February 16, 2009

EKPLOITASI KAPITALISME TERHADAP PEREMPUAN

Agus Budi Wibowo
Gerakan perempuan dalam menghujat nilai-nilai sosial budaya masyarakat yang menekan mereka telah lama hadir jauh sebelum pendiri bangsa memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Gerakan yang dipelopori oleh Kartini ini mencoba mendobrak nilai-nilai sosial budaya yang menekan keberadaan perempuan dalam masyarakat yang membuat mereka terbelenggu dalam "rumah yang damai". Saat itu, perempuan boleh dikata hanyalah sosok makhluk yang hanya jadi objek bagi kaum laki-laki. Tidak ada kata "berdampingan" antara laki-laki dan perempuan dalam kamus sosial-budaya masyarakat saat itu. Mereka belum mengenal apa yang disebut dengan relasi gender. Yang mereka kenal perempuan hanyalah kanca wingking kaum laki-laki.
Menjelang abad ke 21, gaung emansipasi, perempuan karir, perempuan modern makin tampak dalam wujud yang nyata dan kaum perempuan mulai diakui keberadaannya. Gerak maju kaum perempuan dewasa ini bukan hanya sekedar untuk mendapatkan persamaan hak-haknya, tetapi juga dimaksudkan untuk meningkatkan peranannya, baik di dalam keluarga maupun dalam masyarakat dan bangsa.
Saat ini bangsa Indonesia sudah tidak heran lagi melihat kaum perempuan meninggalkan rumah yang damai untuk terjun ke sektor publik. Banyak perempuan yang berbondong-bondong pergi ke kota untuk jadi buruh pabrik, TKW ke luar negeri atau menjadi perempuan "terhormat" sebagai wanita karir dan wanita modern, bahkan wanita kosmopolitan. Melihat gejala semakin semaraknya kaum perempuan yang terjun ke dunia kerja atau sektor publik ini saya jadi tertarik untuk mengkajinya. Seberapa jauh perempuan yang telah terjun ke dunia kerja ini terangkat harkat dan martabatnya.

Eksploitasi Kapitalisme terhadap Perempuan
Semenjak Orba berkuasa pembangunan sosial ekonomi mencapai puncaknya. Kondisi sosial ekonomi yang terpuruk pada masa Orla beralih menjadi semakin baik pada masa Orba. Kaum perempuan yang menjadi bagian pembangunan ikut pula terangkat. Kemajuan ekonomi memungkinkan perempuan mendapat pendidikan yang lebih baik. Kemajuan ekonomi memungkin pula para investor menanamkan modalnya. Berdirilah berbagai macam industri-industri yang memerlukan banyak tenaga kerja, baik tenaga kerja perempuan maupun tenaga kerja laki-laki.
Kemajuan dalam hal pendidikan dan sosial ekonomi telah mendorong kaum perempuan mulai terjun ke sektor publik. Hal ini menuntut konsekuensi perempuan meninggalkan rumah. Hal ini membawa sedikit keuntungan bagi kondisi rumah tangga. Walaupun mereka bekerja hanya dikategorikan sebagai pencari nafkah tambahan namun sedikit banyak membantu keuangan rumah tangga.
Walaupun, secara kuantitas, banyak perempuan yang terjun ke sektor publik, namun di antara mereka tidak semua yang mendapat posisi yang layak. Citra baku masyarakat terhadap perempuan yang masih didominasi pola-pola lama sehingga kaum laki-laki yang cenderung memperoleh kesempatan lebih besar sedangkan perempuan hanya dicadangkan pada urusan tradisi-onal semata. Beneria (1979) memberikan beberapa ciri-ciri khusus dari pekerjaan yang biasa ditekuni oleh perempuan, yaitu (1) sesuai dan dapat dikombinasikan dengan kegiatan reproduksi dan khususnya ke-giatan pemeliharaan anak, (2) pada posisi subordinat terhadap pekerjaan laki-laki dan juga terhadap hirarki ber dasarkan umur, dan (3) merupakan perpanjangan kegiatan perempuan di sektor domestik (Suyanto dan Susanti, 1996). Pilihan jenis pekerjaan tersebut membuat perempuan itu sendiri sulit untu secara bebas menentukan pilihan sebagai wanita karir yang memungkinkan mereka mempunyai bargaining power dalam mengambil keputusan.
Memang idealnya tenaga kerja perempuan yang terlibat pada sektor publik selain harus mendapat perlindungan hukum yang layak, mereka juga harus mendapat upah dan tidak diperlakukan diskriminatif. Namun karena akibat proses industrialisasi yang cenderung bercorak kapitalistik yang melanda pembangunan di negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, maka yang terjadi kemudian adalah proses eksploitasi, subordinasi, dan marginalisasi posisi kaum perempuan.
Di dalam sistem kapitalistik, kaum perempuan cenderung berada di dalam posisi sebagai objek sistem ekploitasi tiga lapis. Pertama, pada tingkat global sebagai warga masyarakat negara pinggiran, kaum perempuan akan menjadi korban kesenjangan dan ketidakadilan sistem internasional. Kedua, pada tingkat produksi sebagai bagian terbesar lapisan bawah dari sistem stratifikasi kerja industrial, kaum perempuan menjadi korban pertama dari kesenjangan hubungan-hubungan industri kapitalis. Ketiga, pada tingkat kemasyarakatan, kaum perempuan juga harus mengalami perlakuan yang tidak adil dari struktur dan ideologi gender yang telah berlangsung berabad-abad.
Pengalaman pembangunan yang sedang berlangsung di berbagai belahan dunia yang cenderung menerapkan pembangunan yang bersifat kapitalistik - dengan logika utama selalu berusaha memaksimalkan produksi - menunjukkan seringkali membuat kaum perempuan terpojok sehingga mereka dengan mudah diekploitasi oleh proses industrialisasi dan modernisasi.
Banyak contoh yang dapat diketengahkan tentang eksploitasi kaum perempuan ini. Arus globalisasi kapitalisme yang melanda dunia memperlihatkan dengan jelas pesan-pesan yang disandangkan perempuan dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan (Rahayu, 1996). Saat ini, tampak bahwa kaum perempuan dijadikan objek sasaran berbagai produk kaum industrialis. Sebagian besar kaum perempuan yang perannya "telah" ditentukan untuk mengurus rumah tangga dan melayani kebutuhan keluarga tampak sekali menghadapi pilihan antara survive dan konsumerisme. Di lain pihak, kaum perempuan yang berada pada level sosial-ekonomi tinggi yang memiliki harta melimpah terus dituntut untuk mempertahankan segala kelebihannya agar dapat memenuhi kebutuhan konsumtifnya. Akhirnya, Semua kaum perempuan dari berbagai lapisan ber-usaha memperoleh uang-uang sebanyak-banyaknya agar dapat memenuhi kebutuhan konsumtifnya.
Dalam era globalisasi serta ketimpangan gender yang sedang berlangsung ini perempuan juga mengalami hal-hal seperti perampokan, perampasan dan pelecehan seksual. Industri hiburan yang menjamur pada dasarnya menjual seksualitas kepada konsumen yang mewakili kepentingan laki-laki, baik dalam bentuk gambar, film, maupun secara langsung dipergunakan untuk melayani kepentingan seks laki-laki. Di sektor industri, buruh-buruh perempuan melayani kepentingan pengusaha besar dengan upah yang rendah atau tenaga kerja wanita melayani orang asing dan devisa negara.
Fenomena-fenomena di atas memperlihatkan bagaimana perempuan dieksploitasi untuk memenuhi norma-norm kapitalistik. Ketrampilan atau peningkatan wawasan seperti banyak dilakukan oleh organisasi perempuan belum banyak mengubah posisi perempuan.

Harapan Kartini
Melihat fenomena semakin semaraknya perempuan keluar dari sektor domestik tentunya Kartini akan tersenyum bangga. Ia akan merasa puas karena apa yang diperjuangkannya telah menunjukkan wujud yang nyata. Namun demikian, apabila kita lihat, secara kualitas, mungkin Kartini akan menitikkan air mata. Karena perempuan ideal yang diidamkannya belum sepenuhnya terwujud. Mereka masih berkutat melepaskan diri dari berbagai tekanan yang ada.
Memang di satu sisi kaum perempuan telah memperoleh kemerdekaan dari belenggu "rumah yang damai". Namun nilai-nilai yang lain telah mengekploitasi mereka. Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan kultural kaum perempuan belum sepenuhnya berhasil. Eksploitasi kapitalisme terhadap perempuan menunjukkan bahwa budaya patriarkhi dalam masyarakat masih kuat tertancap dalam akar budaya masyarakat. Kaum laki-laki masih menduduki posisi yang dominan dalam kamus sosial budaya masyarakat.
Untuk mengubah nasib kaum perempuan memang bukan sebuah perkara yang mudah seperti orang membalikkan tangan. Harus ada usaha yang nyata dari berbagai pihak, baik dari kaum perempuan itu sendiri, lembaga-lembaga terkait, ataupun kaum laki-laki. Tanpa dukungan ketiga unsur tersebut, usaha-usaha mengangkat perempuan dari kungkungan nilai partriarkhi dan ketidakberdayaan hanyalah sebuah slogan yang tidak ada arti.

No comments: