February 02, 2009

Mesjid Indrapuri Aceh Besar


Mesjid ini disebut mesjid Indrapuri karena terletak di Desa Indrapuri Pasar, Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar. Mesjid ini berada tidak jauh dari kota Banda Aceh, sekitar 24 km ke arah utara. Bangunan mesjid berdiri di atas tanah seluas 33.875 m2, terletak di ketinggian 4,8 meter di atas permukaan laut dan berada sekitar 150 meter dari tepi Sungai Krueng Aceh .
Bangunan mesjid ini dibangun pada abad 10 Masehi. Sebelum ajaran Islam masuk ke Aceh, Masjid Indrapuri merupakan bekas bangunan candi Hindu/Budha. Diduga bangunan ini merupakan peninggalan Kerajaan Poli/Puri, yang kemudian disebut Lamuri oleh orang Arab dan disebut Lambri oleh Marcopolo. Meskipun saat ini kita tidak dapat menyaksikan bentuk candi tersebut secara utuh, tetapi ada beberapa bagian masih tampak tersisa, yakni tembok tebal yang mengeliling mesjid. Dari plester tembok yang sebagian sudah tampak terkelupas kita dapat melihat bahwa Candi Indrapuri tersebut terbuat dari batu hitam yang dibuat lempengan berukuran panjang sekitar 40 cm dan lebar 20 cm dengan ketebalan 5 cm. Sampai sekarang tembok (berbentuk seperti punden berundak/tiga tingkat dengan ketinggian 1,46 meter) masih berdiri kokoh.
Kontruksi bangunan mesjid Indrapuri tidak jauh berbeda dengan kontruksi bangunan mesjid tradisional di Indonesia. Pintu masuk mesjid berada di sebelah timur. Untuk mencapainya harus melalui plataran yang merupakan halaman luar. Di halaman kedua terdapat bak pe-nampung air hujan. Pada bagian lantai mesjid terdapat umpak tiang penyangga sebanyak 36 buah terbuat dari batu kali. Di atas umpak ini ditempatkan 36 buah tiang dari kayu yang masing-masing berdiameter 0,28 meter. Tiang-tiang ini terdiri dari empat buah soko guru yang berbentuk persegi delapan dan 32 buah tiang penampil yang berfungsi sebagai penyangga kerangka atap yang berbentuk tumpang.
Bagian atas tiang dihubungkan dengan balok dan dimasukkan ke dalam lubang yang dibuat pada bagian atas tiang. Sebagai penguat ikatan, dipasang pasak-pasak kayu, untuk menguatkan dibuat tiang gantung berbentuk persegi delapan. Tiang ini terletak tepat pada bagian tengah atap undak ke-3. Agar tiang ini tidak runtuh dipasang 4 buah tiang gantung yang lebih kecil dan dihubungkan dengan balok penahan kuda-kuda. Pada sisi luar soko guru terdapat 12 buah tiang yang mendukung atas undak ke-2. pada bagian luarnya terdapat 20 buah tiang yang berfungsi sebagai pendukung kerangka atap undak pertama. Tiang-tiang pada bagian sisi luar dihubungkan dengan papan yang berfungsi sebagai pendukung kerangka atap undak pertama. Tiang-tiang pada bagian sisi luar dihubungkan dengan papan yang berfungsi sebagai pengikat tiang satu dengan tiang yang lain.
Atap mesjid Indrapuri dibuat berdasarkan kontruksi atap tumpang berjumlah tiga susun berdasarkan sistem payung terbuka. Pada bagian puncak atap tumpang ini terdapat sebuah mustaka yang berbentuk seperti nenas dengan pola hias simbar.
Perubahan bentuk dari candi menjadi mesjid mempunyai kisah tersendiri. Adapun cerita tersebut dapat dinukilkan sebagai berikut (Abdul Baqir Zein, 1999: 23-24),
“Dikisahkan datanglah ke daerah Kerajaan Lamuri, seorang penyebar agama Islam yang bernama Abdullah Kan’an bergelar Teungku Abdullah Lampeuneuen, berasal dari Peureulak, Aceh Timur. Ia datang bersama Meurah Johan, seorang pangeran, putra mahkota Kerajaan Lingga (di daerah Jambo Aye sekarang). Tujuannya tidak lain, mengajak agar raja bersama segenap rakyat Kerajaan Lamuri memeluk agama Islam. Kebetulan pada saat itu Kerajaan Lamuri kedatangan gerombolan bajak laut Cina yang dipimpin oleh seorang wanita bernama Putroe Neng (Putri Neng). Meskipun cantik, Putri Neng terkenal sebagai pimpinan bajak laut yang kejam dan bengis. Seluruh anak buahnya memiliki ilmu bela diri yang sangat tinggi. Kedatangan ratu bajak laut tersebut ke Kerajaan Lamuri, tidak lain ingin menjadikan kerajaan itu sebagai negeri taklukan. Tentu saja Baginda Raja Lamuri menolak mentah-mentah keinginan itu. Perang pun tidak dapat dihindari. Menghadapi bajak laut yang sudah berpengalaman, tentara kerajaan terdesak hebat. Dalam keadaan kritis seperti itu, Teungku Abdullah Lampeuneuen dan Meurah Johan menawarkan bantuan. Tawaran itu pun diterima dengan baik. Singkat cerita, akhirnya gerombolan bajak laut itu dapat dikalahkan. Sebagai ungkapan terima kasih, baginda raja akhirnya memeluk agama Islam. Kemudian jejak Raja Lamuri ini diikuti rakyatnya. Setelah menjadi muslim dan kerajaannya resmi menjadi kerajaan Islam, oleh Teungku Abdullah Lampeuneuen, baginda raja Lamuri diberi gelar Sultan Alaidin Johansyah Dhilullah Fil’alam.”
Setelah Lamuri menjadi kerajaan Islam candi-candi ini pun terbengkalai dan satu persatu runtuh, yang tersisa hanya Candi Indrapuri. Atas dasar pemikiran agar tidak mubazir, candi ini diusulkan difungsikan menjadi mesjid. Usulan tersebut diterima, kemudian candi Indrapuri resmi difungsikan sebagai mesjid.
Setelah berkembang Islam di Aceh, pada masa Sultan Iskandar Muda, di atas bekas candi tersebut dipugar lagi menjadi sebuah masjid dengan ukuran 18,8 meter X 18,8 meter dan tinggi 11,65 meter. Pembangunan mesjid ini dimaksudkan untuk mensiarkan ajaran agama Islam ke tengah-tengah masyarakat. Selain itu, mesjid ini dijadikan sebagai pusat kegiatan masyarakat, seperti pendidikan, ibadah, ekonomi, dan sebagainya.
Mesjid ini telah mencetak banyak ulama, dan menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam untuk beberapa bulan ketika ibukota kerajaan direbut oleh Belanda. Namun kemudian mesjid ini pun dapat direbut pula oleh Belanda, sehingga ibukota dipindahkan lagi dari Indrapuri ke Keumala.
Peristiwa yang cukup terkenal selama keberadaan mesjid ini adalah penobatan Tuanku Muhammad Daud Syah menjadi Sultan Kerajaan Aceh Darussalam dengan gelar Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah pada akhir tahun 1874 Masehi

1 comment:

Baka Kelana said...

Sudah lama gak ke Indrapuri dan pulang ...jadi kangen ama Aceh