February 04, 2009

Sejarah Ureueng (Orang) Aceh

Oleh: Agus Budi Wibowo

Sesungguhnya ketika Aceh masih sebagai sebuah kerajaan yang dimaksud dengan Aceh adalah wilayah, yang sekarang dikenal dengan nama Aceh Besar yang di dalam istilah Aceh disebut Aceh Rayek, yaitu salah satu kabupaten atau daerah tingkat II di Nanggroe Aceh Darussalam. Semasa kerajaan, Aceh Rayek (Aceh Besar) sebagai inti Kerajaan Aceh (Aceh proper). Karena daerah inilah pada mulanya yang menjadi inti kerajaan dan telah menyebarkan sebagian penduduknya ke daerah-daerah lain di sekitarnya (daerah takluk) yang Belanda menamakanya (Onderhorigheden). Mengenai masalah ini Visser pernah menulis dalam bukunya Eenmerkwaardige loopbaan (1982) sebagai berikut,
“Saya kini di Aceh sejati di Serambi Mekah, bagian dari Indonesia yang paling kuat merasa terkait dengan Islam. Aceh yang sebenarnya adalah Aceh Besar. Di masa silam Aceh adalah suatu negeri feodal. Kekuasaan pusat berada di tangan sultan, akan tetapi kekuasaan setempat tertinggi berada di tangan uleebalang. Seusai Perang Aceh hilanglah sultan dan jumlah uleebalang bertambah. Kini ada 106 uleebalang, semuanya dengan hak-hak dimiliki zelfbestuurder walaupun di bawah aturan-aturan sempit dari pelakat pendek atau korteverklaring dimana banyak wewenang diserahkan pada kuasa Belanda.” (Anwar, 2008: 1 dan 21)

Sebutan Aceh juga digunakan oleh orang-orang di daerah takluk di luar Aceh Rayek (Aceh Besar) dalam wilayah Kerajaan Bandar Aceh Darussalam, untuk menyebut nama ibukota kerajaan yang sekarang bernama Banda Aceh. Mereka yang mendiami pesisir Timur seperti Pidie, Aceh Utara hingga Aceh Timur dan Pesisir Barat dan Selatan, jika mau ke ibukota kerajaan (Banda Aceh) mengatakan mau pergi ke Aceh dan sebutan ini masih ada yang menggunakannya sampai sekarang.
Selain sebagai nama daerah Aceh juga merupakan nama salah satu suku bangsa atau etnis sebagai penduduk asli yang mendiami Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sekarang terdapat 23 daerah tingkat II Kabupaten/Kota yang didiami oleh delapan kelompok etnis seperti telah disebutkan sebelumnya. Semua etnis ini adalah penduduk asli yang dalam istilah Belanda disebut inlander (penduduk pribumi).
Memperbicangkan sejarah masyarakat Aceh kita akan mengamali kesulitan tatkala kita akan merunut tentang asal mula keberadaan ureueng Aceh dan penyebutan Aceh yang saat ini mendiami Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Hingga kini belum diperoleh kesimpulan yang valid dan realible tentang masalah tersebut. Kalaupun ada masih berupa kisah-kisah (tradisi lisan yang disampaikan secara turun-temurun). Tidak mengherankan kemudian ada yang menyebut bahwa Aceh (kalau dieja menurut abjad Latin) merupakan kependekan dari kata Arab, Cina, Eropa, dan Hindustan. Hurgronje (1985:19) pernah menulis,

“Kita tidak memiliki satu pun data sejarah yang memberikan kemungkinan untuk menarik kesimpulan tentang asal-usul suku bangsa Aceh. Kita hanya dapat menaruh dugaan keras berdasar berbagai alasan, bahwa asal usul itu tentunya telah amat diwarnai dengan banyak percampuran”.

Para pendatang luar (orang-orang asing) yang pernah mengunjungi ke Aceh sewaktu masih sebagai sebuah kerajaan menyebutkan dengan nama beragam. Orang Portugis misalnya menyebut dengan nama Achen dan Achem, orang Inggris menyebut Achin, orang Perancis menamakan Achen dan Acheh; orang Arab menyebut Asyi, sementara orang Belanda menamakan Atchin dan Acheh. Orang Aceh sendiri menyebut dirinya dengan nama Ureung Aceh (orang Aceh). Memang terdapat beberapa sumber yang menginformasikan tentang asal muasal nama Aceh dan suku bangsa Aceh. Namun sumber-sumber ini ada yang bersifat mistis atau dongeng, meskipun ada juga yang dikutip oleh para penulis asing seperti penulis-penulis Belanda.
K. F. H Van Langen pernah menulis bahwa menurut cerita-cerita rakyat , penduduk asli Aceh disebut ureueng Mante yang didominasi oleh golongan subetnis Batak dan juga Gayo. Mereka termasuk dalam keluarga besar Melayu Tua yang asal¬-usulnya juga belum diketahui secara pasti. Untuk menguatkan pendapat ini dijelaskan bahwa di dalam adat Batak dan Gayo masih terdapat unsur-unsur dan kata-kata yang juga dijumpai dalam bahasa Aceh. Meskipun dengan ucapan yang telah berubah di samping unsur-unsur formatip bahasa Batak dan Gayo (Sufi, 2003: 1).
Sedangkan Hurgronje (1985: 19) memperkirakan bahwa suku bangsa Aceh sebagian besar berasal dari Campa. Hal ini dapat dilihat dari segi bahasa. Menurut bahasa Aceh menunjukkan banyak persamaan dengan bahasa yang digunakan oleh bangsa Mon Khmer, penduduk asli Kamboja, baik dari segi tata bahasa maupun dalam peristilahannya. Mengenai perbandingan atau persamaan antara bahasa Aceh dengan bahasa Campa telah ditulis oleh H.K.J. Cowan (1948).
Seorang ulama Aceh terkenal Aceh pada XIX yaitu Teungku Syekh Muhammad Abbas bin Muhammad di Kutakarang yang populer dengan sebutan Teungku Chik Kutakarang (meninggal 1895) dalam karyanya Tadhkirat al Radikin menyebutkan bahwa orang Aceh terdiri atas tiga pencampuran darah yaitu Arab, Persi, dan Turki. Teungku Chik Kutakarang tidak menyebutkan adanya percampuran dengan suku-suku bangsa lain, seperti India, Melayu, Campa, Cina dan lainnya. Pendapat yang lebih masuk akal dikemukakan oleh Julius Jacob (1894) yang mengatakan bahwa orang Aceh adalah suatu anthropologis mixtum, suatu percampuran darah yang berasal dari pelbagai suku bangsa pendatang. Ada yang berasal dari Semenanjung Melayu, Melayu-Minangkabau, Batak, Nias. orang¬-orang lndia, Arab, Habsyi, Bugis, Jawa, dan sebagainya. Dapat disebutkan pula bahwa sultan-sultan terakhir yang memerintah di Kerajaan Aceh secara berturut-turut semenjak Sultan Alaidin Ahmadsyah (1727) sampai dengan Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1874) dan yang terakhir Sultan Muhammad Daudsyah (1874-1903) adalah berasal dari turunan Bugis.
Sebuah riwayat menyebutkan bahwa berdasarkan asal¬-usulnya etnis Aceh dibagi empat kawom (kaum) atau sukee (suku). Pembagian ini mulai dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Alaaidin Al-Kahar (1530-1552). Keempat kawom atau sukee ini yaitu
1. Kawom atau Sukee Lhee Reutoh (kawum atau suku tiga ratus). Mereka berasal dari orang-orang Mante-Batak sebagai penduduk asli.
2. Kawom atau Sukee Imuem Peut (kaum atau suku imam empat). Mereka berasal dari orang-orang Hindu atau India sebagai pendatang.
3. Kawom atau Sukee Tok Batee (kaum atau suku yang mencukupi batu). Mereka berasal dari berbagai etnis, pendatang dari berbagai tempat, seperti India, Persia, dan Timur Tengah pada umumnya.
4. Kawom atau Sukee Ja Sandang (kaum atau suku penyandang). Mereka adalah para imigran Hindu yang telah memeluk agama Islam.
Pada awalnya akibat asal usul yang berbeda, keempat kawom ini sering kali terlibat dalam konflik internal kawom dan juga antar kawom. Kawom-kawon ini sampai sekarang masih merupakan dasar masyarakat Aceh dan solidaritas sesama kawomnya cukup tinggi. Mereka loyal kepada pimpinannya. Semua keputusan atau tindakan yang akan diambil selalu melibatkan pimpinan dan orang-orang yang dituakan dalam kawon-kawom itu.
Sesungguhnya etnis Aceh sebagai suatu entitas politik dan budaya mulai terbentuk semanjak awal abad XVI. Hal ini ditandai dengan terbentuknya Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayatsyah (lebih kurang 1514). Pembentukan ini diawali dengan adanya dinamika internal dalam masyarakat Aceh, yaitu terjadinya penggabungan beberapa kerajaan kecil yang ada di Aceh Rayek yang selanjutnya dengan penyatuan Kerajaan Pidie, Pasai, Perlak, dan Daya ke dalam Kerajaan Aceh Darussalam. Selanjutnya, pertumbuhan dan pengembangan kerajaan ini ditentukan pula oleh faktor eksternal. Karena eksodusnya para pedagang muslim dari Malaka ke ibukota Kerajaan Aceh, setelah ditaklukannya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 dan berakibat berubahnya rute dan pusat perdagangan para pedagang muslim dari jalur Selat Malaka ke Jalur Pantai Barat Sumatera. Keadaan ini menyebabkan ibukota Kerajaan Aceh (Banda Aceh) menjadi berkembang dengan penduduknya menjadi lebih kosmopolitan.

1 comment:

MAHMUD said...

bagus tulisannya ya,,,,, bagi donk informasinya lebih lanjut..... tapi lebih bagus referensinya yang bervariasi..... jangan campurkan dengan DONGENG INDOnesia lah....