February 16, 2009

Cut Nyak Meutia

Oleh: Agus Budi Wibowo

Di Desa Pirak Kecamatan Matangkuli, sekitar 25 km timur kota Lhokseumawe, kita akan mendapati rumah seorang pejuang wanita yang cukup terkenal di Aceh. Makam itu adalah makam dari Cut Nyak Meutia. Seperti juga pahlawan wanita-wanita Aceh yang lain, seperti Cut Nyak Dhien, Pocut Baren, dan sebagainya, Cut Nyak Meutia adalah seorang pejuang wanita yang amat disegani oleh pihak Belanda karena keberaniannya.
Cut Meutia dilahirkan pada tahun 1870, anak dari hasil perkawinan antara Teuku Ben Daud Pirak dengan Cut Jah. Dalam perkawinan tersebut mereka dikarunia 5 orang anak. Cut Meutia merupakan putri satu-satunya di dalam keluarga tersebut, sedangkan keempat saudaranya adalah laki-laki. Ayahnya adalah seorang Uleebalang di desa Pirak yang berada dalam daerah Keuleebalangan Keureutoe.
Saat daerah Uleebalang Pirak di bawah kepemimpinan Teuku Ben Daud (ayah Cut Meutia) suasana penuh dengan ketenangan dan kedamaian sebagai seorang yang bijaksana perhatian Teuku Ben Daud selalu tertumpah pada rakyatnya karena selain sebagai uleebalang dia juga dikenal sebagai seorang ulama yang sampai akhir hayatnya tidak mau tunduk dan patuh pada Belanda, tidaklah mengherankan jika sifat kesatria itu terbina dalam diri Cut Meutia kelak.


Sampai dengan masa dewasanya, ia ditunangkan dan dikawinkan oleh orangtuanya dengan Teuku Syamsarif yang mempunyai gelar Teuku Chik Bintara, namun ia mempunyai watak lemah dan sikap hidupnya yang ingin berdampingan dengan Kompeni. Ia merupakan anak angkat dari Teuku Chik Muda Ali dan Cut Nyak Asiah Uleebalang keureutoe. Daerahnya mencakup dari Krueng Pase sampai ke Panton Labu (Krueng Jambo Aye) yang pusat Pemerintahannya di daerah Kutajrat Manyang yang sekarang terletak 20 km dari kota administratif Lhokseumawe.
Sikap yang sangat lemah terhadap Belanda menjadi dasar perceraian antara Cut Nyak Meutia dengan Teuku Syamsarif. Setelah bercerai Cut Nyak Meutia menikah lagi dengan Teuku Cut Muhammad. Berbeda dengan Teuku Syamsarif, Teuku Cut Muhammad adalah orang yang melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Oleh karena itu, setelah bersuamikan Teuku Cut Muhammad, Cut Nyak Meutia berperang bersama suaminya di berbagai medan perang di kawasan Aceh Utara. Pada mulanya perang frontal kemudian perang gerilya di hutan-hutan Pasai dengan menuruni lembah dan mendaki gunung. Perang berjalan terus semakin dahsyat. Sampai pada akhirnya, sang suami Teuku Cut Muhammad, tertawan dalam suatu pertempuran dan kemudian dihukum mati dengan cara ditembak. Untuk keduakalinya Cut Nyak Meutia menjadi janda sepeninggal Teuku Cut Muhammad.
Kemudian, Cut Nyak Meutia bersuamikan Pang Nanggroe, seorang pahlawan yang selama ini menjadi wakil suaminya. Bersama suaminya yang baru ini, Cut Nyak Meutia melanjutkan perlawanan menghadapi Belanda. Belanda kewalahan menghadapi duet Cut Nyak Meutia dan Pang Nanggroe karena kecakapan dan keahlian mereka di dalam setiap pertempuran. Zentgraf menulis sebagai berikut,
“ ... siasat peperangan Pang Naggroe dan Cut Meutia merupakan seni yang luar biasa tingginya, hanya dapat tumbuh pada seseorang yang dilahirkan untuk menjadi pemimpin perang seperti itu. Dengan bantuan istrinya yang fanatik dan pendendam serta didampingi putra Rajawali, Pang Nanggroe merupakan lawan Belanda yang perkasa. Kemahirannya luar biasa...”.
Malang tidak dapat ditolak, untuk kesekian kalinya, Cut Nyak Meutia menjadi janda kembali setelah Pang Nanggroe syahid pada tanggal 26 September 1910 dalam sebuah pertempuran. Walaupun suaminya telah syahid, Cut Nyak Meutia tetap melanjutkan perlawanan terhadap Belanda.
Belanda kemudian melakukan sebuah persiapan yang cukup matang untuk mengakhir perlawanan Cut Nyak Meutia. Pada tanggal 22 Oktober 1910, sepasukan besar Marsose yang dipimpin oleh W.J. Mosselman menyerbu benteng pertahanan Cut Nyak Meutia setelah mendapat informasi dari seorang mata-matanya. Setelah berkecamuk pertempuran yang dahsyat, barulah pasukan Marsose tersebut berhadapan langsung dengan Cut Nyak Meutia. Ia tetap tidak mau menyerah. Pada akhirnya, Cut Nyak Meutia pun syahid setelah sebuah peluru menerjang tubuhnya. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 25 Oktober 1910. Namun demikian, putra semata wayang, Teuku Sabi masih sempat dapat dilarikan oleh Teungku Fatimah dan suaminya Teungku di Barat yang kemudian melanjutkan perjuangan ibu dan ayahnya tersebut.
Atas kegigihan dan pengorbanan yang dilakukan oleh Cut Nyak Meutia selama melakukan perlawanan terhadap Belanda, pemerintah Republik Indonesia menganugrahinya gelar Pahlawan Nasional.

No comments: