February 13, 2009

Pemberdayaan Perempuan

Oleh: Agus Budi Wibowo

Dengan mengerutkan dahi penuh keheranan saya perhatikan seorang laki-laki (bapak-bapak) sedang antri di sebuah counter supermarket Banda Aceh membayar beberapa perlengkapan wanita, seperti underwear, dan beberapa kebutuhan rumah tangga lainnya. Kalau saja ia membeli barang-barang perlengkapan pria mungkin tidak menarik perhatian namun karena yang dibeli perlengkapan wanita dan kebutuhan rumah tangga lainnya, maka hal ini menjadi menarik perhatian.
Pada suatu petang ketika saya membeli beberapa keperluan sehari-hari di Pasar Peunayong, saya perhatikan seorang bapak berjalan sendiri sambil menjinjing sekeranjang bahan keperluan sehari-hari dan rumah tangga, seperti ikan, sayur mayur, dan sebagainya. Kedua kalinya dahi ini berkerut lagi.
Pada bagian lain, suatu pagi ketika saya jalan-jalan berkeliling kota Banda Aceh sambil menghirup udara segar pagi hari saya melihat beberapa bapak bergerombol sedang asyik duduk menikmati secangkir kopi dan beberapa panganan ditemani acara Nuansa Pagi RCTI. Padahal di tempat lain, mungkin istrinya sedang sibuk mengurusi anak-anaknya yang sedang rewel atau mengurusi kegiatan rumah tangga lainnya. Seakan-akan tanpa dosa, ia meninggalkan istrinya yang kerepotan mengurus rumah tangga di rumah.
Fenomena-fenomena ini nampaknya sudah menjadi bagian keseharian masyarakat Aceh dan mengkristal dalam budaya mereka. Mengapa hal itu bisa terjadi ? Apakah seorang melakukan tindakan tersebut dilandasi oleh rasa kasih sayangnya terhadap istri, suatu tuntutan sosial budaya, atau kedua-duanya ?
Kalau keinginan berbelanja tersebut dilakukan atas dasar rasa kasih sayang tidaklah menarik untuk dikaji. Karena memang sudah seharusnyalah seorang suami menyayangi dan mencintai istrinya. Namun apabila hal ini dilakukan seorang suami atas dasar tuntutan sosial budaya akan menjadi suatu kajian yang menarik dan menggelitik. Jangan-jangan, aktivitas ini dilakukan karena jaring-jaring kekuasaan laki-laki di Aceh begitu besar sehingga semua aktivitas rumah tangga pun dipegang. Padahal aktivitas seperti ini biasanya sudah menjadi menu keseharian perempuan.

Jaring-jaring Kekuasaan Laki-laki.
Tampaknya masih diperlukan suatu uraian tentang kedudukan dan peran perempuan dalam masyarakat. Uraian tentang perempuan masih selalu menarik perhatian, lebih-lebih kenyataannya sampai saat ini masih ada pro-kontra tentang pembicaraan masalah wacana perempuan.
Mengutip apa yang dikatakan oleh John Naisbitt dan Patricia Abudene dalam bukunya Megatrends 2000 bahwa pada dasa warsa 1990-an dan menjelang memasuki abad ke 21 merupakan dasa warsa yang sangat penting bagi kehidupan perempuan. Peranan perempuan akan semakin menonjol dan dibutuhkan, baik sebagai sumber daya manusia, pemikir, maupun sebagai pengambil keputusan, turut meningkatkan perhatian masyarakat terhadap masalah tersebut.
Walaupun menurut ajaran agama Islam jelas-jelas mengajarkan bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan yang sama. Kedua-duanya mendapat tugas dan kewajiban yang sama terhadap Tuhan penciptanya, terhadap sesama manusia dalam masyarakat, serta sama-sama mendapat hak dan wewenang sesuai dengan amal perbuatan dan kedudukannya. Namun apa yang kita lihat selama berabad-abad ?
Telah terjadi diskriminasi gender antara laki-laki dan perempuan, baik dalam keluarga, masyarakat, maupun negara, pada berbagai aspek kehidupan. Konstruksi sosial-budaya yang diciptakan oleh manusia telah menelorkan suatu teori yang berkaitan dengan pembagian kerja/peran secara seksual. Perempuan tidak dipadang lagi sebagai makhluk yang sama derajatnya dengan laki-laki. Maka muncullah dua teori besar teori nature dan teori nurture/kebudayaan. Munculnya kedua teori ini dipandang sebagai pembenaran terhadap keadaan kehidupan dan keberadaan perempuan dalam masyarakat. Dan, dua teori besar ini menghasilkan pandangan yang berbeda terhadap kodrat perempuan. Masing-masing pandangan mempunyai argumentasi yang nalar, dan bisa saja orang menentukan teori mana yang dianggap benar menurut keyakinannya sendiri.
Pemberian "citra baku" oleh masyarakat bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah-lembut, terlalu berperasaan, dan perlu diperhatikan dengan hati-hati seringkali menimbulkan streotip bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah. Berdasarkan "citra baku" ini, ditambah pula dengan berbagai rekayasa sosial, perempuan ditempatkan pada posisi yang subordinatif, yakni sebagai pihak yang dikuasai. Kaum laki-laki yang menyibukkan dirinya dengan kekuasaan dan kompetisi pasar membutuhkan juga dukungan emosional, pengurus rumah tangga, serta pasangan seksual. Konsekuensinya, perempuan diharuskan untuk memenuhi peran tersebut. Terjadilah pembagian tugas "di dalam" keluarga (domestic) dan "di luar" keluarga (public). Perempuan mendapatkan peran domestik dan laki-laki mendapatkan peran publik.
Pembagian peran ini sangat besar pengaruhnya terhadap keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan, utamanya keputusan-keputusan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Dalam menentukan tatanan kehidupan bermasyarakat dan dalam memecahkan masalah sosial kemasyarakatan dominasi masih ada pada kaum laki-laki. Perempuan jarang, bahkan tidak pernah diajak bermusyawarah dalam mengambil keputusan hal-hal semacam tersebut di atas.
Adrianne Rich berpendapat bahwa pembagian peran secara seksual dan subordinasi perempuan memiliki asal muasal sejak masa lampau dan pra-kapitalis, yakni pada perasaan iri, ter- pesona, dan ketakutan laki-laki terhadap kapasitas perempuan untuk menciptakan hidup. Selanjutnya, ia berpendapat bahwa kecemburuan ini akhirnya mengarah kepada pengingkaran aspek-aspek lain dari kreativitas perempuan (Budiman, 1992). Dengan demikian, perempuan menjadi semakin terkungkung pada alam ketidakberdayaan.
Di sini saya tidak akan mempersoalkan teori mana yang lebih mendekati kebenaran. Yang jelas, kenyataanya telah menunjukkan bahwa ketimpangan peran secara seksual memang terdapat di dalam masyarakat. Tidak jauh berbeda dengan pengamatan saya, Mustafa Ismail dan Irawati Idrus (Serambi Indonesia, 1996) telah menunjukkan ketimpangan posisi peran dan posisi perempuan tidak saja terjadi dalam tradisi sosial namun juga dalam kondisi nyata masyarakat. Untuk bagian Aceh tertentu ada suatu realitas sosial tertentu dimana istri giat bekerja sedang laki-laki asyik dengan aktivitasnya. Begitu pun dengan bentuk-bentuk penindasan yang berupa fisik atau non-fisik. Dalam keluarga pun ada diskriminasi antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Orang tua lebih memprioritaskan pendidikan anak laki-laki ketimbang anak perempuan. Oleh karenanya diperlukan suatu kajian mendalam untuk usaha-usaha pemberdayaan perempuan.

Pemberdayaan Perempuan
Pada tahun 1879 lahirlah seorang perempuan dari kalangan bangsawan di Jepara. Kelahiran ini menjadi istimewa karena perempuan ini kemudian menjadi salah seorang pelopor pemberdayaan perempuan. Perempuan ini berusaha mendobrak tradisi puritan yang telah ada. Saat itu, perempuan hanya dianggap sebagai kanca wingking. Perempuan yang bercita-cita demikian, kemudian kita kenal dengan nama R. A. Kartini. Selain R. A. Kartini masih banyak perempuan lain di belahan Nusantara yang mencoba mendobrak tradisi puritan tersebut, seperti Dewi Sartika di daerah Sunda, Maria Walanda Maramis di Manado, Martha Christina di Maluku. Sedangkan di daerah Minangkabau diketemukan tokoh Rangkayo Rasuna Said. Bagaimana dengan Aceh ?
Aceh yang merupakan salah satu daerah yang mengalami pertempuran terlama, terdahsyat, termahal dibanding di daerah lain di Indonesia banyak menyimpan tokoh-toloh pemberdayaan perempuan. Di antara berbagai aktivitas, politik dan militer merupakan wilayah kekuasaan yang secara tradisi biasa dimasuki laki-laki dimasuki oleh para perempuan Aceh. Kalau selama ini ada mitos bahwa aktivitas politik dan militer hanya menjadi kegiatan kaum laki-laki, maka hal itu menjadi disangkal, dilemahkan, atau setidaknya dipertanyakan kembali. Keberanian dan keheroikan Cut Nyak Dhin, Malahayati, Cut Meutia, dan lain-lain merupakan contoh tokoh pemberdayaan perempuan di Aceh. Keberadaan mereka tentu saja membawa aura optimisme bagi perempuan untuk memasuki wilayah kekuasaan yang secara tradisi dimasuki oleh laki-laki sebelumnya.
Namun demikian, memang tidak mudah bagi perempuan Aceh khususnya dan Indonesia umumnya untuk memasuki wilayah-wilayah yang secara tradisi biasa dimasuki oleh laki-laki sebelumnya. Namun hal itu bukan suatu kemustahilan. Mengapa tidak ? Hal itu dapat menjadi suatu kenyataan apabila ada suatu tindakan yang nyata dan berkesinambungan. Tidak hanya didasari oleh sikap reaksioner semata dan tindakan ritual bahwa perempuan dapat berdiri sejajar dengan laki-laki.
Pengakuan legal dan politik dari pemerintah dan perubahan kultural amat diperlukan untuk menjawab masalah ini. Pengakuan legal dan politik diperlukan untuk melindungi hak-hak perempuan di mata hukum dan politik. Sedangkan perubahan kultural diperlukan agar setiap langkah pemberdayaan perempuan berjalan tanpa suatu beban kultural. Disadari atau tidak, beban kultural kadang-kadang masih begitu kuat menghimpit mereka yang terekspresikan dalam bentuk humor, ejekan, gosip, dan sebagainya.
Sejak Pelita III dan berdasarkan Tap MPR tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) perempuan Indonesia mempunyai hak dan kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan pria dalam pembangunan, bukan saja sebagai objek tetapi juga sebagai subjek. Wujud pelaksanaan GBHN ini, maka diangkatlah seorang menteri muda urusan peranan wanita dan kemudian ditingkatkan menjadi menteri negara urusan peranan wanita. Dan, pada beberapa tahun belakangan ini, pada beberapa universitas telah dibentuk pusat studi wanita. Yang bertugas mengkaji dan menganalisis persoalan dan kebutuhan perempuan.
Sebagai tindak lanjut pelaksanaan GBHN ini pemerintah harus juga memperlihatkan komitmennya untuk menjadikan perempuan sebagai mitra pembangunan dengan memberlakukan undang-undang upah yang sama untuk pekerjaan yang sama dengan nilai yang sama, undang-undang yang memberlakukan persamaan perempuan dalam perkawinan, ide cuti hamil, dan sebagainya. Pemberlakuan hukum yang sama antara laki-laki dengan perempuan tidak hanya dikalangan pemerintah, tetapi hendaknya diberlakukan pula pada kalangan swasta. Pada kalangan swasta hendaknya memberlakukan kesempatan kerja sama, upah yang sama, dan lain-lain.
Walaupun secara legalitas dan politis pemerintah telah mengakui persamaan derajat antara perempuan dan laki-laki, namun masih ada kendala yang menghadang. Oleh karena itu, asas legalitas dan politis harus diikuti dengan perubahan kultural.
Hal ini sejalan dengan perubahan-perubahan kehidupan sosial budaya yang tengah berlangsung dengan cepat. Dari kehidupan yang diatur oleh adat dan agama masing-masing masyarakat daerah beralih ke pengaturan tata kehidupan yang baru sebagai akibat tuntutan ekonomi, politik, dan hukum yang baru. Karenanya, menuntut perubahan yang mendasar pula di bidang sosial budaya. Tanpa ini akan terjadi ketimpangan. Perempuan yang merupakan aset bangsa tidak akan termanifes- tasikan suara dan potensinya dalam pembangunan.
Memang diakui agak sulit mengadakan perubahan kultural suatu masyarakat. Namun karena budaya juga merupakan suatu keadaan atau tatanan hidup yang berasal dan diciptakan oleh manusia, maka masih dapat dimungkinkan untuk dirubah, lebih-lebih apabila tatanan hidup ini merendahkan atau cenderung menciptakan masyarakat yang tidak adil. Tradisi ketidak- berdayaan dan ketergantungan perempuan tidak akan berakhir apabila tidak terjadi perubahan yang bersifat revolusioner, yaitu perubahan pandangan. Perubahan pandangan ini sangat dibutuhkan untuk menggerakkan perempuan mewujudkan masyarakat yang lebih adil melalui perjuangan dalam masyarakat. Penderitaan perempuan merupakan bagian dari penderitaan anggota masyarakat yang lainnnya. Memang diharapkan yang terjadi adalah perubahan revolusioner tetapi yang dimaksudkan dengan revolusioner disini harus tanpa diikuti dengan kekerasan.
Perubahan kultural ini dapat dimulai dari unit terkecil, yaitu keluarga inti. Di Aceh, sistem sosial masyarakatnya berpokok pangkal pangkal pada keluarga inti. Karenanya, setiap kegiatan atau perbuatan yang dilakukan oleh sebuah keluarga inti akan memberi pengaruh pada keluarga lainnya. Dengan demikian, apabila terjadi perubahan kultural pada sebuah keluarga ini maka ia mendivusi pada keluarga yang lainnya. Dari beberapa keluarga inti diharapkan akan berkembang pada masyarakat.
Dewasa ini, sudah seharusnya ditumbuhkembangkan secara pelan tetapi mantap sikap bahwa perempuan dapat memainkan peran sebagai makhluk sosial yang berhubungan mesra dengan sesama, suami, anak, dan masyarakat luas. Perempuan adalah mitra sejajar dalam pembangunan sosial ekonomi keluarga. Kalau selama ini ada pola "keluarga tradisional" yakni suami pencari nafkah dan ibu di rumah, maka harus ditumbuhkembang- kan sikap menerima perempuan bekerja di luar rumah dengan baik. Perempuan juga merupakan teman hidup, kekasih/sahabat yang hangat bagi suaminya dan ibu yang penuh kasih sayang bagi putra-putrinya. Dalam konteks ini perempuan berperan sebagai pemancar kehangatan dalam kehidupan keluarga.
Adanya sikap tersebut, mau tidak mau, harus ditumbuh- kembangkan pula sikap jiwa besar dari laki-laki bahwa suatu hari istri mempunyai jabatan yang lebih tinggi darinya. Dan, perempuan menjadi bagian dalam pengambilan keputusan dalam keluarga. Selain itu, laki-laki dan perempuan merupakan rekan sejawat dan mitra kerja, baik dalam kehidupan profesional maupun kehidupan pribadi, harus menjadi suatu gambaran umum masyarakat sehari-hari.
Kemampuan anggota masyarakat, termasuk perempuan, untuk memperoleh pengetahuan dan pendidikan harus kian ditambah. Usaha peningkatan pendidikan perempuan merupakan usaha membantu kaum perempuan agar mempunyai bargaining power dalam pengambilan keputusan. Menurut Daud Joesoef, besar kecilnya kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan sendiri menentukan secara langsung derajat kebebasannya. Artinya, usaha pendidikan perempuan membuat perempuan mendapat keahlian yang membuatnya mampu untuk mandiri (Tilaar, 1991).
Namun usaha pemberdayaan tersebut di atas masih perlu dipertanyakan, bagaimana perempuan dapat berhasil melaksanakannya ? Tidak ada jawaban yang sederhana karena banyak tergantung pada sikap masyarakat dan perempuan itu sendiri. Perempuan sendiri harus sadar akan lingkungan tempat mereka berada dan akan kemungkinan dan kemampuan mereka sendiri untuk bertindak sebagai pelaku kemajuan dan perubahan. Perempuan harus memperluas wawasan intelektualnya dan dengan itu juga akan membantu memperluas wawasan masyarakat. Dengan demikian, perempuan menjadi anggota masyarakat yang tampil dengan keberadaannya dalam berbagai peran dengan kukuh.

No comments: