February 20, 2009

Rumoh Aceh: Aset Wisata Budaya yang Kian Hilang

Setiap komunitas di Indonesia mempunyai rumah yang menjadi tempat tinggalnya. Rumah ini seringkali berbeda antara satu komunitas dengan komunitas lainnya. Rumah ini seringkali jadi suatu yang “unik” bagi komunitas lainnya dan menjadi suatu yang khas bagi komunitas itu.
Salah satu komunitas yang mempunyai rumah cukup unik adalah masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh mempunyai rumah yang khas yang membedakan dengan masyarakat lain di Indonesia. Walaupun rumah-rumah Aceh berupa rumah panggung, tetapi rumah ini tidak sekedar sebagai hunian semata, tetapi juga menyiratkan budaya dan tata cara hidup orang Aceh yang kaya makna. Sesuai dengan konsep wisata yang “back to nature”, rumah Aceh merupakan sebuah aset yang cukup potensial sebagai salah satu objek wisata.

Rumah (rumoh) Aceh
Dalam bukunya The Acehnese, Snouck Hurgronje (1893), menyatakatn bahwa rumoh Aceh secara tradisional terdiri dari tiga atau lima ruang dengan satu ruang utama yang dinamakan rambat. Rumah dengan tiga ruang memiliki 16 tiang, sedang rumah dengan lima ruang memiliki 24 tiang. Modifikasi dari tiga ke lima ruang atau sebaliknya dapat dilakukan dengan mudah, tinggal menambah atau menghilangkan bagian yang ada di sisi kiri atau kanan rumah. Bagian ini biasanya disebut sramo likut atau serambi belakang dan sramo reuyeun atau serambi bertangga, tempat masuk ke rumah yang berada di sebelah timur.
Tata letak rumah Aceh selalu berorientasi dari timur ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang sacral berada di barat. Hal ini terkait dengan ajaran agama Islam yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Aceh. Penambahan rumang selalu dilakukan di sisi utara atau selatan.
Salah satu yang unik dari rumah Aceh adalah pintu masuk yang selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa. Biasanya ketinggian pintu tersebut hanya 120-150 cm sehingga setiap orang yang masuk ke rumah Aceh harus menunduk bagi mereka yang mempunyai ketinggian lebih dari 150 cm. Hal ini menunjukkan bahwa tidak peduli betapa tinggi kedudukan atau derajat pengunjung/tamu, mereka harus menunduk (tanda hormat setiap masuk ke rumah Aceh

Walaupun demikian begitu masuk kita akan merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tidak perabot yang “memakan” ruang, seperti kursi atau meja. Semua tamu duduk bersila di atas tikar ngom (dari bahan sejenis ilalang yang tumbuh di rawa) yang dilapisi tikar pandan. Kondisi demikian seringkali merupakan simbolisasi dari penerimaan orang Aceh terhadap orang luar. Sulit memasukinya, tetapi ketika kita berhasil masuk, maka kita akan diterima dengan lapang dada dan hangat. Dalam membangun rumah, masyarakat Aceh mempunyai adat tertentu. Ia harus dibangun pada hari tepat, yang ditentukan oleh teungku (ulama). Kenduri diadakan, berupa upacara peusijuk, sejak tiang rumah dipancangkan.
Pada bagian bawah dari rumah Aceh juga mempunyai peran yang sangat penting. Selain untuk mengantisipasi banjir dan ancaman binatang buas, bagian bawah rumah Aceh ini dapat dijadikan sebagai tempat kandang ayam, kambing, dan itik. Ataupun dapat dijadikan sebagai tempat untuk menumbuk padi. Di bawah rumah ini biasanya terdapat alat penumbuk padi, yang disebut jeungki dan penyimpan padi, yang disebut krongs (berbentuk bulat dengan ketinggian sekitar 2 meter). Di sejumlah wilayah, seperti Aceh Besar, bagian bawah rumah digunakan sebagai tempat menenun songket.
Rumah Aceh sebagian besar dibangun dari bahan kayu. Kayu ini merupakan kayu pilihan sehingga seringkali rumah Aceh dapat bertahan hingga puluhan tahun bahkan ratusan tahun. Semua tiang utama dibuat dari kayu bulat pilihan, dinding dan lantai rumah terbuat dari kayu juga, atap rumah dari daun rumbia atau daun pohon sagu. Kayu disambungkan tanpa menggunakan paku.

Kian Hilang
Keberadaan rumah Aceh saat ini mulai kian hilang. Walaupun ia memiliki kearifan lokal yang cukup tinggi, tetapi kemajuan zaman telah mengikis keberadaan rumah Aceh ini. Masyarakat mulai cenderung membangun rumah dari batu bata dengan berbagai bentuk. Walaupun belum ada survei tentang keberadaan rumah Aceh ini mulai kian hilang. Rumah-rumah Aceh masih dapat ditemui di desa-desa di kawasan pantai timur, mulai dari Aceh Timur hingga Aceh Besar. Di Banda Aceh sendiri rumah Aceh semakin banyak berkurang, apalagi di beberapa kawasan pantai, seperti di pantai Lhok Nga, Lampuuk, Ulee Lheu, Lambung dan sebagainya yang dulunya banyak ditemui rumah Aceh menjadi hilang diterjang gelombang tsunaami.
Kian hilangnya rumah Aceh tentu sangat memprihatinkan. Hal ini berarti mengurangi aset wisata yang cukup potensial. Kearifan lokal yang dipunyai oleh komunitas masyarakat Aceh semakin tergerus. Amat disayangkan apabila rumah Aceh suatu saat hilang dari bumi ureung Aceh. Tertinggal hanya di Museum (Di Museum Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terdapat sebuah rumoh Aceh).
Mengantisipasi kian hilangnya rumah Aceh ini, pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca gempa dan tsunami beberapa masyarakat di beberapa daerah (misalnya di Kampung Jawa Banda Aceh) bersama lembaga nonpemerintan membangun rumah Aceh yang telah dimodifikasi. Merreka memodifikasi prinsip rumah panggung dari arsitektur lokal rumah Aceh dalam desain rumah bantuan panggung yang terdiri dari dua lantai dengan bahan dari beton dan kayu. Warga korban tsunami juga banyak memodifikasi bagian bawah rumah untuk berbagai fungsi, seperti warung atau kios.


Sumber Bacaan:
Ahmad Arif. “Rumah Adat Rumoh Aceh yang Kian Hilang”. Kompas 29 Desember 2006.

1 comment:

Info Wisata Indonesia said...

sip mas blok nya,salam kenal