January 29, 2009

Kopi Aceh


Sejarah Kopi
Biji kopi sebagai bahan baku minuman dengan cita rasa khas dan mempunyai manfaat besar bagi peminum, yang telah dikenal sejak abad-abad sebelum Masehi. Menurut sumber kopi berasal dari jazirah Arab karena besarnya manfaat tanaman ini, maka cepat menyebar ke seluruh dunia, terutama Asia dan Amerika Latin. Sampai saat ini banyak spesies kopi telah ditemukan, tetapi yang diperdagangkan hanya beberapa spesies yang menguntungkan. Sementara spesies lain masih menjadi kekayaan dunia yang menunggu pengembangan.
Keterkaitan dunia Arab dengan kopi juga dibuktikan dengan adanya kenyataan bahwa istilah “kopi” berasal dari bahasa Arab quahweh. Dari dunia Arab, istilah tadi diadopsi oleh negara-negara lainnya melalui perubahan lafal menjadi cafe (Perancis), caffe (Italia), kaffe (Jerman), koffie (Belanda), coffee (Inggris), dan coffea (Latin). Namun diantara pakar masih belum ada persesuaian pendapat tentang daerah asal kopi. Berbagai daerah telah diindentifikasikan sebagai daerah dan habitat asal tanaman kopi oleh berbagai pakar dari berbagai keahlian. Linnaeus seorang Botanikus dalam sebuah tulisannya yang terbit tahun 1753 berpendapat bahwa habitat kopi terletak diantara daerah subur Saudi Arabia yang disebut Arabia Felix, yang kemudian dikenal dengan nama Mekkah. Karenanya dia memberi nama tanaman tadi Coffea Arabica. Akan tetapi di dalam tulisannya kemudian di tahun 1763 dia menyebutkan daerah asal kopi sebagai “Arabia” dan “Ethiopia”, meskipun dia lebih cenderung pada Arabia.
Pendapat lain dari Lankester (1832) mengatakan bahwa Coffea Arabica dibawa dari Persia ke Saudi Arabia. Sedangkan kajian historis yang dilakukan oleh Southard (1918) membawa pada kesimpulan bahwa pada abad XI bangsa Arablah yang membawa biji-bijian kopi dari suatu daerah di Ethiopia yang disebut Harar. Botanikus De Condolle, sebagaimana dilaporkan oleh Fauchere (1927) berpendapat bahwa kopi merupakan tanaman liar yang tumbuh di Abyssiria, Ethiopia, Sudan, Mozambique dan Guinea.
Dari apa yang dikemukakan di atas jelaslah bahwa nampaknya sebagian besar para ahli mengidentifikasikan Ethiopia sebagai daerah asal Coffea Arabica. Jenis kopi yang kemudian diketemukan di pegunungan Ruwenzeri (Uganda), sekitar 450-600 km di selatan habitat asal Coffea Arabica, ternyata dari spesies yang meskipun dekat, akan tetapi berbeda.
Komoditi kopi telah memainkan peranan penting dalam sejarah perekonomian Indonesia semenjak periode awal penetrasi kapitalisme internasional ke dalam masyarakat pra-kapitalis Indonesia. Semenjak diperkenalkannya kopi jenis Arabica dari Malabar ke Jawa sekitar tahun 1699 oleh kaum kapitalis Belanda, tanaman kopi ini mengalami perkembangan yang amat pesat. Laju perkembangan tanaman kopi ini tidak lepas dari Sistem Tanam Paksa (cultur stelsel) yang diperkenalkan Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1830, melalui stesel ini rakyat diwajibkan untuk menanam komoditi ekspor milik pemerintah, termasuk kopi pada seperlima luas tanah yang digarap, atau bekerja selama 66 hari di perkebunan-perkebunan milik pemerintah. Kalau diantara tahun 1830-1834 produksi kopi Arabica di Jawa baru mencapai 26.600 ton, maka 30 tahun kemudian produksi kopi tadi meningkat menjadi 79.600 ton.
Kondisi tanah yang subur dan iklim yang cocok di Jawa, serta pengerahan tenaga kerja melalui sistem tanam paksa dan monopoli perdagangan kopi yang dipegang pemerintah, telah memungkinkan eksploitasi dan pentransferan nilai lebih (surplus values) cukup besar ke Negeri Belanda, yang ikut menopang pertumbuhan ekonomi Belanda secara tajam. Pada tahun 1870 Dalam pada itu diundangkannya Agrarische Wet (UU Agraria) memberi peluang bagi kaum kapitalis untuk menyewa tanah dalam jangka panjang telah mendorong tumbuhnya koffie onderneming terutama sekali di Jawa Timur. Hal tersebut mengakibatkan produksi kopi ke titik puncaknya di abad ke XIX yang pada tahun 1880-1884 mencapai 94.400 ton (Creutzberg, 1975). Kopi mempunyai peranan lebih besar dibandingkan dengan gula tebu. Kalau nilai ekspor kopi rata-rata antara tahun 1865-1870 mencapai 25.965.000 gulden, maka dalam periode yang sama nilai ekspor rata-rata gula tebu hanyalah mencapai 8.416.000 gulden (Handelsstatistiek Java 1823-75, 39-41)
Dengan berjangkitnya penyakit tanaman kopi dan teknik budi daya kopi yang tidak memadai, mengakibatkan penurunan produksi kopi secara drastis, tahun 1910-1914 mencapai titik terendah sebesar 35.400 ton. Peristiwa tragis tersebut membuka frontiers baru dalam budi daya tanaman kopi sehingga diperkenalkannya varietas kopi Robusta yang lebih tahan penyakit dan mempunyai produktivitas yang lebih besar. Varietas kopi Robusta ini segera menyebar ke daerah lain, khususnya Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung dan Aceh/NAD. Varietas kopi Arabika lebih sulit pembudidayaannya dan dapat menempati lahan-lahan pertanian sempit tumbuh pada ketinggian antara 900 – 1.000 meter di atas permukaan laut, dan merupakan enclave di daerah Aceh (Takengon), Sumatera Utara (Sidikalang, Lintongnihuta, dan Mandailing), Jawa Timur (Besuki), dan Sulawesi Selatan (Toraja). Produksi puncak tanaman kopi dalam era sebelum Perang Dunia II terjadi di antara tahun 1935-1940 sebesar 124.600 ton. Pertumbuhan kopi varietas Robusta ini segera melampaui jenis Arabika sehingga pada saat ini menghasilkan 90 persen dari produksi yang ada.
Masa-masa Perang Dunia II ketika Indonesia diduduki Jepang dan masa pasca Perang Dunia II pada saat Revolusi Kemerdekaan merupakan masa-masa suram bagi produksi kopi. Banyak koffie onderrneming yang hancur akibat dari peperangan serta adanya kecenderungan petani beralih ke tanaman produksi untuk subsistensi sehingga mengakibatkan turunnya produksi kopi secara drastis pada tahun 1950-an hanya mencapai 12-13% dari puncak produksi sebelum perang. Hal ini mengakibatkan hilangnya pasaran kopi Indonesia di pasaran internasional. Sekaligus mempengaruhi moralitas petani, yang mendahulukan keselamatan (safety-first philosophy). Menurunnya harga kopi di pasaran internasional sangat mempengaruhi aktifitas perkebunan kopi seperti menurunnya jumlah kopi yang dipetik dan mengurangi lahan usaha.

Ragam Kopi Aceh
Tanaman kopi di dunia kini ada banyak spesies. Namun yang banyak digunakan untuk minuman berasal dari spesies Arabica dan Robusta. Negeri penghasil kopi Arabica bermutu baik tersebar di lingkar tropis seluruh dunia, yaitu Costa rica, Guetemala, Honduras, Mexico. Nicaragua, Panama, Bolivia, Brasil, Columbia, Equador, Peru, Burundi, Congo, Ethiopia, Kenya, Tanzania, Rwanda, Uganda, Zambia, India, Papua Nugini, Hawaii, Puerto Rico, Jamika, Dominika hingga Saint Helena. Menurut catatan pengamat kopi internasional menyebutkan bahwa Indonesia dalam beberapa lokasi khusus yaitu Jawa, Bali, Sumatra, Aceh (Aceh Tengah dan Bener Meriah) Sulawesi (Toraja) dan Timor. Sedang Robusta sendiri banyak dihasilkan di India dan Uganda. Khususnya kopi Toraja yang diproduksi secara khusus oleh perkebunan di Toraja berada pada grade one, yang terbaik.
Saat ini di Aceh terdapat dua jenis kopi yang dibudidayakan adalah kopi Robusta dan kopi Arabica.Untuk kopi jenis Arabica umumnya dibudidayakan di wilayah dataran tinggi “Tanah Gayo”, Aceh Tenggara, dan Gayo Lues, sedangkan di Kabupaten Pidie (terutama wilayah Tangse dan Geumpang) dan Aceh Barat lebih dominan dikembangkan oleh masyarakat disini berupa kopi jenis Robusta.
Kopi Arabica agak besar dan berwarna hijau gelap, daunnya berbentuk oval, tinggi pohon mencapai tujuh meter. Namun di perkebunan kopi, tinggi pohon ini dijaga agar berkisar 2-3 meter. Tujuannya agar mudah saat di panen.
Pohon Kopi Arabica mulai memproduksi buah pertamnaya dalam tiga tahun. Lazimnya dahan tumbuh dari batang dengan panjang sekitar 15 cm. Dedaunan yang diatas lebih muda warnanya karena sinar matahari sedangkan dibawahnya lebih gelap. Tiap batang menampung 10-15 rangkaian bunga kecil yang akan menjadi buah kopi. Dari proses inilah kemudian muncul buah kopi disebut cherry, berbentuk oval, dua buah berdampingan.

January 22, 2009

Masjid Baiturrahman Banda Aceh







Mesjid Raya Baiturrahman merupakan mesjid yang terbesar dan termegah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Mesjid ini mempunyai arsitektur yang indah dan terletak di pusat kota. Mesjid Raya Baiturrahman tidak sekedar berfungsi sebagai sebuah tempat religius semata, tetapi juga mempunyai makna yang mendalam bagi masyrakat Aceh berkaitan dengan sejarah pendudukan Belanda di daerah ini. Ketika Belanda belum menduduki Aceh, mesjid ini dipergunakan oleh pejuang-pejuang Aceh sebagai markas pertahanan mereka.
Sebelum wujudnya yang seperti sekarang, beberapa tulisan tentang sejarah mesjid raya Baiturrahaman me-nyebutkan bahwa mesjid ini mulai dibangun pada masa Kerajaan Aceh di-perintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Namun ada pula yang men-sinyalir bahwa mesjid ini dibangun pertama kali pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah pada tahun 1292 (621H). Perluasan mesjid juga dilakukan kembali pada masa pemerintahan Nakiatuddin Khinayat Syah pada tahun 1675 - 1678 M.
Banyak orang tua di Aceh menyebutkan bahwa bentuk bangunan Mesjid Raya Baiturrahman ketika itu berkonstruksi kayu, beratapkan daun rumbia, dan berlantaikan tanah liat yang rata dan mengeras menyerupai semen setelah kering. Para jamaah menggunakan tikar dari daun pandan untuk menutupi lantai mesjid sebagai alas. Bentuk atap menyerupai belah kerucut dan berlapis tiga buah dengan kemiringan sekitar 30 derajat.
Tercatat dalam sejarah mesjid Baiturrahman dua kali dibakar oleh Belanda. Pertama, pada tanggal 10 April 1873 dan dalam pertempuran ini Mayor Jenderal J.H.R Kohler tewas, di depan mesjid tersebut, yaitu di bawah sebatang pohon geulumpang, yang belakangan oleh orang Belanda menamakannya dengan Kohler Boom.
Kedua, pada tanggal 6 Januari 1874 meskipun mesjid dipertahankan mati-matian oleh seluruh rakyat Aceh, tetapi karena keterbatasan dan kesederhanaan persenjataan akhir-nya mesjid ini jatuh kembali ke tangan Belanda. Mesjid ini tidak saja jatuh ke tangan musuh, tetapi juga habis dibakar. Tidak lama kemudian Belanda mengumumkan bahwa Aceh sudah berhasil ditaklukkan.
Empat tahun kemudian tepatnya pada pertengahan bulan Safar 1294 H (awal Maret 1877) dengan mengingat janji Van Swieten dulu, Gubernur Jenderal Van Lansberge menyatakan akan membangun kembali Mesjid Raya Baiturrahman pada lokasi yang sama. Kemudian, pada hari Kamis 13 Syawal 1296 H/9 Oktober 1879 pembangunan kembali mesjid ini dimulai dilakukan oleh Gubernur Jenderal Van Der Hejden. Peletakan batu pertama diwakili oleh Teungku Qadli Malikul Adil dan disaksikan oleh rakyat Aceh yang berada di sekitar masjid saat itu. Pada tanggal 24 Safar 1299 H atau 27 Desember 1881 M, pembangunan mesjid ini dinyata-kan selesai dan dapat dipergunakan oleh rakyat Aceh.
Arsitek pembangunan mesjid ini adalah seorang Belanda bernama Bruins dari Departemen van Burgelijke Openbare Werken (Departemen Pekerjaan Umum) di Batavia. Untuk urusan keagamaan diminta bantuan kepada penghulu besar Garut agar polanya tidak bertentangan dengan aturan-aturan dalam agama Islam. Bangunan ini diborong oleh seorang Cina yang bernama Lie A Sie (seorang Letnan orang Cina yang berkedudukan di Banda Aceh pada waktu itu). Material untuk membangun mesjid ini sebagian didatangkan dari Pulau Pinang, batu marmer dari negeri Cina, besi untuk jendela dari Belgia, kayu dari Birma dan tiang-tiang besi dari Surabaya.
Mesjid Baiturrahman selesai dibangun pada tahun 1881 itu mempunyai sebuah kubah. Pada tahun 1936 oleh Residen Y. Jongejans mesjid ini ditambah lagi dua buah, yaitu bagian kanan dan kiri mesjid, sehingga menjadi tiga kubah. Biaya perluasan ini adalah 35.000 gulden dengan arsiteknya Ir. Mohammad Thaher (seorang putra Aceh) dan dikerjakan oleh Jawatan Pekerjaan Umum (BOW). Pada masa kemerdekaan di tahun 1958 di bawah kepemimpinan Gubernur Ali Hasjmy mesjid ini kembali diperluas menjadi lima kubah dan ditambah dengan dua buah menara di sampingnya, sehingga bisa menampung 10.000 jamaah. Pelaksanaan perluasan Mesjid Raya Baiturrahman diserahkan kepada N.V. Zein dari Jakarta. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Menteri Agama Republik Indonesia K.H. M. Ilyas pada hari Sabtu 1 Shafar 1387 bertepatan dengan tanggal 16 Agustus 1958. Perluasan ini bertambah dua buah lagi dan dua menara sebelah utara dan selatan. Dengan demikian, Mesjid Raya Baiturrahman mempunyai lima buah kubah dan dua menara. Perluasan ini selesai pada tahun 1967.
Saat ini, tepat di depan mesjid ini terdapat Menara Tugu Modal. Menara/Tugu modal merupakan sebuah menara sebagai monumen bahwa Aceh pernah dinyatakan sebagai Daerah Modal di dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Menara terdiri dari enam lantai yang dapat dicapai melalui lift maupun tangga biasa.

Membangkitkan Gairah Wisata di Iboih Sabang

Pendahuluan

Pada tahun 1980-an wisata Sabang mencapai masa puncak kejayaannya. Di saat itu, banyak wisatawan, khususnya wisatawan asing, membanjiri objek wisata yang ada. Bahkan seringkali cottage-cottage yang ada di Iboih dan Gapang tidak dapat menampung wisatawan yang menginap di sana. Sejak penerapan status Darurat Militer Indonesia perkembangan kepariwisataan Aceh mengalami stagnasi. Pada masa itu banyak wisatawan asing yang tidak dapat masuk ke Aceh karena ada larangan bahwa orang asing tidak boleh masuk. Banyak sarana pariwisata yang mulai hancur karena ketiadaan dana untuk merawat. Misalnya, cottage-cottage di Iboih satu persatu hancur. Kondisi ini diperparah oleh akibat dari gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada tanggal 26 Desember 2005.
Namun di balik kehancuran akibat dampak musibah ini ternyata ada sisi positip. Aceh menjadi daerah “terbuka”. Banyak orang asing yang datang ke Aceh. Keketatan akibat penerapan status darurat militer agak mengendur. Orang asing itu datang bertujuan untuk membantu dalam masa tanggap darurat, kemudian keberadaan mereka berlanjut pada masa rekonstruksi dan rehabilitasi pasca gempa dan tsunami. Keberadaan para relawan asing ini berpusat di Banda Aceh. Namun pada suatu saat mereka mengalami juga masa-masa jenuh. Untuk menghilangkannya, mereka mendatangi tempat-tempat wisata yang ada di Aceh. Salah satu tempat yang menjadi tujuan mereka adalah Sabang. Mereka berangkat ke Sabang pada hari Jumat Sore dan kembali ke Banda Aceh pada hari Minggu.
Gejala kedatangan para relawan asing untuk berwisata di Sabang telah tampak. Hal ini merupakan salah satu moment yang sangat baik untuk kebangkitan dunia pariwisata di Aceh.





Pengembangan Kawasan Wisata Iboih Pasca Gempa dan Tsunami
Kawasan wisata Iboh termasuk di dalam wilayah administrasi Lorong Tepian Layar, Kelurahan Iboih, Kecamatan Sukakarya Sabang. Jumlah penduduk 45 KK (245 jiwa). Di antara mereka sebagian besar bergerak dalam bidang usaha jasa wisata (245 KK). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kehidupan mereka amat tergantung dari usaha ini. Kehancuran akibat tsunami tentunya berpengaruh terhadap perekonomian rumah tangga mereka. Di sisi lain, geliat dan harapan kedatangan turis ke Iboih mulai tampak. Ketika tim survei berada di Iboih, ada 10 turis asing yang sedang melakukan kegiatan diving di Iboih. Mereka telah tinggal di Iboih selama 1 bulan. Bahkan di antara mereka terdapat satu keluarga terdapat satu keluarga, yang terdiri dari anak, ibu, dan ayah.
Geliat dan harapan yang muncul kembali di objek wisata Iboih sangatlah sayang apabila dibiarkan berlalu begitu saja. Untuk itu, Dinas Pariwisata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam membuat konsepsi pengembangan objek wisata Iboih. Ada beberapa aspek kegiatan yang akan dan telah dilaksanakan, yaitu

Perbaikan sarana fisik
Pada bagian terdahulu telah disebutkan bahwa akibat tsunami banyak sarana dan prasarana yang hancur. Sarana ini banyak dimiliki oleh warga setempat. Ketiadaan turis selama masa Darurat Militer, banyak warga masyarakat yang tidak mempunyai dana yang cukup memelihara sarana dan sarana, baik berupa cottage dan yang lainnya. Dinas Pariwisata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam akan membantu membangun kembali cottage ini. Dengan demikian, apabila suatu saat terjadi booming wisatawan asing menuju Iboh, mereka sudah siap menerimanya. Kejayaan Iboih seperti di era 1990-2000 dapat diraih kembali. Selain itu, Dinas Pariwisata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menyediakan bantuan dua kapal wisata yang dapat digunakan melihat terumbu karang.

Pembentukan Kelompok Pengelola Wisata
Selama ini masyarakat bergerak sendiri-sendiri dalam mengelola aset wisata mereka. Tidak ada kelompok yang mengkoordinir dalam berbagai kegiatan. Keberadaan kelompok ini amat menguntungkan dalam mengorganisir berbagai event di daerah wisata ini. Untuk itu, dibentuklah kelompok pengelola wisata dengan nama Teupin Layeu View. Kelompok ini dikukuhkan oleh Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Ir. H. Muzakkir Ismail, M. Sc pada tanggal 23 Juli 2005 di gedung Dekranas Lorong Teupin Layeu Iboih Sabang.
Pembentukan Pusat informasi dan Souvenir
Selama ini di kawasan wisata Iboih tidak ada pusat informasi dan souvenir, sehingga banyak wisatawan yang kurang mengetahui keberadaan objek wisata ini secara menyeluruh. Adanya pusat informasi dan souvenir sangat membantu. Selain itu, keberadaan pusat ini dapat membantu memasarkan objek wisata lain di Sabang dan meningkatkan pendapatan warga melalui penjualan berbagai barang souvenir. Penyerahan bantuan secara simbolis souvenir dilakukan pada tanggal 23 Juli 2005.

Penyuluhan dan Lokakarya Kepariwisataan
Sejak tahun 2000, Aceh telah ditetapkan sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam. Tentunya, penetapan daerah ini dapat menjadi benturan apabila dikaitkan dengan keberadaan wisatawan, khususnya turis asing. Penyuluhan ini sangat diperlukan untuk menyiapkan sikap mental masyarakat agar tidak terjadi benturan sosial budaya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kehidupan beragama masyarakat dapat tetap dilaksanakan, tetapi wisatawan tetap dapat datang. Selain itu, diselenggarakan pula lokakarya pariwisata yang bekerja sama dengan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh untuk mendapatkan gambaran lengkap kondisi pariwsata di Iboih dan rekomendasi terhadap pihak terkait. Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 23 Juli 2005

Pembangunan Gedung Serba Guna
Di daerah objek wisata Iboih belum ada gedung serba guna (open stage) yang dapat menampung berbagai aktivitas yang dapat menarik wisatawan. Diharapkan dengan adanya gedung ini akan menambah kedatangan wisatawan karena berbagai event dapat diselenggarakan di gedung ini. Dengan demikian, selain kegiatan penyelaman, wisatawan juga dapat melihat event lain yang menarik.

Pembuatan Web tentang Iboih
Salah satu bentuk pemasaran pariwisata adalah melalui pembuatan web. Dengan web ini, setiap orang dapat mengaksesnya melalui warnet. Selama ini, informasi tentang Iboih diperoleh melalui berita dari mulut ke mulut atau dari satu teman ke teman yang lain. Internet sebagai bagian dari komunikasi global sangat menguntungkan karena mudah diakses dengan biaya murah.



Penyelenggaraan event atraksi budaya
Selama ini kegiatan kepariwisataan di Iboih hanya menyangkut kegiatan wisata bahari. Belum pernah dilakukan secara intensif penyelenggaraan wisata budaya berupa atraksi budaya secara reguler. Pengembangan wisata di daerah ini dapat dilakukan dengan melaksanakan event budaya yang bersifat reguler. Event ini dapat dilaksanakan pada masa-masa liburan sekolah dimana banyak orang mengisi masa liburan dengan mengunjungi objek wisata atau ketika masa liburan Idhul Fitri atau Idhul Adha.

Penutup
Salah satu penyumbang terbesar dari devisa negara dari nonmigas adalah pariwisata. Untuk itu, pengembangan pariwisata sangat perlu dikembangkan diberbagai daerah di Nusantara. Indonesia memiliki kekayaan yang memungkinkan pengembangan pariwisata. Salah satu daerah di Aceh yang juga mempunyai “nama” adalah Iboih. Daerah ini telah lama menjadi kawasan kunjungan wisatawan, baik asing dan domestik.
Untuk membangkitkan gairah para wisatawan mengunjungi daerah ini kembali setelah gempa dan tsunami menerjang Dinas Pariwisata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah melakukan beberapa kegiatan konkrit. Diharapkan ketika booming wisatawan yang menuju Iboih tidak terlunta-lunta karena ketiadaan prasarana dan sarana.

Wisata Tsunami di Aceh





“Inilah Leupung”, kata Agam Patra sambil menghentikan mobil yang kami tumpangi persis di lokasi kamp pengungsian warga Leupueng di lereng Gle Judah. Kamp yang berlokasi di kawasan Ritieng itu dihuni oleh sekitar 1.200 warga Kecamatan Leupung yang selamat... Leupung hancur total. Selama beberapa pekan pasca bencana kawasan yang hanya berjarak 20 km arah barat kota Banda Aceh hanya bisa ditembus melalui udara dan laut...”(Serambi Indonesia, 2005)

Kutipan di atas merupakan salah satu pernyataan yang dibuat oleh seorang yang selamat pasca gempa dan tsunami.Kehancuran yang terjadi begitu luas dan dahsyat, sehingga dapat dikatakan bahwa banyak daerah di Aceh yang luluh lantak dan tidak menyisakan bangunan satupun kecuali rumah ibadah. Kutipan kedua di bawah ini menunjukkan hal tersebut,
“Dulu wilayah ini berpenduduk padat”, kata Amran Ali, 47 Tahun. Namun akibat gempa dan tsunami tanggal 26 Desember 2004 telah menyisakan kesunyian yang mencekam di Pantai Lampuuk. Aceh Besar. Pantai wisata yang dulu dihiasi pohon-pohon nyiur dan cemara itu kini gundul, nyaris tak bersisa. Rumah-rumah penduduk di sejumlah desa di sekitar pantai ini lenyap diterjang gelombang raksasa. Satu-satunya yang tersisa adalah sosok Masjid Rahmatullah yang berdiri tegar sendirian, meski dindingnya jebol di sana-sini.
Menurut catatan sejarah sebelumnya di Aceh pernah terjadi bencana serupa sebanyak tiga kali. Pertama tahun 1768, kedua 1896, dan ketiga akhir 2004. Namun namanya bukan tsunami melainkan seumong Sejarah mencatat kembali gempa besar dan gelombang tsunami menghantam Aceh dan Nias serta beberapa negara di kawasan Samudra Hindia (Malaysia, Thailand, Burma, Bangladesh, India, Srilanka, Tanzania, Kenya, Somalia, dan Maldiverna) pada tanggal 26 Desember 2004. Saking dahsyatnya musibah kali ini, ratusan ribu nyawa melayang, ribuan bangunan hancur. Bahkan, kapal PLTD Apung yang berbobot 3600 ton ikut terseret ke daratan sejauh 4-5 km dari bibir pantai. Gempa berkekuatan 8,9 skala richter (SR) dan gelombang tsunami telah menguras emosi manusia di seantero jagad. Gejala global melancholia merasuki hampir semua kalangan, mulai dari pejabat tinggi, para pengusaha, selebritis, rakyat biasa bahkan sampai sekelompok narapidana Perancis yang sedang meringkuk di balik terali besi (Rizal Koto, 2004).
Gempa dan tsunami telah membawa Aceh terkenal ke seluruh jagad dunia. Kalau selama ini orang luar mengenal Indonesia dari Balinya, tetapi sejak tanggal 26 Desember 2004 Indonesia dikenal lagi dengan tambahan Aceh didalamnya. Aceh yang selama masa konflik terjadi dinyatakan sebagai daerah tertutup sejak saat itu menjadi daerah yang terbuka. Semua orang berduyun-duyun mendatangi daerah ini untuk berbagai kepentingan, baik untuk menolong atau hanya sekedar melihat dampak akibat dari kedahsyatan bencana itu.


Pariwisata Tsunami
Berbeda dengan makhluk Allah SWT yang lain, manusia dikaruniai akal. Akal ini yang membuat manusia mempunyai rasa ingin tahu yang besar. Untuk memenuhi rasa ingin tahu ini, tidak jarang manusia melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat lain. Mobilitas ini diwujudkan dalam bentuk melakukan sebuah perjalanan. Dalam konteks kekinian, perjalanan untuk memuaskan perasaan ingin tahu dengan tujuan memperoleh pengalaman baru (learning experience) sambil bersenang-senang disebut kegiatan pariwisata. Kegiatan inipun telah melahirkan satu jenis industri baru berbasis jasa (pelayanan) yaitu industri pariwisata.
Dalam perspektif pariwisata, bencana gempa dan tsunami yang terjadi ada penghujung akhir tahun 2004 merupakan sebuah potensi baru yang dapat dimanfaatkan bagi keperluan pengembangan pariwisata Aceh, tidak hanya untuk konsumsi wisatawan lokal, tetapi juga wisatawan mancanegara. Jejak yang ditinggalkan oleh tsunami beserta atribut yang tersisa adalah aset yang sangat berharga dan dapat berfungsi sebagai trigger bagi wisatawan mengunjungi daerah Aceh. Bukti kedahsyatan bencana ini tidak diragukan lagi dan belum lagi jumlah nyawa yang hilang. Hamparan wilayah yang terkena tsunami pun begitu luas. Banyak daerah yang luluh lantak dan hanya menyisakan mesjid di antara kehancuran itu.
Bukti bahwa tsunami akan menarik wisatawan telah nampak pada beberapa waktu yang lalu. Setelah beberapa bulan berlalu pascatsunami ada beberapa kepala negara, artis, selebritis dan wisatawan lokal yang mendatangi Aceh hanya untuk melihat jejang-jejak yang ditinggalkan oleh tsunami. Mereka melihat Mesjid Baiturrahim di Ulee Lhue, PLTD Apung di Punge, daerah Lampulo, Mesjid Rahmatullah Lampuuk dan tempat-tempat lain yang menyisakan jejak tsunami tersebut. Mereka sangat terheran-heran begitu melihat begitu dahsyat tsunami yang terjadi daerah ini.


Harus Ada Museum/Tugu Peringatan Tsunami
Kehancuran sebuah daerah memang akan menimbulkan suasan sedih dan trauma bagi yang mengalaminya. Seperti juga dialami oleh bangsa Jepang yang mengalami kehancuran total ketika bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada pertengahan bulan Agustus 1945. Namun sejarah merupakan guru terbaik apabila kita mau memetik hikmah dari semua peristiwa yang terjadi di muka bumi ini. Kehancuran yang dialami oleh bangsa Jepang tersebut tidak serta merta direhabilitasi dan rekonstruksi kembali. Ada sisa-sisa kehancuran itu yang tetap dibiarkan seperti adanya, yaitu dengan Hiroshima Memorial Museumnya. Tentunya, pembiaran sisa-sisa bangunan tersebut mempunyai maksud tertentu. Mereka meninggalkan pesan kepada generasi penerus bangsa bahwa di daerah ini telah terjadi pengeboman nuklir yang mengakibatkan korban yang tidak sedikit.
Tidak berbeda jauh dengan peristiwa di Jepang, gempa dan tsunami dengan episentrum di daerah Aceh merupakan peristiwa yang menyita perhatian dan emosi seluruh warga dunia. Episentrum gempa di daerah ini telah meninbulkan efek tsunami yang melintasi batas-batas negara, yang jauh dari daerah episentrum itu sendiri. Peristiwa itu merupakan momentum yang menyatukan hati nurani dan emosi dunia. Ketika itu, tiap lima menit lapangan udara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh di Blang Bintang menerima ratusan pesawat yang akan mendarat di daerah bencana. Padahal sebelum terjadinya musibah penerbangan yang menuju Aceh hanya 4 kali sehari. Mereka berbondong-bondong untuk melakukan penyelamatan korban bencana.
Setelah beberapa bulan berlalu hingar bingar upaya penyelamatan berlalu, para relawan mulai kembali ke daerah masing-masing. Tentunya, moment yang begitu penting akan hilang apabila momentum sebelumnya tidak dipelihara dengan baik. Agar momontum peristiwa tsunami tetap dikenang sepanjang masa perlu dibuat museum atau pun tugu peringatan. Apabila kita ke daerah-daerah yang dilanda tsunami banyak sisa-sisa/jejak tsunami yang sifatnya dramatis satu persatu dibersihkan, misalnya, kapal-kapal yang berada di sekitar Peunayong, seperti di Hotel Medan (sekitaran Reks), Depan Dealer Suzuki motor. Memang masih ada PLTD Apung masih teronggok di daerah Punge yang sebelumnya berada di pelabuhan Ulee Lhue. PLTD Apung ini pernah diwacanakan sebagai museum tsunami, tetapi terjadi kontroversi karena pihak PLN tidak mengizinkannya. Beberapa jejak (yang sampai saat artikel ini ditulis) masih nampak seperti apa adanya adalah Mesjid Rahmatullah di Lampuuk, Masjid Baiturrahim di Ulee Lhue dan sebuah mesjid di Meulaboh. Tentunya, perlu dipikirkan bahwa beberapa jejak tsunami yang masih seperti apa adanya itu dijadikan museum ataupun tugu peringatan. Kalaupun museum tidak dapat diwujudkan, paling tidak terdapat sebuah tugu peringatan tentang korban tsunami. Hal ini pernah pula diutarakan dalam sebuah pernyataan seorang pembaca (Ramli M. Yakob) di Serambi Indonesia terbitan tanggal 10 April 2005 sebagai berikut,
“... dalam hal ini saya mengambil sedikit saran Pak Mustafa, yaitu tentang musium tsunami. Bagi saya bukan musium tsunaminya yang kita perlu. Tapi bangunlah tugu tsunami yang dibangun di tempat penguburan massal. Tapi bukan disemua kuburan massal, cukup satu buah saja. Ini jangan pada suatu saat nanti kita baru teringat akan perlunya membuat suatu tanda atau monumen/tugu yang bersejarah karena peristiwa tersebut. Sebagai contoh tugu Tentara Pelajar, yang baru dibangun setengah abad kemudian setelah peristiwa bersangkutan..”
Penutup
Sebelum bencana gempa dan tsunami Aceh sudah terkenal dengan objek pariwisata Sabang dan pariwisata religiusnya. Sejak peristiwa gempa dan tsunami terjadi, Aceh memiliki potensi pariwisata baru yang dapat dikembangkan, yaitu pariwisata mengunjungi objek-objek jejak tsunami Mestinya, potensi pariwisata tsunami menjadi salah satu point penting didalam blue print rehabilitasi dan rekontruksi Aceh pasca gempa dan tsunami.
Bagi masyarakat Aceh, bisa jadi, peristiwa tragis tersebut merupakan suatu musibah yang meninggalkan trauma yang amat sangat bagi setiap orang. Banyak sanak saudara yang hilang, belum lagi harta benda juga ikut hanyut. Bahkan tidak sedikit, bagi mereka yang selamat hanya menyisakan baju yang melekat di badan. Akan tetapi, peristiwa itu dapat diminimalisir dengan membuka lembaran lama. Pada dasarnya, di sebagian kalangan para orang tua di Aceh pernah mendengar tsunami. Oleh masyarakat Aceh tsunami ini dikenal dengan nama ie beuna, sedangkan pada masyarakat Simeulu dikenal dengan nama seumong. Orang yang bijak adalah orang yang dapat memetik hikmah secara positif dari setiap peristiwa. Pada peristiwa tsunami, masyarakat Simeulu tidak terlalu banyak korban karena mereka tahu bahwa setelah terjadi gempa akan diikuti oleh tsunami, sehingga mereka dapat menyelamatkan diri ke daerah yang lebih tinggi. Tidak halnya demikian, dengan warga masyarakat di Banda Aceh atau tempat lain. Di daerah ini, bahkan, merasa heran bahwa setelah terjadi gempa air laut menjadi surut. Mereka mendekati ke laut, padahal tidak lama kemudian laut datang lagi dengan gelombang air yang begitu besar.
Dengan adanya objek wisata tsunami itu, tentunya kita akan mengingat peristiwa kelam yang terjadi penghujung akhir tahun 2004 tersebut. Ingatan yang positif akan membawa kita kepada sikap hati-hati terhadap segala bencana yang ada dan menjadikan kita lebih arif di dalam mengelola alam sehingga korban yang lebih banyak dapat kita hindari di masa generasi mendatang. Bagaimana pun generasi mendatang merupakan aset yang sangat berharga demi kemajuan Aceh.

Suara Ulama dalam Pilkada di Aceh

Pendahuluan
Masuknya Islam ke Aceh pada abad ketujuh atau kedelapan Masehi banyak sekali mempengaruhi adat-istiadat Aceh Bahkan pengaruh Islam itu sangat besar, sehingga ada pepatah yang menyebutkan hukom ngon adat lagee zat ngon sipheuet (hukum (syariat/hukum Islam dengan adat bagaikan benda dengan sifatnya). Selain itu, masyarakat Aceh diakui sangat religius. Ajaran agama Islam merasuk ke dalam sosio kultural dan adat-istiadat masyarakatnya. Bagi masyarakat di daerah ini segala sikap dan pandangannya dan segala macam bentuk benar-salah, bagus-jelek, baik-buruk dan segala macam bentuk penilaian selalu dikaitkan dengan ajaran agama Islam.
Dalam konteks ini ulama mempunyai peran yang cukup penting sehingga terbentuk masyarakat Aceh yang seperti tampak kita lihat pada saat ini. Masyarakat Aceh yang memegang nilai-nilai keislaman. Tulisan ini ingin membahas keberadaan ulama dalam masyarakat Aceh dan kemanakah suara ulama dalam pemilihan kepala daerah langsung (Pilkadasung) 2006 ? Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan tersebut dengan mengedepankan peranan ulama1 alam sosio politik kemasyarakatan terkait dengan pelaksaaan Pilkada yang berlangsung pada tanggal 11 Desember 2006.

Posisi dan Peran Ulama Aceh
Dalam lintasan sejarah masyarakat Aceh, dari periode proses Islamisasi awal hingga saat ini ulama memegang posisi penting dalam kehidupan masyarakat. Ulama menjadi status dengan wewenang yang significant dan adakalanya posisi ini lebih dipatuhi oleh masyarakat dibandingkan kepada pemimpin lainnya. Menarik bahwa walaupun ulama sering diposisikan sebagai pemimpin informal, tetapi pada dataran realitas historis Aceh, tanpa bantuan sosok ulama, maka pemimpin formal menjadi tidak berarti.2 Dengan demikian, posisi ulama di dalam sistem kemasyarakatan dan pemerintahan sepanjang sejarah Aceh cukup dominan.
Peran ini mencapai posisi yang mantap pada masa pemerintahan dipegang oleh Sultan Iskandar Muda. Menurut kronika-kronika Aceh, pembagian ketatanegaraan Aceh dalam bentuk mukim terjadi pada masa pemerintahan Iskandar Muda (1607-1636). Sebagai seorang raja Islam, baik sebagai kepala urusan keduniawian maupun kerohanian, cepat-cepat ia menyadari bahwa Kerajaan Aceh sebagai negara Islam dapat diandalkan hanya dengan mempererat hubungan organisasi kerajaan. Apabila pada masa itu gampong atau kampung merupakan satu kesatuan masyarakat dalam susunan ketatanegaraan yang diperintah langsung oleh seorang ketua yang dinamakan keuchiek, maka Sultan Iskandar Muda menetapkan bahwa tempat-tempat atau kampung yang penduduknya melakukan sembahyang Jum’at dalam mesjid yang sama merupakan daerah yang disebut mukim. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda di seluruh Kerajaan Aceh terdapat hanya 7 buah mesjid yaitu mesjid Baiturrahim terletak di Kutaraja (=dalam), mesjid Baiturrahman yang menjadi sangat terkenal pada ekspedisi kedua, mesjid Indrapuri dalam XXII mukim, mesjid Indrapurwa di Kuala Neujid atau Pancu dalam VI mukim sagi XXV, dan ketiga mesjid di Ladong, Cadek, dan Krueng Raya dalam XXVI mukim.3
Lama kelamaan setelah Islam semakin mengakar di dalam masyarakat para imam yang tadinya mengimami shalat Jum’at di mesjid-mesjid itu berhasil pula melaksanakan kekuasaan-kekuasaan keduniawian terhadap penduduk kampung-kampung yang bershalat Jum’at di mesjid-mesjid yang sama. Lambat-laun para imam ini menyerahkan urusan-urusan kerohanian di dalam daerah mereka kepada orang lain supaya mereka lebih mantap dapat mengurus pemerintahan. Oleh karena itu, ketua yang memerintah suatu mukim kadangkala dinamakan imeum mukim atau imeum adat untuk membedakan antara imeum seumayang di dalam mesjid. Dengan demikian, kesatuan masyarakat asli yaitu gampong melebur dalam kesatuan ketatanegaraan, yaitu mukim dan akibatnya para kepala gampong/kampung atau keuchiek menjadi bawahan imeum mukim.
Semakin banyak penduduk dan meluasnya daerah kampung, maka dengan sendirinya di antara beberarapa anggota yang mengurus kepentingan keluarga dan umum merasakan perlunya mereka lebih bersatu dalam mengerjakan kewajiban-kewajiban agama, yaitu sembahyang lima waktu, melaksanakan pendidikan agama dan sebagainya dalam tempat beribadat yang dinamakan binasah atau meunasah dan terjadilah pembagian kampung dalam meunasah-meunsasah. Ketua meunasah dinamakan teungku meunasah. Ia pun turut dalam mempertahankan kepentingan jama’ahnya di bidang keduniawian sehingga ia menjadi wakil kepala kampung. Oleh karena itu, dewasa ini kesatuan rakyat terkecil adalah meunasah.4
Dalam tataran lebih tinggi, ulama merupakan penasihat sultan. Ia berada pada posisi yang cukup setara dengan jabatan di kalangan pemerintahan. Dapat disebutkan di antaranya, Abdul Rauf As-Singkili merupakan ulama kerajaan yang membuat kanun dan hukum pemerintahan. Ia menduduki jabatan sebagai Qadli Malikul Adil. Sebelumnya, terdapat pula dua ulama besaar lain di Aceh yang cukup mempunyai pengaruh, yaitu Syech Nuruddin Ar-Raniry dan Syech Hamzah Fansuri.
Tatkala Belanda melakukan agresi terhadap kedaulatan Aceh, ulama berada di garis depan pertempuran. Ulama menjadi panglima perang. Beberapa diantaranya dapat disebutkan Teungku Chik Di Tiro. Dayah menjadi tempat menyusun strategi. Bahkan sebagian dayah menjadi semacam lembaga pemberi “ijazah” atau legitimasi bagi para panglima dan prajurit sebelum terjun ke medan peperangan.5
Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan pola hubungan antara ulama di satu sisi dengan masyarakat di sisi lainnya. Jika sebelumnya hubungan kedua belah pihak tidak dalam bentuk “pemimpin dan yang dipimpin”, namun akibat imperialisme barat, hubungan keduanya berubah menjadi hubungan yang bermuatan kepemimpinan vertikal struktural. Walaupun sultan dan uleebalang masih tetap eksis di tengah-tengah masyarakat, namun kepemimpinan ulama menjadi lebih dominan dalam masyarakat.6
Pasca kemerdekaan, sejalan dengan dinamika yang terjadi pada masyarakat Aceh, hubungan kepemimpinan antara masyarakat dengan ulama juga mengalami pergeseran dan perubahan. Yang dimaksud dengan perubahan ini adalah menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap ulama sebagai “suara ulama adalah suara masyarakat”. Ulama tidak lagi dipandang sebagai pemimpin dalam segala aspek kehidupan sosial kemasyarakatan. Jika sebelumnya ketergantungan masyarakat terhadap ulama untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan demikian besar, maka kini masyarakat akan mendapatkan informasi dari berbagai jalur, tidak saja dari ulama. Dari perspektif ini, secara perlahan-lahan hubungan akrab antara masyarakat dengan ulama merenggang.7

Suara Ulama dalam Pilkada
Pasca kemerdekaan, Indonesia telah melakukan beberapa kali pemilihan umum (Pemilu). Dalam setiap pemilu ulama Aceh ternyata ikut terlibat dan berkiprah di dalamnya. Sebelum Pemilu tahun 1987 sebagian besar ulama Aceh memberikan dukungan penuh terhadap Partai Persatuan Pembangunan (P3) sehingga pada setiap Pemilu partai ini selalu menang di Aceh.
Namun menjelang Pemilu tahun 1987 berbagai upaya dilakukan untuk memikat ulama agar bersedia mendukung dan masuk ke dalam Partai Golkar. Akibatnya, sebagian ulama menerjunkan diri dalam bidang politik dengan memberikan dukungan terhadap Golkar, baik sebagai pembicara di kampanye Golkar maupun “bermesraan” dengan pengurus partai tersebut. Akhirnya Golkar yang didukung sebagian ulama ini mulai menunjukkan kemampuannya sebagai partai yang menghimpun massa begitu besar.
Dalam Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung (Pilkadasung) yang diselenggakaran pada tanggal 11 Desember 2006 dukung mendukung dalam bentuk pernyataan dan suara menjadi santapan sehari-hari. Pernyataan dukungan tersebut dapat berasal dari ulama yang dipasang di media cetak atau ketika kampanye berlangsung. Misalnya sebuah iklan8 di media cetak lokal di Aceh menyatakan
“Ulama dukung Ir. Tarmizi/Tgk. Amirullah ... Kami para ulama se Aceh Utara serta 12 partai politik: Menyatakan dukungan kepada Ir. Tarmizi A. Karim/Tgk. Amirullah (Nomor urut 3) sebagai calon bupatai/wakil bupati Aceh Utara. Dukungan ini merupakan hasil musyawarah pada ulama 22 kecamatan mulai dari Pantonlabu s/d Sawang, menilai Tarmizi/Amirullah sosok yang pantas dan mampu memimpin Aceh Utara yang lebih maju dan bermartabat... (adv)”
Selain itu, para kandidat calon bupati/wakil bupati dan kandidat calon gebernur/wakil gubernur dapat kampanyenya seringkali menyertakan ulama sebagai pendukung mereka. Para kandidat tentunya berharap ulama yang mendukung mereka akan diikuti pula oleh para simpatisannya. Misalnya kita lihat lagi iklan sebagai berikut
“Kami ulama Kabupaten Pidie mendukung Bapak Ir. H. Abdullah Yahya MS dan Drs. M Yusuf Ushaq sebagai calon bupati dan calon wakil bupati Kabupaten Pidie periode 2007-2012”, Semoga kelak menjadi pemimpin yang dapat membangun Pidie dengan tema “bertekad bulat bersama membangun Pidie ke depan Mari kita dukung “ ttd Tgk H. Abu Usman Kuta Krueng, Tgk. H. Adnan Batee, Tgk. H. Muhammad Amin Keumala dan Tgk Marzuki (Ketua Forum Komunikasi Anak Dayah Pidie...9
Namun demikian tidak sedikit pula ulama-ulama yang tidak berpihak kepada salah satu kandidat calon bupati/wakil bupati atau kandidat calon gebernur/wakil gubernur. Demikian pula lembaga-lembaga keulamaan dan adat yang ada di Aceh, misalnya MAA, MPU Aceh, dan sebagainya. Mereka tidak menyebutkan nama calon, tetapi mereka hanya berharap siapa pun kandidat calon bupati/wakil bupati dan kandidat calon gubernur/wakil gubernur dapat membawa Aceh ke jenjang yang lebih baik. Masyarakat Aceh dapat lebih aman dan sejahtera. Kalangan ulama dan tokoh adat di Nanggroe Aceh Darussalam mengharapkan kepada para kandidat, baik itu di level gubernur/wakil, bupati/wakil, atau walikota/wakilnya harus siap dan ikhlas jika memang gagal dalam pemilihan. Karena bagaimanapun itu tak lepas dari takdir Allah SWT yang menjadi penentu bagi siapa yang dipercaya menjadi “khalifah” mendatang di Aceh.10Pernyataan Nuzzuzahri, Ketua Himpunan Ulama Aceh memberikan gambaran tentang ketidakikutan lembaga ulama mendukung salah seorang kandidat,
“Kami dari kalangan ulama bersikap netral dan menyerahkan pilihan kepada rakyat. Kami hanya mengharap masyarakat bisa memilih pemimpin yang sesuai dengan hati nurani, yaitu pemimpin yang jujur”,.. tapi kami tegaskan kalangan ulama, khususnya NU di Aceh tak akan masuk dalam politik praktis. Semua kandidat adalah saudara dan kita dekat dengan semuanya, mereka sama-sama orang Aceh”.
Hal senada disampaikan ooleh Muslim Ibrahim (Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh). “Kami tak mengizinkan anggota kami terlibat dalam Pilkada dengan mengatasnamakan organisasi MPU”. Faisal Ali, ketua Rabithah Taliban Aceh (RTA) atau organisasi santri Aceh mengatakan kalangan ulama ingin menyukseskan Pilkada dengan damai dan tidak hendak ikut memecah belah rakyat. “Kalaupun ada ulama yang mendukung salah satu kandidat, itu atas nama pribadi, dan biasanya karena ada kedekatan dengan kandidat”. Menurut Faisal, kalangan ulama memilih untuk mengeluarkan sikap atau tausiyah mengenai Pilkada secara umum.11

Penutup
Perubahan-perubahan peran dan kepemimpinan ulama di Aceh tengah berlangsung. Peran ulama yang begitu dominan pada masa dahulu di setiap kehidupan masyarakat Aceh berangsur surut. Ulama sebagai panutan bagi masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam konteks kehidupan masyarakat saat ini ulama hendaknya menarik diri dalam kehidupan politik praktis. Ia harus berdiri pada posisi netral dalam setiap hiruk pikuk politik yang memihak salah satu golongan. Dalam rangka membangkitkan peran ulama sebagai warasatul anbiya, ulama harus memposisikan sebagai pembimbing dan penuntun masyarakat.
Dalam Pilkadasung tahun 2006 ini, sebagian ulama memang ada yang berpihak pada satu golongan, tetapi tidak sedikit pula mereka yang memposisikan pada sudut netral. Lembaga-lembaga ulama banyak pula yang memilih netral, hanya saja individu-individu yang menyatakan dukungannya pada calon tertentu.

Catatan Akhir
[1] Menurut Ismuha, ulama berasal dari bahasa Arab, jama’ (plural) dari kata alim yang berarti orang yang mengetahui, orang yang berilmu. Ulama berarti para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan atau para ilmiawan. Di Aceh khususnya dan di Indonesia umumnya perkataan ulama hanya digunakan untuk para ahli agama Islam saja. Lihat Ismuha, “Ulama dalam Perspektif Sejarah”, dalam Agama dan Perubahan Sosial. Taufik Abdullah (ed.). (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1983). hlm. 3. Sementara menurut Rusdi Sufi (1997: 5) mengatakan bahwa ulama adalah aparat pendamping dan penasehat umara atau pemimpin adat dalam melaksanakan pemerintahan khususnya dalam memecahkan berbagai persoalan yang menyangkut bidang hukom. Dengan kata lain ulamalah yang membantu atau memberi nasihat kepada sultan, panglima sagoe, uleebalang dan sebagainya dalam berbagai hal yang berkenaan dengan masalah keagamaan dalam wilayah kekuasaannya. Dengan demikian, ulama ini dalam struktur pemerintahan tradisional di Aceh dikenal dengan pemimpin agama. Lihat Rusdi Sufi. “Ulama dan Umara dalam Perspektif Sejarah di Aceh”, Haba No. 5/1997. (Banda Aceh: BKSNT Banda Aceh, 1997).
2Aslam Nur, “Peranan Ulama dalam Merevitalisasi Kesadaran Berbangsa (Refleksi Historis Antropologis)”, Makalah dalam Sarasehan Guru Bidang Ilmu Sejaarah dan Ilmu Sosial/Budaya yang diselenggarakan BKSNT Banda Aceh 22-23 November 2006 di Aceh Besar.
3K.F.H. Van Langen 1986. hlm. 11-12.
4Ibid.
5Dayah seperti ini biasanya dinamakan Zauyah. Salah satu di antaranya adalah zauyah Tanoh Abe Aceh Besar. Tokoh penting dalam perjuangan melawan penjajah di antaranya adalah Tgk. H. Syech Abdul Wahab yang merupakan pejuang pada zaman kemerdekaan. Tokoh lainnya adalah Tgk. Chiek Tanoh Abee yang menjadi penasihat Perang Atjeh. Lihat Ahmad Arif. “Demokratisasi Menanti Suara Ulama Dayah Aceh...”, Kompas tanggal 1 Desember 2006.
6slam Nur, op.cit., hlm. 3.
7bid.
8Serambi Indonesia, tanggal 5 Desember 2006
9Serambi Indonesia, tanggal 7 Desember 2006.
10Serambi Indonesia, tanggal 4 Desember 2006
11Ahmad Arif. op.cit. hlm. 5.

Perantauan dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Desa di Aceh

Oleh: Agus Budi Wibowo

Pendahuluan
Riwayat migrasi adalah setua riwayat manusia. Definisi migrasi menurut Brinley Thomas adalah gerakan perpindahan dari satu negara ke negara lain yang terjadi karena kemauan sendiri dari yang bersangkutan, baik secara perseorangan maupun perkelompok (Indriani, 1999: 17). Kenyataannya migrasi terjadi karena terpaksa, sedangkan pelaksanaannya pun ada yang diatur dan yang tidak diatur dengan berbagai faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor) seperti keadaan alam, keadaan politik dan keamanan, tetapi di antara faktor tersebut yang paling dominan adalah faktor ekonomi. Bagaimanapun, secara demografis, migrasi akan mempengaruhi daerah asal pengiriman dan penerimaan.
Salah satu bentuk migrasi adalah merantau. Merantau berasal dari kata rantau. Menurut Winstedt, Iskandar dan Puwadarminta adalah kata benda yang menunjuk kepada sebuah dataran atau pinggiran sungai sehingga dikenal dengan daerah pantai. Merantau dengan awalan me dapat berarti pergi ke rantau dan sering juga disebut melakukan perantauan. Merantau mengandung beberapa elemen utama yaitu meninggalkan kampung halaman, dengan kemauan sendiri, untuk jangka waktu yang lama atau tidak dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman, biasanya dengan maksud kembali pulang dan merantau merupakan lembaga sosial yang membudaya (Naim, 1974: 18). Di Indonesia ada beberapa suku bangsa yang mempunyai budaya merantau, yaitu suku bangsa Minang, Jawa, Bugis, Madura, dan Aceh – Pidie.
Masyarakat Aceh mendefinisikan merantau sebagai pergi mencari penghidupan ke negara lain. Masyarakat di daerah ini mengenal beberapa macam istilah yang mengandung makna merantau, antara lain jak u timo (pergi ke timur/merantau ke timur) dan jak meudagang (belajar ke pesantren serta meurantao (pergi mencari pengalaman dan penghasilan). Dari berbagai versi merantau yang ada di Aceh Siegel (1969) menggolongkan merantau itu menjadi dua tipe rantau, yaitu merantau ke timur (jak u timo) dan merantau ke pesantren.
Tulisan ini berusaha menjawab merantau dalam kaitannya dengan usaha pemberdayaan ekonomi masyarakat desa. Diasumsikan kegiatan merantau ini mempunyai nilai ekonomi, sehingga dapat memberdayakan ekonomi masyarakat desa.

Macam dan Latar Belakang Tradisi Merantau di Aceh (Pidie)
Pada bagian di muka telah disebutkan secara sekilas macam-macam dari merantau yang ada di Aceh. Bentuk atau tipe pertama menurut Siegel sudah muncul sejak lama, sebelum tipe rantau kedua muncul. Prosesnya dimulai dengan berangkatnya orang-orang Aceh ke daerah pesisir pantai Barat untuk menanam lada di ladang. Dalam hal ini masyarakat Aceh mengenal rantau barat dan rantau timur yang berarti merantau ke pantai barat dan merantau ke pantai timur. Merantau ke timur merupakan rantau berjarak jauh, sehingga kaum laki-laki hanya pulang ke kampung setiap beberapa tahun. Sifat rantau ini hanya sementara, sehingga mereka tidak membawa istri dan anak-anaknya di daerah perantauan. Siegel menyebutkan bahwa tipe rantau ini lebih berkaitan dengan tujuan ekonomi (Budiarti, 1989: 31).
Tipe rantau kedua, yaitu merantau ke pesantren muncul karena pengaruh ulama. Ulama menawarkan suatu alternatif bagi laki-laki untuk merantau dengan jarak dekat agar seseorang laki-laki (suami) mempunyai hak terhadap istri dan anak-anaknya karena mereka tidak meninggalkan kampung halaman.
Kehidupan pesantren dapat dipandang sebagai bentuk merantau. Menurut Snouch Hurgronje (1906: 26) kata yang berarti untuk belajar ke pesantren berarti sama seperti meudagang sesungguhnya berarti untuk menjadi orang asing yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Seseorang tidak dapat menjadi ulama dengan belajar di daerah kelahirannya, tanpa ke luar kampung dan mencari tempat tepat untuk menjadi ulama. Orang Aceh mengatakan bahwa tidak akan pernah ada seorang laki-laki pun yang menjadi alem tanpa ke luar kampung untuk merantau ke pesantren. Karenanya, setiap orang Aceh harus ke luar dari daerahnya untuk menjadi orang yang dihargai di daerahnya sendiri.
Dalam beberapa tulisannya Siegel menjelaskan bahwa gejala merantau di Aceh lebih banyak disebabkan alasan ekonomi daripada sosial budaya. Hal ini dikarenakan pada saat ia melakukan penelitian, keadaan ekonomi pedesaan di Aceh saat itu sangat buruk yang mana kondisi ekonomi ini diakibatkan revolusi sosial yang sedang berlangsung di Aceh. Siegel kurang memperhatikan faktor lain selain faktor ekonomi. Padahal ada faktor lain yang mendorong orang Aceh melakukan perantauan.
Budiarti (1989: 33-34) menunjukkan bahwa faktor sosial budaya merupakan faktor penting yang harus turut diperhatikan untuk menganalisis penyebab tradisi merantau di daerah Aceh ini. Pertama, di sana struktur sosial masyarakat Aceh yang matrilokal, pasangan pengantin harus tinggal di kerabat istrinya sampai anak pertama lahir (sekitar 3–4 tahun). Setelah itu mereka berpisah rumah karena mertua memberi rumah kepada anak perempuannya. Seorang suami karenanya tidak otonom, tetapi tergantung kepada mertuanya, ia tidak memiliki kekuasaan mantap di rumah istrinya dan tidak pula di rumah ibunya. Istri di Aceh disebut po rumoh (yang punya rumah), yakni yang memiliki kekuasaan atas rumah yang mereka tempati.
Kedua, pola pengasuhan anak yang membuat seseorang anak tidak betah di rumah. Dalam masyarakat Aceh terdapat suatu kecenderungan yang mana anak laki-laki yang telah berumur kira-kira 5 tahun atau 6 tahun diharuskan meninggalkan rumah di shubuh buta untuk pergi ke meunasah belajar Al Qur’an. Setelah mengaji biasanya langsung ke tempat-tempat yang tidak jauh dari meunasah yang disebut bale (B. Alamsyah, 1992: 70). Mereka yang pulang kalau akan makan atau dipanggil oleh orang tua untuk membantu bekerja sesudah anak laki-laki mencapai umur 12 tahun dan sudah disunat sebagai tanda bahwa mereka telah dewasa, maka tidak ada kesempatan baginya untuk tinggal di rumah. Mereka sudah harus tidur di meunasah. Dari fenomena sosial ini dapat dilihat bahwa kebiasaan untuk tidak tinggal di rumah telah tumbuh pada diri seseorang sejak masih kecil, yaitu sejak umur 6 tahun sampai memasuki jenjang kedewasaannya. Dari kecil dibiasakan untuk menjauhi rumah, sehingga perasaan tinggal di rumah sangat terbatas.
Ketiga, perantau merupakan sebuah upaya untuk menghindarkan ketidaksesuaian dalam keluarga yang bersifat meluas. Dalam sistem keluarga luas suami dan istri masing-masing tetap merupakan bagian dari keluarga induk. Hubungan marital mereka sering mengalami kegoncangan karena hubungan lebih ditentukan oleh faktor eksternal berupa interaksi antarkeluarga induk. Laki-laki walaupun terhitung sebagai anggota keluarga di rumah ibunya tidak mendapat bagian harta warisan. Peranan suami di rumah istrinya tidak begitu penting, baik sebagai suami maupun sebagai ayah. Ia tidak begitu berperan dalam kehidupan ekonomi dan tidak berperan dalam proses membesarkan dan mendidik anak karena ia jarang tinggal di rumah. Kaum laki-laki seperti tamu di rumah istrinya. Dengan demikian, struktur sosial yang seperti dikemukakan di muka inilah yang telah melahirkan pola merantau di Aceh.

Perantauan dan Pemberdayaan EkonomiM
Menurut banyak ahli kependudukan di Indonesia, masyarakat Indonesia dapat digolongkan dalam masyarakat yang biolocal. Artinya, walaupun ia sudah menetap di suatu tempat (merantau), tetapi suatu saat ia akan tetap kembali ke kampung halamannya. Kondisi yang demikian membawa konsekuensi kepada keadaan yang mana seseorang yang telah merantau akan tetap menjalin hubungan dengan daerah asalnya. Hubungan antarkeduanya dapat berupa hubungan langsung dan hubungan tidak langsung. Hubungan tidak langsung dapat berupa saling berkirim kabar, baik melalui surat maupun alat komunikasi lainnya ataupun mengirimkan barang atau uang kepada keluarga di kampung halaman, yang biasanya dilakukan pada saat tertentu seperti lebaran, acara hajatan, dan lain-lain.
Hubungan antarkerabat dengan perantau merupakan potensi yang besar dan amat baik dikembangkan. Barang-barang atau uang yang dikirim (remitance) ke kampung halaman adalah salah satu potensi yang amat merugikan apabila dilupakan begitu saja. Sebuah daerah di Yogyakarta (Kab. Gunung Kidul) menerima pemasukan uang dari perantau sampai kira-kira Rp. 5 Milyar per bulan. Potensi ini tentunya sangat menguntungkan untuk pembangunan daerah. Uang tersebut dapat digunakan untuk membangun daerah, baik fisik maupun nonfisik. Partisipasi dari para perantau akan meringankan beban yang disandang oleh pemerintah daerah setempat.
Melihat potensi yang ada seperti contoh di atas tentu tidak berlebihan apabila hal ini diterapkan di Daerah Istimewa Aceh. Daerah yang saat ini terpuruk akibat krisis ekonomi dan konflik politik, tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk mengatasi masalah-masalah yang saat ini sedang berkembang di masyarakat. Salah satu bantuan dana yang dapat diharapkan dapat berasal dari sumbangan para perantau ini.
Nilai-nilai budaya untuk selalu memperhatikan kampung halaman tetap dipahami dan dihayati oleh masyarakat Aceh walaupun mereka telah sukses di perantauan akan sangat membantu menggugah agar para perantau mengulurkan bantuannya ke daerah Aceh. Rasa ikut menanggung dengan apa yang dirasakan, walaupun berada di daerah rantau dapat diwujudkan dalam bentuk sumbangan. Di samping itu hal ini biasanya orang perantau juga merasakan kesulitan-kesulitan yang pernah dialaminya ketika masih tinggal di kampung halaman. Karenanya, pemerintah daerah asal daerah mereka dapat membuat usulan guna mengadakan perbaikan-perbaikan di daerah asalnya. Dalam usulan itu biasanya meraka ikut membantu pendanaan hasil perseorangan maupun memprakarsai untuk selalu menghimpun dana di daerah rantau.
Apabila kondisi-kondis yang menguntungkan ini dapat dikembangkan dan dikoordinasikan dengan baik bukan tidak mungkin para perantau dapat memberdayakan ekonomi daerah. Karenanya, dituntut suatu kemauan dan koordinasi antara pemerintah daerah dan perantau melalui perkumpulan dan paguyuban yang ada.

Penutup
Dunia yang semakin modern biasanya akan ditandai dengan semakin banyaknya mobilitas yang dilakukan oleh penduduknya. Penduduk yang dimungkinkan tidak dapat bertahan di suatu daerah akan melakukan migrasi ke suatu daerah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Karenanya, migrasi merupakan salah satu cara mengatasi suatu tekanan ekonomis dan sosiologis di suatu daerah.
Banyak studi menunjukkan bahwa perantau banyak yang sukses setelah mereka berada di perantauan. Kondisi sosial ekonomi para perantau ini menjadi lebih baik setelah berada di perantauan. Mereka inilah sebetulnya yang berpotensi ikut membangun daerah asalnya. Nilai-nilai budaya yang berupa ikatan bathin dengan daerah asal dan pengetahuan tentang daerah asalnya amat membantu mengatasi masalah-masalah yang ada di daerah.

Makna Busana Bagi Remaja Putri di Aceh

Oleh: Agus Budi Wibowo

Pendahuluan
Pada awal tanggal 15 Maret 2002/ 1 Muharam 1423 H, Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Ir. Abdullah Puteh secara resmi mencanangkan pemberlakuan pelaksanaan syariat Islam di daerah ini. Semua berharap, setelah pencanangan pemberlakuan syariat Islam itu, masyarakat Aceh akan melihat Islam dilaksanakan secara kaffah. Namun, apa yang diharapkan belum terlaksana dengan baik. Misalnya, apabila kita perhatikan di beberapa kota di daerah ini, pemakaian busana muslimah secara kaffah belum dijalankan. Masih ada sebagian anggota masyarakat masih seenaknya saja dalam berbusana. Hasil penelitian Agus Budi Wibowo di Banda Aceh tahun 2000 dan di Sabang tahun 2001tentang aspek busana yang dikenakan di kalangan remaja wanita menunjukkan bahwa masih ada remaja putri muslim yang belum berbusana muslimah secara kaffah. Amatan para pembaca yang dimuat di harian umum Serambi Indonesia juga tidak jauh berbeda. Malahan, mereka menggugat para remaja untuk memakai busana muslimah secara kaffah seiring dengan pemberlakuan pelaksananaan syariat Islam.
Padahal kalau kita amati masuknya Islam ke Aceh pada abad ketujuh atau kedelapan Masehi banyak sekali mempengaruhi adat-istiadat Aceh Bahkan pengaruh Islam itu sangat besar, sehingga ada pepatah yang menyebutkan hukom ngon adat lagee zat ngon sipheuet (hukum (syariat/hukum Islam dengan adat bagaikan benda dengan sifatnya). Selain itu, masyarakat Aceh diakui sangat religius. Ajaran agama Islam merasuk ke dalam sosio kultural dan adat-istiadat masyarakatnya. Bagi masyarakat di daerah ini segala sikap dan pandangannya dan segala macam bentuk benar-salah, bagus-jelek, baik-buruk dan segala macam bentuk penilaian selalu dikaitkan dengan ajaran agama Islam (M. Hakim Nyka Pha, 2000). Dengan demikian, kita dapat mempertanyakan gejala apa yang tengah terjadi di dalam masyarakat sehingga, pemberlakuan tidak serta merta merubah wajah daerah ini menjadi daerah yang dipenuhi lautan para gadis dengan jilbab yang benar-benar bernuansa Islami. Tulisan ini berusaha menjawab permasalahan yang terjadi di dalam kalangan remaja dengan melihat makna pakaian bagi mereka. Melalui pendekatan makna dalam melihat suatu masalah sangatlah penting karena hal ini akan menggiring kita kepada pemahaman tentang suatu hal seperti yang dikehendaki oleh seseorang atau sekelompok masyarakat. Hal ini berarti juga mendekatkan kita pada pembahasan tentang aspek nilai-nilai budaya bagi seseorang atau sekelompok masyarakat. Agar masalah yang dibahas dapat dipertanggungjawabkan aspek ilmiahnya, maka penulis menggunakan metode pemahaman yang sering dipakai sebagai pisau analisis dalam melihat perilaku manusia.

Pendekatan Pemahaman melalui Hermeneutik
Secara etimologi, hermeneutik berasal dari bahasa Yunani. Sebagai kata benda, kata hermeneutik menjadi hermeneurin dan sebagai kata kerja menjadi hermeneneria. Baik sebagai kata benda maupun sebagai kata kerja hermeneutik mempunyai kemungkinan tiga arti, yaitu ekspresi dan mengekspresikan, uraian dan menguraikan, serta terjemahan dan menerjemahkan. Secara umum pasangan dari kata benda dan kata kerja dari hermeneutik dapat diartikan sebagai tafsiran dan menafsirkan, atau interpretasi dan menginterpretasikan. Karena itu seorang ahli filsafat seperti Chladenius (1986) secara umum menyebut interpretasi untuk mengganti istilah Yunani, hermeneutik itu. Ninuk P. Kleden membedakan kedua istilah tersebut. Istilah hermeneutik digunakan dalam arti disiplin (ilmu) dan istilah interpretasi digunakan untuk menunjukkan proses (baca: proses berpikir) (Ninuk P. Kleden, 1999).
Kalau kita kembali pada ketiga kemungkinan referensi yang ditunjuk oleh etimologi tersebut tentu ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan yaitu apakah yang diekspresikan, apakah yang diuraikan dan apakah yang diterjemahkan di dalam pendekatan pemahaman melalui hermeneutik ? Pertanyaan pertama dapat dijawab dengan menggunakan contok dari penelitian bahasa. Melalui bahasalah orang mengekspresikan pikiran dan perasaannya.
Kemudian, pertanyaan kedua, apakah yang diuraikan di dalam hermeneutik itu ? Dalam arti pertama, yang diekspresikan adalah pikiran dan perasaan manusia; dan dalam arti kedua adalah pikiran dan perasaan manusia yang diuraikan. Uraian semacam ini sangat diperlukan. Melalui uraian –dalam contoh bahasa- ingin dicapai kebenaran makna bahasa semaksimal mungkin.
Selanjutnya apakah yang diterjemahkan oleh hermeneutik ? Tentu tidak jauh dari pikiran dan perasaan itu pula. Kata terjemahan itu sendiri mengingatkan kita pada pemindahan pesan dan pemindahan pikiran, baik yang dilakukan dari satu bahasa ke bahasa yang lain maupun pemindahan yang terjadi dalam satu bahasa oleh orang-orang yang berbeda. Bentuk terjemahan yang disebutkan terakhir ini ke bentuk yang diwujudkan dalam suatu bahasa tertentu dan pemindahan pikiran sebagaimana layaknya orang berbahasa. Apabila seorang berbicara kata-kata, kalimat dan makna pembicaraannya ditangkap oleh pendengarnya yang akan menginterpretasikan apa yang dikatakan tersebut.
Uraian di atas memperlihatkan ada tiga konsep kunci yang harus dikuasai oleh mereka yang bekerja dengan pendekatan pemahaman dalam artian hermeneutik. Ketiganya adalah pengalaman, ekspresi dan terjemahan. Pengalaman adalah dasar-dasar pemahaman, ekspresi diasumsikan sebagai perwujudan pikiran dan terjemahan adalah pengalihan wacana.

Makna Pakaian
Pada bagian ini penulis akan membahas tentang makna pakaian bagi remaja melalui pendalaman tentang persepsi mereka terhadap busana tersebut. Melalui persepsi ini akan dicoba dicari makna pakaian di kalangan remaja sehingga ide dasar tentang pakaian dapat diketahui. Dalam kaitannya proses pemaknaan pakaian bagi renaja, maka ada tiga makna pakaian dalam persepsi remaja terhadap busana muslimah. Ketiga makna itu adalah pakaian sebagai penutup aurat, pakaian sebagai salah satu wujud pelaksanaan ajaran agama dan pakaian sebagai wujud identitas. Malinowski menyatakan bahwa kebiasaan yang melembaga dan kepercayaan bersifat fungsional bagi kebudayaan secara menyeluruh (Robert K. Merton, 1989). Yang perlu dicatat bahwa ketiga makna itu saling berkaitan satu sama lainnya.

a. Pakaian sebagai busana penutup aurat
Berbeda dengan makhluk lain, manusia mempunyai kebutuhan psikis. Salah satu kebutuhan psikis itu adalah rasa malu. Malu merupakan persoalan kejiwaan yang dialami oleh semua manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota masyarakat. Malu ini terkait dengan berbagai aspek, baik menyangkut masalah sosial, budaya, dan lain-lain.
Salah satu wujud malu pada manusia itu adalah menutup bagian tubuh yang vital sehingga tidak tampak oleh orang lain. Oleh karena itu, agar tidak malu, maka manusia melakukan berbagai usaha. Dengan perasan malu kita masuk ke dalam harga diri terhadap pikiran-pikiran orang lain. Malu adalah kesadaran kehilangan harga diri sebagai akibat ketidak berharganya kita di mata orang lain. Kalau yang mengetahui itu bukan orang lain, tetapi diri sendiri, malu dekat sekali sifatnya dengan perasaan bersalah (S. Takdi Alisyahbana, tt). Dengan demikian, apabila suatu saat bagian tubuh vital kita diketahui, maka kita akan mendapatkan rasa malu.
Pada konteks budaya Aceh, rasa malu ini terkait sekali dengan ajaran agama Islam, yang menjadi panutan masyarakat Aceh. Pada level normative, konsep “kesucian” adalah konsep yang amat penting dalam ajaran Islam. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri” (Al Qur’an, 2: 222). Demikian juga Rasulullah bersabda, “kebersihan itu adalah sebahagian dari iman”. Kesucian dalam terminologi Islam sering disebut dalam istilah thaharah. Menurut Houtsa (1987) arti dari thaharah bukan saja kesucian, namun ia juga bermakna tata cara bersuci (Aslam Nur, 1996). Menurut Rahmah (1980) di samping itu, kata “thaharah juga mencakup makna kesucian jiwa dan raga. Para ahli teologi Islam telah membagi kondisi suci ke dalam kategorisasi yaitu penyucian phisik dari debu, anggota badan dari segala sesuatu yang kotor, penyucian hati manusia dari nafsu syaithaniyah, dan penyucian jiwa dari segala spirit menyekutukan Allah.
Adapun cara yang terbaik untuk melihat kesucian ini dalam masyarakat Aceh dapat dilihat dari konsep kosmologi masyarakat Aceh. Dalam masyarakat Aceh, alam dibagi menjadi dua bagian, yaitu alam lahe (alam luar) dan alam baten (alam bathin). Alam lahe adalah dunia yang dapat dilihat dirasa dan diketahui dengan menggunakan panca indera manusia. Sementara alam baten bersifat alam yang tidak dapat dilihat, tersembunyi dan tidak diketahui semata-mata menggunakan panca indera. Oleh karena itu, untuk melihat fenomena tentang cara berpakaian ini dapat dilihat pula dengan konsep seperti tersebut di atas.
Pada masyarakat Aceh, berpakaian adalah merupakan salah satu wujud pelaksanaan konsep kesucian dalam alam lahe dan alam baten. Dalam alam lahe, pakaian digunakan untuk menutupi bagian tubuh yang menyebabkan rasa malu, sedangkan dalam alam baten pakaian dipergunakan dengan menunjukkan niat baik.
Menurut Abidin Hasyim et al. (1997) ada beberapa hal yang dapat menyebabkan rasa malu di kalangan orang Aceh, yaitu seorang ibu akan malu jika anaknya berpakaian kurang pantas, seorang ayah malu jika anak gadisnya berpakaian tidak sopan berjalan di depan. Oleh karena itu, pakaian yang sopan dan menutup aurat adalah sebuah kewajiban bagi anak-anak Aceh karena hubungan antar keluarga dapat menyebabkan seksphobia dan kadang-kadang berkonotasi seksual. Dengan demikian, keserasian dalam keluarga dicapai melalui sikap menghindar, membatasi pergaulan (Abidin Hasyim dkk, 1997). Misalnya, setelah Sunat Rasul, anak laki-laki harus selalu memakai celana untuk menutup kemaluannya (sebelumnya, mereka masih sering bermain dengan telanjang). Selain itu, anak laki-laki sudah amat jarang bermain dengan anak wanita. Dalam kaitan ini, masyarakat Aceh pada dasarnya sudah mempunyai aturan-aturan tentang tata cara berpakaian (M. Hoesin, 1970). Untuk itu, mereka mempunyai istilah geu takot keu angkatan, geumalee keu pakajan, artinya takut pada angkatan dan segan pada pakaian.

b. Pakaian sebagai pemenuhan salah satu kewajiban agama
Dalam antropologi terhadap studi agama, agama selalu dipahami sebagai sesuatu yang mempunyai dua elemen utama, yaitu kepercayaan (believe) dan tindakan agama (ritual) (Tylor, 1979; Parson, 1979). Menurut Bell (1992) hubungan kedua elemen tersebut dapat dipahami dalam pemahaman bahwa kepercayaan adalah concept sementara ritual merupakan action. Kepercayaan sebagai konsep akan menggerakkan aktivitas dan aktivitas itu sendiri adalah ritual (Aslam Nur, 1996: 71). Kepercayaan jika ditransilasikan dalam konsep Islam adalah Aqidah sementara terminologi ritual adalah ibadah.
Ibadah dalam konsep Islam dibagi ke dalam dua klasifikasi, yaitu ibadah khasanah (ibadah khusus) dan ibadah ammah (ibadah umum). Pada bagian yang disebut pertama mencakup seluruh ibadah wajib yang harus dilaksanakan setiap muslim, khususnya kewajiban agama yang termasuk di dalam rukun Islam. Sementara yang terakhir (ibadah ammah) adalah seluruh aktivitas yang dilakukan oleh pribadi muslim dengan berlandaskan niat mencari keridhaan Allah (Mahayuddin, 1986). Dalam ucapan bahasa Aceh, ibadah khasanah sering disebut dalam ungkapan ibadah wajeb. Sebaliknya, ketika orang Aceh menyebut ibadah ammah, mereka menyebutnya dalam sebutan amai. Kata amai berasal dari bahasa Arab, yaitu amal yang bermakna perbuatan atau pekerjaan. Walaupun demikian, kata amai dalam bahasa Aceh hanya perbuatan-perbuatan yang berkonotasi dalam konteks mencari keridhaan Allah semata. Busana muslimah adalah busana yang memang diwajibkan dikenakan kepada seluruh muslimah. Busana muslimah adalah busana yang menutup aurat. Dengan demikian, busana muslimah yang dikenakan oleh remaja harus sesuai dengan tata aturan yang ada dalam ajaran Islam. Apabila seorang perempuan tidak berbusana seperti yang ditentukan, maka mereka berdosa.
Adanya keyakinan bahwa apabila seorang perempuan tidak berbusana muslimah akan berdosa mendorong kaum perempuan untuk mengenakan busana muslimah. Apalagi bagi mereka yang berbusana muslimah juga akan mengurangi efek negatif lainnya.
Menurut Buitelaar (1999), dalam ajaran Islam, pahala disebutkan dengan kata ajr, yang bermakna balasan dari seluruh pekerjaan baik atau juga bermakna simpanan untuk mendapatkan surga. Dasar tentang konsep pahala dalam Islam dapat dilihat dalam Al Qur’an
“Barang siapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barang siapa membawa perbuatan yang jahat, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahataanya, sedangkan mereka sedikitkun tidak dianiya (dirugikan)” (surah 6:160)

c. Pakaian sebagai salah satu wujud eksistensi diri
Sebagai makhluk hidup, manusia mempunyai beberapa kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Salah satu kebutuhan pokok itu adalah sandang (pakaian). Pakaian ini dipergunakan untuk kebutuhan dasar manusia (basic need), yaitu melindungi anggota tubuh manusia (aurat) dari terik matahari atau keganasan alam.
Walaun demikian, karena sifat manusia yang tidak pernah puas, pakaian tidak hanya sekedar sebagai pemenuhan kebutuhan pokok saja. Maslow mengatakan bahwa manusia mempunyai beberapa kebutuhan selain kebutuhan dasar. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pakaian yang dikenakan tidak hanya menutupi aurat, tetapi juga harus menampilkan citra diri/harga, klas sosial, dan sebagainya. Dengan kata lain, pakaian harus dapat menunjukkan eksistensi seseorang.
Untuk mencapai hal itu, pakaian yang dikenakan oleh manusia tidak sekedar kain yang dibalutkan/dikenakan di tubuh saja. Pakaian dibuat sedemikian rupa sehingga tampak rapi, indah, dan berkelas. Selain itu, agar tampak lebih indah, pakaian dilengkapi pula dengan berbagai aksesoris. Misalnya, di kalangan wanita, selain pakaian yang dikenakan mereka juga memakai berbagai aksesoris untuk menunjang penampilannya, seperti bross, sepatu, stocking dan lain-lain.
Selain untuk menampilkan citra diri secara individu, pakaian juga dapat menampilkan sebuah kelompok atau komunitas. Dalam kajian sosiologis, pakaian dan aksesoris seseorang mencerminkan siapa orang itu. Bahkan apa yang kita kenakan mengkomunikasikan diri kita lebih segera dan lebih kuat efeknya dibandingkan yang dapat dilakukan melalui komunikasi verbal (Kompas, 2000: 17). Ketika kita jalan di mall, misalnya, dengan segera kita akan mengenal pramuniaga dari seragam, sepatu, stocking, rias wajah, dan rambut yang mereka kenakan tanpa kita perlu bertanya kepadanya apa pekerjaannya.
Oleh karena itu, pakaian dan aksesoris menjadi sebuah cara untuk menunjukkan sebuah kelompok mana seseorang mengidentifikasikan dirinya. Misalnya, jas dan dasi adalah pakaian kelompok pekerja “krah putih”. Sementara itu, perempuan pedagang di Pasar Klewer Solo Jawa Tengah dari generasi yang lebih tua rata-rata berkain kebaya. Hal yang sama, celana jeans dan kaos/pakaian ketat adalah pakaian anak-anak remaja.
Mengacu pada hal tersebut, tidak mengherankan para remaja mengenakan pakaian sesuai dengan indentitas keremajaannya. Mereka tidak ingin menghilangkan jati diri mereka sebagai remaja. Tidak mengherankan, apabila remaja di Kota Sabang menampilkan pakaian yang dikenakan dengan menunjukkan kegairahan remajanya.

Remaja dan Gaya Busana
Martabat Aceh atau nilai keacehan ditentukan oleh perilaku budaya orang Aceh. Perilaku budaya ini tertuang dalam pemahaman dan sikap beragama, berbahasa, adat istiadat, hukum, akhlak, kesenian, cara beribadat dan sebagainya dari masyarakat Aceh itu sendiri. Sejauh mana perilaku budaya itu masih berjalan di atas kondisi normal atau wajar, bukan yang diamalkan secara terpaksa.
Kalau kita amati perilaku budaya Aceh itu nampaknya telah terjadi erosi. Hal itu disebabkan oleh dua faktor, pertama pengaruh dari luar, yaitu sikap budaya Aceh telah bergeser karena adanya tekanan dari luar Aceh yang melanda Aceh karena globalisasi yang tidak dapat dielakkan. Hal ini tampak dari model pakaian yang dipakai, kendaraan yang dinaiki, perlengkapan rumah yang dimiliki sebagai produk global yang melanda dunia. Celana pantelon, jins, sepeda motor, kompor gas, kulkas adalah salah satu wujud realitas dari perkembangan zaman. Kedua, pengaruh dari dalam masyarakat Aceh itu sendiri. Pengaruh dari dalam dapat terjadi ketika orang Aceh sendiri telah melunturkan nilai-nilai keacehannya yang disebabkan oleh mental orang Aceh yang tidak setia kepada budayanya. Akibat adanya kedua kekuatan yang mempengaruhi kondisi kekinian dari budaya Aceh tersebut adalah melemahnya ikatan-ikatan tradisional seperti berubahnya hubungan antargenerasi dan perkawinan sehingga kultur kehilangan kontrol terhadap pembentukan suatu tipe sistem sosial (Irwan Abdullah, 1999). Otoritas tradisi dalam hal ini mulai melemah yang digantikan dengan rasionalitas yang kemudian menjadi pegangan dalam setiap pengambilan keputusan. Orang tua (akibat perubahan hubungan antargenerasi) atau pemimpin mulai kehilangan otoritas tradisional dalam berhubungan dengan masyarakat sehingga kontrol hanya dilakukan dengan instrumen kekuasaan modern yang lebih kompetitif dan berdasarkan negosiasi.
Hal-hal seperti tersebut di atas sedang dihadapi pula oleh remaja putri di Aceh. Realitas remaja putri kekinian yang tampak adalah mereka lebih “bebas” dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Menurut Abidin Hasyim dkk, di kalangan orang-orang berpendidikan terutama yang hidup di kota telah terjadi pergeseran budaya malu. Bagi golongan ini keserasian hubungan keluarga tidak dicapai melalui sikap menghindar, membatasi pergaulan dan sebagainyaKeserasian menurut mereka dapat diperoleh melalui hubungan yang normal, rasional, dan saling menghormati. Bagi mereka yang telah terbiasa dengan pergaulan kota tidak menimbulkan seks phobia terhadap hubungan, misalnya hubungan antara menantu laki-laki dengan ibu mertua. Mereka tidak memandang hubungan itu dengan konotasi seksual. Hubungan dapat berlangsung wajar, rasional dan saling menghargai. Keserasian hubungan keluarga dapat ditegakkan atas dasar nilai-nilai baru yang lebih rasional. Dengan demikian, para orang tua dapat “menerima” apabila melihat putrinya tidak berpakaian muslimah secara kaffah.
Realitas kekinian remaja putri tidak terlepas pula dari sikap dan persepsi mereka sendiri terhadap gaya busana muslimah serta industrialisasi dan globalisasi yang melanda dunia. Konsep cantik bagi wanita sekarang amat berbeda dengan konsep cantik yang dimiliki oleh generasi sebelumnya. Konsep cantik di kalangan remaja tidak hanya dipengaruhi budaya lokal, tetapi turut pula dipengaruhi budaya luar. Kedua aspek yang disebutkan itu akan menjadi referensi remaja dalam berbusana. Mereka lebih berani, cuek, dan lebih bersemangat bebas dibandingkan generasi di atas mereka. Dengan demikian, gaya busana mereka lebih memilih baju-baju kasual untuk kegiatan sehari-hari mereka. Agus Budi Wibowo (2001) mengidentifikasi ada empat gaya busana muslimah di kalangan remaja putri dari hasil penelitian di Kota Sabang, yaitu gaya busana ke sekolah, gaya busana ke tempat umum, dan gaya busana ke tempat ibadah serta gaya busana pesta. Adapun model yang mereka kenakan ada beberapa jenis, seperti celana ketat/jins, baju biasa/ketat, dengan atau tanpa jilbab.
Remaja putri di Aceh berusaha menampilkan gaya busana yang tidak ketinggalan zaman, namun mereka juga tidak ingin dikatakan melupakan akarnya (pakai jilbab). Sehingga remaja ini memakai jilbab tetapi pakaian mereka menampilkan gairah anak muda (pakaian ketat). Dengan demikian, ada perpaduan antara budaya lokal dengan nilai-nilai globalisasi/budaya luar, yang seperti dikatakan oleh Jailani M. Yunus (2000), yaitu jilbab yang dihiasi dengan lipstik tebal, lekuk tubuh yang menantang mata, dan perilaku agresif.

Penutup
Pencanangan pelaksanaan syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tidak serta merta merubah wajah Aceh dengan busana muslimah. Ada banyak alasan yang perlu dikemukakan mengapa hal itu dapat terjadi. Seharusnya, dengan nilai budaya Aceh yang didominasi oleh nilai-nilai keislaman hal itu tidak dapat terjadi. Hal ini tampak apabila kita mengkaitkan antara nilai yang ada dengan aspek yang lainnya.
Apabila kita akan membicarakan remaja dan gaya busana, maka kita harus mengkaitkan makna pakaian, lingkungan sosial yang melingkupinya, dan pengaruh budaya global yang merasuki pikiran yang ada pada remaja. Ketiga aspek itulah yang mempengerauhi seorang remaja dalam bergaya busana.
Namun karena remaja juga harus mengikuti budaya/adat yang ada dimana mereka tinggal, maka mereka mengadakan penyesuaian agar mereka tidak dilecehkan oleh masyarakat. Tidak mengherankan, jika apabila mereka pergi dengan sesama teman atau di luar acara formal lainnya, ada remaja di kota Sabang yang mengenakan jilbab, namun memakai pakaian seperti remaja-remaja lainnya, seperti kaos ketat dan celana jeans. Dalam konteks gaya berpakaian, seseorang bergaya pun sangat tergantung pada konteks budaya masyarakatnya. Dengan demikian dapat dikatakan seorang berbusana tidak saja asal menutupi tubuh, tetapi juga dilingkupi oleh sebuah nilai (baca: makna) yang ada di kepalanya. Masalahnya, bagaimana ia menggunakan nilai tersebut dan nilai apa yang digunakannya.

Sejarah Mukim di Aceh (Bagian 3-Masa Jepang)

Oleh Agus Budi Wibowo

Tidak banyak hal yang dapat dicatat dan dikemukakan mengenai pemerintahan desa dan mukim pada Zaman Jepang ini. Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 diatur segala sesuatu mengenai peralihan pemerintahan dari Gubernur Pemerintahan Hindia Belanda kepada bala tentara Jepang. Selanjutnya, dengan Osamu Seirei Nomor 27 tahun 1942, ditetapkan susunan pemerintahan di Indonesia, yakni sebagai berikut :
1. Pucuk pimpinan pemerintahan militer Jepang dada di tangan Panglima Tentara ke 16 khusus untuk Pulau Jawa, yaitu Gunsyireikan atau Panglima Tentara, kemudian disebut Saikosikikan
2. Di bawah panglima ada kepala pemerintahan militer disebut Gunseikan
3. Di bawah Gunseikan ada koordinator pemerintahan militer untuk militer Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dengan sebutan Gunseibu
4. Gunseibu membawahi residen-residen yang disebut Syucokan, dan merupakan pemerintahan daerah tertinggi
5. Daerah Syu terbagi atas kotamadya (Si), dan kabupaten (Ken)
6. Ken terbagi lagi atas beberapa Gun (Kawedanan)
7. Gun terbagi lagi atas beberapa Son (kecamatan)
8. Son terbagi lagi atas beberapa Ku (desa)
9. Ku terbagi lagi atas Usa (kampung).
Melihat pada susunan pemerintahan Bala Tentara Militer Jepang, desa merupakan bagian dari kecamatan atau Son, sedangkan yang diartikan sebagai desa oleh pemerintahan Jepang, adalah :
..., suatu kesatuan masyarakat berdasarkan adat dan peraturan perundang-undangan Pemerintahan Hindia Belanda dan Pemerintahan Militer Jepang yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, memiliki hak menyelenggarakan urusan-urusan rumah tangganya sendiri, merupakan satuan ketatanegaraan terkecil dalam daerah Syu yang dipilih oleh rakyatnya dan disebut Kuco, dan merupakan bagian dari sistem pertahanan militer (Kartohadikoesno, 1984: 51).

Secara formal terlihat, bahwa susunan pemerintahan pada zaman Jepang (termasuk pemerintahan desa) masih berlaku ketentuan-ketentuan pada era Hindia Belanda, cuma beberapa bentuk dan istilah yang disebut dengan istilah Jepang. Demikian juga ketentuan-ketentuan yang diatur dalam IGO dan IGOB masih tetap dinyatakan berlaku untuk pemerintahan desa, baik di Jawa dan Madura atau di luar Jawa dan Madura.
Di Aceh pemerintahan mukim tetap dipertahankan kecuali nama dan penyebutan yang tegas-tegas diubah disesuaikan dengan Bahasa Jepang. Mukim diubah menjadi Ku. Perubahan nama ini bertujuan agar pada diri pemimpim mukim diharapkan adanya suatu loyalitas terhadap pemerintahan Jepang.

Sejarah Mukim di Aceh (Bagian 2-Masa Belanda)

Oleh: Agus Budi Wibowo

Pada zaman Hindia Belanda, mukim tidak diatur secara khusus dalam undang-undang. Undang-undang lebih banyak mengatur pemerintahan desa. Pengaturan tentang mukim terdapat pada Besluit Van den Gouvernuer General Van Nederland Hindie 18 Nopember 1937 Nomor 8. Pengaturan pemerintahan desa pada zaman Hindia Belanda, tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang desa-desa. Penerapan kedudukan desa secara yuridis pertama kali diatur dalam pasal 71 regerringsreglement 1854 (Pasal 128 IS).
Dengan dasar ketentuan dalam RR tersebut, keluar ordonantie yang mengatur lebih jauh tentang pemerintahan desa, yakni ordonantie tanggal 3 Februari 1906 yang termuat di dalam staatsblat 1902, yang merupakan rangkuman terhadap ordonantie-ordonantie yang berlaku pada daerah-daerah di luar Jawa dan Madura. Pada prinsipnya, materi yang diatur di dalam setiap ordonantie itu adalah tentang susunan, kedudukan, hak-hak, serta kewajiban-kewajiban pemerintah desa. Hal itu disesuaikan dengan keadan-keadaan pada daerah yang bersangkutan.
Untuk Aceh kedua peraturan itu tidak pernah diberlakukan sebab tidak ada persekutuan hukum (gampong dan mukim) yang dianggap setara dengan desa menurut IGO atau IGOB. Yang ada dalam Rechtsreglement Buitengewesten Stbl. 1927, no. 227 pasal 324 menyebutkan bahwa untuk Aceh, kepala desa yang ditugaskan menjalankan kepolisian dan mengusut keterangan-keterangan adalah keuchiek dan imeum mukim. Kemudian secara khusus diatur pula tentang pemerintahan imeum mukim dalam Besluit Van den Gouvernuer General Van Nederland Hindie 18 Nopember 1937 Nomor 8 yang diubah adalah penamaan wilayahnya dengan sebutan “Imeum Schaap”, sedangkan pemimpin tetap disebut imeum mukim.
Pada masa berlakunya IGO dan IGOB, pernah ada usaha pemerintah Hindia Belanda untuk mengadakan evaluasi, yakni usaha untuk menyeragamkan secara keseluruhan peraturan yang mengatur tentang pemerintahan desa. Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan mengajukan Rancangan Desa Ordonantie oleh Pemerintah Hindia Belanda pada Volksraad, pada tanggal 23 Januari 1941 ditetapkan dengan Stbl. 1941 No. 356 tertanggal 2 Agustus 1941 ditetapkan Desa Ordonantie, yang secara materiil isinya berbeda dengan ordonantie-ordonantie lama.
Dalam desa ordonantie ini, dikandung suatu prinsip bahwa desa diberikan kebebasan suatu prinsip bahwa desa-desa diberikan kebebasan untuk berkembang sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing desa, dan desa tidak lagi dikekang dengan berbagai peraturan, sehingga menghambat perkembangan desa itu.Namun dengan berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda yakni dengan masuknya bala tentara Jepang pada tahun 1942 ke Indonesia, Desa Ordonantie yang telah ditetapkan oleh Volksraad tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sehingga upaya penyeragaman peraturan yang mengatur tentang desa tidak terealisasi.

Sejarah Mukim di Aceh (Bagian 1- Masa Kerajaan)

Oleh: Agus Budi Wibowo

Kata “mukim” berasal dari Bahasa Arab. Mukim berarti “berkedudukan pada suatu tempat”. Oleh orang Aceh diterjemahkan sebagai suatu wilayah tempat menetap yang terdiri dari beberapa perkampungan. Istilah ini berkaitan erat dengan keyakinan orang Aceh yaitu Agama Islam. Menurut Mazhab Syafi’i yang dianut oleh hampir seluruh orang Aceh, salat Jumat baru dianggap sah apabila jumlah makmumnya sekurang-kurangnya 40 orang pria dewasa dan berpikiran sehat (Ahmad, tt: 88). Sementara jumlah penduduk pria dewasa di setiap gampong hampir tidak mencukupi jumlah tersebut. Bila jumlahnya tidak cukup 40 orang, berarti Salat Jumat tidak dapat dilaksanakan. Oleh karenanya, dibentuk kumpulan gampong (federasi gampong) yang disebut mukim sehingga dapat tercapai jumlah yang diisyaratkan itu.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Snouck Hurgronje. Menurut dia bahwa perwilayahan mukim mempunyai asal muasal pada keperluan jumlah jamaah menyelenggarakan salat Jumat sebagaimana ketentuan Mazhab Syafi’i yang merupakan mazhab yang dianut oleh Orang Aceh (Ng. Singarimbun, tt: 91-92). Pendapat agak berbeda dikemukakan oleh Van Langen, yaitu pada mulanya pembentukan mukim didasarkan kepada jumlah penduduk laki-laki dalam suatu pemukiman yang mampu bertempur melawan musuh, yaitu minimal 1.000 (seribu) orang.
Berdasarkan pendapat di atas, sudah dapat dipastikan bahwa setiap mukim mempunyai sekurang-kurangnya satu buah mesjid, bahkan kini ada 2 buah atau lebih. Jadi, mukim adalah gabungan dari gampong dan merupakan kesatuan hukum yang bercorak agama yang mana pimpinan mukim disebut dengan imeum mukim. Sementara di luar Aceh Besar dikenal dengan istilah lain yaitu uleebalang cut, wilayah chik, datok dan marga.

1. Pada Masa Sultan Iskandar Muda
Menurut kronika-kronika Aceh, pembagian ketatanegaraan dalam bentuk mukim terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Sebagai seorang raja Islam, baik sebagai kepala urusan-urusan keduniawan maupun kerohanian, cepat-cepat ia menyadari, bahwa kerajaan Aceh sebagai negara Islam dapat diandalkan hanya dengan mempererat hubungan organisasi kerajaan. Jika pada masa itu kampung merupakan satu kesatuan dalam susunan ketatanegaraan yang diperintah oleh seorang ketua yang dinamakan keuchik[1], maka Iskandar Muda menetapkan, bahwa tempat-tempat atau kampung-kampung yang penduduknya melakukan sembahyang Jum’at dalam mesjid yang sama merupakan daerah yang disebut mukim.[2]
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda di seluruh Kerajaan Aceh terdapat 7 buah mesjid, yaitu
Mesjid Baiturrahim[3], terletak di Kutaraja (= Dalam).
Mesjid Baiturrahman[4], yang menjadi sangat terkenal oleh gempuran Belanda pada ekspedisi kedua.
Mesjid Indrapuri dalam XXII mukim.
Mesjid Indrapurwa di Kuala Neujid atau Pancu dalam VI mukim sagi XXV.
Ketiga buah mesjid di Ladong, Cadék, dan Krueng Raya dalam XXVI mukim.
Lama kelamaan setelah Islam semakin berakar, para imam yang tadinya mengimami sembahyang Jum’at di mesjid-mesjid itu berhasil pula melaksanakan kekuasaan-kekuasaan keduniawian terhadap penduduk kampung-kampung yang bersembahyang Jum’at di mesjid-mesjid yang sama. Lambat-laun para imam itu menyerahkan urusan-urusan kerohanian di dalam daerah mereka kepada orang-orang lain supaya mereka lebih mantap dapat mengurusa pemerintahan. Oleh karena itu ketua yang memerintah sesuatu mukim kadangkala dinamakan Imeum mukim atau Imeum adat untuk membedakan antara Imeum seumayang di dalam mesjid.
Dengan demikian, kesatua bangsa asli, yaitu gampōng melebur dalam kesatuan ketatanegaraan, yaitu mukim dan akibatnya itu para kepala kampung atau keuchik menjadi bawahan Imeum mukim.
Semakin banyaknya penduduk dan meluasnya daerah kampung, maka dengan sendirinya di antara beberapa anggota yang mengurus kepentingan keluarga dan umum merasakan perlunya mereka lebih bersatu dalam mengerjakan kewajiban-kewajiban agama, yaitu sembahyang lima waktu, melaksanakan pendidikan agama bagi anak-anak dan sebagainya dalam tempat beribadat yang dinamakan binasah atau meunasah dan terjadilah pembagian kampung dalam meunasah-meunasah atau lorong-lorong
Ketua meunasah dinamakan Teungku meunasah; ia pun turut dalam mempertahankan kepentingan jama’ahnya di bidang keduniawian, sehingga dengan ia menjadi wakil kepada kampung. Karenanya dewasa ini kesatuan rakyat terkecil adalah meunasah.
Dalam XXII mukim kepala kampung disebut waki dan kepala lorong keuchik. Beberapa kelompok disebut déah karena bentuk rumah peribadatan yang terdapat di dalamnya lebih besar dari binasah atau meunasah, tetapi lebih kecil dari mesjid. Dalam déah –disebabkan sesuatu hal yang luar biasa, umpama hujan- dibenarkan orang melakukan sembahyang Jum’at asal para pesertanya cukup 40 orang[5].
Dasar jumlah penduduk untuk setiap mukim pada mulanya ditetapkan 1.000 orang laki-laki yang siap tempur, tetapi karena alasan-alasan serupa, sehingga dilakukan pembagian-pembagian kampung, maka hal itu dengan sendirinya berpengaruh pula bagi mukim.
Namun Imeum induk mukim tetap menjalankan kekuasaan tertinggi (walaupun terhadap mukim-mukim baru) dan memperoleh gelar ulèebalang, yaitu kepala atau panglima balatentara yang menunjukkan, bahwa dalam peperangan ia harus bertindak selaku kepala yang memimpin pasukan-pasukan bersenjata di dalam daerah gabungan mukimnya.
Dengan cara demikian dan terjadinya perkawinan atau pergantian akibat warisan serta penaklukan terjadilah federasi-federasi mukim yang terkenal dengan nama mukim III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, dan sebagainya.
Kita menjumpai juga mukim-mukim yang berdiri sendiri dengan kepala-kepala pemerintahannya yang tidak bergelar ulèebalang, baik karena mereka tidak dapat memperoleh gelar tersebut maupun karena menganggap diri mereka otonom dan terlepas dari ulèebalang di bawah ulèebalang- ulèebalang lain, tetap hal ini merupakan pengecualian.


[1]Keuchik berasal dari bahasa Aceh chik = tua atau yang dituakan.

[2]Menurut Dr. Snouch Hurgronje kata Arab sebenarnya berarti: pemduduk sesuatu tempat, sebuah kata yang selalu dijumpai dalam kitab-kitab Fiqh jika orang berbicara tentang masalah sembahyang Jum’at. Dalam kitab-kitab Fiqh ditetapkan bahwa sembahyang Jum’at dianggap sah jika dihadiri oleh sejumlah (sekurang-kurangnya 403a) “mukim”. Orang-orang Aceh memberlakukan kata ini untuk daerah yang mukim-mukimnya termasuk dalam mesjid induk.
3a Jumlah “40 orang “ disebut dalam hadis Daraquthni; oleh imam Ahmad dikatakan bahwa hadis itu “dusta dan palsu”, lihat buku Pengajaran Shalat, A. Hasan, 1973, cetakan 15, hal. 271.
[3]Baiturrahim = rumah yang dilindungi (Allah).
[4]Baiturrahman = rumah yang dikasihi (Allah)
[5]Lihat catatan 3a

January 21, 2009

Pasar dalam Perspektif Budaya Aceh

Oleh: Agus Budi Wibowo

Sejak zaman dahulu pasar telah terbentuk. Ia terbentuk sebagai bagian dari usaha manusia memenuhi kebutuhannya. Manusia sebagai makhluk sosial mempunyai kebutuhan agar tetap bisa survive. Kebutuhan itu mencakup kebutuhan primer dan sekunder. Kelebihan produksi setelah kebutuhan terpenuhi memerlukan tempat penyaluran untuk dijual. Pasar adalah tempat penyaluran barang tersebut. Pemenuhan kebutahan barang-barang memerlukan tempat yang praktis untuk mendapatkan barang, baik dengan cara menukar maupun membeli. Adanya kebutuhan dan kelebihan inilah yang mendorong timbulnya arena perdagangan (pasar) yang merupakan tempat terjadinya tukar-menukar barang dan jasa.
Selain itu, pasar juga dapat dilihat sebagai suatu sistem yang merupakan satu kesatuan dari komponen-komponen yang merupakan satu kesatuan yang memiliki fungsi untuk mendukung fungsi utama secara keseluruhan. Dengan demikian, sistem pasar tampak sebagai satu kesatuan yang koheren sehingga terjadi saling ketergantungan di antara masing-masing komponen/ unsurnya (produksi, distribusi, tranportasi, transaksi, dan lain sebagainya).
Pada prinsipnya pasar merupakan tempat dimana para penjual dan pembeli bertemu. Apabila pasar telah terselenggara (dalam arti bahwa penjual dan pembeli sudah bertemu serta barang-barang kebutuhan telah terdistribusikan, maka peran pasar akan tampak bukan hanya sebagai suatu kegiatan ekonomi, tetapi juga sebagai pusat kegiatan sosial budaya.
Pasar dapat dilambangkan sebagai “pintu gerbang” yang menghubungkan suatu kelompok masyarakat dengan kebudayaan tertentu dengan kelompok masyarakat lain dengan kebudayaan yang berbeda-beda. Di kota-kota besar yang komposisi penduduknya cenderung heterogen, pasar merupakan arena interaksi yang menunjukkan ciri heterogenitas tersebut. Tanpa disadari di situ telah terjadi kontak budaya di antara beragam kelompok masyarakat dengan latar belakang budaya yang berbeda. Besar kemungkinan kontak budaya tersebut membawa perubahan-perubahan budaya serta perubahan nilai yang terkandung di dalamnya.
Ada dua bentuk pasar yang kita kenal yaitu pasar tradisional dan pasar modern. Masing-masing memiliki ciri tersendiri bahkan cenderung sangat kontradiktif. Kondisi fisik bangunan pasar tradisional adalah sederhana, terkadang tidak permanen dan lingkungannya kurang nyaman (becek, kotor bau, sumpek, dan tidak aman). Berbeda dengan pusat perbelanjaan modern yang berupa bangunan megah dan permanen dengan berbagai sarana serta fasilitas penunjang yang memadai untuk memberi kenyamanan, keleluasaan, serta keamanan bagi pembeli. Pasar modern atau yang lebih dikenal dengan hipermarket dapat berupa mall, plaza, pasar swalayan atau pusat perdagangan.
Konsep Pasar Pada Masyarakat Aceh
Seperti juga masyarakat lain di Indonesia, masyarakat Aceh juga mengenal apa yang disebut dengan pasar. Pasar merupakan tempat terjadinya transaksi ekonomi. Selain itu, pasar juga merupakan tempat terjadinya kontak sosial budaya di kalangan masyarakat. Di Aceh terdapat dua jenis pasar, yaitu pasar harian biasa dan pasar mingguan. Yang disebut pertama adalah suatu bentuk pasar yang kegiatannya terjadi setiap hari dan terdapat dimana-mana. Sedangkan pasar mingguan merupakan suatu bentuk pasar yang kegiatan-kegiatannya terjadi sekali atau lebih dalam seminggu pada tempat dan waktu yang sudah tertentu.
Di Aceh Besar pasar mingguan ini dikenal dengan sebutan uroe gantoe (di tempat lain seperti di Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Utara misalnya pasar mingguan ini disebut dengan sebutan peukan). Biasanya ini terdapat di ibukota kecamatan, akan tetapi kadang-kadang diketemukan juga di tempat-tempat lain. Uroe gantoe mempunyai bentuk, tata cara, norma-norma, dan sistem yang tertentu, yang berbeda dengan jenis pasar harian biasa lainnya. Berbagai peran terdapat di dalamnya, mulai dari peranan administrasi sampai kepada peranan-peranan setiap mereka yang turut mengambil bahagian di dalamnya.
Oleh karena sifat-sifat khas yang dimilikinya itu pasar mingguan tumbuh dan berkembang mempunyai berbagai fungsi. Di samping fungsi ekonomi, ia juga mempunyai beberapa fungsi sosial lainnya, seperti fungsi pertukaran informasi, fungsi rekreasi, fungsi pemerintahan, fungsi pertemuan sosial, dan lain-lain.


Sejarah dan Bentuk Uroe Gantoe
Terbatasnya sarana pasar dalam arti yang sempurna pada tingkat pedesaan, yang mampu menyerap dan menyediakan segala yang dihasilkan dan yang dibutuhkan masyarakat (petani), akan menimbulkan berbagai efek sosial ekonomi. Masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, apakah kebutuhan jasmani atau rohani, ternyata selalu mempunyai kesukaran-kesukaran, terutama di dalam menentukan skala prioritasnya. Waktu untuk kegiatan-kegiatan ibadah (sembahyang Jum’at), mulai digunakan untuk tujuan-tujuan lain. Pada waktu yang sama, sebagian besar masyarakat yang datang dari berbagai pelosok, untuk menunaikan shalat Jumat, ternyata telah menyempatkan dirinya berbelanja atau berdagang.
Pada mulanya hal ini berjalan biasa saja. Akan tetapi lama kelamaan makin terasa adanya semacam kesimpang-siuran antara tugas-tugas tersebut. Lebih parah lagi, mulai dirasakan bahwa kepentingan ibadah (sembahyang) dinomor-duakan di bawah urusan-urusan dagang. Melihat gejala yang tumbuh ini, maka pemimpin-pemimpin agama serta penguasa pada waktu itu mulai memikirkan untuk mencari jalan keluar. Demikianlah pada akhirnya, controleur uleebalang, merasa perlu untuk menetapkan suatu hari khusus untuk dipakai buat kegiatan-kegiatan yang bersifat ekonomi atau dagang.
Bentuk uroe gantoe yang terdapat di Aceh Besar, pada umumnya ada dua macam, yaitu gantoe rayeuk (pasar mingguan utama) dan gantoe cut (pasar minggguan kecil atau lokal). Gantoe rayeuk diadakan sekali dalam seminggu, dimana yang turut ambil bahagian yang tidak hanya pedagang-pedagang lokal yang menetap, tapi juga sejumlah pedagang yang berdatangan dari luar. Sedangkan gantoe cut, hanya diramaikan pedagang-pedagang lokal dan pedagang menetap. Perbedaan lain terletak pada segi barang-barang yang diperdagangkan. Pada yang disebut pertama, volume dan variasi barang-barang jauh lebih banyak dibandingkan dengan gantoe cut, yang hanya terbatas pada barang-barang produksi lokal saja. Bentuk uroe gantoe di sini, dalam beberapa hal ada perbedaannya dengan di Estancia, Filipina, atau yang ada di Pulau Jawa.

Anatomi Pasar di Aceh
Pada umumnya, bangunan pasar di Aceh terdiri dari dua macam. Pertama, berbentuk bangunan permanen yang berupa toko-toko, kedai atau warung-warung. Kedua, bangunan dalam bentuk halaman atau lapangan di sekitar bangunan permanen tadi. Pedagang yang menempati bangunan tipe pertama biasanya pedagang tetap. Mereka berjualan setiap hari.
Ketika uroe ganto, selain pedagang tetap terdapat pula pedagang musiman, yang berjualan hanya pada hari uroe gantoe. Biasanya, mereka menempati halaman atau lapangan. Mereka yang mengambil tempat di halaman atau lapangan membangun tempat-tempat itu secara darurat, beratap kain, plastik atau seng sekedar penahan teriknya matahari atau air curah hujan. Tempat-tempat tersebut berukuran 2 x 2 meter. Untuk barang-barang milik pedagang, ada yang menempatkannya di atas meja dan banyak pula yang menaruhnya di atas tanah beralaskan tikar atau plastik. Bangunan tersebut dibongkar ketika uroe gantoe berakhir.
Suatu hal yang menarik, walaupun mereka bukan pedagang tetap, tetapi tidak pernah terjadi keributan mengenai lokasi tempat berjualan. Mereka akan menempati lahan-lahan yang kosong. Sepertinya, ada aturan atau norma-norma yang tidak tertulis mengenai masalah ini. Aturan atau norma-norma tersebut diatasi oleh semua komunitas yang ada di pasar.
Para pedagang yang turut mengambil bagian pada kegiatan pasar di Aceh dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu pedagang-pedagang lokal yang menetap (ditandai dengan warung/toko yang ditempati), pedagang-pedagang lokal (setempat) yang datang secara insidentil, dan pedagang-pedagang yang datang dari luar. Baik pendatang lokal dan pedagang pendatang tidak terkena batasan atau aturan tertentu. Mereka bersama barangnya bebas memasuki pasar dan berjualan di sana. Hanya saja, mereka tidak diperbolehkan berjualan barang yang dilarang seperti ganja, candu, dan sebagainya.
Selain pedagang pada setiap kegiatan pasar dijumpai pula sejumlah muge (perantara). Seperti juga pedagang, mereka ada yang berasal dari daerah yang bersangkutan dan tidak sedikit pula yang berasal dari luar daerah setempat. Muge-muge lokal umumnya bergerak dalam bidang barang-barang yang dihasilkan penduduk setempat, seperti buah-buahan, sayur-sayuran, dan sebagainya. Sedangkan muge luar, lebih banyak bergerak di dalam jual-beli ternak (hewan) atau muge ikan.
Pada saat uroe gantoe kondisi pasar di Aceh tampak lebih ramai. Selain barang-barang kebutuhan sehari-hari mulai dari sayuran, rempah-rempah beras, buah-buahan, cabai, minyak tanah, garam sampai dengan pecah belah, obat-obatan, dan bahan pakaian. Selain itu, pasar hewan juga dilaksanakan hanya pada hari uroe gantoe. Para penjual barang-barang ini biasanya pria, sedangkan para wanita menjual sayur-mayur, kue, rempah-rempah.

Penutup
Setiap manusia memiliki keterbatasan. Ia tidak mampu memenuhi setiap kebutuhan hidupnya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah berinteraksi antar manusia. Pasar terbentuk dari keterbatasan manusia dalam memenuhi semua kebutuhan hidup. Pasar merupakan salah satu upaya manusia berinteraksi antar manusia dalam aspek ekonomi. Namun dalam perkembangannya, pasar juga merupakan tempat interaksi manusia secara sosial dan budaya. Hal ini tampak pada pasar yang ada di Banda Aceh.
Tantangan ke depan adalah bagaimana memberdayakan pasar yang di Aceh untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Di masa yang akan datang, pasar-pasar tradisional di daerah ini akan mengalami persaingan yang cukup ketat apabila daerah ini membuka diri terhadap pasar-pasar modern, seperti yang dialami beberapa daerah di Indonesia. Perlu dipikirkan bagaimana mempertahankan pasar tradisional, tetapi tetap membuka diri terhadap masuknya pasar modern dalam rangka mempercepat pembangunan di Aceh.

Daftar Bacaan
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Prov. NAD. 2005.Statitik Industri dan Perdagangan Prov. NAD tahun. Banda Aceh: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Prov. NAD.
Karimuddin Hasybullah. 1977. “Uroe Gantoe (Pasar Mingguan) di Aceh Besar”. Dalam Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh. Alfian (ed). Jakarta: LP3ES
Mari Elka Pangestu. Tt. Pemberdayaan Pasar Tradisional (dalam rangka Peningkatan Daya Saing Pasar Tradisional) Untuk mewujudkan Pasar Tradisional sebagai Pasar yang Bersih, Aman, dan Nyaman. Jakarta: Departemen Perdagangan.