakter keras, tidak mau begitu saja didikte, tidak cepat menyerah hampir dalam semua kesempatan dan teguh dalam menghadapi masalah (Kurdi, 2001: 29; Zainuddin, 2007: 124). Sedangkan menurut pandangan Abdullah (2007: 2-3) lebih mempertegas lagi bahwa adat tata kelakuan masyarakat Aceh identik dengan nilai-nilai budaya Islam. Hal ini ditandai dengan empat ikon nilai-nilai budaya Islami yang menandakan keberadaan ureueng Aceh. Pertama, Aceh dikenal sebagai tempat di mana agama dan adat menjadi dua pilar penting dalam penataan sosial: "Adat bak Po Teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala". Sisi kehidupan sosial budaya Aceh yang dibangun atas dasar agama dan adat membentuk suatu sumber penataan sosial (Sufi dan Wibowo, 2004: 88). Kedua, ureueng Aceh dikenal sebagai pemberani yang mendapatkan pembenaran historis pada perang melawan Portugis selama 120 tahun dan perang Aceh melawan Belanda hampir 70 tahun sejak maklumat perang disampaikan Belanda pada 26 Maret 1873. Kedua perang memperlihatkan keteguhan hati orang Aceh dalam mempertahankan wilayah dan sesuatu yang diyakini benar, khususnya jika itu menyangkut kebenaran agama. Ketiga, ureueng Aceh juga memiliki keyakinan dan kepercayaan diri yang tinggi yang disebabkan oleh adanya kebanggaan sebagai ureueng Aceh. Kebanggaan ini tentu saja bersumber dari sejarah dan hikayat yang terus menerus dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Keempat, ureueng Aceh menjunjung tinggi nilai-nilai kolektif. Hal ini antara lain tampak dari kebiasaan ureueng Aceh untuk berkumpul di warung kopi, saling mengunjungi, kenduri, serta ucapara-upacara yang melibatkan banyak orang (Wibowo, 2004).
Pada bagian lain Sufi (1997: 4) mengatakan bahwa salah satu karakteristik budaya masyarakat Aceh adalah suka melakukan tueng bila, maksudnya menuntut bela. Stereotif tersebut, benar atau salah, sering memberikan kesan yang menakutkan bagi pihak luar. Stereotif ini menjadi negatif apabila tidak dimaknai dengan benar. Ada pendapat bahwa menuntut bela ini dapat dimaknai sebagai dendam dalam arti negatif sehingga masyarakat Aceh dianggap sebagai masyarakat yang pendendam. Oleh karena itu, pemaknaan sebuah karakter komunitas harus dilihat dari sudut pandang pemilik karakter tersebut. Dengan demikian, tidak akan menimbulkan sikap etnosentrisme yang sempit. Apalabila dirunut sejarahnya, tueng bila telah dilakukan oleh ureueng Aceh sejak zaman kolonialis Belanda, bahkan mungkin terjadi pada masa-masa sebelumnya.


B.Arti Tueng Bila

Tueng bila merupakan bagian dari protipe watak orang Aceh, yang tampak pada pikiran, perilaku, tindakan, sikap, dan tutur kata. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Harun (2008: 16) terhadap hadih maja yang mengandung nilai filosofis, tampak bahwa orang Aceh memiliki prototipe watak yang (1) reaktif, (2) militan, (3) optimis, (4) konsisten, dan (5) loyal. Ciri-ciri tersebut mewarnai pola pikir dan pola tindak mereka dalam kehidupan, salah satunya terkait dengan perilaku tueng bila yang dilakukan oleh ureueng Aceh. Menurut Syamsuddin (2000) bahwa tueng bila itu sifat dari orang Aceh untuk balas dendam terhadap sesuatu yang mana balas dendam tersebut dapat dilakukan kapanpun juga tergantung kesempatan.
Oleh karena itu, istilah tueng bila merupakan suatu kata yang tidak asing lagi bagi kalangan ureung Aceh. Seperti telah disebutkan sebelumnya dalam adat dan kebiasaan ureueng Aceh perkataan tueng bila sudah sangat terikat dengan kepribadiannya (Sufi, 2003; Adan, 2006: 86). Menurut Aboebakar dkk (2001: 1004) dalam Kamus Bahasa Aceh-Indonesia, Teung bila berasal dari dua suku kata, yaitu tueng dan bila yang artinya mengambil atau menuntut bela. Akan tetapi, dalam buku Kamus Aceh-Bahasa Indonesia (Aboebakar dkk, 2001: 83) terdapat juga kata bila yang merupakan kata benda dari bela yang artinya pembalasan, menuntut ajal lawan atau keluarganya sedangkan kata Tueng dapat diartikan sebagai menerima (Daud dan Durie, 2002: 42), atau dapat juga diartikan menjemput, Dengan demikian, tueng bila dapat diartikan menjemput atau menuntut balas/ajal terhadap lawan atau keluarganya.
Sufi (2003: 14) mengartikan tueng bila sebagai menuntut bela. Tentunya, seorang Aceh akan menuntut atas kerugian yang dideritanya. Menuntut bela ini hendaknya diartikan dalam kerangka yang positif karena memang dalam bahasa Aceh terdapat pula perkataan menuntut balas (dendam) yang disebut dam dan menyimpan dendam (trόh dam). Akan tetapi, penggunaannya sangat negatif.
Adan (2006: 85) menyatakan bahwa tueng bila yang dalam bahasa Melayu bermakna sebagai balas dendam merupakan sebuah fenomena lama yang dapat dikonotasikan juga sedikit negatif dalam arti sebuah pembalasan dendam. Selanjutnya, apabila kita telusuri lebih jauh makna serta hakikat daripada kata tueng bila, ia tidak terlepas dari sebuah manifestasi imaginasi konkrit dari seseorang yang merasa dikhianati untuk meluruskan persoalan yang sebenarnya.
Ajaran agama Islam sebenarnya juga mengenal menuntut balas atau membela kehormatan. Akan tetapi, menuntut balas yang dilakukan adalah atas kerugian yang diderita. Pada masa Nabi Muhammad SAW penyerangan-penyerangan tentara Islam terhadap orang kafir dilakukan setelah lebih dahulu diberikan peringatan serta ajakan untuk memilih agama yang benar. Selain itu, keputusan untuk melaksanakan hukum hudud dan qishas, merajam melalui persetujuan Nabi Muhammad SAW.
Menuntut balas bukan dilakukan berdasarkan pada subjektifitas seseorang dan merupakan wajib bagi umat Islam. Dasar dari menuntut balas ini terdapat pada Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 178, yang Artinya,
Wahai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) Qisas2 berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik dan membayar diat (pampasan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rakhmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka ia mendapat azab yang sangat pedih.
Selain itu juga pada surat Al Maidah ayat 45 disebutkan upaya menuntut balas diwajibkan bagi umat Islam, yang artinya,
Kami telah menetapkan bagi mereka didalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya (balasan yang sama). Barang siapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu (menjadi) penebus bagi dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.
Oleh karena itu, menurut Ismail (2006:3), asas tueng bila yang dilakukan oleh ureueng Aceh harus memenuhi kriteria tertentu, tidak asal melakukannya begitu saja. Selanjutnya Ismail menyatakan sebagai berikut,
“Dalam kehidupan keluarga Aceh, tidak ada ”dendam”, karena amat bertentangan dengan syari’at Islam (hukom ngon agama, lagei zat ngon sifeut). ”Tueng bila” dilakukan karena terpaksa demi untuk ”membela diri/bila droe” menegakkan kehormatan, agama, martabat keluarga, harta benda dan nyawa atas segala kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang lain”.

C.Makna Tueng Bila sebagai Harkat dan Martabat

Dipermalukan secara terbuka atau di muka umum berupa provokasi tertentu pada hal-hal khusus sampai batas derajat tertentu pasti membuat luka yang dalam dan mengganggu keseimbangan emosi. Hal yang disebutkan itu dapat menjadi awal dari perilaku tueng bila bagi ureueng Aceh. Lebih lanjut ureueng Aceh akan merasa terhina akibat perlakuan buruk yang dirasakan dan menjatuhkan martabat kemanusiaannya.
Malu (bahasa Aceh: malee) bagi ureueng Aceh adalah sesuatu yang harus ditutupi, harus “ditelan” dan tidak boleh orang tahu. Tidak ada air talang dipancung, tak ada emas bungkal diasah adalah alasan untuk melakukan apa saja, apabila suatu keadaan menjadi darurat (noodzaak), yaitu untuk menutupi malu. Kehilangan harga diri bagi orang Aceh adalah kehilangan segala-galanya karena tidak hanya membuat diri sendiri, tetapi juga malu kawom. Menurut Sufi (2000) mengatakan bahwa,
“Yang namanya orang Aceh, hubungan kaum atau kekerabatannya sangat tinggi. Kalau salah satu anggota kaum tersebut terkena sesuatu, maka keluarga dari anggota kaum itu akan menuntut. Mereka akan tueng bila”.
Membuat tingkah laku yang memalukan tidak hanya merusak diri pribadinya, tetapi juga memalukan dan merusak kawomnya secara keseluruhan, keluarga, dan kampungnya (saboh keubeue meukubang, ban saboh weue meuleuhob) (Satu kerbau berkubang, seisi kandang berlumpur). Dalam hal ini juga Islam juga memerintahkan untuk menjaga martabat, harga diri, dan malu (Aswar, 2007: 25-27). Selain itu juga rasa malu merupakan refleksi daripada kata hati yang dapat berupa perasaan salah, penyesalan, kesadaran atau kewajiban, tanggung jawab, dan ketaatan agama (Alisyahbana, tt: 56-57; Hasyim dkk, 1997: 30).
Untuk itu, provokasi yang membuat malu harus dihindari atau pantang (tabu). Bahkan untuk sekedar mencoba-coba atau bergurau sekalipun. Menurut Dally (2006: 1) ada lima perilaku yang tidak boleh dilakukan agar tidak mendorong tueng bila bagi ureueng Aceh. Pertama, menyangkut penghinaan terhadap agama Allah, Tuhan, Rasul-rasul Allah, pelecehan terhadap Nabi Muhammad SAW, para Rasul Anbiya, Kitab Suci Al Qur’an, dan segala simbol yang dianggap suci dalam agama Allah. Kedua, mempermalukan kedua orang tua di depan umum lebih-lebih jika anak-anaknya (laki-laki) hadir di sana. Lembaga orang tua sangat dimuliakan, sangat terhormat di mata anak-anaknya dan keturunannya. Ketiga, mempecundangi, menggoda atau berselingkuh dengan istrinya. Istri merupakan lambang kesucian dan kehormatan diri, keluarga, dan keturunannya kelak. Bagi lelaki Aceh hal ini tidak ada toleransi sedikitpun. Keempat, mengganggu anak gadisnya yang mana sama kedudukannya dengan istrinya sebagai lambang kesucian keturunannya. Apabila berminat lamarlah dengan baik dan terhormat. Kelima, tanah (lahan) dan air sawah saat segera akan bertanam padi. Membuat provokasi berupa menggeser sempadan atau garis batas lahan walau sejengkal sekalipun. Mengeringkan air sawahnya pada saat bertanam mutlak suatu penghinaan yang sangat serius. Ungkapan ini sering dikembangkan sebagai membela “tanah air”. Kelima hal tersebut di atas terangkum dalam narit maja di bawah ini,
Méë ta maté bak limong pat maleë
Keu sa bak agama Allah ji peuhina
Dua ma ngon ku teuh ji peumaléë
Lhee aneuk dara teuh ji peukaru
Peuet inong peurumoh ka gop cuca
Limong ceue ji peuiseuk ie ji peutho jan seumula
Artinya:
Patut kita (bela sampai) mati pada lima macam permaluan
Pertama bila agama Allah diperhinakan
Dua ibu dan ayah dipermalukan
Tiga istri diselingkuh orang
Empat anak gadis diganggu/dilecehkan orang
Lima digesernya sempadan, dikeringkan air sawah saat akan bertanam padi
Setiap perilaku terhadap seseorang yang menyangkut lima hal tersebut dapat menjadi sebuah penghinaan. Setiap penghinaan akan dirasakan sebagai kehilangan martabat atau harga diri, tidak dihargai, dianggap sepi sehingga secara total merasa diri tidak berharga. Akibatnya, orang akan berusaha membela kehormatan diri dengan berbagai cara dan bentuknya, baik bertindak positif maupun negatif, untuk membuat perhitungan agar diri kembali berharga, termasuk menyambung nyawa, memamerkan kemampuannya dalam membinasakan hidup orang lain dengan nyawanya sendiri sebagai taruhan. Nibak putéh mata get putéh tulueng (daripada putih mata lebih baik lebih baik putih tulang) merupakan ungkapan yang mendukung pertaruhan terhadap harga diri ureueng Aceh. Jadi kebanggaan bagi laki-laki Aceh adalah jadi orang akan memilih mati (sebagai satria) daripada hidup terhina.
Untuk itu, konsep tueng bila ini merupakan salah satu prinsip hidup yang masih sulit ditinggalkan sebagian besar ureueng Aceh, karena berkaitan dengan harkat dan martabat dirinya sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial. Karena itu, jika suatu pembunuhan tidak diselesaikan dengan perdamaian, terutama perdamaian menurut adat, hampir dipastikan bakal ada pembunuhan balasan dengan cara yang sama atau lebih jahat lagi. Dalam konteks ini lebih jauh berkaitan dengan perbenturan fisik atau dalam konsep tueng bila ‘menuntut balas’, tidak lagi pada tataran hinaan dengan kata-kata atau perilaku. Jadi, kalau si A membacok si B, maka si B akan membacok si A, atau kalau si A membacok si B sampai mati, maka keluarga si B akan balas membacok si A sampai mati juga.
Menurut Harun (2008: 16) kondisi tersebut tidak terlepas dari watak orang Aceh yang sangat reaktif dalam menanggapai suatu masalah yang terjadi dalam lingkungan hidupnya sehari-hari. Reaksi itu muncul, terutama jika berhubungan dengan eksistensi dirinya sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial. Sebagai makhluk pribadi, orang Aceh memiliki harga diri yang keberadaannya dipertaruhkan dalam konstelasi sosial budaya kehidupannya. Karena itu, sifat reaktif diperlukan untuk mengawal harga diri dan menunjukkan eksistensi diri sebagai makhluk pribadi dan sosial. Ureueng Aceh memang dikenal sebagai salah satu suku bangsa yang cenderung memiliki sifat reaktif yang kuat dalam konteks menjaga harga dirinya. Hal ini, antara lain, dapat tampak pada hadih maja berikut ini.
Meunyo até hana teupèh
Aneuk krèh jeuet taraba
Meunyo até ka teupèh
Bu leubèh han jipeutaba
Artinya
(Kalau hatinya tidak tersinggung
Buah pelir pun boleh diraba-raba
Kalau hatinya sudah tersinggung
Nasi lebih (sisa) pun tidak akan ditawarkannya)
Selanjutnya Harun menyatakan bahwa secara umum hadih maja di atas menggambarkan salah satu sifat ureueng Aceh yang suka bersikap ramah dan baik hati kepada semua orang, tetapi kadangkala juga dapat bersifat pemarah dan pendendam. Kedua sisi sifat tersebut tentu saja timbul karena ada relasi sebab-akibat. Dalam dua baris pertama, misalnya, dilukiskan bahwa jika ureueng Aceh tidak tersinggung perasaannya, mereka tidak pernah memperlihatkan rasa permusuhan kepada siapa pun, dan bahkan akan terjalin suatu persahabatan yang melebihi sahabat karib. Hal ini ditandai oleh ungkapan aneuk krèh jeuet taraba (biji pelir pun boleh diraba-raba).
Adagium ini tentu tidak lahir begitu saja tanpa dipengaruhi oleh perjalanan sejarah dan unsur budaya, karena menyangkut alat kejantanan laki-laki (kemaluan) yang melambangkan harga diri seseorang. Dalam dunia nyata, meraba testis seseorang (mungkin bukan hanya untuk kasus ureueng Aceh) adalah tindakan kurang ajar dan dapat menyebabkan perkelahian atau bahkan pembunuhan terhadap si pelaku. Namun, demikianlah kiranya kesabaran, keluwesan, kelembutan budi, keterbukaan yang diperlihatkan ureueng Aceh dalam pergaulan sehari-hari, asalkan perasaan mereka tidak tersinggung atau hati mereka tidak terlukai. Kenyataan ini, misalnya, dapat dibuktikan dengan banyaknya etnis yang mendiami Aceh dan dapat hidup berdampingan secara damai karena mereka tidak pernah membuat tersinggung ureueng Aceh.
Di sisi lain, jika ureueng Aceh sudah tersinggung perasaannya, mereka akan memperlihatkan sikap yang cenderung apatis, tertutup, pemarah, bahkan pembenci; sangat tergantung situasi dan kualitas ketersinggungan mereka. Baris ketiga dan keempat dalam (1) menunjukkan tingkat ketersinggungan yang sedang (medium). Dalam kaitan ini, orang-orang yang menyakiti hati mereka akan mereka tempatkan pada posisi ‘bukan sahabat’, ‘bukan tamu’, ‘bukan keluarga’, dan ‘bukan musafir’. Hal ini, antara lain, ditandai oleh klausa bu leubèh han jipeutaba ‘nasi lebih (sisa nasi) pun tidak akan ditawarkannya’ yang merepresentasikan rasa muak, jengkel, dan kesal mereka.
Seperti yang telah disebutkan di atas, keaiban yang menimpa seseorang, misalnya dalam lingkungan rumah tangga, merupakan hal yang paling sensitif bagi masyarakat Aceh. Tindakan menjadikan diri sendiri sebagai hakim dengan melakukan tueng bila, bukan hanya terjadi di masa lalu saja, tetapi khususnya yang menyangkut soal nama baik rumah tangga hingga saat ini pun masih ada. Di bawah ini merupakan salah satu contoh yang dijumpai oleh Panglima Polem (1977: 108-109) di Indrapuri Aceh Besar,
“Pada suatu malam, seorang suami ketika saya pulang dari mencari ikan, melihat gejala yang mencurigakan di dalam rumahnya, dimana istrinya ditinggalkan seorang diri. Sang suami bertambah yakin akan dugaannya ketika di dekat tangga ia melihat adanya sepasang sandal seorang laki-laki. Dengan tidak berfikir panjang, ia mencabut parang yang senantiasa tersisip di atas rumahnya sekaligus mendobrak pintu kamarnya. Rupanya laki-laki hidung belang itu, dapat menyelamatkan dirinya melalui pintu samping. Karena emosi yang tidak terkendalikan dan merasa aib, tanpa berfikir panjang, suami tersebut langsung membunuh istrinya yang telah berbuat serong itu dan seketika itu juga meninggal dunia. Tindakan suami yang demikian oleh masyarakat dianggap sebagai perbuatan “jantan” dan bahkan sangat disesalkan mengapa tidak terbunuh kedua-duanya”.
Apa yang dilakukan oleh suami (dalam contoh di atas) tersebut merupakan sebuah upaya membela kehormatan dirinya sebagai laki-laki. Harga diri bagi banyak orang merupakan suatu hal yang sangat utama. Untuk itu, ia akan melakukan apa saja yang dipandang perlu agar seseorang tidak kehilangan harga dirinya. Perbuatan mengganggu istri orang berarti telah melanggar pantangan dalam adat Aceh. Kalau hal ini dilanggar berarti ia telah siap melangkahi mayat suaminya. Nasihat kepada istri sering dikatakan tika eh lakoe ta jaga beuget (tempat tidur suami harus dijaga dengan sangat baik) (Aswar, 2008: 10). Senada dengan dikatakan oleh Dally (2006: 1), Harun (2008: 16-26) mengatakan bahwa semangat juang yang tinggi untuk menegakkan kebenaran dan atau menjaga harga diri, dalam pandangan orang Aceh, pada saat tertentu menjadi sesuatu yang “wajib”. Hal ini, sesuai dengan hadih maja yang menyatakan bawa Nibak mirah blang bah mirah jurèe, Nibak malèe bahlé maté (Daripada merah sawah biarlah merah kamar Daripada malu biarlah mati).
Dalam konteks yang agak terbatas, hadih maja di atas diucapkan untuk melukiskan kewajiban seorang suami membunuh laki-laki yang tertangkap basah berzina dengan istrinya. Artinya, seorang suami yang memiliki harga diri akan lebih baik mati di rumahnya sendiri dalam membela kehormatan rumah tangga daripada hidup menanggung malu karena dicemooh orang kampungnya selama hidupnya. Jika hal itu tidak dilakukannya, ia dikatakan oleh masyarakat sebagai lelaki yang tidak pernah meraba pelirnya ‘agam hana raba krèh’ atau dengan kata lain ia bukanlah lelaki yang sering diasosiasikan dengan keberanian dan keperkasaan; ia lelaki yang tidak bertanggung jawab dan penakut.
Diksi ‘merah’ dalam baris pertama menunjukkan kepada darah yang dalam konteks ini merupakan ekses dari pembunuhan atau perkelahian. Perkelahian tersebut tidak jarang mengakibatkan meninggalnya sang suami, atau sang pengganggu, atau kedua-duanya. Bagi pengganggu, kematian itu adalah kematian ternista, sedangkan bagi suami kematian itu merupakan kematian terhormat (secara sosial). Karena itu, dapat disimpulkan bahwa untuk menjaga kehormatan diri dan keluarga, seseorang pantas mengambil tindakan tegas terhadap pengganggu rumah tangganya tanpa harus menunggu proses hukum. Tindakan ini menurut adat Aceh hanya dipahami kalau berlaku dalam rumah dan halaman, di luar kawasan itu dianggap kriminal atau pembunuhan biasa.
Simbolisasi harga diri yang cukup besar bagi masyarakat Aceh, menurut Hamidy (1977: 37), dapat kita runut akarnya pada hikayat yang pernah ada di daerah ini. Salah satu hikayat yang dimaksud adalah Hikayat Maleem Diwa. Hikayat tersebut menceritakan seorang tokoh – dalam hal ini Maleem Dewa – yang dapat memperistri wanita yang berasal dari kahyangan. Hal demikian, menurut Hamidy, telah menaikkan harga diri masyarakat manusia di bumi. Maleem Diwa sebagai wakil masyarakat dapat disejajarkan dengan makhluk kayangan. Penghargaan dan pandangan seperti itu tidaklah mengherankan akhirnya berkembang menjadi suatu pengakuan terhadap Maleem Diwa sebagai makhluk keramat atau sakti.
Kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh Belanda telah memicu dendam yang tidak berkesudahan bagi pribadi-pribadi ureueng Aceh. Menurut Abdullah (1996: 18) tradisi wali dan karong, turunan darah pihak ayah dan turunan darah pihak ibu sebagai pihak pertama dan pihak kedua yang akan bangkit menuntut bela (tueng bila) atas kematian keluarganya. Kesiapan menuntut bela ini merupakan prestise dan martabat keluarga. Jika tidak ada seorang pun yang bangkit membalaskan dendam keluarga, takut menghadapi musuh, maka keluarga tersebut dipandang tidak berharga sedikit pun di mata masyarakat. Oleh karena itu, seorang pemuda yang tidak terjun ke medan perang untuk menuntut bela kematian orang tuanya akan menerima sanksi yang berat dari masyarakat. Bahkan istri-istri yang ditinggal gugur oleh suaminya bangkit menuntut bela suami-suaminya (misalnya, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, dan lain-lain). Tradisi ini ditambah dengan fanatisme agama, perang sabililillah yang dipompakan melalui pembacaan Hikayat Prang Sabi yang termasyur itu lengkaplah pemicu perang yang sulit dipatahkan oleh Belanda. Oleh karena itu, seperti telah disebutkan dalam bahasan sebelumnya, tueng bila pada masa kolonial Belanda mewujud dalam perilaku bertempur habis-habisan sampai menemui syahid dan perlawanan secara sendiri-sendiri, yang disebut oleh ureueng Aceh sebagai aksi poh kaphe atau Aceh Moorden bagi orang Belanda. Untuk itu, R.A. Kern (1994: 75) yang pernah mengadakan penyelidikan tentang motivasi perang dilakukan oleh rakyat, menyatakan tentang latar belakang timbulnya pembunuhan-pembunuhan Aceh dilakukan karena rasa/komplek benci kaphe/kaphe complex yang dimilikinya dengan cara tueng bila. Selanjutnya, Kern mengatakan bahwa,
“Hal itu sebenarnya dilatarbelakangi oleh kebencian yang meluap-luap terhadap orang-orang yang dianggap kafir dan adanya hasrat mati syahid. Selain itu, juga karena adanya perasaan ingin tueng bila (semacam balas dendam) terhadap mereka yang telah membunuh keluarganya atau kepada mereka yang telah membuat malu keluarga atau dirinya”.
Motif pembalasan dendam yang dilakukan dengan modus tueng bila, menurut Kern seperti disebut di atas, dapat ditimbulkan oleh berbagai sebab, yaitu
1. Perlakuan tidak baik
2. Perampasan kebebasan
3. Melukai perasaan
4. Keresahan karena tidak diperlakukan secara adil
5. Perlakuan yang tidak adil oleh kepala-kepala
6. Patah hati karena asmara
7. Tidak puas menurut perasaan keadilan.
Kebencian yang meluap-luap atas keberadaan kafir Belanda di Aceh yang telah memporakporandakan sendi-sendi kehidupan dan mengakibatkan kematian anggota keluarga membuat seseorang ingin melakukan tueng bila. Hal ini tampak pula pada diri pahlawan nasional Cut Nyak Dhien. Sufi (2008: 10) menyatakan hasrat tueng bila pada diri Cut Nyak Dhien ini tampak pada pernyataan sebagai berikut,
“Hasrat Cut Nyak Dhien untuk melakukan tueng bila atas kematian suaminya yang merupakan salah satu penyebab mengapa ia bersedia nikah lagi dengan Teuku Umar yang telah beristri dua. Di sini jelas bahwa Cut Nyak Dhien memanfaatkan Teuku Umar yang dianggap mempunyai potensi dalam upaya untuk tueng bila atas kematian suaminya yang pertama...”
Berikut ini juga ditampilkan salah satu pembunuhan yang didasari oleh semangat tueng bila terhadap seorang perwira Belanda yang dilaporkan Komandan Divisi 5 Marsose, Anton yang dikutip oleh Sufi (2002: v) yang mengatakan bahwa
“Salah seorang perwira Belanda yang menjadi korban akibat pembunuhan khas Aceh ini ialah Kapten C.E. Schmid, komandan Divisi 5 Korps Marsose di Lhoksukon pada tanggl 11 Juli 1933 yang dilakukan oleh Amat Lepon, sementara pada bulan Nopember 1933 dua orang anak-anak Belanda yang sedang bermain di Taman Sari Kutaraja (sekarang Banda Aceh) juga menjadi korban pembunuhan khas Aceh ini. Amat Lepon menyaksikan ayahnya Teungku Beureunuen syahid tewas ditembak serdadu Belanda tatkala ia berumur 10-12 tahun, rasa dendam dengan semangat ingin menuntut bela (tueng bila) dipendamnya selama lebih 20 tahun kemudian”.
Hal tersebut juga diakui pula oleh Adan (2006: 87) yang menyatakan bahwa perjuangan yang dilakukan oleh para pejuang Aceh melawan Belanda merupakan manifestasi dari tueng bila yang melekat dalam jiwa dan raga para mujahid besar, seperti Teungku Chik Di Tiro, Cut Nyak Dhien, Fakinah, Pocut Baren, dan lain-lain. Beberapa kasus yang dapat ditangkap sebagai wujud perilaku tueng bila tampak dari pernyataan Adan di bawah ini,
“Menghayati proses tueng bila bagi bangsa Aceh memang sungguh sangat menarik serta punya makna tersendiri. Sejarah telah mencatat apabila orang Aceh telah meudarah ate (sakit hait yang sangat mendalam), maka jalan keluarnya adalah tueng bila. Dua contoh yang dikemukakan penulis terkemuka H.M. Zainuddin merupakan rujukan saheh serta akurat walaupun tidak berani dijadikan referensi. Ketika perang melawan Belanda sedang berkecamuk di bumi Aceh seorang kampung Nyong di Kecamatan Geulumpang Minyeuk (sekarang Geulumpang Baro), Pidie, Abdul Hamid dengan bersahaja seorang diri menghadang pasukan Belanda di sebuah jambo (gubuk) di tengah sawah untuk membunuh sebagai sebuah manifestasi tueng bila terhadap pembunuhan orang-orang kampung tersebut oleh pihak Belanda. Dalam kasus lain seorang perempuan setengah baya dalam sebuah kereta api dari arah Langsa ke Sigli dengan geramnya menusuk seorang Belanda yang tengah duduk santai di kursi kereta api tersebut. Ketika ditanyai orang banyak sang wanita menjawab: aku benci kafir itu yang telah menghancur luluhkan Islam dan ummat Islam di bumi ini dan itulah ganjaran tueng bila daripadaku, ujarnya tegas”.
Pada masa konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dengan pemerintah Republik Indonesia terminologi kata tueng bila sering kali dipakai ketika Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk menuntut balas atas kematian warga akibat operasi-operasi yang dilakukan oleh TNI di berbagai daerah di Aceh. Hal ini dapat kita lihat dari berita-berita yang dilansir oleh media lokal di Aceh. Selain penyerangan yang dilakukan oleh sekumpulan pasukan GAM terhadap aparat di Aceh selama konflik, mereka juga melakukannya secara individu seperti membacok atau menikam di tempat keramaian umum seperti pasar. Pola yang sama pernah terjadi pada masa kolonial Belanda.
Mengenai tueng bila yang sering dinyatakan oleh Gerakan Aceh Merdeka sebagai sebuah pembalasan terhadap aparat TNI/Polisi, Siegel (2000: 391) mengatakan bahwa,
”The failure of Indonesia, like its success, is a question of ”the people” metamorphose into ”the masses” and into criminals while their spokes persons become themselves criminal. The pattern of violence varies accordingly. The violence in Aceh ini 1999 was mainly produced by the army, and so too was the massacre in Aceh in 1965-66 of all suspected communists. The difference comes with public support – or not – of the army. When I was in Aceh ini 1999, there had been about thirty murders known as “revenge killings” (tueng bila). In most these incidents two or three men on a motorbike rode to a village coffe shop, that someone with a rifle, and rode off. Those killed were often identified as informer for the army. People knew that the army had forced certain villagers to identify their neighbors as members of the GAM on pain of the rape of their sisters, the kidnapping of their fathers, and so on. The government was blamed for this practice, but knowlodge of it also supported the possibility that the killer”
Artinya
“Kegagalan Indonesia sebagaimana kesuksesannya merupakan suatu hal yang mengalami metamorfosis dimulai dari “rakyat” yang menjadi “massa” yang selanjutnya berubah menjadi pelaku kriminal ketika pemimpin mereka sendiri adalah penjahat. Pola kejahatannya itu bervariasi sesuai dengan metamorfosis yang terjadi. Kejahatan yang terjadi di Aceh pada tahun 1999 umumnya dilakukan oleh tentara. Demikian juga dengan pembataian terhadap para tersangka penganut komunis yang terjadi di Aceh pada tahun 1965-1966. Perbedaannya terdapat pada ada atau tidaknya dukungan warga terhadap tentara. Pada saat saya berada di Aceh tahun 1999 terdapat 30 kasus pembunuhan yang dikenal sebagai “pembunuhan balas dendam” (tueng bila). Dalam kebanyakan kasus seperti ini, biasanya dua atau tiga laki-laki yang mengendarai motor menuju warung kopi, kemudian menembak, lalu pergi. Orang yang terbunuh dengan cara ini dianggap sebagai informan tentara. Orang-orang tahu bahwa para tentara memaksa penduduk untuk memberi informasi siapa diantara mereka yang menjadi anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan ancaman pemerkosaan terhadap saudara perempuan mereka, penculikan terhadap orang tua, dan lain sebagainya. Dalam praktek ini pemerintahlah yang disalahkan bahkan pengetahuan akan hal ini jug mendukung kemungkinan bahwa pembunuh…”.

D.Penutup

Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa Tueng bila merupakan bagian dari upaya ureueng Aceh dalam rangka menegakkan harkat dan martabat ureueng Aceh sebagai manusia. Untuk itu, kekerasan yang terjadi (sebagai akibat tueng bila) dihargai dan “direstui” oleh budaya masyarakat. Tueng bila adalah sebuah tindakan yang harus diterima (taken for granted) dan dianggap “bermoral”, wajar dan bukan perbuatan tercela. Bahkan apabila dalam suatu kasus, seseorang tidak melakukan tueng bila, ia akan mendapat hinaan dari masyarakat. Untuk itu, ureueng Aceh akan melakukan tindakan apa saja dalam rangka tueng bila, sekalipun harus mengorbankan nyawa sebagai taruhannya.
Tueng bila merupakan harga diri dan watak dari ureueng Aceh. Berawal dipermalukan dan merasa terhina, seseorang akan membangun kembali harga diri dan martabatnya. Pembelaan terhadap harga diri seringkali dilakukan dengan tindakan-tindakan yang seringkali tidak masuk akal, misalnya melakukan pembunuhan nekad, yang pada zaman kolonial Belanda sering disebut Aceh Moorden (bahasa Aceh: po kaphe).
Predikat sebagai orang yang membela kehormatan agama merupakan kebanggaan tersendiri bagi mereka yang melakukan tueng bila terhadap penodaan agama. Di samping itu, tueng bila juga dilakukan sebagai tindakan pembalasan terhadap orang yang melakukan pelecehan harga diri, misalnya gangguan terhadap istri dan anak gadis, yang menyebabkan ureueng Aceh malee. Dalam konteks ini tueng bila merupakan institusionalisasi kekerasan yang mencerminkan monopoli kekuasaan dan perlindungan laki-laki terhadap perempuan dan manifestasi dari peran dan tugas laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Makna-makna yang ada dalam motif tueng bila seperti tersebut di atas dapat dikatakan sebagai bagian dari sistem komunikasi budaya. Bagi pelaku tueng bila dan masyarakat, tueng bila dianggap sebagai simbol tentang sikap dan perilaku kekerasan terhadap pelecehan harga diri keluarga, kawom, dan masyarakat dimana mereka berada. Mereka yang telah melakukan tueng bila dianggap telah melaksanakan kewajiban sosialnya terhadap keluarga, kawom, dan masyarakat, dan bahkan negara, baik laki-laki maupun perempuan.

Daftar Pustaka
Abdullah, T. Imran. 1996. ”Alam Budaya Pantai Barat”, dalam Piasan Raya Alam Budaya Pantai Barat, Imran T. Abdullan dkk (eds). Meulaboh: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Barat.
Abdullah, Irwan. 2007. “Potret Retak Komunalisme Aceh”. Makalah Bahan Perbincangan Masa Depan Aceh di Aceh Institute tanggal 8 Juni 2007.
Aboebakar dkk. 2001. Kamus Bahasa Aceh-Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Adan, Hasanuddin Yusuf. 2006. Politik dan Tamaddun Aceh. Banda Aceh: Adnin Foundation Aceh.
Aswar, Teuku Raja Itam. 2007. “Malu dalam Adat Aceh”. Jeumala No. 21/2007. Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Hamidy, U.U. 1977. “Peranan Cerita Rakyat dalam Masyarakat Aceh” dalam Alfian (ed.) Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh. Jakarta: LP3ES.
Harun, Mohd. 2008. “Prototipe Watak Orang Aceh”, Jeumala No. 25/2008. Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Hasyim, Abidin dkk. 1997. Budaya Malu dalam Keluarga Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.
Ismail, Badruzzaman. 2006. ”Pengaruh Faktor Budaya Aceh dalam Menjaga Perdamaian dan Rekonstruksi”, Makalah disampai-kan pada Seminar Faktor Budaya Aceh Dalam Perdamaian dan Rekonstruksi, yang dilaksanakan oleh Tunas Aceh Research Institute, Darussalam, tanggal 20 September 2006.
________________. 2008. Sistem Adat Budaya Aceh. Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Kern, R.A. 1994. Hasil-hasil Penyelidikan Sebab-Musabab terjadinya Pembunuhan Aceh (terj. Aboebakar). Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.
Kurdi, Muliadi. 2005. Menelusuri Karakteristik Masyarakat Desa Pendekatan Sosiologi Budaya Dalam Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Pena.
Panglima Polem, T. Bachtiar Effendi. 1977. “Pengendalian Sosial di Aceh Besar” dalam Alfian Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh. Jakarta: LP3ES.
Dally, Ramli A. 2006. Ungkapan Peribahasa Aceh dari Sabda Leluhur. Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Siegel, James T. 2000. The Rope of God. Michigan: University of Michigan Press.
Sufi, Rusdi. 1997. “Pembunuhan Khas Aceh dan Sebutan Aceh Pungo”. Serambi Indonesia, 15 Desember.
__________. 2003. “Etnis Aceh”, dalam Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, Ragam Sejarah Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
__________. 2008. “Menelusuri Tindak Cut Nyak Dhien melawan Kolonial Belanda (sebagai inspirasi bagi Perempuan di Era Pembangunan)”, Makalah disampai-kan pada Seminar di Rumah Cut Nyak Dien Lampisang yang diselenggakarakan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan di Banda Aceh tanggal 6 November.
Sufi, Rusdi dan Agus Budi Wibowo. 2004. Jelajah Aceh Guide Book to Aceh. Banda Aceh: Dinas Pariwisata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Wibowo, Agus Budi. 2004. “Hikayat dalam Perspektif Sejarah” dalam Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, Ragam Sejarah Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Zainuddin, Muslim. 2007. “Syariat Islam di Aceh dalam Dimensi Sosiologis”, dalam Tim Penulis IAIN Ar-Raniry Pergulatan Panjang Budaya Damai dalam Masyarakat Multikultural Kajian Edukasi, Syar’i, Historis, Filosofis, dan Media Masa. Banda Aceh: Yayasan Pena dan Ar-Raniry Press.

August 05, 2009

Tueng Bila Masyarakat Aceh Pada Masa Kolonialisme Belanda

Oleh: Agus Budi Wibowo

A.PendahuluanS

etiap komunitas di dunia memiliki karakteristik khas, yang membedakan satu komunitas dengan komunitas lainnya. Pengetahuan terhadap karakteristik khas ini sangat diperlukan tatkala kita akan menjalin hubungan atau komunikasi dengan komunitas tersebut, sehingga kita akan terhindar dari konflik yang tidak diinginkan dan akan mempermudah kita masuk ke dalam dunia budaya komunitas tersebut.
Tulisan ini akan membahas tentang salah satu karakteristik masyarakat Aceh, yaitu tueng bila. Bagi masyarakat Aceh kata ini tidak asing lagi. Akan tetapi, bagi masyarakat luar Aceh tentunya belum banyak mengenal dengan istilah ini. Diharapkan tulisan ini akan membantu pemahaman tentang salah satu aspek dari karakteristik dari masyarakat Aceh, khususnya di era kolonialisme Belanda.

B.Makna Tueng Bila

Tueng bila merupakan bagian dari protipe watak orang Aceh, yang tampak pada pikiran, perilaku, tindakan, sikap, dan tutur kata. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Harun (2008: 16) terhadap hadih maja yang mengandung nilai filosofis, tampak bahwa orang Aceh memiliki prototipe watak yang (1) reaktif, (2) militan, (3) optimis, (4) konsisten, dan (5) loyal. Ciri-ciri tersebut mewarnai pola pikir dan pola tindak mereka dalam kehidupan, salah satunya terkait dengan perilaku tueng bila yang dilakukan oleh ureueng Aceh. Menurut Syamsuddin (2000) bahwa tueng bila itu sifat dari orang Aceh untuk balas dendam terhadap sesuatu yang mana balas dendam tersebut dapat dilakukan kapanpun juga tergantung kesempatan.
Oleh karena itu, istilah tueng bila merupakan suatu kata yang tidak asing lagi bagi kalangan ureung Aceh. Seperti telah disebutkan sebelumnya dalam adat dan kebiasaan ureueng Aceh perkataan tueng bila sudah sangat terikat dengan kepribadiannya (Sufi, 2003; Adan, 2006: 86). Menurut Aboebakar dkk (2001: 1004) dalam Kamus Bahasa Aceh-Indonesia, Teung bila berasal dari dua suku kata, yaitu tueng dan bila yang artinya mengambil atau menuntut bela. Akan tetapi, dalam buku Kamus Aceh-Bahasa Indonesia (Aboebakar dkk, 2001: 83) terdapat juga kata bila yang merupakan kata benda dari bela yang artinya pembalasan, menuntut ajal lawan atau keluarganya sedangkan kata Tueng dapat diartikan sebagai menerima (Daud dan Durie, 2002: 42), atau dapat juga diartikan menjemput, Dengan demikian, tueng bila dapat diartikan menjemput atau menuntut balas/ajal terhadap lawan atau keluarganya.
Sufi (2003: 14) mengartikan tueng bila sebagai menuntut bela. Tentunya, seorang Aceh akan menuntut atas kerugian yang dideritanya. Menuntut bela ini hendaknya diartikan dalam kerangka yang positif karena memang dalam bahasa Aceh terdapat pula perkataan menuntut balas (dendam) yang disebut dam dan menyimpan dendam (trόh dam). Akan tetapi, penggunaannya sangat negatif. Selanjutnya, Sufi mengatakan bahwa,

“Dalam buku-buku yang dikarang oleh orang-orang Belanda pada masa lalu ada yang menyebutkan bahwa orang Aceh itu pendendam. Gambaran ini sebenarnya keliru. Orang Aceh sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya sebenarnya hanya mengenal kata tueng bila, maksudnya menuntut bela. Seorang Aceh akan menuntut bela atas kerugian yang dideritanya. Menuntut bela menurut Islam adalah wajib. Ini dijelaskan dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 178 atau surat Al Maidah ayat 45. Akan tetapi, karena prinsip hidup orang Aceh yang lebih menyukai damai itu, maka menjadi tugas bagi eumbah atau ma di sebuah kampung, sebagai tokoh-tokoh yang berwibawa untuk bertindak, sehingga semua persoalan sengketa dapat dinetralkan kembali dalam pergaulan masyarakat di kampung itu. Memang dalam bahasa Aceh ada perkataan dendam yang disebut dam. Akan tetapi, penggunaannya sangat negatif. Jadi, jika dalam praktik terjadi penyimpangan daripada yang disebut di atas, maka orang ini tidak memahami prinsip hidupnya sebagai orang Aceh”.

Adan (2006: 85) menyatakan bahwa tueng bila yang dalam bahasa Melayu bermakna sebagai balas dendam merupakan sebuah fenomena lama yang dapat dikonotasikan juga sedikit negatif dalam arti sebuah pembalasan dendam. Selanjutnya, apabila kita telusuri lebih jauh makna serta hakikat daripada kata tueng bila, ia tidak terlepas dari sebuah manifestasi imaginasi konkrit dari seseorang yang merasa dikhianati untuk meluruskan persoalan yang sebenarnya. Dalam hal ini, Adan mengatakan bahwa,

“Selalunya tueng bila terjadi sebagai umpan balik dari sesuatu pengkhinatan yang tidak bisa diterima akal sehat dan hukum syara’, seumpama penipuan, pemerkosaan, pembunuhan tanpa syarat, pencurian, dan sebagainya. Dalam kamus orang Aceh lama tueng bila ini merupakan sesuatu yang mesti dilakukan untuk menebus kerugiannya walau apapun risiko yang akan menimpa dirinya, aksi seumpama ini kerap terjadi dalam kehidupan bermasyarakat setelah pihak berkuasa gagal atau tidak tahu menyelesaikan sesuatu konflik yang merugikan salah satu pihak daripada mereka”.

Ajaran agama Islam sebenarnya juga mengenal menuntut balas atau membela kehormatan. Akan tetapi, menuntut balas yang dilakukan adalah atas kerugian yang diderita. Pada masa Nabi Muhammad SAW penyerangan-penyerangan tentara Islam terhadap orang kafir dilakukan setelah lebih dahulu diberikan peringatan serta ajakan untuk memilih agama yang benar. Selain itu, keputusan untuk melaksanakan hukum hudud dan qishas, merajam melalui persetujuan Nabi Muhammad SAW.

Menuntut balas bukan dilakukan berdasarkan pada subjektifitas seseorang dan merupakan wajib bagi umat Islam. Dasar dari menuntut balas ini terdapat pada Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 178, yang artinya,
Wahai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) Qisas1 berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik dan membayar diat (pampasan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rakhmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka ia mendapat azab yang sangat pedih.

Selain itu juga pada surat Al Maidah ayat 45 disebutkan upaya menuntut balas diwajibkan bagi umat Islam, yang artinya,
Kami telah menetapkan bagi mereka didalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya (balasan yang sama). Barang siapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu (menjadi) penebus bagi dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.

Oleh karena itu, menurut Ismail (2006:3), asas tueng bila yang dilakukan oleh ureueng Aceh harus memenuhi kriteria tertentu, tidak asal melakukannya begitu saja. Selanjutnya Ismail menyatakan sebagai berikut,
“Dalam kehidupan keluarga Aceh, tidak ada ”dendam”, karena amat bertentangan dengan syari’at Islam (hukom ngon agama, lagei zat ngon sifeut). ”Tueng bila” dilakukan karena terpaksa demi untuk ”membela diri/bila droe” menegakkan kehormatan, agama, martabat keluarga, harta benda dan nyawa atas segala kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang lain”.

C.Tueng Bila Pada Masa Kolonialisme Belanda

Perang Belanda di Aceh merupakan salah satu perang yang dikategorikan cukup lama, membawa korban banyak dan biaya yang besar. Dalam rangka menyelesaikan perang agar tidak terus berkepanjangan ini, Belanda menugaskan Snouck Hurgronje untuk mengadakan penelitian. Hasil penelitian, rakyat Aceh yang taat beragama Islam tidak mungkin menyerah kepada kafir sebelum mereka ditundukkan dengan kekerasan, sikap menunggu dan kompromi tidak akan membawa hasil. Hasil penelitian ini kemudian dijabarkan dengan membentuk korps Marechausee, pasukan berani mati dan sangat kejam. Dengan gerak cepat, pasukan ini akhirnya dapat menaklukkan daerah-daerah sejak dari Aceh Besar sampai ke pantai timur (Doup, 1930; Schmidt, 1942). Setelah Kuta (benteng) Batee Iliek (Samalanga) (1901) menyusul Peukan Baro dan Peukan Sot (1902) (Pidie) jatuh ke tangan Jend. Van Heutsz pasukan reguler Sultan kian terdesak. Akhirnya, karena mendapat tekanan yang terus menerus dan tertangkapnya istri-istri sultan, Pocut Murong dan Pocut Putroe, maka Sultan pun terpaksa menghentikan perlawanan dan berdamai pada tahun 1903 setelah 29 tahun berperang melawan kompeni Belanda.
Walaupun begitu, perlawanan individu-individu masyarakat Aceh tetap berlangsung. Kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh Belanda telah memicu dendam yang tidak berkesudahan bagi pribadi-pribadi ureueng Aceh. Menurut Abdullah (1996: 18) tradisi wali dan karong, turunan darah pihak ayah dan turunan darah pihak ibu sebagai pihak pertama dan pihak kedua yang akan bangkit menuntut bela (tueng bila) atas kematian keluarganya.2 Kesiapan menuntut bela ini merupakan prestise dan martabat keluarga. Jika tidak ada seorang pun yang bangkit membalaskan dendam keluarga, takut menghadapi musuh, maka keluarga tersebut dipandang tidak berharga sedikit pun di mata masyarakat. Oleh karena itu, seorang pemuda yang tidak terjun ke medan perang untuk menuntut bela kematian orang tuanya akan menerima sanksi yang berat dari masyarakat. Bahkan istri-istri yang ditinggal gugur oleh suaminya bangkit menuntut bela suami-suaminya (misalnya, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, dan lain-lain). Tradisi ini ditambah dengan fanatisme agama, perang sabililillah yang dipompakan melalui pembacaan Hikayat Prang Sabi yang termasyur itu lengkaplah pemicu perang yang sulit dipatahkan oleh Belanda. Oleh karena itu, tueng bila pada masa kolonial Belanda mewujud dalam perilaku bertempur habis-habisan sampai menemui syahid dan perlawanan secara sendiri-sendiri, yang disebut oleh ureueng Aceh sebagai aksi poh kaphe atau Aceh Moorden bagi orang Belanda. Untuk itu, R.A. Kern (1994: 75) yang pernah mengadakan penyelidikan tentang motivasi perang dilakukan oleh rakyat, menyatakan tentang latar belakang timbulnya pembunuhan-pembunuhan Aceh dilakukan karena rasa/komplek benci kaphe/kaphe complex yang dimilikinya dengan cara tueng bila. Selanjutnya, Kern mengatakan bahwa,

“Hal itu sebenarnya dilatarbelakangi oleh kebencian yang meluap-luap terhadap orang-orang yang dianggap kafir dan adanya hasrat mati syahid. Selain itu, juga karena adanya perasaan ingin tueng bila (semacam balas dendam) terhadap mereka yang telah membunuh keluarganya atau kepada mereka yang telah membuat malu keluarga atau dirinya”.

Motif pembalasan dendam yang dilakukan dengan modus tueng bila, menurut Kern seperti disebut di atas, dapat ditimbulkan oleh berbagai sebab, yaitu perlakuan tidak baik, perampasan kebebasan, melukai perasaan, keresahan karena tidak diperlakukan secara adil, perlakuan yang tidak adil oleh kepala-kepala, patah hati karena asmara, tidak puas menurut perasaan keadilan.

Kebencian yang meluap-luap atas keberadaan kafir Belanda di Aceh yang telah memporakporandakan sendi-sendi kehidupan dan mengakibatkan kematian anggota keluarga membuat seseorang ingin melakukan tueng bila. Hal ini tampak pula pada diri pahlawan nasional Cut Nyak Dhien. Sufi (2008: 10) menyatakan hasrat tueng bila pada diri Cut Nyak Dhien ini tampak pada pernyataan sebagai berikut,

“Hasrat Cut Nyak Dhien untuk melakukan tueng bila atas kematian suaminya yang merupakan salah satu penyebab mengapa ia bersedia nikah lagi dengan Teuku Umar yang telah beristri dua. Di sini jelas bahwa Cut Nyak Dhien memanfaatkan Teuku Umar yang dianggap mempunyai potensi dalam upaya untuk tueng bila atas kematian suaminya yang pertama...”

Berikut ini juga ditampilkan salah satu pembunuhan yang didasari oleh semangat tueng bila terhadap seorang perwira Belanda yang dilaporkan Komandan Divisi 5 Marsose, Anton yang dikutip oleh Sufi (2002: v) yang mengatakan bahwa

“Salah seorang perwira Belanda yang menjadi korban akibat pembunuhan khas Aceh ini ialah Kapten C.E. Schmid, komandan Divisi 5 Korps Marsose di Lhoksukon pada tanggl 11 Juli 1933 yang dilakukan oleh Amat Lepon, sementara pada bulan Nopember 1933 dua orang anak-anak Belanda yang sedang bermain di Taman Sari Kutaraja (sekarang Banda Aceh) juga menjadi korban pembunuhan khas Aceh ini. Amat Lepon menyaksikan ayahnya Teungku Beureunuen syahid tewas ditembak serdadu Belanda tatkala ia berumur 10-12 tahun, rasa dendam dengan semangat ingin menuntut bela (tueng bila) dipendamnya selama lebih 20 tahun kemudian”.

Hal tersebut juga diakui pula oleh Adan (2006: 87) yang menyatakan bahwa perjuangan yang dilakukan oleh para pejuang Aceh melawan Belanda merupakan manifestasi dari tueng bila yang melekat dalam jiwa dan raga para mujahid besar, seperti Teungku Chik Di Tiro, Cut Nyak Dhien, Fakinah, Pocut Baren, dan lain-lain. Beberapa kasus yang dapat ditangkap sebagai wujud perilaku tueng bila tampak dari pernyataan Adan di bawah ini,

“Menghayati proses tueng bila bagi bangsa Aceh memang sungguh sangat menarik serta punya makna tersendiri. Sejarah telah mencatat apabila orang Aceh telah meudarah ate (sakit hait yang sangat mendalam), maka jalan keluarnya adalah tueng bila. Dua contoh yang dikemukakan penulis terkemuka H.M. Zainuddin merupakan rujukan saheh serta akurat walaupun tidak berani dijadikan referensi. Ketika perang melawan Belanda sedang berkecamuk di bumi Aceh seorang kampung Nyong di Kecamatan Geulumpang Minyeuk (sekarang Geulumpang Baro), Pidie, Abdul Hamid dengan bersahaja seorang diri menghadang pasukan Belanda di sebuah jambo (gubuk) di tengah sawah untuk membunuh sebagai sebuah manifestasi tueng bila terhadap pembunuhan orang-orang kampung tersebut oleh pihak Belanda. Dalam kasus lain seorang perempuan setengah baya dalam sebuah kereta api dari arah Langsa ke Sigli dengan geramnya menusuk seorang Belanda yang tengah duduk santai di kursi kereta api tersebut. Ketika ditanyai orang banyak sang wanita menjawab: aku benci kafir itu yang telah menghancur luluhkan Islam dan ummat Islam di bumi ini dan itulah ganjaran tueng bila daripadaku, ujarnya tegas”.

D.Penutup

Salah satu karakteristik ureueng Aceh adalah melakukan tueng bila. Perbuatan ini dilaksanakan dalam rangka menuntut bela atas kerugian yang pernah diderita. Jadi tueng bila dilakukan bukan tanpa alasan. Kalau tidak ada masalah, tentunya tidak ada tueng bila. Oleh karena itu, ketika Belanda masuk ke Aceh dan menimbulkan korban, baik harta maupun nyawa serta harkat dan martabat masyarakat Aceh, uereueng Aceh melakukan tueng bila terhadap pihak Belanda.

Catatan Akhir

1Qisas ialah hukuman yang semisal dengan kejahatan yang dilakukan atas diri manusia.

2Motivasi berperang melawan Belanda bagi ureueng Aceh dapat dikarenakan mencari syahid, ingin membalas atas kematian anggota keluarga/kawomnya, dan sebagainya.



Daftar Pustaka
Aboebakar dkk
2001 Kamus Bahasa Aceh-Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Adan, Hasanuddin Yusuf
2006 Politik dan Tamaddun Aceh. Banda Aceh: Adnin Foundation Aceh.

Daud, Bukhari dan Mark Durie
2002 Kamus Bahasa Aceh. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.

Harun, Mohd
2008 “Prototipe Watak Orang Aceh”, Jeumala No. 25/2008. Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Ismail, Badruzzaman
2006 ”Pengaruh Faktor Budaya Aceh dalam Menjaga Perdamaian dan Rekonstruksi”, Makalah disampai-kan pada Seminar Faktor Budaya Aceh Dalam Perdamaian dan Rekonstruksi, yang dilaksanakan oleh Tunas Aceh Research Institute, Darussalam, tanggal 20 September 2006.

Kern, R.A.
1994 Hasil-hasil Penyelidikan Sebab-Musabab terjadinya Pembunuhan Aceh (terj. Aboebakar). Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.

Sufi, Rusdi
1997 “Pembunuhan Khas Aceh dan Sebutan Aceh Pungo”. Serambi Indonesia, 15 Desember.
2000 ”Sikap Pusat Bisa Lahirkan Aceh Pungo”, dalam Kontras No. 95 Tahun II 25 Juli - 2 Agustus 2000.

2002 “Kata Sambutan Pembunuhan Khas Aceh dan Kelirunya Sebutan Aceh Pungo” dalam Ridwan Azwad dan Ramli A. Dally (eds.) Aksi Poh Kaphe di Aceh. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.

2003 “Etnis Aceh”, dalam Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, Ragam Sejarah Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

2008 “Menelusuri Tindak Cut Nyak Dhien melawan Kolonial Belanda (sebagai inspirasi bagi Perempuan di Era Pembangunan)”, Makalah disampaikan pada Seminar di Rumah Cut Nyak Dien Lampisang yang diselenggarakan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan di Banda Aceh tanggal 6 November.

Syamsuddin, Teuku
2000 “Sayam Itu Langkah Terakhir Setelah Dialog” dalam Kontras No. 95 Tahun II 25 Juli - 2 Agustus 2000.

Budaya Damai dalam Masyarakat Aceh

Oleh: Agus Budi Wibowo

A. Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari-hari manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi sesamanya. Melalui interaksi ini manusia memenuhi segala kebutuhan. Interaksi sosial ini dapat terjadi di antara kerabat, tetangga, dan di luar komunitasnya. Interaksi dapat pula terjadi di rumah, lingkungan tempat tinggal, di pasar, dan sebagainya. Dalam berinteraksi manusia tidak selalu berjalan dengan mulus. Kadang kala interakai sosial ini malah menimbulkan masalah, bahkan konflik atau persengketaan. Persengketaan mengandung arti adanya pihak yang bersalah sebagai penyebab ketidakserasian atau ketidaksepahaman antar perorangan atau antar kelompok masyarakat yang saling berhubungan, karena adanya hak atau kepentingan-kepentingan dari salah satu pihak terganggu, dirugikan, ataupun dilanggar.
Tentunya, konflik atau persengketaan ini tidak diharapkan oleh siapapun yang melakukan interaksi karena pada dasarnya interaksi merupakan suatu cara manusia untuk tetap survive. Penyebab terjadinya konflik ini bermacam. Berawal dari masalah-masalah sepele hingga masalah-masalah yang lebih rumit.
Manusia merupakan makhluk yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan dibekali akal. Melalui akal inilah manusia mengatur segala tindak tanduknya. Dapat dikatakan tindakan manusia tidak didasarkan oleh naluri semata, seperti pada binatang. Salah satu hasil dari kerja akal adalah bagaimana manusia menyelesaikan konflik di antara sesama manusia. Dalam masyarakat yang teratur, setiap sengketa diselesaikan dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat, baik yang dikategorikan sebagai norma hukum positif maupun bukan.
Hasil kerja akal seperti diuraikan di atas dalam terminologi antropologi seringkali disebut dengan adat-istiadat. Melalui adat-istiadat tata kehidupan masyarakat suatu komunitas diatur. Salah satu aturan yang diterapkan adalah mengenai konflik-konflik yang terjadi pada masyarakat dan cara penyelesaiannya. Salah satu komunitas budaya yang menerapkan tata aturan penyelesaian konflik adalah masyarakat Aceh.

B. Penyelesaian Sengketa atau Konflik dalam Masyarakat
Dalam kehidupan keluarga Aceh, sebenarnya tidak ada dendam, karena sifat itu amat bertentangan dengan syari’at Islam (hukom ngon agama, lage zat ngon sifeuet). Masyarakat mengenal tueng bila yang dilakukan karena terpaksa demi untuk ”membela diri/bila droe” guna menegakkan kehormatan, agama, martabat keluarga, harta benda dan nyawa atas segala kerugian yang disebabkan oleh perbuatan menghina/melukai hati orang lain. Dalam hubungan ”harkat martabat/harga diri”, paduan nilai-nilai preventif dengan represif hampir berimbang dalam benak kultur masyarakat Aceh. Karena itu faktor equilibrium/penyeimbang yang disebut dengan damai sangat dominan dalam kehidupan masyarakat dan biasanya menjadi senjata pamungkas yang diterapkan oleh elit struktural Aceh sepanjang sejarah, bila timbul persengketaan (peranan lembaga-lembaga adat).
Nilai-nilai damai itu dilahirkan oleh kesepakatan bersama para pihak, yang dipimpin oleh ”Ureueng-ureueng patot/Ureueng Tuha Adat/Ulama”, bersama penguasa dalam masyarakat setempat menurut wilayahnya (dulu uleebalang, ulama, tokoh adat dan cerdik pandai lainnya) berupa berbagai kompensasi. Damai bermakna membangun kembali silaturrahmi yang telah hancur dan berantakan menjadi rukun damai dan tentram penuh persaudaraan (Ismail, 2008). Prinsip-prinsip damai itu tergambar dalam narit maja, sebagai berikut,
”Hai aneuk hai, beik lee ta mupakee”
”Masalah nyang rayeuk ta peu ubit
Nyang ubit ta peu gadoh ”
”Beu lee saba...,
(Hai anak hai, jangan banyak membuat keributan
Masalah yang besar kita kecilkan
Yang kecil kita hilangkan
Yang banyak sabar)
”Aman nanggroe sare, rakyat makmu rata,
Sifat seunukat sabe meusigo ngon ade raja”

(Aman negeri semua, rakyat makmur adil
Sifat takaran sama bersatu dengan keadilan raja)
Ta meu jroeh-jroeh sabee keu droe-droe,
Mak got nanggroe makmue beurata
Tajak bak troek, ta eu bak deuh,
Beik rugoe meuh sakeit hatee
(Berbaik-baikan dengan sesama
Biar bagus nanggroe makmur semua
Kalau pergi kita harus sampai kalau melihat harus tampak
Jangan rugi emas sakit hati)
Damai dalam adat Aceh sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam, karena dijiwai oleh al-Qur’an, yang dikenal melalui bacaaannya sejak kecil, di rumah, rangkang dan meunasah.
Di Aceh, terdapat suatu pranata adat yang disebut suloh, dan berfungsi untuk mendamaikan persengketaan dalam masyarakat. Jika perselisihan itu mengakibatkan keluar darah, sanksi menurut suloh dibebankan kepada orang yang dinyatakan bersalah. Sanksinya berupa dam, yaitu kenduri dengan menyembelih ayam, kambing, sapi atau kerbau, yang jumlah dan jenisnya tergantung kepada besar kecilnya akibat yang ditimbulkan dari suatu pelanggaran. Pada pelanggaran kecil, kenduri dalam penyelesaian persengketaan melalui lembaga suloh, cukup dengan minuman dan makanan yang disertai dengan ketan kuning.
Suloh itu, di berbagai daerah Aceh disebut dengan istilah lokal yang berbeda-beda. Di Kabupaten Aceh Selatan, disebut takanai, di Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Pidie, serta Kabupaten Aceh Barat, disebut sayam. Sedangkan di Kabupaten Aceh Besar, disebut dhiet/diyat. Ruang lingkup persengketaan yang diselesaikan melalui pranata suloh tersebut, meliputi semua pelanggaran norma-norma dalam masyarakat, yang secara umum meliputi pelanggaran yang menyebabkan kerugian, menyebabkan penyakit atau pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Sanksi adat tersebut dapat berakibat kerugian material dan penderitaan batin atau jatuhnya harkat dan martabat si pelanggar.
Intisari dari fungsi pranata suloh tersebut, dalam bahasa Aceh terangkum dalam istilah hukom peujroh, yaitu menetapkan yang terbaik bagi para pihak dan masyarakat begitu rupa, sehingga penyelesaiannya itu ditempuh melalui tahap-tahap yang bijaksana dan dirasakan adil oleh semua pihak (Djuned, 1998). Penyelenggaraan damai adat, ada dua mekanisme yang dilalui, yaitu:
• Pertama: prosesi penyelesaian nilai-nilai normatif (hukum adat), melalui forum Adat Musapat, musyawarah para tokoh adat/lembaga terkait dan pihak-pihak bersangkutan dalam hubungan penyelesaian sengketa/pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dengan menggunakan asas luka tasipat, darah ta sukat (kompensasi/kerugian). Buet nyan geit peureulee beu bagah, bek jeuet susah watee iblih teuka.
• Kedua: prosesi penyelesaian formal melalui sere-monial adat (publik) di depan umum, dengan inti acara: peusijuk, bermaafan, sayam (penyerahan kompensasi), nasehat dan do’a
• Kompilasi hukum adat (Adat Meukuta Alam tentang Kejahatan dan Pelanggaran) mencatat: Adapun bangun (diyat–dhiet) orang merdeka 100 unta dibayar kepada ahli waris yang mati. Jikalau sudah dibayar bangun yang mati kepada ahli warisnya, tiada boleh dibunuh orang yang menganiaya itu, karena sudah taubat dan berdamai (Sulaiman, 2002:121).
• Kebiasaan lain dalam masyarakat adalah penyelesaian secara sayam, yaitu hampir sama dengan diyat, dimana dasar pertimbangannya dilihat kepada kemampuan pihak pelaku (diat ditanggung bersama keluarga).
Bentuk aktivitas adat dan budaya yang melekat pada institusi adat meulangga, diyat, sayam dan suloh adalah peusijuek dan peumat jaroe. Kedua institusi ini memegang peranan penting dalam menjalin rasa persaudaraan (ukhuwah) antara pelaku pidana dengan korban atau ahli waris korban. Masyarakat Aceh anggap belum sempurna penyelesaian pidana melalui diyat, sayam dan suloh, bila tidak dibarengi dengan pesijuek dan peumat jaroe (Kurdi, 2005: 157).
Kata peusijuek barasal dari akar kata sijuek yang berarti dingin. Biasanya acara peusijuek (menepung tawari) dilakukan masyarakat Aceh sebagai bentuk syukur terhadap keselamatan dan kesuksesan meraih sesuatu, baik yang berkaitan dengan benda maupun orang (Sufi, 2002: 18). Oleh karena itu, peusijuek dalam masyarakat dilakukan ketika menempati tempat baru, seperti rumah ibadah, rumah baru, tempat kerja, menerima tamu, dan lain-lain. Peusijuek terhadap manusia umumnya dilakukan pada upacara perkawinan, khitan, orang hamil, terlepas dari bahaya, kembali dari rantau dan lain-lain. Menurut Husin (1970) semua pesijuek ini ditujukan sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah SWT, atas nikmat yang diberikan-Nya, sekaligus sebagai permohonan dan harapan untuk memperoleh keberkahan dan keselamatan hidup. Selain itu, peusijuek juga merupakan simbol adat untuk meminta maaf kepada sesama atas suatu kesalahan dan kekhilafan (Kurdi, 2005:158).
Dalam kaitan dengan penyelesaian kasus pidana setelah tercapai perdamaian, baik berupa pembunuhan maupun penganiayaan, peusijuek ditujukan untuk membina kembali hubungan yang retak akibat terjadinya tindak pidana. Persiapan peusijuek baik dalam konteks adat meulangga, diyat, sayam maupun suloh dilakukan oleh pelaku pelanggaran atau keluarganya, dan yang di-peusijuek adalah para pihak yang secara langsung dirugikan sebagai korban dalam pelanggaran tersebut. Pelaksanaan peusijuek dilakukan oleh imeum (teungku meunasah), kepala desa (keuchik) dan orang yang dihormati di desa.
Peumat jaroe (berjabat tangan untuk saling memaafkan) merupakan simbol perbaikan hubungan antara para pihak yang bermasalah, dengan harapan konflik antar mereka berakhir. Oleh karena itu, dalam prosesi peumat jaroe, pihak yang memfasilitasi seperti imeum, keuchik dan pemangku adat mengucapkan kata-kata khusus (Syafioeddin, 1982: 50) seperti, "Nyoe kaseb oh no dan bek na dendam le. Nyoe beujeuet keujalinan silaturrahmi, karena nyan ajaran agama geutanyoe (Masalah ini cukup di sini dan jangan diperpanjang lagi. Bersalaman ini diharapkan menjadi (awal) dari jalinan silaturrahmi antara anda berdua, sebab ini ajaran agama kita).
Upacara peumat jaroe disaksikan oleh banyak orang yang diundang pada acara kenduri dan peusijuek. Urutan kegiatan adat ini dimulai dengan peusijuek, peumat jaroe dan makan bersama (kenduri). Ketiga kegiatan ini merupakan rangkaian perjalanan panjang dari proses perdamaian untuk penyelesaian kasus pelanggaran dalam kerangka adat Aceh. Peran ulama dan pemangku adat sangat dominan pada acara pra kenduri, peusijuek dan peumat jaroe. Namun pasca peusijuek dan peumatjaroe peran mereka berkurang. Artinya, keluarga kedua belah pihak yang akan melanjutkan peran untuk menjalin hubungan silaturrahmi sesuai dengan pesan pada upacara peumat jaroe.
Bentuk silaturrahmi lanjutan lazimnya diawali dengan kunjungan keluarga kedua pihak pada hari khusus seperti hari meugang (hari memotong sapi atau ternak lain, sehari sebelum Hari Raya atau puasa Ramadan), Hari Raya, kenduri molod, dan lain-lain. Upaya keluarga pelaku pidana yang mengaku bersalah biasanya ditanggapi dengan baik sebagai bentuk manifestasi habblumminannas oleh keluarga korban, sesuai dengan pesan peumat jaroe.

C. Penutup
Tidak ada suatu masalah yang tidak selesai. Demikian juga tidak ada konflik yang tidak berakhir. Dalam narit maja Aceh dikatakan bahwa Pat ujeuen yang han pirang, pat prang yang han reuda (tidak ada hujan yang tidak berhenti dan tidak ada perang yang tidak berakhir. Untuk itu, masyarakat Aceh telah memiliki sebuah mekanisme dalam menyelesaikan konflik atau persengkatan yang terjadi. Mekanisme dijalankan oleh seluruh lapisan masyarakat sehingga konflik/persengketaan tidak menjadi dendam di masa yang akan dating.

Catatan Akhir
Suloh berasal dari bahasa Arab Sulh. Sulh secara etimologis berarti memutuskan atau menyelesaikan persengketaan atau mengadakan perdamaian. Istilah ditemukan dalam literatur fikih yang berkaitan dengan persoalan transaksi, perkawinan, peperangan, dan pemberontakan. Secara terminologis, sulh didefinisikan sebagai akad yang ditentukan untuk menyelesaikan pertengkaran (Saleh, 2007: 5).

2Sarakata Sultan Aceh Syamsul Alam tahun 1723 menyebutkan bahwa dhiet nyawong (diyat nyawa) kejahatan pembunuhan berat adalah 100 ekor unta dan yang ringan 80 ekor unta. Seratus onta dikonversikan pada masa itu ±2,956 kg emas murni. Sarakata itu menekankan untuk memakai hukum Allah (Islam) dan tidak boleh menggunakan hukum adat (Van Langen, 1888).


Daftar Pustaka
Ismail, Badruzzaman. 2006. Sistem Adat Budaya Aceh. Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Kurdi, Muliadi. 2005. Menelusuri Karakteristik Masyarakat Desa Pendekatan Sosiologi Budaya Dalam Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Pena.
Saleh, Fauzi. 2007. “Konsep Suluh dan Konstruksi Pendidikan Damai di IAIN Ar-Raniry: Kontribusi Kampus dalam Dakwah Perdamaian di Aceh”, dalam Tim Penulis IAIN Ar-Raniry Pergulatan Panjang Budaya Damai dalam Masyarakat Multikultural Kajian Edukasi, Syar’i, Historis, Filosofis, dan Media Masa. Banda Aceh: Yayasan Pena dan Ar-Raniry Press
Syafioeddin, M. Hisyam. 1982 Perdamian Adat dalam Masyarakat Aceh: Studi di Kabupaten Aceh Besar dan Pidie. Banda Aceh: PLPIIS.
Sufi, Rusdi. 2002 Adat Istiadat Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh.

Agama, Seni, dan Nilai Budaya Masyarakat Terasing Gunung Khong di Nagan Raya NAD

Oleh: Isa Sulaiman dan Agus Budi Wibowo

A. Pendahuluan
Masyarakat terasing Gunung Kong Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya bukanlah masyarakat terasing seperti yang digambarkan sebagai masyarakat terasing yang kita ketahui. Masyarakat terasing Gunung Kong merupakan sekelompok masyarakat yang masih tetap memelihara dan setia kepada tradisi miliki dan warisi secara turun temurun. Cikal bakal kelompok ini berasal dari T. Raja Tampok yang menolak kekuatan asing, pemerintah kolonial Belanda, yang menganeksasi Pantai Barat Aceh, terutama Seunagan pada awal abad ke-20.
Sejak akhir masa pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan T. Raja Tampok mampu merekrut dan memperbesar jumlah pengikutnya, baik orang Aceh maupun orang Gayo, untuk membentuk suatu komunitas ekslusif di pedalaman Krueng Tripa dan menutup diri dari pengaruh luar serta mengembangkan tradisi sendiri. Setelah T. Raja Tampok meninggal pada tahun 1962 kepemimpinan komunitas masyarakat ini diteruskan oleh anaknya T. Raja Ubit hingga tahun 1997.
Pada tahun 1978/1979 pemerintah daerah Aceh Barat dan Kanwil Departemen Sosial membangun pemukiman untuk mereka di Gunung Kong dalam upaya “membangun” komunitas ini agar lebih hidup “wajar” seperti masyarakat lainnya. Akan tetapi, kenyataan hanya sebagian saja di antara mereka yang beradaptasi dalam pemukiman baru dan sementara sebagian yang lain masih tetap bertahan dengan pola kehidupan yang eksklusif. Tulisan ini memaparkan salah satu aspek kehidupan dari masyarakat Gunung Kong tersebut.

B. Agama, Seni dan Nilai Budaya

Seperti masyarakat Aceh lainnya, komunitas terasing pengikut T.R. Tampok adalah pemeluk agama Islam. Hanya saja dalam pengamalan ajaran Islam terlihat lebih bersifat upacara dan bercampur baur dengan tradisi lokal. Ketika T.R. Tampok masih hidup, ia sendiri gemar melakukan pertapaan atau khalwat . Kurang diketahui apakah praktek khalwat yang ia amalkan itu sama seperti Tarekat Syatariah yang dikembangkan oleh Habib Muda 1899-1973 di Pulo Ie dan Peuleukong; Jeuram.1 Namun suatu hal yang jelas murid spritual T.R. Tampok yang pernah melakukan khalwat itu antara lain khatib Minim, Tgk. Blang Baro (Mak Diah), Tgk. Bileu Salam, Tgk. Suak, keuchik Uyam, Pang Ganto dan Pang Gumbak
Berbeda dengan orang tuanya, T.R. Ubit tidak meneruskan praktek khalwat atau menjalankan kehidupan zuhud. Ia lebih suka berganti-ganti istri di antara mana 2 telah meninggal dunia dan 3 orang minta cerai. Suatu hal yang jelas jumlah istrinya itu sudah melampui ketentuan syariat dalam Islam.
Pengajian agama dengan maksud mensosialisasikan ajaran Islam di kalangan komunitas itu hanya berlangsung secara teratur pada dasa warsa 1950-an dan 1960-an ketika komunitas itu berdiam di seuneubok Luar dan seuneubok dalam, Krueng Itam. Menurut informasi yang diperoleh pengajian agama dan pelaksanaan upacara agama waktu itu berada di tangan Tgk. Kali Hasan, khatib Munin, Tgk. Blang Baro dan Pang Ganto (Suhendang, 1990: 34 dan 49). sewaktu berada di seuneubok Alue Tgk. Suak, pelaksanaan ajaran agama berada di tangan Pang Meuse.
Kuburan Syekh Liwaul Hamdi (leluhur T.R. Tampok) yang terletak di Blang Tripa, kuburan T.R. tampak dan kuburan Cut Caya mereka percayai dihuni atau dijaga oleh harimau. Harimau tersebut, menurut mereka, tidak akan mengganggu seseorang yang berziarah ke situ jika dilakukan dengan niat bersih dan hati yang tulus. Kuburan tersebut juga menjadi salah satu objek melepas nazar di antara seseorang warga komunitas bersangkutan.
Di samping itu mereka percaya juga bahwa makhluk halus dalam wujud aulia, jin dan hantu berkeliaran dan bersemayam di berbagai tempat yang terdapat di sekitar mereka. Kesemua makhluk halus itu dapat memberi pertolongan dan juga malapetaka kepada manusia. Di lain pihak mereka juga percaya bahwa benda-benda tertentu seperti rante bui (cacing yang telah membatu didapati pada mulut babi) dapat memberikan kekuatan sakti kepada si pemakainya.
Kesadaran akan makhluk halus atau kekuatan sakti telah mendorong sebagian di antara mereka memperdalam pengetahuan ilmu gaib atau magis (euleume) dengan harapan yang bersangkutan mempunyai kemampuan magis. Mereka yang telah memiliki kemampuan magis itu dipercayai kebal dari senjata tajam dapat berubah rupa atau menghilang seketika, dapat mengobati sesuatu penyakit atau mengguna-gunai lawan dan musuh, serta mempunyai keahlian tertentu. Orang-orang seperti itu biasanya memperoleh kehormatan melalui panggilan pang (ksatria), dukun atau pawang. T.R. Tampok mereka percayai kebal dan dapat berubah rupa atau menghilang seketika. Para ksatria seperti Pang Bakar dan Pang Ganto mereka percayai kebal terhadap senjata tajam.
Di samping itu kesadaran akan makhluk halus atau kekuatan sakti telah mendorong mereka untuk mematuhi berbagai tabu atau pantangan. Hal demikian mereka lakukan baik di dalam rumah tangga seperti pantangan pada wanita hamil maupun sewaktu mencari rezeki (berburu, berladang dan menangkap ikan) atau sewaktu pergi memerangi musuh. Dalam mempersiapkan penyerangan terhadap tentara, mereka pergi bertapa di kuburan Habib Nagan terlebih dahulu.
Upacara ritual yang masih mereka lakukan adalah kenduri Maulid Nabi, Khitanan, Perkawinan, Kematian, Pembuatan rumah dan Kenduri Ladang. Penyelenggaraan upacara berlangsung sederhana di bawah pimpinan pemimpin spiritual mereka. Bentuk upacaranya adalah berdoa, bersaji dan memotong ayam.
Kesenian atau permainan yang paling digemari oleh komunitas terasing pengikut T.R. Tampok adalah pembacaan hikayat dan rapai. Pembacaan hikayat biasanya dilantunkan oleh pembaca hikayat yang mempunyai suara merdu. Hikayat yang paling populer di kalangan mereka umumnya berasal dari cerita-cerita lama seperti hikayat Tuan Ta Husin dan Hikayat Prang Sabil. Hikayat pertama berkenaan dengan peperangan yang berlangsung antara Jazid bin Muawiyah dengan Saidina Husin cucu Nabi yang berakhir gugurnya Saidina Husin.Hikayat kedua berisikan tentang pahala orang yang gugur dalam perang sabil melawan kafir. Hikayat-hikayat tersebut dengan sendirinya menanamkan kesadaran tentang imbalan yang diperoleh berjihad demi agama.
Dampak nyata peran hikayat dalam kehidupan mereka dapat diamati melalui nama putra-puti atau cucu dari T.R. Ubit. Nama-nama Gumbak Meuh, Meureudam Dewi, Tani Angsa, Sanadewa dan lain sebagainya adalah nama-nama aktor yang terdapat dalam cerita-cerita Hikayat Aceh Lama.
Rapai adalah permainan dabus yang dibarengi pertunjukan kekuatan magis dalam wujud kekebalan tubuh dari senjata tajam. Permainan ini diselenggarakan pada malam Jum'at atau bila ada seseorang warga komunitas menyelengarakan upacara khitanan atau perkawinan. Pemainnya terdiri atas 8-10 orang yang menabuhkan gendang (rapai) di bawah pimpinan seorang khalifah. Penabuh gendang memukul gendangnya sesuai dengan nada dan irama syair yang dilantunkan oleh khalifah. Sewaktu pukulan Rapai sedang bertalu-talu, para hadirin memasuki arena permainan untuk melakukan atraksi menikam diri, menyayat diri, membakar diri atau memukulkan benda keras kepada dirinya yang lagi berada dalam suasana ekstasi. Pendek kata permainan itu merupakan wahana uji ketangkasan dan kekebalan tubuh dari senjata tajam. Selama berada di Krueng Itam orang-orang yang pernah menjadi khalifah antara lain T. Hasan, Tgk. Lingga, Tgk. Salam dam K. Badai.
Dalam kehidupan sehari-hari komunitas terasing pengikut T.R. Tampok itu mengembangkan norma-norma atau kebiasaan yang harus ditaati oleh warganya. Hal tersebut terlihat jelas dalam hal busana, perhiasan, atau senjata. Setiap warga mereka, baik laki-laki maupun perempuan, berpakaian warna hitam dan tidak boleh memakai sandal atau sepatu. Kaum laki-laki memakai destar di kepala yang berfungsi sebagai topi, selimut, atau wadah pengangkut barang. Anak-anak kecil dicukur rambutnya dengan meninggalkan sedikit rambut seperti jambul di ubun-ubun (gumbak cudiek), sedangkan orang dewasa rambutnya dibiarkan panjang tanpa dipangkas. Tiap laki-laki yang telah remaja memakai senjata rencong dan pedang (beberapa orang di antara mereka senapan rampasan) sebagai ksatria.
Kebiasaan berpakaian atau berbusana seperti itu tetap dipelihara hingga akhir hayat T.R. Ubit. Pelanggarnya, jika diketahui, akan memperoleh hukuman keras dalam wujud makian, pukulan, dan malah ditetak oleh T.R. Ubit. Larangan atau pantangan memakai sandal atau sepatu dan topi malah juga diberlakukan oleh T.R. Tampok dan T.R. Ubit terhadap orang luar yang datang bertamu untuk menjumpai mereka.
Frekuensi kontak dengan dunia luar yang semakin meningkat sejak akhir dasa warsa tahun 1980-an menimbulkan dampak pula terhadap kelestarian adat di kalangan putra dan cucu T.R. Ubit. Kalangan anak laki-laki hanya mematuhi tata busana seperti yang telah ditetapkan bila sedang berhadapan dengan T.R. Ubit atau berada di seuneubok Alue Tgk Suak. Sebaliknya, bila berjalan-jalan ke Gunung Kong, pusat desa atau ke Pasar Alue Bilie mereka berpakaian seperti remaja atau anak muda lainnya. Pakaian pengganti itu biasanya dititipkan di rumah salah seorang kerabatnya di Blang Tripa.
Ketika T.R. Tampok masih hidup konon terdapat beberapa tata krama yang harus dipatuhi oleh para pengikutnya. Seorang pengikut yang datang menghadap atau audiensi dengannya diharuskan memberi salam dengan cara mengangkat kedua tangan di atas kepala. Seseorang yang turun ke bawah rumah atau ke sungai tidak boleh mengucapkan "turun" (tron), melainkan "turun ke bawah" (jak ujueb atau jak ubaroh) karena perkataan "turun" mengandung makna turun berdamai dengan musuh.

C. Penutup
Gambaran yang dipaparkan pada bagian di atas menunjukkan bagaimana sesungguhnya salah satu aspek kehidupan masyarakat terasing Gunung Kong, yang masih mereka pegang sebagai tradisi yang tetap dilestarikan. Akan tetapi, frekuensi hubungan yang semakin sering dengan dunia luar telah membawa dampak pada bergesernya sebagian dari nilai-nilai yang mereka anut.
Tentunya kondisi ini merupakan suatu yang wajar dalam hubungan antarbudaya dimana antara satu budaya dengan budaya lain akan saling mempengaruhi. Akan tetapi, hendaknya perubahan itu jangan menghilangkan jati diri dari sebuah komunitas.

Daftar Pustaka
M. Isa Sulaiman dan Agus Budi Wibowo. 1998. Aspek Historis Kultural Masyarakat Terasing Gunung Kong Aceh Barat. Banda Aceh, 1998: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.

Suhendang, Kustadi, et.al., 1990. Kehidupan Beragama di Kalangan Masyarakat Terasing Gunung Kong Aceh Barat. Banda Aceh, P3M IAIN Ar-Raniry.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa.2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Pekan Kebudayaan Aceh V dan Pelestarian Budaya

Oleh: Agus Budi Wibowo

Berabad-abad yang lalu, Aceh adalah sebuah nanggroe yang sangat terkenal sampai manca negara. Keharuman, kemegahan, dan keberanian menjadi decak kagum apabila orang bicara tentang Aceh. Aceh yang terletak di ujung paling barat Pulau Sumatera merupakan sebuah wilayah yang sangat strategis bagi setiap bangsa di dunia. Di sini lah terpampang Selat Malaka yang menjadi jalur masuk menuju Samudra Atlantik dari Samudra Hindia. Siapa pun yang dapat mengusai jalur ini dapat memetik keuntungan yang beranekaragam, baik secara ekonomi, politik, pertahanan keamanan, maupun sosial dan budaya sehingga dapat dijadikan modal yang sangat strategis. Tidak heran, banyak bangsa-bangsa di dunia ingin mengusainya.

Letak yang begitu strategis membawa Aceh kepada perkembangan yang begitu maju. Berbagai bangsa hadir di daerah ini. Aceh menjadi daerah cosmopolitan. Posisi dan aktivitas ini memperlihatkan keterbukaan Aceh terhadap dunia luar sehingga tidak jarang ada sebagian pendapat yang menyatakan bahwa ACEH disebut sebagai singkatan dari Arab, Cina, Eropa, dan Hindia. Keterbukaan ini pulalah yang kemudian Aceh juga menjadi ikon bagi perkembangan Islam di Nusantara karena Aceh merupakan asal muasal Islam berada di wilayah ini. Selain mempengaruhi dalam lingkungan internal di luar Aceh, Islam juga mempengaruhi gaya hidup masyarakat Aceh itu sendiri. Bagi ureueng Aceh, Islam telah mendarahdaging dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku, tutur kata, sikap, dijiwai oleh ajaran Islam. Agama dan adat menjadi pilar penting dalam penataan social “Adat bak Po Teumeurohom, hukom bak Syiah Kuala”. Pada bagian lain Aceh terkenal juga dengan keberaniannya dalam melawan setiap ketidakadilan, seperti dalam bentuk penjajahan yang dilakukan oleh para imperialis dan kolonialis. Patriotisme orang Aceh banyak diakui, baik orang Indonesia sendiri maupun orang luar. Lihatlah bagaimana Belanda merasa kewalahan menghadapi perlawanan rakyat Aceh. Semua lapisan masyarakat Aceh bersatu padu mengusir Belanda dari bumi Iskandar Muda. Tidak mengherankan apabila kemudian Aceh sering disebut Tanah Rencong.
Nilai-nilai kolektif merupakan nilai-nilai yang juga dijunjung oleh orang Aceh. Fenomena minum di warung kopi, saling mengunjung, kenduri, upacara-upacara yang melibatkan banyak orang merupakan manifestasi sifat itu. Dalam kumpulan semacam itu sosialisasi nilai keacehan dan identitas bersama dibangun, tumbuh melalui berbagai kesenian. Seudati, Saman, Dabus, dan berbagai tarian Aceh menegaskan orientasi kolektif tersebut.

Di era abad 21 dunia makin berkembang dengan cepat. Lompatan peradaban dan kebudayaan tidak mungkin dapat dihindari oleh seluruh bangsa di dunia. Saling pengaruh antar budaya sudah menjadi hal biasa di era abad digital ini. Globalisasi telah menghadirkan perbedaan-perbedaan yang meruntuhkan totalitas, kesatuan nilai dari kepercayaan. Budaya global ditandai oleh integrasi budaya local ke dalam suatu tatanan global, yang kemudian dapat diikuti oleh proses menghilangnya batas-batas kebudayaan, yang oleh Arjun Appadurai (1991) sebagai “deteritorialisasi”.
Akibatnya, pada suatu saat nanti kita akan susah mencari budaya “asli” dari sebuah bangsa. Bahkan bukan suatu keniscayaan bahwa jati diri kita pun akan hilang karena nilai-nilai budaya luar yang beragam menjadi basis dalam pembentukan sub-sub kebudayaan yang berdiri sendiri dengan kebebasan berekspresi. Globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan memunculkan praktik kehidupan yang beragam. Berbagai dimensi kehidupan mengalami redefinisi dan diferensiasi terjadi secara meluas yang menunjuk sifat relative suatu praktik social.

Hal ini pun dialami oleh masyarakat Indonesia pada umumnya dan Ureueng Aceh pada khususnya. Nilai-nilai budaya yang telah mentradisi sedikit demi sedikit dirasuki oleh nilai-nilai budaya yang datangnya dari luar. Walaupun nilai-nilai budaya luar ada yang baik untuk kemajuan, tetapi tidak sedikit pula yang membawa kita pada hal-hal yang tidak baik. Mungkin suatu saat nanti, kalau kita tidak hati-hati bersikap; kita belajar berbagai tarian Aceh di luar negeri, kita kehilangan sifat komunalisme (tidak ada lagi sifat gotong royong), matinya bahasa ibu (bahasa Aceh), dan sebagainya.

Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) V merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh masyarakat Aceh dalam rangka tetap melestarikan budaya seperti dikatakan dalam narit maja Aceh yang menyebut “Matee aneuk meupat jeurat, Gadoh adat pat tamita” (Mati anak tahu makamnya, Hilang adat dimana dicari). Apa yang ditampilkan dan dipamerkan dalam event ini adalah wujud dari gambaran seutuhnya budaya Aceh yang dijunjung dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Romantisme tentang kebesaran dan kemegahan budaya Aceh yang selama ini dirasakan, semoga menjadi penggugah dan motivasi untuk terus ditumbuhkembangkan sehingga ureueng Aceh merasa tetap hardabeni (rasa memiliki) terhadap budayanya. Sebaik-baik atau sehebat-hebatnya budaya luar masih lebih baik budaya sendiri.

Bagaimanapun system refensi tradisional yang berasal dari budaya local harus diperkuat bukan untuk meredam pengaruh budaya global, tetapi lebih untuk memanfaatkan sebaik mungkin pertemuan dengan budaya luar sebagai modal di dalam pengembangan budaya local. Budaya yang menyangkut substansi doktrin, nilai-nilai, dan pola tingkah laku dalam keberagaman merupakan “Culture modalities” yang menentukan bagaimana Aceh dengan perubahan-perubahannya dikonsepkan dan ditata. Pada saat pasar mengambil alih kekuasan, maka budaya beralih, yang dikhawatirkan tidak mampu lagi memberikan referensi bagi penataan social.
Namun demikian, kita juga tidak perlu takut dengan globalisasi. Jadikanlah globalisasi sebagai sebuah upaya memperkaya dan melengkapi kebudayaan local. Bahkan kehadiran budaya lain di tengah budaya local dapat menjadi unsure dinamisasi budaya local. Sesungguhnya permasalahan pokok terkait antara kebudayaan dan globalisasi itu bukan globalisasi, tetapi terletak pada eksistensi kebudayaan itu sendiri. Untuk itu, upaya-upaya pembakuan dan modernisasi yang mengarah paa proses pembunuhan tradisi lah yang harus dilawan.

Pekan Kebudayaan Aceh dapat menjadi event wisata, event budaya, event nasionalisme, event mencerminkan sikap religius. Marwah Pekan Kebudayaan Aceh yang adiluhung tetap harus terjaga. Selain itu, menjadi momentum bagi dilakukannya upaya-upaya revitalisasi dan reaktualisasi budaya daerah yang akan memperkuat jati diri dan kearifan local ureueng Aceh.

June 18, 2009

Banda Aceh Sebagai Pusat Perdagangan Di Selat Malaka Pada Abad 16-19

Oleh: Agus Budi Wibowo

A. Pendahuluan

Banda Aceh yang akan berulang tahun ke-804 pada tanggal 22 April nanti merupakan ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan usia yang demikian, Banda Aceh merupakan salah kota tua yang ada di Republik Indonesia. Tentunya, perjalanan panjang yang diwarnai dengan pasang-surut telah dilalui kota ini sesuai dengan perkembangan zamannya.
Aceh memiliki letak yang sangat strategis, yaitu berada di pintu gerbang masuk wilayah Indonesia bagian barat. Di daerah terdapat selat Malaka yang merupakan jalur pelayaran internasional. Semua kapal yang akan menuju Samudra Hindia akan melalui Selat Malaka, apalagi tatkala pelabuhan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Pedagang yang sebelumnya berniaga di Malaka menyingkir ke Banda Aceh. Dengan demikian, sangat strategis, baik dari segi kemiliteran maupun dari segi perekonomian. Oleh karena itu, tidak mengherankan Aceh menjadi daerah terbuka dan menjadi tempat persinggahan kapal-kapal berbagai bangsa dalam aktivitas perdagangan. Selain Aceh sendiri telah menjalin kerjasama perdagangan dengan berbagai daerah di Semenanjung Malaya dan India (Abdullah, 2007). Sekilas gambaran di atas menunjukkan posisi yang begitu penting yang dimiliki oleh Aceh sejak zaman dahulu. Dengan posisi yang strategis tersebut suatu yangg wajar bahwa dikatakan sejak zaman dahulu Aceh merupakan suatu daerah yang sangat ramai dalam dunia perdagangan di Selat Malaka.
Tulisan ini membahas tentang Banda Aceh sebagai pusat perdagangan di Selat Malaka pada abad 16-18, mencakup situasi pelabuhan Banda Aceh, pola perkampungan, struktur kota, pertahanan kota, kunjungan para pedagang/pelaut asing, peradilan, dan komoditi yang diperdagangkan.

B. Banda Aceh Sebagai Pusat Perdagangan
1. Pedagang Asing


Apabila kita ingin merunut sejarah keberadaan kota Banda Aceh atau kerajaan Aceh kita dapat melihat melalui catatan sejarah yang pernah dibuat oleh para pelaut yang pernah singgah di kota ini. Dalam catatan sejarah tertua dan yang pertama yang dibuat lebih banyak bercerita tentang mengenai kerajaan-kerajaan di Aceh karena tatkala catatan sejarah itu dibuat kota Banda Aceh belum terbentuk.
Catatan ini tertua dan pertama bersumber dari sejarah Cina. Dalam catatan sejarah Dinasti Liang (506-556 M), disebutkan adanya suatu kerajaan yang terletak di Sumatera bagian utara pada abad ke-6 yang dinamakan Po-li dan beragama Buddha. Pada abad ke-13 teks-teks Cina (Zhao Rugua dalam bukunya Zhufanzhi) menyebutkan Lanwuli (Lamuri) di pantai timur Aceh. Dan pada tahun 1282 M, diketahui bahwa raja Samudera Pasai mengirim dua orang (Sulaiman dan Shamsudin) utusan ke negeri Cina. Dalam sumber yang lain (Ying Yai Sheng Lan), Ma Huan dalam pelayarannya bersama dengan Laksamana Cheng Ho, mencatat dengan lengkap mengenai kota-kota di Aceh seperti, A-lu (Aru), Sumendala (Samudera), dan Lanwuli (Lamuri). Dalam catatan Dong Xi Yang Kao (penelitian laut-laut timur dan barat) yang dikarang oleh Zhang Xie pada tahun 1618, mencatat secara terperinci mengenai Aceh yang telah modern (http://www.acehinstitute.org, download Golden Horde, Hubungan Sejarah Aceh dan Tiongkok). ampaknya, catatan-catatan tersebut belum menyebut kota Banda Aceh.
Selanjutnya, selain kota-kota tersebut di atas, Kota Pasai dan Perlak pernah masuk dalam catatan karena kedua kota ini juga pernah disinggahi oleh Marco Polo (abad ke-13) dan Ibnu Batuta (abad ke-14) dalam perjalanannya ke Cina. Barang dagangan utama yang paling terkenal dari Pasai adalah lada yang banyak diekspor ke Cina. Sebaliknya barang-barang dari Cina seperti sutera, keramik, dan lain-lain diimpor ke Pasai. Pada abad ke-15, armada Cheng Ho juga mampir dalam pelayarannya ke Pasai dan memberikan lonceng besar yang tertanggal 1409 M (Cakra Donya) kepada raja Pasai. Selain pribumi di Kota Samudera Pasai banyak tinggal komunitas Cina. Mengenai keberadaan komunitas Cina di sana juga didapatkan dalam Hikayat Raja-Raja Pasai yang menyebutkan adanya “Kampung Cina”. Jadi jauh sebelum kerajaan Aceh Darussalam berdiri (abad ke-16), komunitas Cina telah berada di Aceh sejak abad ke-13. (http://www.acehinstitute.org, download Golden Horde, Hubungan Sejarah Aceh dan Tiongkok). Pada tahun 1524 Samudera Pasai ditaklukan oleh Sultan Ali Mughayat Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam, dan sejak itu Samudra Pasai pudar pamornya.
Pada abad 16-17 Teluk Aceh dapat dimasuki melalui tiga terusan atau alur sepaya berdekatan dari pulau-pulau yang dikelilingi gorong-gorong. Yang pertama disebut terusan “Surat” dipakai untuk menuju Gujarat, yang kedua disebut “Terusan Benggali” untuk menuju pantai timur India dan yang tidak bernama adalah dimaksud ke selat Malaka”.
Gambaran lingkungan alam Banda Aceh dan sekitarnya, berdasarkan catatan-catatan dari Eropa menunjukkan bahwa lingkungan alam kota Banda Aceh pada abad 16 dan 17 tidaklah “ramah” terhadap para pelaut asing (Eropa). Ketidakramahan ini dialami oleh mereka ketika mereka akan memasuki pantai di sekitar Banda Aceh. Menurut catatan Tome Pires (1513) tertulis bahwa ia mengalami suatu yang tidak menyenangkan ketika akan memasuki Banda Aceh. Selanjutnya, dikatakan bahwa walaupun kota Banda aceh dikeliling oleh Pulau Gomes (Ganispola, yang maksudnya adalah pulau dihadapan pelabuhan Aceh), tetapi tidaklah mudah untuk masuk ke Bandar sebab kalau tidak hati-hati kapal dapat kandas. Hal yang sama dialami oleh Graf (1640-1650) yang menulis catatan pengalamannya sebagai berikut,

“Kami berlayar menyusuri pantai barat Sumatra dan nyaris kandas pada karang-karang Pulo Weh, dan seandainya laut pada waktu tidak tinggi, rasa-rasanya kami tidak bakal selamat”.

Tidak jauh berbeda dengan dua pelaut yang disebutkan tersebut, Laksamana Perancis Beaulieu ketika hendak berlabuh di kota Banda Aceh memerlukan waktu delapan hari sebelum benar-benar berlabuh padahal untuk itu jaraknya hanya tinggal 4 mil dari tempat kapalnya berhenti dan menjatuhkan jangkarnya untuk berapung. Ketika hendak masuk ke Banda Aceh melalui sungai, ia masih disambut oleh angin yang bertiup dari haluan sampai ia kehilangan jangkar. Pada bulan April 1637 Peter Mundy juga dengan susah payah mencapai tempat berlabuh: “Wee gott into Achein, being hindred until now by currants and contrairy winds, getting little these 2 or 3 days” (Lombard, 1986: 55)..
Walaupun jalan menuju Banda Aceh tidak ramah dan menjadi benteng alam, namun kondisi kota Banda Aceh terletak di dataran rendah yang subur sekelilingnya dan dilingkari oleh perbukitan. Marsden melukiskan kota Banda Aceh pada saat dengan mengatakan bahwa, ...”the town is situated on plain in a wide valley formed like an amphiteatre by lofty range of hills, sedangkan Anderson mengatakan bahwa “The country above the town is highly cultivated and abounds with small villages” (Lombard, 1986).
Setelah Sultan Ali Mughayatsyah berkuasa di Kerajaan Aceh, ia membangun basis kekuasaannya di kota Banda Aceh dan melibatkan kota ini langsung ke dalam arus perniagaan internasional. Walaupun tidak sesibuk Pidie dan Pasai, tetapi kapal yang digunakan dan komoditi yang diperdagangkan cukup banyak dan melimpah. Mengenai hal ini Tome Pires pernah mengatakan bahwa

“Sultan terlibat dalam perniagaan dengan memiliki kapal (lanchara) sebanyak 40 buah. Komoditi yang diperdagangkan adalah berupa bahan makanan, beras, dan rempah-rempah. Walaupun daerah hiterland Banda Aceh telah menghasilkan lada, akan tetapi produksinya lebih rendah dari apa yang dihasilkan di daerah Pidie”.

Banda Aceh menjadi semakin berkembang ketika sultan Aceh berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan otonom yang telah ada di kedua sisi pantai pantai Sumatra, yaitu Daya, Singkel, Barus, Tiku, Pariaman, Lamuri, Pidie, Pasei, Peureulak, Aru, Deli Siak, bahkan Johor atau Pahang. Daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang kaya sumber daya komoditi pertanian/hutan dan bahan mineral. Karena potensi daerah pedalaman yang terbatas untuk menunjang kebutuhan ibukota kerajaan dan sebagai sumber pemasukan dan pembiayaan istana, maka sultan kemudian memberlakukan serangkaian kebijakan yang bersifat pembatasan daerah takluk dengan dunia keluar dan sekaligus memaksa kapal-kapal asing untuk berhubungan dengan ibukota (Banda Aceh).
Kebijakan tersebut membawa dampak bahwa Bandar Aceh Darusssalam (Banda Aceh-sekarang) tumbuh menjadi kota perniagaan yang ramai. Banyak pedagang asing singgah dan menetap, diantaranya dari Arab, Persia, Pegu, Gujarat, Jawa, Turki, Bengali, Tionghoa, Siam, Eropa dan lain-lain. Kota ini tumbuh menjadi sebuah kota kosmopolitan yang berkarakter multietnis. John Davis of Sandridge, yang bekerja untuk sebuah kapal Belanda di bawah pimpinan de Houtman bersaudara (Cornelis dan Frederick) berada di Aceh pada 1598 (ketika Aceh berada di bawah Sultan Alaudin Riayat Syah Al-Mukammil (1589-1604)) menulis kesan-kesannya tentang keberadaan orang asing dan perdagangan di Aceh dengan mengatakan bahwa,

“The one and twentieth (June 1599) we anchored in the Bay of Achin, in twelve fathome. Being here, the King sent hos Officers to measure the length and breadth of our ships, to take the number of our Men and Ordnance, which they did. With those Officers, our Baase (Dutch baas, boss) sent two of his people with Present to the King, a Looking-glasse, a Drinking-glasse, and Bracelet of Corall. The one and twentieth, our men came aboord, whome the King had apparelled after his Countrey manner, in white Calicut cloth: they brought newes of peace, Welcome and plenty of Scicery. We found foure Banks riding the Bay, three of Arabia, and of Pegu, that came to lade Pepper. Here was also a Portugall, named Don Alfonso Vincent, that came with foure Barkes from Malacca, to prevent our trade (Ali, 2008: 4)

(Tanggal 21 (Juni 1599) kami bersauh di pantai Aceh, sedalam dua belas depa. Raja mengirim pejabatnya untuk mengukur panjang dan luasnya kapal-kapal kami, menghitung jumlah anggota kami dan peralatan militer. Bersama dengan pejabat-pejabat itu, pemimpin kami mengirim dua anggotannya dengan (membawa) hadiah-hadiah kepada raja, sebuah cermin dan gelas, serta gelang batu. Pada tanggal 21 kami mendarat dimana raja telah berdandan khas daerah dalam pakaian putih Kalikut: mereka menyampaikan berita perdamaian, keramah-tamahan, dan sekian banyak rempah-rempah. Kami melihat empat barks (kapal, tongkang ?) yang berlayar di pantai, tiga milik orang Arab dan satunya lagi milik orang Pegu, yang datang untuk memuat lada. Juga orang Portugas, bernama Don Alfonso Vincent, yang datang dengan empat barks dari Malaka, untuk merintangi perdagangan kami).

Tiga tahun kemudian Sir James Lancaster (Rusdi dan Wibowo, 2004) juga mengunjungi kota ini, melukiskan kesan-kesannya dengan mengatakan bahwa,

“... in the roade of Achem, some two miles of the city; where we found eighteen saile of shippes of divers nations, some goserats, some of Benggala some of Calicut (called Malabares), some Pegues, and some Patanyes, which came to trade there”

(“... dalam perjalanan menuju Aceh, kira-kira dua mil dari kota, kita melihat 18 pelaut dari kapal-kapal niaga dari bermacam-macam bangsa, beberapa dari Gujarat, beberapa dari Benggala, beberapa dari Kalikut (disebut juga Malabar), beberapa dari Pegue, beberapa dari Pataya, yang datang untuk berdagang di sana)”.

Sedangkan dalam Hikayat Malem Dagang, kondisi Banda Aceh digambar dengan kata-kata sebagai berikut,

“Bak masa nyan (Iskandar Muda) rame pi that, peu nyan hajat dum halena. Nanggroe pi luah, banda pi rame han meu ne/ne keunan teuka. Padum-padum kapay di Kleng jime bakong beusoe meulila. Padum kapay Meulabari ngon Geujarati ngon Beunggala... Padum kapay na yang me tjawan, krikay, dulang, pingan raya. Padum-padum kapay di Keudah,- idja mirah meuneukat jiba, tunong baroh, timu barat, dempeu alat pi na jiba. Di Atjeh kon troih u barat, meuceuhu that po meukuta”.

Pasar adalah sebuah tempat bertransaksi dan salah satu pusat keramaian. Adanya pasar dapat menarik bangsa-bangsa lain untuk datang ke Aceh. Apalagi Malaka sebagai salah satu pusat perdagangan di selat Malaka dikuasai oleh Portugis. Banda Aceh yang saat itu menggantikan posisi Malaka menjadi semakin ramai. Menurut Dampier, kota itu rumahnya 7 atau 8000. “Achin kelilingnya kira-kira 2 mil”, kata de Graff. Pasar, seperti yang disebut Davis, berupa lapangan besar yang setiap hari menjadi pasar segala macam barang dagangan. Yang dilihat Graff hanya tinggal dua lapangan besar untuk mengadakan pasar, yang satu “di tengah-tengah kota” dan yang lain “di ujung atas” (hulu sungai ?). Di tempat itulah para pedagang, baik yang muslim maupun yang menyembah berhala, dengan segala macam dagangannya. Peter Mundy memberitakan bahwa ada yang menjual telur penyu rebus. Warung mereka masing-masing dipungut bea sekeping emas sebulan untuk orang kaya Sri Maharaja (Ambary, 1988: 91-92). Dalam hal ini, John Davis (Ali, 2008) juga menggambarkan keadaan kota Banda Aceh dengan mengatakan,

“the citie of Achin, if it may be so called, is very spacious, built in wood, so that we could not see a house till we were upon it. Neither could we go into any place, but wee found houses, and great councourse of people: so that I thinke the town spreadeth over the whole land... I saw three great market places, which are everdy frequented as faires with all kindes of merchandize to sell”.

(Kota Aceh, jika boleh disebutkan kota, yang dibangun di tengah hutan, sangat luas, hingga kita tak bisa melihat rumah kecuali telah berada di sana. Kemana pun pergi, kita temukan rumah-rumah dan kerumunan orang hingga saya kira kota tersebut meluas ke seluruh negeri... saya melihat tiga pasar besar yang dikunjungi orang setiap hari dengan seluruh jenis barang dagangan untuk dijual).

Selain pasar, pusat kegiatan umum yang menghidupkan denyut jantung kota adalah masjid. Pada masa Iskandar Muda berkuasa, masjid selalu dibangun dalam jumlah besar. Bahkan Masjid Bait ur Rahman pernah dipugar dan diperbesar pada tahun 1614. Akan tetapi, sangat disayangkan, pada masa pemerintahan Sultan Nurul Alam (1675-1678) terbakar. Namun demikian, sebelumnya Peter Mundi (1673) pernah membuat dokumentasi bagaimana bentuk masjid tersebut.
Untuk menunjang aktivitas perdagangan, Banda Aceh pada zamannya, sultan selalu memperhatikan pekerjaan bangunan kota dan berusaha supaya jumlahnya cukup banyak untuk menampung pendatang baru yang tertarik oleh pengembangan kota besar. Menurut Beaulieu, Sultanlah yang memberi pengarahan, dia sendiri yang menentukan bagaimana contoh gedung yang hanya mempunyai satu lantai dan dindingnya dari anyaman. Ia juga mengawasi supaya pembangunannya berlangsung secepat-cepatnya, dan budak-budak raja dipakainya dalam pekerjaan itu sibuk siang malam, “tanpa menyia-nyiakan terang cahaya bulan”.
Akan tetapi, ada keluhan tentang masalah rumah ini bagi pelaut/penjelajah asing, yaitu harga tanah dan bangunan mahal. “The ground and house cost almost one hundred pound starling”, kata James Lancaster. Sedangkan Beaulieu mempunyai pengalaman saat mencari rumah sewaan yang begitu tinggi meskipun menurutnya sudah menawar dengan harga tinggi pula,

“sesudah makan kami bersama-sama melihat rumah dekat rumah orang Inggris yang cukup nyaman. Tetapi, kapten pengawal, pemiliknya, minta seratus real setiap bulan; harga itu menurut saya terlalu tinggi, maka saya tak jadi menyewanya, meskipun saya sudah menawarkan 40 real sebulan”.

Walaupun mahal, rumah-rumah itu sendiri sedikit sekali yang dibangun dengan batu. Graff memberi gambaran bahwa rumah-rumah dari alang-alang dan dari bambu... tetapi semuanya terdiri di atas tiang bambu setinggi 4 atau bahkan sampai 6 kaki (1,20 m – 1,80 m) di atas tanah larena pasang purnama dan sungai hampir setiap tahun menggenangi kota sehingga orang terpaksa naik perahu dari rumah ke satu rumah lainnya (Lombard, 1986).
Untuk mendukung Banda Aceh sebagai pusat perdagangan kota Banda Aceh pada abad 16-17 tampak pula pengelompokkan kampung berdasarkan pada asal pedagang dan bangsa asing. Menurut catatan Davis di kota ini terdapat Kampung Portugis, Gujarat, Arab, Benggali, Pegu, “here are many of China that use trade, and have their particular towne, so have the Portugais, the Gusarates, the Arabinas, and those of Benggala and Pegu”.. Bahkan menurut Graff mereka yang menyembah berhala seperti Hindu mempunyai meru-meru mereka sendiri. Kampung Cina dan Eropa malah berhimpitan dan ada kampung-kampung lain yang rumahnya lebih jauh letaknya. Pada umumnya rumah terbuat dari kayu, bambu dengan atap alang-alang.
Selain perkampungan, tata ruang kota, fasilitas kota, di Banda Aceh juga telah ditetapkan peradilan yang mengatur tata tertib kehidupan masyarakat. Menurut Beaulieu, pada masa Sultan Iskandar Muda terdapat 4 peradilan, yaitu perdata, pidana, agama, dan niaga. Pengkhususan yang sedemikian tidak mengherankan dalam masyarakat sedemikian beragam dan kosmopolit. Peradilan perdata dilaksanakan setiap pagi, kecuali hari Jumat, di tempat balai peradilan yang letaknya dekat masjid Baiturrahman. Peradilan pidana juga bertempat di balai dekat balai perdata dan peradilan agama melaksanakan perkara-perkara khusus dengan tujuan menegakkan akhlak Islam bagi masyarakat Aceh, terutama dalam hal-hal berjudi, minuman keras, zinah dan sebagainya. Peradilan niaga dilakukan di balai yang terletak di dekat pelabuhan untuk menyelesaikan perselisihan antara pedagang, baik pedagang asing maupun pribumi. Peradilan niaga diketuai oleh Orang Kaya Laksamana yang kedudukannya sama dengan “walikota” (Lombard, 1986).
Kondisi alam yang tidak ramah bagi pelaut ketika akan memasuki Banda Aceh dapat menjadi benteng pertahanan alam yang tidak mudah masuk ke kota dari arah laut. Kesukaran-kesukaran tersebut merupakan jawaban mengapa kota tidak dilindungi oleh tembok kota untuk pertahanan dan secara sadar orang Aceh pun merasa tidak perlu tembok tersebut. Akan tetapi, gajah-gajah tempurlah sesungguhnya benteng kota (Lombard, 1986). Jumlah binatang ini pada masa jaya kerajaan Aceh sekitar 900 ekor. Selain itu, kerajaan Aceh juga memiliki kapal layar dan kapal galley. Di antara kapal-kapal tersebut mempunyai ukuran yang melebihi ukuran kapal yang dibangun oleh orang Eropa. Sebagai penunjang pertempuran, kerajaan Aceh memiliki meriam. Menurut Beaulieu pernah mencatat di Banda Aceh terdapat 2000 pucuk meriam, terdiri atas 1200 meriam berkaliber sedang dan 800 meriam berkaliber besar (Sufi, 1988: 145-146).

2. Komoditi Perdagangan
Sebagai pelabuhan yang cukup ramai dalam perdagangan, Komoditi yang diperdagangkan pun beranekaragam. Menurut sumber Adat Aceh (Lombard, 1986: 148) Aceh adalah pengekspor gajah dan kuda. Selain itu, belerang, kayu cendana, damar, sari dan wangi-wangian, lada, bunga lawang, gading, tali temali dari sabut kelapa, dan sutera merupakan komoditi yang juga diekspor oleh Aceh ke mancanegara.
Di samping mengambil posisi sebagai enterport komoditi ekspor, seperti disebutkan kota Banda aceh juga menjadi tempat mengimpor berbagai kebutuhan penduduk. Komoditi yang didatangkan mencakup barang-barang, seperti beras, tembakau, opium, kain, mesiu, dan tembikar.

D. Penutup
Seperangkat informasi yang telah dibahas pada bagian tersebut di atas menunjukkan bahwa Banda Aceh merupakan sebuah kota yang menjadi pusat perdagangan di kawasan Selat Malaka. Selain itu, hal ini juga memberi makna bahwa kota ini telah menarik perhatian dunia luar dengan ekonomi dan perdagangan yang dikendalikan Aceh. Menjadi penting juga bahwa Banda Aceh kemudian berkembang menjadi sebuah kota yang kosmopolitan.
Yang menjadi pertanyaan kemudian, mengapa Banda Aceh yang dulu sangat mempunyai kedudukan dan peran strategis lama ke lamaan meredup hingga Banda Aceh mengalami kemunduran yang begitu mendalam. Tentu hal ini menjadi sebuah pelajaran yang menarik bagi kita semua.
Pasca gempa dan tsunami Banda Aceh menjadi pusat perhatian dunia. Banda Aceh menjadi kunjungan orang asing dari berbagai negara. Kepedulian terhadap penderitaan yang dialami oleh masyarakat Aceh menjadikan hilangnya perbedaan berbagai dikotomi, baik ras maupun bangsa. Mereka berbaur menjadi satu tekad membangun Aceh kembali. Kehadiran mereka, menjadikan Banda Aceh seperti kota kosmopolitan kembali, walau dalam bentuk lain. Moment ini hendaknya menjadi suatu awal kebangkitan pembangunan kembali Banda Aceh pasca konflik dan gempa/tsunami menuju kejayaan yang pernah dialaminya. Karena kota bukanlah organisme. Mereka tidak tumbuh atau berubah karena mereka sendiri. Kota tidak berkembang biak atau memperbaiki dirinya sendiri. Tujuan dan keinginan-keinginan manusia yang menjadikan sebuah kota terbentuk.

Daftar Pustaka

A. Hasmjmy.1988. “Sulthan Alaidin Johan Syah Pendiri Banda Aceh Darussalam”, dalam Kota Banda Aceh Hampir Seribu Tahun. (Banda Aceh: Pemerintah Kota Madya Daerah Tingkat II Banda Aceh.
Irwan Abdullah. 2007. “Potret Retak Komunalisme Aceh”. Makalah Bahan Perbincangan Masa Depan Aceh di Aceh Institute tanggal 8 Juni.
http://www.acehinstitute.org, download Golden Horde, Hubungan Sejarah Aceh dan Tiongkok
Denys Lombard.1986. Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Balai Pustaka.
Fachry Ali. 2009. “Satu Aceh Beragam Sejarah Sebuah Refleksi Pasca Konflik”. Makalah yang disampaikan dalam Seminar Kebudayaan Aceh dalam Rangka HUT Ke-20 Serambi Indonesia di Aula Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Banda Aceh tanggal 23 Maret.
Sufi, Rusdi dan Agus Budi Wibowo.2004. Jelajah Aceh Guide Book to Aceh. Banda Aceh: Dinas Pariwisata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Hasan Muarif Ambary. 1988. “Banda Aceh sebagai Pusat Kebudayaan dan Tamaddun”, dalam Kota Banda Aceh Hampir Seribu Tahun. Banda Aceh: Pemerintah Kota Madya Daerah Tingkat II Banda Aceh.
Rusdi Sufi. 1988. “Peran Banda Aceh sebagai Pusat Perlawanan Kolonialisme dan Imperialisme di Kawasan Selat Malaka. Dalam dalam Kota Banda Aceh Hampir Seribu Tahun. Banda Aceh, Pemerintah Kota Madya Daerah Tingkat II Banda Aceh.