November 30, 2011

Kopi dan Ngopi Ala Aceh

Oleh: Agus Budi Wibowo A. Pendahuluan Berbicara tentang Aceh, kita dapat mengidetifikasikan dengan beberapa kata, seperti Serambi Mekkah, Baiturrahman, Saman, Daerah Istimewa, dan sebagainya. Sedangkan Irwan Abdullah (2007), memberikan ikon keberadaan ureueng Aceh dengan empat ikon, yaitu: Aceh dikenal sebagai tempat dimana agama dan adat menjadi dua pilar penting dalam penataan sosial, ureueng Aceh dikenal sebagai pemberani, Ureueng Aceh memiliki kepercayaan tinggi yang disebabkan oleh adanya kebanggaan sebagai ureueng Aceh, dan ureueng Aceh menjunjung tinggi nilai-nilai kolektif yang tercermin dari kebiasaan Aceh untuk berkumpul, saling kunjung, kenduri, fenomena warung kopi, serta upacara-upcara yang melibatkan banyak orang (Wibowo, 2004). Terkait dengan pernyataan Irwan Abdullah di atas, terdapat pengalaman menarik, yaitu ketika pada tahun 1996, penulis menginjakkan kaki pertama di Banda Aceh. Ketika itu Banda Aceh tidaklah seramai sekarang. Kehidupan masih kental dengan nuansa keacehannya. Dari hari ke hari, penulis mengetahui kehidupan keseharian masyarakat Aceh, khususnya yang ada di ibukota Provinsi Aceh ini. Dari banyak hasil amatan terhadap perilaku warga Banda Aceh, penulis amat tertarik terhadap kebiasaan kebiasaan minum kopi di warung/kedai. Pada bagian lain, setelah penulis tinggal beberapa tahun di Aceh penulis pernah mendengar bahwa terdapat sebuah ungkapan “belum ke Aceh, apabila belum merasakan kopi ala Aceh di warung kopi”. Oleh karena itu, menjadi sebuah “keharusan” apabila ada tamu-tamu dari luar Banda Aceh, penulis ajak untuk merasakan kopi dan ngopi ala Aceh di beberapa warung/kedai kopi yang ada di kota ini, seperti warung kopi Abu Solong di Uleekareng. Kesan yang penulis tangkap dan pernyataan mereka sendiri bahwa kopi Aceh sangat berbeda dengan kopi dari daerah lain di Indonesia dan ngopi di Aceh sungguh amat mengasyikkan. B. Kopi Ala Aceh Tanaman kopi di dunia kini ada banyak spesies. Namun yang banyak digunakan untuk minuman berasal dari spesies Arabica dan Robusta. Negeri penghasil kopi Arabica bermutu baik tersebar di lingkar tropis seluruh dunia, yaitu Costa rica, Guetemala, Honduras, Mexico. Nicaragua, Panama, Bolivia, Brasil, Columbia, Equador, Peru, Burundi, Congo, Ethiopia, Kenya, Tanzania, Rwanda, Uganda, Zambia, India, Papua Nugini, Hawaii, Puerto Rico, Jamika, Dominika hingga Saint Helena. Menurut catatan pengamat kopi internasional menyebutkan bahwa Indonesia dalam beberapa lokasi khusus yaitu Jawa, Bali, Sumatra, Aceh (Aceh Tengah dan Bener Meriah) Sulawesi (Toraja) dan Timor. Sedang Robusta sendiri banyak dihasilkan di India dan Uganda. Khususnya kopi Toraja yang diproduksi secara khusus oleh perkebunan di Toraja berada pada grade one, yang terbaik. Saat ini di Aceh terdapat dua jenis kopi yang dibudidayakan adalah kopi Robusta dan kopi Arabica. Untuk kopi jenis Arabica umumnya dibudidayakan di wilayah dataran tinggi “Tanah Gayo”, Aceh Tenggara, dan Gayo Lues, sedangkan di Kabupaten Pidie (terutama wilayah Tangse dan Geumpang) dan Aceh Barat lebih dominan dikembangkan oleh masyarakat disini berupa kopi jenis Robusta. Kopi Arabica agak besar dan berwarna hijau gelap, daunnya berbentuk oval, tinggi pohon mencapai tujuh meter. Namun di perkebunan kopi, tinggi pohon ini dijaga agar berkisar 2-3 meter. Tujuannya agar mudah saat di panen. Pohon Kopi Arabica mulai memproduksi buah pertamanya dalam tiga tahun. Lazimnya dahan tumbuh dari batang dengan panjang sekitar 15 cm. Dedaunan yang diatas lebih muda warnanya karena sinar matahari sedangkan dibawahnya lebih gelap. Tiap batang menampung 10-15 rangkaian bunga kecil yang akan menjadi buah kopi. Dari proses inilah kemudian muncul buah kopi disebut cherry, berbentuk oval, dua buah berdampingan (Wibowo, 2007). C. Ngopi Ala Aceh Di Aceh, tradisi minum kopi, makan dilanjutkan ngobrol di warung kopi, seperti sepintas dipaparkan di atas bukanlah sebuah kebiasaan baru yang muncul akhir-akhir ini. Kebiasaan itu dipercaya sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, terutama di kawasan pelabuhan dan pusat perdagangan. Meski pada saat itu sangat mungkin menu dan minumannya bukan kopi, tetapi kebiasaan nongkrong dan ngobrol utk “membunuh” waktu sudah berlangsung turun temurun. Lombard (2008) menulis bahwa Peter Mundy pada April 1637 dengan susah payah berhasil mencapai tempat berlabuh di Aceh. Peter Mundy memberitakan bahwa ada yang menjual telur penyu rebus. Warung-warung mereka masing-masing dipungut bea sekeping emas sebulan untuk orang kaya Sri Maharaja. Untuk sementara, catatan Peter Mundy pada April 1637 itu setidak-tidaknya bisa dijadikan dasar keberadaan sebuah ruang publik yang dikenal dengan warung (rumah makan) di wilayah Aceh (Kompasiana, 211). Pada bagian lain terdapat pendapat bahwa keberadaan dan kebiasaan makan minum di warung muncul setelah Belanda “mengajarkan” tradisi minum kopi. Belanda mempunyai peran penting dalam membudidayakan tanaman kopi di Indonesia. Mereka telah memperkenalkan tanaman Kopi Arabika (coffea arabica L.) di Pulau Jawa pada tahun 1699. Di Aceh, tepatnya di Dataran Tinggi Gayo Aceh Tengah, mereka mulai membangun perkebunan Kopi Arabika pada tahun 1924 di daerah Paya Tumpi. Kini, Dataran Tinggi Gayo yang meliputi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah secara nasional menjadi kawasan tanaman Kopi Arabika terluas di Indonesia. Agak berbeda dengan dua pendapat di atas, Teuku Zulkhairi (2011) menyatakan bahwa dari aspek historis, tradisi minum kopi di Aceh sudah ada sejak masa kerajaan Islam Aceh. Mengutip pendapat Sebagian sejarawan yang meyakini tradisi ini merupakan budaya imporan dari Dinasti Turki Usmani(Khilafah Islamiyah) yang saat itu juga memiliki tradisi yang sama. Kita ketahui bahwa Kerajaan Islam Aceh Darussalam dahulu memiliki hubungan yang sangat erat dengan kekhalifahan Islam Turki Usmani, hubungan erat ini pula yang akhirnya menyebabkan terjadinya asimilasi (percampuran) budaya Hal ini misalnya seperti yang diakui oleh Muhammad Alkaf, bahwa tradisi minum kopi masyarakat Aceh di era sekarang ini merupakan bagian dari pertemuan Aceh dengan peradaban lama Turki Usmani yang Islam ketika itu, maka sangat relevan bila kemudian penulis memilki inisiatif bagaimana agar pengaruh dari tradisi minum kopi di Aceh kita kembalikan ruhnya sebagai titik tolak bagaimana melihat perdaban Aceh masa depan berkaca pada peradaban awal Aceh yg telah bersentuhan dengan Turki Usmani sebagai ‘Kekhalifahan Islam’ di masa lalu (Kompasiana, 2011) Menilik keberadaan dan fungsi warung kopi di Aceh, pada prinsipnya tidak berbeda jauh dengan fungsi lapau di Sumatera Barat. Menurut Pandoe dan Pour (2010:256) bahwa fungsi lapau menjadi pusat informasi. Sesama pengunjung lapau mengobrol soal macam-macam hal, mulai kehidupan sosial sampai “politik tinggi” dalam dan luar negeri. Bisa juga mempergunjingkan para pejabat, menganalisis sepakbola, atau membicarakan sinetron yang mereka tonton di televisi. Interaksi manusia di lapau seperti yang ditulis Pandoe dan Pour persis sama dengan interaksi sosial dan lalu lintas informasi yang terjadi di warung-warung kopi yang ada di Aceh. Demikian juga dengan topik pembicaraan para peminum kopi di ruang publik, warung kopi, berkisar pada masalah kehidupan sosial, politik, sepakbola dan ajang berbagi pengalaman dibidang usaha dagang serta pertanian. Telah disebutkan bahwa pada masyarakat Aceh terdapat kebiasaan ngopi di warung yang terdapat pada berbagai sudut kota. Kebiasaan ini jarang ditemui pada beberapa masyarakat lain di Indonesia. Betapa tidak, kebiasaan ini dapat dilihat di hampir semua sudut kota atau desa di Aceh. Keberadaan kebiasaan minum kopi di warung ini tidak hanya sebagai ajang pelepas lelah setelah berbelanja di pasar/toko, tetapi nampaknya telah berubah menjadi ajang untuk kumpul-kumpul di kalangan masyarakat Aceh. Nampaknya, kebiasaan ini telah membudaya di kalangan masyarakat. Mereka tidak datang sendirian ke warung kopi, tetapi tidak jarang mereka datang bergerombol sehingga menjadi menarik karena hal ini dapat dijadikan sarana untuk membicarakan berbagai hal, mulai dari hal-hal kecil sampai masalah politis. Waktu yang digunakan pun kadang pagi sampai malam hari. Pembicaraan di warung kopi ini lebih terasa asyik dan nikmat apabila warung/kedai tersebut menyediakan seperangkat alat hiburan seperti TV, Radio/tape, atau video. Tidak terasa duduk di warung/kedai kopi tersebut dapat berjam-jam lamanya. Bahkan lebih mengasyikkan lagi, apabila warung kopi tersebut dilengkapi fasilitas wifi untuk internet. Jadi, sambil “berselancar” dalam dunia maya bisa ngobrol, belajar, “ngrumpi” sambil minum kopi (Agus Budi Wibowo,1996). Selain suasana yang sungguh berbeda dengan warung kopi di Nusantara, cara penyajian dan pembuatan kopi Aceh pun berbeda. Di sini, kopi diseduh melalui beberapa penyaringan sampai pada kekentalan yang diinginkan sehingga membuat kopi lebih harum, nikmat dan memiliki efek rasa yang kuat. Hal ini tentunya menjadi hal yang menarik serta mejadi lebih spesial bagi siapa saja yang menikmatinya. Belum lagi jika anda pernah mendengar kopi terbalik, pasti anda akan bertanya apanya yang terbalik. Ternyata cara penyajian kopi dengan bentuk posisi gelas yang terlungkup dan piring kecil tetap sebagai alasnya. Nah, bagaimana neh cara menikmatinya. Ternyata memiliki cara yang berbeda dan spesial bahwa cara menikmatinya tidak dengan cara kita seperti biasa menikmatinya dengan cara menyentuhkan bibir ke dinding gelas lalu meminumnya. Namun menikmatinya ternyata dengan cara yang berbeda dan begitu unik yaitu dengan cara menggunakan sebuah sedotan. Biasanya beberapa warung di Aceh selalu saja bersamaan dengan menjual mie rebus atau biasa kita kenal dengan “Mie Aceh”. Sehingga anda tidak usah merasa heran dan susah untuk mencari dimana lokasi menjual Mie Aceh ini, karena biasanya lokasinya bersamaan dan satu tempat didalam menjual makanan dan minuman ini (Kompasiana, 2011). Berikut ini beberapa tempat untuk kita dapat mencicipi kenikmatan kopi Tanah Rencong yang telah banyak dikunjungi masyarakat Banda Aceh atau dari kota lain di Indonesia, bahkan juga dari luar negeri. 1. Dhapu Kupi di Simpang Surabaya, Banda Aceh tidak jauh dari Mesjid Baiturrahman dan Bandara Iskandar Muda. Pemandangan kota Banda Aceh yang semakin rapih dan cantik dari lantai atasnya sungguh spektakuler. 2. Warkop Solong di Ulee Kareng, Lampenurut, dan di beberapa tempat lainnya di Banda Aceh karena cabangnya yang semakin menyebar. Warung Kopi ini memiliki konsumen yang menyukai kopi yang sedikit lebih kuat aromanya dari kopi biasa. 3. Ring Road Coffee di stasiun bus Banda Aceh yang paling meriah dari semua yang ada karena di sini para pemuda sering duduk minum kopi sambil melihat pertandingan sepak bola. 4. Tower Kopi di depan Taman Sari Banda Aceh dan hanya 100 meter dari Masjid Baiturrahman adalah tempat berkumpulnya masyarakat kota untuk duduk di luar ruang dan menghadap meja dengan kehangatan kopi kuat Aceh yang harum. 5. Coffee Bay yang terletak di Ule Lheue ke arah pelabuhan sangat populer bagi para pelancong yang menginginkan rasa kopi Aceh sebelum menyebrang ke Pulau Weh. D. Penutup Kopi dan ngopi ala Aceh telah berlangsung begitu lama. Tidak serta merta ada di daerah ini. Mengacu pada beberapa pendapat, tampaknya kebiasaan ini telah berlangsung lama. Tentunya, kebiasaan melalui sebuah proses yang begitu panjang. Dalam perjalanan sejarahnya, kebiasaan ini mengalami berbagai perubahan. Misalnya, sebelum tsunami, rata-rata pengunjung warung kopi adalah kaum adam (laki-laki) sedangkan kaum hawa jarang sekali. Selain itu, warung kopi yang ada pada saat ini dilengkapi berbagai hal yang menunjang keberadaan mereka berlama-lama di warung kopi, seperti TV, fasilitas internet, dan sebagainya. Warung kopi pada akhirnya menjadi ruang publik multifungsi.Tidak hanya sebagai tempat minum kopi saja/ngopi tetapi juga berfungsi sebagai tempat aspirasi, bisnis, belajar, dan sebagainya. . Selain itu menjadi sebuah trend atau popular dari masyarakat khususnya para remaja serta pemuda di daerah ini didalam menikmati weekend serta ajang berkumpul sebuah komunitas dikelompoknya masing-masing. Tentunya, warung kopi yang menjadi ajang kunjungan orang dan begitu fenomenal, sehingga ada yang berpendapat bahwa Aceh dapat disebutkan sebagai negeri seribu warung kopi. Kondisi ini sangat lah menguntungkan sebagai asset pariwisata. Kebiasaan yang sangat berbeda dengan tempat-tempat lain menjadikannya amat menarik bagi wisatawan, baik wisatawan domestic dan wisatawan mancanegara. Tinggal bagaimana mengemas potensi ini menjadi suatu yang menarik oleh masyarakat Aceh beserta pemerintah daerah. Daftar Bacaan Agus Budi Wibowo, 1996. “Cofee Morning Masyarakat Aceh”. Serambi Indonesia. ____________________. Kopi Aceh. Aceh Cofee. Banda Aceh: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi NAD. Irwan Abdullah. 2007. Kontruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Teuku Zulkhairi . 2011. Warung Kopi dan Wacana Peradaban Aceh Baru http://filsafat.kompasiana.com/2010/03/23/warung-kopi-dan-wacana-peradaban-aceh-baru/ Di Aceh, Warung Kopi Sejatinya Rumah Aspirasi, 2011. http://politik. kompasiana.com/2011/05/19/di-aceh-warung-kopi-sejatinya-rumah-aspirasi/ Kopi Aceh: Menikmati Keharuman dan Kenikmatan Kopi yang Khas. 2011. http://www.indonesia.travel/id/destination/494/banda-aceh/article/41/kopi-aceh-menikmati-keharuman-dan-kenikmatan-kopi-yang-khas Warung Kopi Aceh. 2011. http://sosbud.kompasiana.com/2010 /04/ 25/ warung-kopi-aceh/

October 12, 2011

Tata Ruang Rumoh Aceh

Oleh Agus Budi Wibowo

Jumlah ruangan rumoh Aceh bermacam-macam, tergantung pada daerah di mana rumah itu terdapat. Di daerah Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Utara, Bireuen, dan Pidie rumoh Aceh biasanya hanya memiliki 3 buah ruangan, yaitu ruang depan yang disebut dengan seuramoe keu atau seuramoe reunyeun dan sering juga dinamakan seuramoe agam. Ruangan yang kedua adalah ruang tengah yang disebut dengan Tungai atau sering juga dinamakan juree. Sedangkan ruangan yang ketiga terdapat pada bagian paling belakang ini disebut seuramoe likot atau seuramoe inong (Hadjad, 1984 : 74).

a. Ruang Depan
Ruang ini berbentuk sebuah ruangan yang polos, artinya tidak lagi dibagi ke dalam beberapa bilik kecil. Pada bagian depannya terdapat pintu masuk (pintu utama) yang dinamakan pinto Aceh. Ukuran pintu pada setiap rumah jenis ini rata-rata berkisar antara 0,10 sampai satu meter lebar dan tingginya antara 1,80 sampai dua meter. Ada juga yang membuat pintu utama ini disebelah kanan ruang depan.

Sedangkan jendela (tingkap) terdapat pada samping kiri dan kanan ruangan. Ada juga yang mengerjakan pada dinding bagian depan. Lebar jendela 90 cm. dan tingginya satu meter. Di atas dinding ini dibuat rak sebagai tempat menyimpan barang-barang yang dinamakan sandeng. Sanding ini letaknya di atas dinding depan, persis di bawah bara bagian luar.
Ruangan depan atau seuramoe keu ini berfungsi sebagai ruang tamu, tempat belajar mengaji, tempat acara kenduri, tempat acara perkawinan, tempat menyulam dan menganyam tikar. Selain itu, ruang depan ini juga berfungsi sebagai tempat tidur tamu laki-laki yang kebetulan menginap di rumah tersebut, sekaligus juga sebagai tempat tidur anak laki-laki yang telah berumur enam tahun ke atas. Karena fungsi yang terakhir inilah maka ruangan ini dinamakan seuramoe agam (Muhammad Z.Z., 1980 : 6-10).

b. Ruang Tengah
Ruang tengah ini sifatnya tetutup dan di ruang inilah dibuat kamar-kamar tempat tidur, karenanya ruangan ini dinamakan juree. Kamar-kamar tersebut biasanya dibagian ujung sebelah timur dan barat dari ruang tengah ini. Di tengah-tengah antara kamar sebelah timur dan barat terdapat lorong (gang) yang berfungsi sebagai jalan lewat menuju serambi depan dan belakang. Lorong ini dinamakan rambat.
Masing-masing kamar pada ruangan tengah ini mempunyai jendela tersendiri, ukurannya sama dengan ukuran jendela yang terdapat pada ruang depan, yaitu 0,60 X 1,00 meter. Pintu kamar biasanya menghadap ke bagian serambi depan ada juga yang membuat pintu menghadap ke lorong yang dinama-kan rambat tadi. Kamar yang pintunya tidak menghadap ke serambi depan biasanya dinding bagian muka ini dapat dibuka setengah dari lantai ke atas jika diperlukan.
Kamar yang terletak di sebelah barat ditempati oleh kepala keluarga, karenanya kamar tersebut dinamakan rumoh inong. Sedangkan kamar di sebelah timur ditempati oleh anak perempuan, karenanya kamar tersebut dinamakan rumoh anjong. Apabila salah seorang anak perempuan baru dikawinkan, maka kedua mempelai itu menempati rumoh inong dan kepala keluarga pindah ke rumoh anjong yang ditempati anak-anak perempuan tadi. Sedangkan anak-anak perempuan itu pindah ke sebelah barat ruangan belakang.
Apabila ada dua orang anak perempuan yang telah kawin, sedangkan orang tua si anak belum mampu membuat rumah lain, maka kamar sebelah barat (rumoh inong) ditempati oleh anak perempuan yang tertua dan anak perempuan yang lebih muda menempati kamar sebelah timur (rumoh anjong). Sedangkan kepala keluarga pindah ke sebelah Barat ruangan belakang yang ditempati anak-anak perempuan tadi dan mereka ke sebelah timur ruang belakang.
Akan tetapi hal semacam ini jarang terjadi, lebih-lebih di daerah Aceh Besar yang menurut ketentuan adatnya apabila salah seorang anak perempuannya menikah, maka untuk anak itu harus disediakan rumah tersendiri. Seandainya orang tua kurang mampu, maka kepada anak itu harus diserahkan sekurang-kurangnya sepertiga rumah itu mulai dari seuramoe keu sampai ke belakang. Persoalan yang terakhir inilah yang menyebabkan bangunan rumah Aceh selalu berukuran besar.

c. Ruang Belakang
Sebagaimana ruang depan, ruangan belakang juga merupakan ruangan polos yang tidak terdapat kamar. Akan tetapi ruangan belakang ini kadang-kadang diperlebar seluas dua tiang lagi ke timur. Bagian yang ditambah ini biasanya berfungsi sebagai ruang dapur yang dinamakan anjong” atau tifiek atau ulee keudee. Ada juga yang membuat ulee keude ini terpisah dengan ruangan belakang, tetapi letaknya tetap pada bagian timur dari seuramoe likot ini.
Sebagian rumoh Aceh, anjongnya dibuat dengan cara menambah dan melebihkan balok toi sepanjang 1,50 meter dari belakang tiang seuramoe likot, sehingga apabila kita melihat dari bawah, maka pada bagian paling belakang dari rumah itu kelihatan tergantung se-panjang yang ditambah tadi, karena tidak terdapat satu tiang pun yang menopangnya sampai ke tanah. Ruang ujung yang ditambah pada bagian belakang ini dinamakan Tiphiek yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan alat-alat dapur, seperti kayu bakar, guci air, geutuyong sira (tempat garam).
Jendela ruangan belakang ini biasanya terdapat pada dinding sebelah barat dan ada juga yang membuat pada dinding sebelah utara dan selatan.

Bentuk Konstruksi Bangunan Rumoh Aceh

Oleh Agus Budi Wibowo

Umumnya rumoh Aceh dibangun di atas tiang-tiang setinggi 2,50 sampai lima (5,00) meter dari tanah. Rumoh Aceh rata-rata memiliki tiga ruang induk, yaitu ruang depan, ruang tengah dan ruang belakang. Rumoh Aceh rata-rata dibangun dalam ukuran besar, sebab selain berfungsi sebagai tempat tinggal, rumoh Aceh juga berfungsi sebagai tempat kegiatan-kegiatan sosial, seperti musyawarah, kenduri, peresmian khitanan dan lain sebagainya. (Muhammad Z.Z., 1980 : 5)
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya rumoh Aceh dibangun tinggi di atas tiang-tiang , sehingga antara tanah ke lantai rata-rata mencapai dua sampai tiga meter. Kegunaan rumah tradisional dibuat tinggi karena zaman itu penduduknya masih jarang, sedangkan lingkungannya masih berhutan dan masih banyak binatang buas, seperti harimau, beruang, ular dan lain-lainnya. Jadi dengan konstruksi rumah yang tinggi itu diharapkan penghuninya dapat terlindung dari berbagai gangguan binatang buas bahkan aman dari bencana banjir.
Selain itu, ruangan antara tanah dan lantai rumah juga berfungsi untuk sarana penyimpanan berbagai alat pertanian, seperti cangkul, arit dan sebagainya. Bahkan ruangan di bawah lantai itu sering juga dimanfaatkan oleh para muda-mudi untuk tempat santai dan istirahat (Muhammad, 1980 : 72). Graff pernah menulis tentang keberadaan rumah Aceh yang dibangun dengan tiang-tiang tinggi sebagai berikut,
“… rumah-rumah dari alang-alang dan dari bambu... tetapi semuanya terdiri di atas tiang bambu setinggi empat atau bahkan sampai enam kaki (1,20 m – 1,80 m) di atas tanah karena pasang purnama dan sungai hampir setiap tahun menggenangi kota sehingga orang terpaksa naik perahu dari rumah ke satu rumah lainnya” (Lombard, 1986: 61).
Lantai rumoh Aceh yang dibuat dari pohon nibung atau bambu yang dibelah kecil-kecil biasanya disusun tidak rapat. Ada juga lantai rumoh Aceh yang terbuat dari papan, namun celah pada lantai itu tetap ada. Jarak celah antara sebilah pohon nibung (bambu) dengan yang lainnya rata-rata mencapai satu centimeter. Celah-celah pada lantai itu berfungsi untuk mempermudah pembuangan kotoran pada waktu menyapu, sehingga rumah selalu kelihatan bersih dari kotoran dan debu.
Struktur atap rumoh Aceh memiliki ciri khas tersendiri. Lembaran atap yang telah diproses dari daun rumbia disusun dan diikat mulai dari bawah sebelah kiri sampai ke kanan atas. Atap disusun sangat rapat, di mana jarak antara tulang daun yang di bawah dengan tulang daun berikutnya rata-rata hanya 1,50 sampai 2,00 cm, sehingga atap rumoh adat tradisional Aceh kelihatan sangat tebal.

Susunan atap diikat dengan rotan panjang yang dibelah empat atau delapan mulai dari lembaran atap paling bawah sampai ke atas tanpa terpisah. Hal ini bertujuan untuk mempermudah cara penyelamatan rumah dari bencana kebakaran, sebab apabila terjadi kebakaran, cukup hanya dengan memutuskan ikatan di atas, secara keseluruhan atap akan terseret jatuh ke bawah/tanah.
Selain itu, karena rumoh Aceh selalu dibangun tinggi dari atas tanah, maka rumah itu harus memiliki tangga. Tangga yang terdapat pada setiap rumoh Aceh umumnya memiliki jumlah anak tangga ganjil, yaitu antara tujuh sampai sembilan buah anak tangga. Ketentuan jumlah anak tangga ini berdasarkan kepercayaan orang Aceh bahwa setiap julah hitungan selalu ada hubungan dan pengaruhnya dengan ketentuan langkah, rezeki, pertemuan dan maut. Jadi jika anak tangga dibuat ganjil antara tujuh sampai sembilan, maka anak tangga yang terakhir jatuh pada hitungan pertemuan dan langkah.
Hal ini menurut orang Aceh sangat berpengaruh dan menguntungkan dalam kehidupan. Sebaliknya, apabila anak tangga dibuat delapan akan berakhir pada maut. Hal ini yang tidak dikehendaki, karena menurut kepercayaan orang Aceh apabila jumlah anak tangga berakhir pada maut, maka penghuninya atau tamu yang menaiki anak tangga rumah itu akan selalu mendapat kecelakaan (Waardenburg, 1978: 130).
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa tiang rumoh Aceh rata-rata berjumlah 16, 20, 24 dan ada yang sampai 28 buah tiang atau lebih, tergantung pada besar dan kecilnya rumah itu dibuat. Di antara sekian banyak jumlah tiang itu terdapat dua buah tiang utama yang dinamakan “Tiang Raja” dan “Tiang Putri” atau Tameh Putro (Hadjad, 1984: 72). Bentuk tiang-tiang itu ada yang bulat empat persegi dan ada pula yang delapan persegi. Tameh Raja dan Tameh Putroe biasanya berukuran dua kali lipat lebih besar dari pada tiang-tiang lainnya, yaitu dengan ukuran lingkar (keliling) sebesar 60 cm, sedangkan tiang-tiang yang lainnya hanya berukuran garis lingkar 30 cm.

Apabila kita menghadap ke depan rumah, maka akan kita dapati tiang raja letaknya di tengah sebelah kanan, sedangkan tiang putri di tengah sebelah kiri rumah tersebut. Jadi Tameh Putroe terletak persis di sebelah kiri Tameh Raja. Peletakan posisi tiang raja dan tiang putrid ini dipengaruhi oleh prinsip-prinsip ajaran Islam yang mengungkapkan bahwa kaum hawa (wanita) berasal dari tulang rusuk sebelah kiri Nabi Adam (pria) (Husein, 1970 : 205). Jadi dengan adanya penempatan letak posisi Tameh Raja di sebelah kanan Tameh Putroe diharapkan dapat mempengaruhi suasana keharmonis-an hubungan suami-istri dalam rumah itu (Husein, 1970: 211)
Bantalan tiang dipasang pada posisi membujur dan melintang. Bantalan yang membujur disebut toi, sedangkan bantalan yang melintang disebut ruk. Kedua ujung bantalan yang membujur dipahat setengah sehingga seperduanya tinggal sebagai puting. Begitu juga dengan kedua ujung bantalan yang membujur, dipahat dengan ukuran sama seperti bantalan yang membujur. Kayu bantalan yang melintang dipasang di bawah bantalan yang membujur, dan biasanya diperkuat dengan menggunakan baji (bajoe), sehingga rumah itu dapat berdiri dengan kokoh dan kuat.
Di atas bantalan yang melintang dipasang lagi bantalan lantai yang disebut lhue. Lhue ini mempunyai jumlah tertentu pada setiap rumoh Aceh, dan selalu harus dalam jumlah ganjil. Pada ruang depan sebanyak sembilan buah, pada ruang tengah 11 buah dan ruang belakang sebanyak sembilan buah. Jumlah seluruhnya sebanyak 29 buah. Ketentuan jumlah lhue ini ternyata juga dipengaruhi oleh kepercayaan terhadap adanya ketentuan langkah, rezeki, pertemuan dan maut, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya pada masalah tangga (Waardenburg, 1978 : 137). Di atas lhue baru dipasang lantai yang terbuat dari pohon nibung (pinang) atau dari bambu yang diikat dengan ijuk/rotan yang dipintal rapi.
Pada sekeliling rumah terdapat dua keeping papan berukuran tebal dan lebar yang berfungsi untuk menutupi ruk, thoi dan lhue. Papan yang paling bawah disebut laeak dan di atasnya disebut kindang. Di atas tiang dipasang bara setebal 15 cm dan lebar 30 cm. Dari tulang bubungan (tampong) sampai ke atas bara diletakkan kasau yang dinamakan gaseue. Di bawah kasau terdapat kayu bulat sejajar dengan bara yang dinamakan geunulong. Fungsi geunulong ini untuk mengikat kasau agar menjadi sejajar dan rapi. Pada ujung kasau bagian bawah less palang dipasang miring ke dalam yang dinamakan neuduek gaseue. Sedangkan pada ujung sebelah Barat dan Timur rumah bagian atas (bubong) juga terdapat less plang yang berfungsi sebagai penahan atap dari terpaan angin kencang yang dinamakan peunimpi di daerah Aceh Besar.

Dari neuduek gaseue sampai ke puncak bubungan, yaitu di antara selang-selang kasau itu terbentang tali ijuk yang disebut taloe bawa. Tali ini terlipat dua dan kedua ujung sebelah bawah disatukan dan disimpul dengan sangat kuatnya, sehingga bentuknya persis seperti sebuah sanggul yang dinamakan bruek geutheun. Pada tali ijuk inilah diikat atap rumah tersebut, sehingga apabila terjadi bencana kebakaran, maka simpul ijuk yang berbentuk sanggul ini sajalah yang dipotong. Sebab dengan pemotongan sanggul ijuk itu atap akan turun dan jatuh ke bawah secara serentak.
Pada ujung timur dan barat sejajar dengan kuda-kuda terdapat sebuah penutup yang biasanya dilubangi yang dinamakan tulak angen (tolak angin). Tolak angin ini berfungsi untuk menetralisir hempasan angin kencang. Dari ujung bawah cucuran atap (neuduek gaseue) sampai ke bara dibuat bagasi yang berfungsi untuk menyimpan dan meletakkan barang-barang, seperti tikar dan bantal yang dinamakan sanding (Muhammad Z.Z. 1980 : 51).
Jendela rumoh Aceh umumnya dibuat dinding sebelah barat dan timur. Jendela ini merupakan jendela utama dari itu, artinya jendela ini berfungsi untuk menyambut udara bersih dan sinar matahari pagi ke dalam rumah. Sedangkan jendela yang dibuat pada dinding bagian utara dan selatan hanya berfungsi untuk menerangi bagian dalam keseluruhan rumah termasuk ruang tengah. Sedangkan pintu utama (pintu depan) pada setiap rumoh Aceh hanya terdapat pada dinding kedua dari rumah itu, yaitu pada dinding tengah yang dinamakan pinto Aceh (Muhammad Z.Z, 1980 :63).
Tangga rumah tradisional Aceh di sebelah atau barat ke arah timur menghadap ke selatan dan utara. Mengenai jumlah anak tangga ini telah diuraikan pada bagian terdahulu dari bab ini. Tangga ini letaknya terlindung dari sinar matahari dan hujan, karena kalau cucuran atap yang sejajar dengan tangga memanjang ke bawah, sehingga dapat melindungi tangga dari hujan dan sinar matahari yang dapat mengakibatkan lapuk dan rusak. Atap pelindung tangga ini ditopang dengan dua buah tiang berbentuk segi empat (Hadjad, 1984 : 93). Bangunan pelindung tangga ini disebut ladang reuyeuen.

Bahan Membuat Rumoh Aceh dan Cara Mengolahnya

Oleh: Agus Budi Wibowo

Bahan untuk membuat rumah tradisional Aceh (rumoh Aceh), terdiri dari berbagai jenis kayu pilihan yang berkwalitas dan keras. Kayu-kayu itu biasanya dipilih yang mempunyai serat halus dan telah cukup tua agar tidak mudah dimakan rayap, sehingga tahan sampai berpuluh bahkan beratur tahun. Kayu-kayu tersebut umumnya dipilih yang berukuran panjang, lurus dan besar, terutama untuk bahan pembuatan tiang, bara, dan dinding rumah (Muhammad Z.Z., 1980 : 47).
Lantai rumah biasanya dibuat dari sejenis pohon pinang (pohon nibung) yang telah berumur cukup tua atau dari pohon bambu yang tua. Sedangkan atapnya terdiri dari daun rumbia atau daun kelapu yang dijahit tersusun pada sebilah bambu tipis sepanjang kira-kira dua meter.
Pengolahan dan pembuatan tiang, dinding dan bara serta lantai rumoh Aceh biasanya dibuat dengan cara menarah dan menggergaji kayu-kayu bulat, di mana besar dan panjangnya sesuai dengan bentuk yang kita inginkan. Tiang dibuat dengan cara menarah kayu yang masih bulat penampangnya menjadi empat persegi atau delapan persegi, bahkan bulat (silinder). Panjangnya sesuai dengan tinggi rumah yang akan dibuat. Jadi untuk membuat tiang diambil persis di bagian tengah dari kayu yang masih utuh. Besar tiang rata-rata mencapai 35 cm lingkaran atau lebih. Jumlah tiang pada tiap-tiap rumoh Aceh bermacam-macam, ada yang 16, 20, 24, 28 dan seterusnya sesuai dengan banyaknya ruang, lebar dan panjangnya rumah tersebut.
Sedangkan bara (alas kasau) dibuat dengan cara membelah kayu menjadi empat bagian, pembelahan ini dilakukan persis pada bagian garis tengah dari kayu itu. Setiap bagian ditarah hingga tebalnya tinggal lima sampai enam cm dan lebarnya antara 12 sampai 15 cm. Jadi bentuk bara persis menjadi empat persegi panjang seperti sekeping papan tebal.
Lantai rumoh Aceh umumnya terbuat dari sejenis pohon pinang (nibung) atau sering juga dibuat dari bambu yang cukup tua. Pohon nibung atau pohon bambu itu dibelah kecil-kecil selebar dua anak jari (tiga cm). Selanjutnya direndam ke dalam air sampai dua atau tiga minggu, baru kemudian dijemur sampai kering betul. Proses perendaman ini bertujuan agar pohon pinang/nibung atau bambu tersebut menjadi kuat dan tahan sampai berpuluh bahkan beratus tahun serta tidak mudah dimakan rayap.
Atap rumoh Aceh umumnya terbuat dari daun rumbia. Cara mengolahnya, mula-mula daun ini dipilih yang sudah tua dan lebar. Selanjutnya disusun pada sebilah bambu tipis yang telah disediakan sebelumnya dengan ukuran panjang bambu kira-kira 2,00 cm sampai 2,25 cm. Susunan daun rumbia dikerjakan dengan cara melipatkannya pada bambu itu persis berada di dalam lipatan setiap daun rumbia yang berfungsi sebagai tulang dari atap itu secara keseluruhan. Daun-daun itu disusun secara beraturan dengan bagian belakang daun harus selalu berada di luar. Tujuannya agar atap tidak bocor pada saat turun hujan. Susunan daun-daun rumbia itu dijahit (diikat) dengan rotan yang dibelah empat atau dibelah delapan, sehingga antara daun rumbia yang satu dengan yang lainnya saling menyatu dengan kuat pada bambu tersebut. Kadang-kadang daun rumbia dalam keadaan darurat diganti dengan daun kelapa atau alang-alang.

Untuk pembuatan papan dinding rumah sama dengan cara membuat bara. Hanya saja dalam pembuatan papan ini kayu dibelah agak tipis, setiap bagian ditarah setebal tiga cm s/d lima cm, lebarnya sebagamana kayu-kayu yang dibelah tadi. Akan tetapi ukuran standard lebar papan rumah tradisional Aceh biasanya rata-rata mencapai 22 cm atau lebih.

Tata Letak Rumah Aceh

Oleh: Agus Budi Wibowo

Letak denah rumoh Aceh biasanya dibangun menghadap ke utara dan ke selatan sehingga letaknya tepat membujur dari arah timur ke barat. Hal ini dikarenakan angin di daerah Aceh umumnya bertiup dari arah timur ke barat atau sebaliknya. Bahkan angin yang paling kencang bertiup di daerah Aceh disebut angin Barat. Angin ini sering menghancurkan dan memporak-porandakan bukan hanya tanaman kecil seperti padi, tembakau dan sayur-sayuran. Akan tetapi lebih dari itu angin barat ini sering juga menumbangkan pohon-pohon besar, bahkan menghancurkan rumah-rumah penduduk. Karenanya dengan adanya konstruksi denah rumah yang memanjang dari Timur ke Barat seperti itu dapat membantu keutuhan serta daya tahan rumah dari hempasan angin kencang. Selain itu sirklus matahari yang terjadi juga dari arah timur ke barat juga memaksimalkan pemasukan cahaya alami ke dalam ruangan pada waktu siang hari sehingga tidak diperlukan penerangan buatan. Dengan orientasi demikian pula masalah hujan dan angin dapat diatasi. Bentuk atap pelana yang membujur dari arah Timur ke Barat dapat mengurangi tempiasan air hujan masuk ke dalam rumah dan mengatasi angin kencang yang sering terjadi di daerah Aceh.

Angin yang kencang ini pernah dialami oleh pelaut asing yang akan memasuki Banda Aceh. Laksamana Perancis Beaulieu ketika hendak berlabuh di kota Banda Aceh memerlukan waktu delapan hari sebelum benar-benar berlabuh padahal untuk itu jaraknya hanya tinggal empat mil dari tempat kapalnya berhenti dan menjatuhkan jangkarnya untuk berapung. Ketika hendak masuk ke Banda Aceh melalui sungai, ia masih disambut oleh angin yang bertiup dari haluan sampai ia kehilangan jangkar. Pada bulan April 1637 Peter Mundy (Lombard, 1986: 55) juga dengan susah payah mencapai tempat berlabuh: “Wee gott into Achein, being hindred until now by currants and contrairy winds, getting little these 2 or 3 days”.
Selain itu, penempatan posisi denah rumoh Aceh yang membujur dari timur ke barat ternyata juga dipengaruhi oleh sistem religi. Keberadaan agama Islam sejak awal perkembangannya di Aceh telah banyak mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat Aceh, baik dalam bidang fisik maupun psikologis (Karel dan A. Stenbrink, 1984 : 187). Karenanya wajar apabila letak denah rumoh Aceh sebagai bagian dari hasil budaya masyarakat Aceh juga dipengaruhi oleh unsur-unsur Islam. Dengan adanya penempatan letak denah rumoh yang membujur dari timur ke barat seperti itu dapat membantu untuk menentukan arah kiblat shalat yang tepat dalam rumah, baik untuk si pemilik rumah itu sendiri maupun bagi tamu yang datang dari luar Aceh, pun menghindari akibat angin barat yang ganas yang dapat merusak atap rumah.

August 16, 2011

Keberadaaan Desa (Gampong) Pada Masyarakat Aceh

Oleh: Agus Budi Wibowo

Desa (bahasa Jawa) di Nanggroe Aceh Darussalam dikenal dengan nama Gampong, yang secara harfiah artinya kampung. Jumlah seluruhnya 5.463 buah Secara administratif desa atau gampong ini merupakan unit pemerintahan terkecil yang berada di bawah satuan pemerintahan lain yang lebih besar yang dalam istilah Aceh dinamakan mukim. Perkataan mukim berasal dari bahasa Arab “muqim” yang artinya tempat tinggal, jumlah di seluruh Kabupaten Pidie 126 buah, dan Nanggroe Aceh Darussalam 591 buah. Gampong dan mukim ini saling berhubungan satu dengan yang lain. Tidak ada mukim tanpa gampong dan demikian juga sebaliknya.
Landasan bagi kepala Daerah Tk. II untuk memilih, mengakui dan memberhentikan seorang kepala gampong di daerahnya mulai sejak akhir tahun 1953-1961 adalah ketetapan Gubernur Kepala Daerah Propinsi Sumatera Utara tanggal 31 November 1953. Karena pada waktu itu Daerah Istimewa Aceh berstatus Keresidenan merupakan bagian dari wilayah Sumatera Utara. Dalam ketetapan itu disebutkan tentang tata cara pemilihan kepala gampong (keuchik/geuchik). Setelah Daerah Istimewa Aceh menjadi Propinsi berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1956 yang realisasinya tanggal 27 januari 1957, maka dalam perkembangannya pada tahun 1961 hal mengenai peraturan tentang memilih, mengakui dan memberhentikan kepala gampong (keuchik/geuchik) di Daerah Istimewa Aceh ditetapkan suatu keputusan baru. yaitu berdasarkan Keputusan Gubernur KDH Istimewa Aceh (urusan pemerintahan umum dan pusat) No.32/GA/1961. Keputusan ini di antaranya mencabut semua peraturan tentang memilih, mengakui dan memberhentikan kepala-kepala gampong (keuchik/geuchik) yang bertentangan dengan peraturan Gubernur KDH Sumatera Utara No.30/U.U/1953 tanggal 30 Mei tentang memilih, mengakui dan memberhentikan kepala-kepala gampong (keuchik/geuchik) di dalam Daerah Propinsi Sumatera Utara yang dianggap tidak sesuai lagi. Dalam keputusan itu juga ditetapkan mengenai peraturan tentang memilih, mengakui, dan memberhentikan kepala-kepala gampong (keuchik/geuchik) di Daerah Istimewa Aceh saat itu (sekarang Nanggroe Aceh Darussalam). Dengan demikian segala hal yang menyangkut tentang pemilihan, memberhentikan dan mengakui seorang kepala gampong didasarkan atas keputusan No.32/GA/1961
Namun dalam pelaksanaannya baik peraturan Gubernur KDH Sumatera Utara No.30/U.U/1953 tanggal 30 Mei 1953 maupun keputusan Gubernur KDH Istimewa Aceh No.32/GA/1961 tidak selalu sesuai. Hal ini banyak tergantung faktor situasi dan kondisi yang ada pada suatu gampong (kampung) yang bersangkutan. Dengan demikian, pengakuan dan memberhentikan kepala gampong (keuchik/geuchik) tidak selalu ditempuh dengan cara yang telah ditetapkan sebagaimana tersebut di atas.
Banyak kepala gampong tidak dipilih menurut ketentuan itu, tetapi karena warisan dari orang tuanya secara turun menurun, disebabkan karena si orang tua ini sudah sangat tua. Dan banyak juga kepala gampong (keuchik/geuchik) yang ditetapkan/dipilih berdasarkan hasil musyawarah penduduk gampong yang bersangkutan. Orang yang dipilih itu biasanya dilihat bagaimana pengalamannya, tingkah laku akhlaknya dan dianggap sebagai orang yang banyak mengetahui tentang seluk beluk kampung itu.
Aparat-aparat atau unsur-unsur pemerintahan gampong lainnya seperti Teungku Meunasah (Teungku Imeum), Tuha Peut, Waki Keuchik/geuchik, pemilihannya juga dilakukan secara musyawarah. Tentang jabatan Waki Keuchik/geuchik (wakil kepala kampung) meskipun baik dalam peraturan Gubernur Kepala Daerah Sumatera Utara No.30/U.U/1953 maupun keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh Nomor 32/GA/1967, menyebutkan bahwa wakil kepala kampung adalah orang yang ditunjuk oleh kepala kampung bersangkutan untuk mewakili dirinya dalam hubungan dengan masyarakat di kampung itu atas jaminan dan tanggung jawab dari kepala kampung itu sendiri, tetapi dalam prakteknya hal ini juga jarang terjadi.
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa sebelum keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa yang menjadi landasan bagi seorang Bupati Kepala Daerah Tingkat II atau seorang Camat, untuk memilih, mengakui dan memberhentikan kepala-kepala desa dalam wilayah Daerah Istimewa Aceh ialah surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh (urusan pemerintahan umum pusat) No. 32/GA/1961, dan surat kawat Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh No. 16353/18a tanggal 2 Nopember 1971 yang ditujukan kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II dalam wilayah Daerah Istimewa Aceh, yang intinya mengenai masa jabatan keuhik-keuchik/geuchik (kepala-kepala kampung).
Dengan keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1979, yang mengatur tentang pemerintahan desa (pasal 3) termasuk cara pemilihan pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah (pasal 4, 5 dan pasal 9), maka semua keputusan dan instruksi-instruksi yang pernah dikeluarkan sebelumnya oleh pemerintah Daerah tentang hal itu, dengan sendirinya harus disesuaikan atau bahkan tidak berlaku lagi. Dan hal yang berhubungan dengan pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian kepala-kepala kampung/desa untuk seluruh daerah di Indonesia termasuk dalam wilayah Aceh seharusnya didasarkan atas Undang-Undang nomor 5 Tahun 1979 itu. Namun seperti halnya surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh No. 32/GA/1961, serta surat-surat instruksi yang berkaitan dengan pemerintahan desa, Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 itu juga dalam pelaksanaannya belum pada semua kampung/desa di Daerah Istimewa Aceh, berjalan secara lancar. Faktor tradisi, situasi dan kondisi serta faktor sosial politik yang ada di kampung-kampung masih memegang peranan atau masih dijadikan unsur pertimbangan bagi seorang bupati ataupun bagi seorang camat, dalam memilih, mengangkat dan memberhentikan seorang kepala kampung/desa. Selain juga karena Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 itu sendiri belum diketahui secara luas dan belum sepenuhnya dimengerti oleh kepala-kepala kampung/desa dalam wilayah Daerah Istimewa Aceh.
Dapat ditambahkan bahwa dalam hubungan dengan pengaturan pemerintahan desa di Daerah Istimewa Aceh, hingga tahun 80-an, belum ada suatu peraturan baik yang dikeluarkan oleh pemerintah Daerah Tingkat II maupun oleh Pemerintah Daerah Tingkat I. Namun dalam hubungan dengan usaha peningkatan penyelenggaraan Pemerintahan Kampung / desa Pemerintah Daerah Tingkat I Daerah Istimewa Aceh telah mengusahakan sistem pemerintahan kampung/desa. Untuk ini misalnya pada tahap pertama Pelita I Tahun 1969/1970 pemerintah telah menetapkan gampong (kampung) di Daerah Istimewa Aceh sebagai unit pemerintahan desa. Penetapan ini sesuai dengan surat Menteri Dalam Negeri Nomor Desa 5/1/29 tanggal 29 April 1969. Dan sesuai dengan surat instruksi Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh tanggal 11 Oktober 1971 Nomor 6018, maka pada setiap desa dalam wilayah Daerah Istimewa Aceh, mulai diadakan Sekretaris Kampung. Selain itu untuk meningkatkan administrasi desa, Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh, pada tanggal 8 Juni 1976 mengeluarkan suatu Surat Keputusan Nomor 263/1976, yaitu tentang penyeragaman stempel kepala kampung yang digunakan oleh kepala-kepala kampung dalam wilayah Daerah Istimewa Aceh.
Usaha untuk peningkatan bidang Pemerintahan Kampung, sesungguhnya terus dipaksakan untuk dilaksanakan oleh pemerintah, sudah semenjak Pelita I dikumandangkan misalnya dengan mendirikan kantor-kantor desa sebagai tempat pelaksanaan administrasi desa pada setiap gampong dalam wilayah Daerah Istimewa Aceh (berdasarkan surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 36/2/37 tanggal 21 April 1975 dan surat Pemerintah Nomor 36/2/28, tanggal 21 Juni 1976.
Selain pengadaan kantor-kantor desa, pemerintah juga mengusahakan penyediaan rupa-rupa alat kelengkapan administrasi seperti mesin ketik, buku register desa dan alat-alat tulis menulis. Untuk desa-desa di Daerah Istimewa Aceh, selama Pelita I hingga Pelita IV pemerintah juga telah memberikan subsidi desa yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dan sesuai dengan Daftar Isian Proyek dan Daftar Usulan Proyek uang bantuan desa tersebut dimanfaatkan oleh kepala-kepala kampung untuk perbaikan/ pembangunan kampungnya masing-masing.
Pada setiap desa, mulai tahun 1969 dan tahun 1970 telah dibentuk suatu lembaga yang disebut LSD (Lembaga Sosial Desa) dengan tujuan untuk menghidupkan kembali unsur gotong royong melalui organisasi formal. Dalam perkembangannya sejak tahun 1971 lembaga ini mendapat landasan hukum, yaitu keputusan presiden No. 81 Tahun 1981, tahun 1971 berada di bawah Departemen Dalam Negeri. Selanjutnya menurut Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1980 lembaga ini dirubah menjadi LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa). Tugas dan fungsinya adalah membantu pemerintahan, meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat.
Adanya berbagai usaha dari pemerintah sehubungan dengan pelaksanaan Pelita dalam rangka untuk menyempurnaan lembaga pemerintahan kampung telah menempatkan kepala kampung dalam posisi yang penting dan luas. Penting, karena ikut menentukan maju mundurnya masyarakat di kampungnya, dan luas, karena menangani hampir semua segi kehidupan masyarakat kampung. Kedudukannya adalah sebagai “wakil pemerintah”, sebagai pemimpin yang paling bawah yang melaksanakan tugas-tugas untuk kepentingan negara.
Tugas untuk menjalankan administrasi pemerintahan dan pembangunan kelihatannya merupakan tugas baru bagi kepala kampung. Oleh karena itu jelas beberapa kepala kampung, “belum siap” menerima tugas semacam itu. Mereka belum terbiasa dengan pekerjaan administrasi, berkantor, membuat program kampung dan sebagainya. Banyak kepala desa masih “kaku” dalam melaksanakan tugas-tugas mereka yang berhubungan dengan hal-hal tersebut di atas meskipun kepala-kepala desa telah memperoleh bantuan dari pemerintah berupa alat-alat penunjang administrasi, namun ada yang belum pernah menggunakannya; lebih-lebih di antara mereka ada yang masih buta aksara latin.
Akibatnya sesuai dengan situasi zaman, lembaga pemerintahan gampong telah mengalami perubahan-perubahan dan penyempurnaannya meskipun di sana-sini masih menunjukkan adanya kekurangan-kekurangan. Misalnya LKMD belum seluruhnya menunjukkan keaktifannya, masih ada yang merupakan sekedar nama saja. Demikian juga halnya dengan kantor-kantor desa, ada yang tidak/belum berfungsi sebagai mana mestinya. Keuchik/geuchik-keuchik/geuchik masih banyak yang menggunakan tempat kediaman mereka atau meunasah sebagai tempat kegiataan dalam urusan kampung. Demikian juga masih banyak penduduk jika berurusan dengan kepala kampung dilaksanakan pada sore atau malam hari, dikediaman kepala desa atau di meunasah-meunasah, karena pada siang harinya mereka harus ke sawah atau ke ladang. Oleh karenanya sulit bagi mereka jika disuruh berdiam di kantor desa pada siang hari, kecuali bagi beberapa rekan mereka yang sudah berstatus “lurah”.
Sebagaimana telah disinggung pada bagian awal tulisan ini, bahwa gampong-gampong di Aceh/Pidie terkoordinir di dalam suatu wilayah yang disebut mukim (kemukiman), yang dikepalai oleh seorang kepala mukim. Pada masa sekarang lembaga ini masih ada, tetapi hak dan kewajibannya tidak jelas, karena tidak ada suatu ketentuan atau pedoman tertulis yang mengatur tentang lembaga ini (lebih-lebih bila dikaitkan dengan U.U No. 5 tahun 1979), sehingga seberapa jauh wewenang kepala mukim selaku koordinator kampung dan sebagai pembantu camat juga tidak jelas. Dalam menjalankan tugasnya kepala mukim bekerja tanpa pembantu, namun untuk ini ia menerima upah jerih payah menurut ketentuan yang ditetapkan (ketentuan ini termuat dalam daftar jerih payah para pamong Desa. Kepala mukim/keuchik/geuchik dalam Propinsi Daerah Istimewa Aceh 8 April 1968).
Hingga kini, desa-desa di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (sejak 2001) masih berada di bawah koordinasi kemukiman. Namun peranan kepala mukim sebagai pembantu camat sudah sangat berkurang. Para Keuchik/geuchik bila berurusan dengan camat tidak lagi melalui perantaraan kepala mukim tetapi langsung dengan Camat sebagai kepala kecamatan di wilayahnya. Hal ini sesuai dengan pasal 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1979, yaitu yang mengatur tentang hak, wewenang, kewajiban, kepala desa. Dengan melihat ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1979, maka dapat dikatakan bahwa jabatan sekretaris kampung adalah sebagai pembantu-pembantu keuchik/geuchik dalam melaksanakan tugas-tugas yang berhubungan dengan administrasi di desa-desa itu. Adanya jabatan Sekretaris Desa ini telah membawa pengaruh pula terhadap sistem pemerintahan gampong, terutama dalam cara pengaturan administrasinya dan telah membawa pengaruh pula terhadap jabatan Waki Keuchik/geuchik yang ada, yang sebelumnya berfungsi sebagai pembantu keuchik/geuchik dalam menjalankan tugas-tugas kampung. Adanya jabatan sekretaris kampung telah mengaburkan kedudukan Waki Keuchik/geuchik. Namun hingga kini jabatan untuk itu pada beberapa gampong masih tetap ada. Demikian pula dengan fungsi Tuha Peut pada sejumlah gampong menjadi “kabur”.
Dari apa yang telah dikemukakan di atas, jelas bahwa usaha pemerintah Republik Indonesia untuk menyeragamkan desa di seluruh Indonesia seperti terkandung dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, mengakibatkan runyamnya struktur masyarakat gampong di Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Rusdi Sufi, 2000).
Oleh karenanya, dengan diberlakukan Undang-Undang No.44 Tahun 1999 tentang keistimewaan Aceh dan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan desa masalah struktur masyarakat gampong perlu difungsikan kembali seperti sebelum adanya Undang-Undang No.5 Tahun 1979. Pelaksanaan Undang-Undang baru harus diterapkan sesuai dengan situasi masyarakat Aceh yang memiliki keunikan-keunikan tersendiri. Dengan demikian, harapan untuk memperbaiki kembali struktur masyarakat gampong di Aceh dapat tercapai.

B. Struktur Kelembagaan di dalam Gampong/Desa

Menurut Kuahaty (1983: 14), susunan organisasi pemerintahan desa di Aceh terdiri dari keuchik/geuchik, peutua meunasah, dan tuha peuet, dengan pusat kegiatan pemerintahannya berada di meunasah Susunan organisasi pemerintahan desa seperti ini didasarkan pada kerja sama, pembagian kerja, dan hubungan kerja yang jelas, khususnya menyangkut dengan kegiatan-kegiatan keagamaan, adat istiadat, hukum, administrasi, sosial budaya, dan ekonomi. Dalam hal ini, keuchik/geuchik menjalankan urusan adat istiadat dan pemerintahan, peutua meunasah melaksanakan urusan keagamaan, dan tuha peuet bertugas menuntun perkara, menimbang keadilan, serta memberikan saran-saran kepada keuchik/geuchik, diminta maupun tidak diminta. Namun demikian menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1979 struktur pemerintahan desa terdiri dari lembaga-lembaga seperti keuchik/geuchik/kepala desa, LMD, Sekretaris desa, Kepala urusan, kepala dusun dan LKMD.
Untuk lebih jelasnya pada bagian di bawah ini diuraikan lembaga-lembaga yang ada di desa, baik formal maupun nonformal.
1. Lembaga Formal Desa
a. Keuchik/geuchik/kepala desa
Dalam pasal 10 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, ditetapkan bahwa Kepala Desa dalam menjalankan hak, wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintah desa yaitu menyelenggarakan kewajiban pimpinan pemerintahan desa yaitu menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dan merupakan penyelenggara dan penanggungjawab utama di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dalam rangka menyelenggarakan urusan pemerintahan desa, urusan pemerintah umum termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menumbuhkan serta mengembangkan jiwa gotong royong masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan pemerintahan desa.
Selanjutnya juga dijelaskan bahwa dalam rangka menumbuhkan dan mengembangkan jiwa gotong royong masyarakat desa, Kepala Desa antara lain melakukan usaha pemnatapan koordinasi melalui Lembaga Sosial Desa, Rukun Tetangga , Rukun Warga dan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya yang ada di desa.
Dalam rangka pelaksanaan tugas di bidang ketentraman dan ketertiban, ia dapat menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang terjadi di desa. Dengan melihat uraian di atas dapat dikemukan bahwa :
1. Kepala Desa mempunyai tugas :
a. Menjalankan urusan rumah tangganya sendiri;
b. Menjalankan urursan pemerintah, dan pembangunan baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, serta urusan kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan Pemerintah Desa termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban di wilayah desanya.
c. Menumbuhkan serta mengembangkan semangat gotong royong masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan pemerintah dan pembangunan desa.
2. Kepala Desa mempunyai fungsi :
a. Melaksanakan kegiatan dalam rangka penyelenggaraan urusan rumah tangganya desanya sendiri.
b. Menggerakan partisipasi masyarakat dalam wilayah desanya.
c. Melaksanakan tugas dari pemerintah Pusat dan dari pemerintah Daerah.
d. Melaksanakan tugas dalam rangka pembinaan ketentraman dan ketertiban masyarakat desa.
e. Melaksanakan koordinasi jalannya pemerintahan , pembangunan dan pembinaan kehidupan masyarakat di desanya.
Kepala Desa juga mempunyai hak, wewenang dan kewajiban seperti yang tercantum dalam Pasal 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1984 yaitu :
1. Hak Kepala Desa :
a. Melaksanakan peraturan perundang-undangan dari pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
b. Menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang dibebankan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
c. Mendapatkan bimbingan dan pembinaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

2. Wewenang Kepala Desa :
a. Pembinaan ketentraman dan ketertiban di wilayah desanya.
b. Pembinaan ideologi negara, politik dalam negeri dan kesatuan bangsa di wilayah desanya.
c. Pembinaan tertib pemerintahan di wilayah desanya.
d. Pembinaan tugas-tugas pemerintahan lainnya yang ditugaskan oleh pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
e. Menyelenggarakan koordinasi fungsional di desa.
3. Kewajiban Kepala Desa :
a. Memelihara dan meningkatkan ketentraman dan ketertiban di wilayah desanya.
b. Memelihara dan meningkatkan hasil-hasil pembangunan yang ada di wilayah desanya.
c. Melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang ditugaskan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 bahwa Kepala Desa dipilih secara langsung, umum dan rahasia oleh penduduk yang telah berusia 17 tahun. Selanjutnya sesuai dengan pasal 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, Kepala Desa diangkat oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II atas nama Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dari calon yang terpilih, dan syarat-syarat untuk dapat dipilih menjadi Kepala Desa antara lain sekurang-kurangnya berijazah Sekolah Lanjutan Pertama atau yang berpengetahuan yang setingkat dengan itu.
b. Sekretaris Desa
Berdasarkan pasal 14 Undang-Undang No. 5 tahun 1979 bahwa sekretaris desa adalah unsur staf yang membantu kepala desa dalam menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa dan bertugas
1. Melaksanakan urusan surat menyurat, kearsipan dan laporan, serta menyampaikan kepada yang bersangkutan.
2. Melaksanakan urusan keuangan.
3. Melaksanakan administrasi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
4. Tuigas yang paling penting adalah melaksanakan tugas dan fungsi kepala desa apabila kepala desa berhalangan melaksanakan tugasnya.
Sekretaris desa diangkat dan diberhentikan oleh Bupati kepala daerah tingkat II setelah mendengar pertimbangan camat atas usul kepala desa sesudah mendengar pertimbangan LMD (pasal 15 ayat 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1979). Sekretaris desa karena jabatanya menjadi sekretaris Lembaga Musyawarah Desa dan sekretaris Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa.
c. Kepala Dusun
Kepala dusun/kepala lorong berkedudukan sebagai unsur pelaksana tugas kepala desa dalam wilayah kerjanya. Adapun tugas dan wewenang kepala dusun adalah menjalankan kegiatan kepala desa yaitu menyangkut dengan kegiatan di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta ketentraman dan ketertiban di wilayah kerjanya masing-masing. Di samping itu juga pelaksana dari keputusan kepala desa.
Kepala dusun diangkat dan diberhentikan oleh camat atas nama bupati/walikota kepada daerah tingkat II atas usul kepala desa (pasal 9 ayat 3 Undang-Undang No. 5 tahun 1979).
d. Kepala Urusan
Kepala urusan berkedudukan sebagai unsur pembantu sekretaris desa. Tugas dan urusan meliputi kegiatan-kegiatan melaksanakan urusan pemerintahan, pembangunan, kesejahteraan rakyat, keuangan dan urusan umum sesuai dengan bidang masing-masing. Jumlah kepala urusan tiap-tiap desa adalah sekurang-kurangnya 3 yaitu kepala urusan pemerintahan, kepala urusan pembangunan, kepala urusan umum. Apabila perlu, dapat ditambah sehingga sebanyak-banyak 5 kepala urusan yaitu selain yang diatas ditambah lagi 2 yaitu kepala urusan kesejahteraan rakyat dan kepala urusan keuangan.
Kepala urusan diangkat dan diberhentikan oleh camat atas nama Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingakt II atas usul kepala desa.
e. Lembaga Musyawarah Desa
Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dibentuk berdasarkan pasal 17 Undang-Undang No. 5 tahun 1979. Dalam ayat 4 pasal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan mengenai LMD akan ditetapkan dengan peraturan daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Sebagai realisasi dari ketentuan pasal 17 Undang-Undang No. 5 tahun 1979 telah ditetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1981 dan selanjutnya untuk Daerah Istimewa Aceh (saat ini Nanggroe Aceh Darussalam) telah dikeluarkan Peraturan Daerah No. 7 tahun 1982.
Dari berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa lembaga Musyawarah Desa adalah lembaga permusyawaratan/pemufakatan dari pemuka-pemuka masyarakat yang ada di desa. Keputusan ini ditetapkan berdasarkan musyawarah dan mufakat dengan memperhatikan sungguh-sungguh kenyataan hidup dan berkembang dalam masyarakat desa bersangkutan. Hasil musyawarah kemudian ditetapkan dalam keputusan desa dan disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui camat untuk mendapatkan pengesahannya. Kepala desa karena jabatannya menjadi ketua LMD dan sekretaris desa menjadi sekretaris LMD.
Keanggotaan LMD disusun berdasarkan hasil pemufakatan yang dilakukan oleh kepala desa dengan pemuka-pemuka masyarakat di desa yang bersangkutan dengan jumlah sekurang-kurangnya 9 orang dan sebanyak-banyaknya 15 orang tidak termasuk ketua dan sekretaris
f. Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa
Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) adalah suatu lembaga masyarakat yang merupakan wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 28 tahun 1980 tentang Penyempurnaan dan Peningkatan Fungsi Lembaga Sosial Desa menjadi Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa. Tugas pokok dari LKMD adalah membantu pemerintah desa/kelurahan dalam
1. Merencanakan pembangunan yang didasarkan atas asas musyawarah.
2. Menggerakkan dan meningkatkan prakarsa dan partisipasi masyarakat untuk melaksanakan pembangunan secara terpadu, baik yang berasal dari berbagai kegiatan pemerintah maupun swadaya gotong royong masyarakat.
3. Menumbuhkan kondisi dinamis di desa atau kelurahan.
Lembaga ini adalah pembantu pemerintah desa/kelurahan dalam menumbuhkan prakarsa dan menggerakkan swadaya dan gotong royong masyarakat, sehingga masyarakat memiliki kemampuan dan ketangguhan dalam menghadapi dan mengatasi segala hambatan dan tantangan dalam rangka pembinaan/pengembangan desa, juga diharapkan dapat memberikan motivasi bagi membangkitnya potensi masyarakat desa untuk kepentingan pembangunan.
Adapun disamping mempunyai tugas pokok sebagaimana yang telah disebutkan di atas, LKMD mempunyai fungsi sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 28 tahun 1980 adalah
1. Sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam penghayatan dan pengamalan Pancasila.
2. Menanamkan pengertian dan kesadaran penghayatan dan pengamalan Pancasila.
3. Menggali, memanfaatkan potensi dan menggerakkan swadaya gotong royong masyarakat untuk pembangunan.
4. Sebagai sarana komunikasi antara pemerintah dan masyarakat serta antarmasyarakat untuk pembangunan.
5. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat.
6. Membina dan menggerakkan potensi pemuda untuk pembangunan.
7. Meningkatkan peran wanita dalam mewujudkan keluarga sejahtera.
8. Membina kerja sama antarlembaga yang ada dalam masyarakat.
9. Melaksanakan tugas-tugas lain dalam rangka membantu pemerintah desa atau pemerintah kelurahan untuk menciptakan ketahanan yang mantap.
Dilihat dari segi operasional pemerintah desa merupakan suatu proses kerjasama yang dari lembaga-lembaga formal yang ada seperti disebutkan di atas.












2. Lembaga Nonformal
Selain lembaga-lembaga formal seperti yang disebutkan di atas, di desa/gampong masih terdapat lembaga nonformal (yang sebelumnya merupakan lembaga formal) yang kadang-kadang masih diakui keberadaannya oleh masyarakat, walaupun menurut undang-undang tidak disebutkan.
a. Imeum Meunasah
Kedudukan imeum meunasah dalam sistem pemerintahan desa baik di Aceh maupun di Pidie sangat dominan. Setiap desa di Pidie mempunyai imeum meunasah masing-masing. Antara imeum meunasah dengan keuchik/geuchik/kepala desa terjalin hubungan yang dwitunggal, yang saling membutuhkan satu sama lain. Kepala desa/keuchik/geuchik mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hubungan kemasyarakatan, sedangkan imeum meunasah lebih banyak memfokuskan tugasnya di bidang keagamaan, pelaksanaan ibadah, peringatan hari-hari besar Islam, dan sebagainya.
Dalam masyarakat keberadaan imeum meunasah ini sangat dihormati. Hal ini merupakan suatu hal yang wajar karena kehidupan masyarakat Pidie yang sangat Islami. Keputusan-keputusan atau nasihat imeum meunasah lebih dipatuhi oleh masyarakat tanpa paksaan. Keputusan yang tumbuh dari hati masyarakat itu sendiri.
Imeum meunasah diangkat melalui musyawarah desa. Namun demikian, orang yang menjadi imeum meunasah haruslah orang yang benar-benar menguasai ajaran-ajaran agama Islam, di samping itu ia harus pula memiliki akhlak yang mulia sebagai panutan setiap warga desa.
Peranan imeum meunasah sangat besar pengaruhnya terhadap ketentraman masyarakat. Imeum meunasah bersikap netral yang tidak memihak salah satu golongan. Saat ini keberadaan imeum meunasah dalam struktur organisasi pemerintah desa ada yang melebur menjadi anggota LMD dan ada pula pada bidang tugas lainnya.
b. Keujruen Blang
Keujruen Blang sangat besar peranannya dalam bidang pertanian. Keujruen Blang menjalankan fungsi mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan jadwal turun ke sawah, mengatur pengadaan air irigasi dan tugas-tugas pertanian lainnya. Oleh karena itu, untuk memangku jabatan keujruen blang haruslah orang-orang yang mempunyai pengalam dalam bidang pertanian. Oleh karena itu, berhasil atau tidaknya produksi pangan juga sangat ditentukan oleh keberadaan keujruen blang. Perhitungan kapan mulai turun ke sawah, membersihkan tali air dan peraturan-peraturan lainnya ditentukan oleh keujruen blang.

c. Panglima Laot
Lembaga panglima laot merupakan sebuah organisasi dalam bentuk persekutuan hukum adat laot. Persekutuan hukum tersebut dalam menjalankan tugas di bidang kelautan didukung oleh Panglima Laot, Pawang, Aneuk Pukat, dan Muge (Sulaiman Lubis, 1978: 16). Lembaga ini biasanya terdapat pada desa/gampong yang berada di daerah pantai.
Penunjukan panglima laot dilakukan atas dasar pemilihan oleh dan dari pawang, pukat, perkumpulan yang bersangkutan serta ada persetujuan dari uleebalang. Menurut ketentuan pasal 5 Perda No. 2 tahun 1990 bahwa lembaga panglima laot berfungsi membantu kepala desa/keuchik/geuchik dalam pembangunan kemasyarakatan dan adat istiadat, terutama yang menyangkut masalah kelautan.
Adapun yang merupakan tugas dari panglima laot adalah sebagai berikut.
1. Mengatur segala kegiatan para nelayan yang melakukan penangkapan ikan dan hasil laut lainnya.
2. Mengatur waktu turun ke laut.
3. Mendamaikan perselisihan yang terjadi antara para nelayan dalam lingkungan wilayahnya.
4. Menjaga dan mengawasi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan penangkapan ikan di laut.
5. Membantu imeum mukim dalam menjaga keamanan dan ketertiban daerah pantai dan laut.
6. Membantu imeum mukim dalam mengusahakan perbaikan kehidupan nelayan.
7. Dengan demikian, panglima laot mempunyai kedudukan dan peran penting di dalam masyarakat, khususnya masyarakat nelayan yang hidup di pantai.
d. Seunebok Baro
Seunobok merupakan suatu organisasi persekutuan adat pada masyarakat yang berada di wilayah pertanian. Seunebok dipimpin oleh seorang ketua, yang dalam konsep hukum adat Aceh disebut dengan peutua seunebok. Peutua seunebok berperan dalam usaha perambahan hutan untuk pembukaan lahan pertanian baru. Pada umumnya pembukaan lahan pertanian baru dilakukan setelah dimusyawarahkan lebih dahulu dengan peutua seunebok setempat.
Peutua seunobok membantu tugas-tugas kepala desa/keuchik/geuchik khususnya yang berkaitan dengan pembukaan lahan pertanian. Dalam menjalankan tugasnya peutua seunebok bertanggung jawab kepada kepala desa/keuchik/geuchik. Tidak semua desa di Pidie terdapat peutua seunebok. Desa-desa yang mempunyai peutua seunebok adalah desa-desa yang berada di daerah dataran tinggi (pegunungan) atau daerah yang masih belantara.
Peutua seunobok umumnya diangkat oleh masyarakat adat di wilayah pembukaan lahan pertanian tersebut. Peranan peutua seunebok tidak begitu tampak dalam masyarakat adat karena organisasi ini tidak menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Peutua seunebok hanya berperan pada saat perambahan hutan untuk membuka lahan pertanian baru, setelah itu peutua seunebok tidak berperan lagi.
e. Tuha Peut
Tuha peut merupakan lembaga adat yang masih besar pengaruhnya dalam sistem pemerintahan desa di Pidie. Keberadaan tuha peut terutama membantu kepala desa dalam menjalankan tugasnya di bidang kemasyarakatan. Lembaga tuha peut berfungsi secara optimal dalm struktur pemerintahan desa/gampong sebagai lembaga pengontrol (legislatif), hukum adat, dan peradilan (yudikatif) bagi setiap lapisan masyarakat (Muhammad Gade, 1992: 18). Tuha peut secara sederhana dapat kita sebutkan bahwa tugas mereka meliputi bidang agama, adat, pertanian dam cendikiawan.
Tuha peut terdiri dari tokoh-tokoh kharismatik yang dipilih masyarakat desa dalam suatu musyawarah dan diangkat oleh kepala desa. Tuha peut lebih banyak berperan memberikan pertimbangan-pertimbangan dan nasihat-nasihat kepada kepala desa. Demikian juga masyarakat sering meminta nasihat tuha peut dalam berbagai masalah kemasyarakatan.
Pembentukan lembaga tuha peut di Kabupaten Pidie adalah sah dan telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pidie No. 6 tahun 1966 (Abdul Kadir, 1988: 214). Wakil rakyat yang duduk dalam lembaga ini dianggap mampu, cukup berpengalaman, dan memiliki pengetahuan yang cukup mendalam tentang adat-istiadat gampong. Snouck Hurgronje (1906: 75) menyebutkan dengan men of experience, woldly wisdom, good mannerand knowledge of the adat the gampong. Lembaga tuha peut diketuai oleh keuchik/geuchik karena jabatannya.
Setelah diberlakukannya Undang-Undang No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa, pembinaan terhadap kedudukan tuha peut dalam sistem pemerintahan desa telah kurang mendapat perhatian dan kurang difungsikan, jika dibandingkan dengan masa-masa sebelum lahirnya undang-undang tersebut. Namun demikian ada kesan dari penelitian ini sebagian masyarakat desa masih mendambakan agar fungsi tuha peut berlaku seperti sedia kala.
Daftar Pustaka
Syamsul Bahri dan Agus Budi Wibowo. 2002. Strategi Pendayagunaan Lembaga-lembaga Desa dalam Pembangunan Desa di Kabupaten Pidie. Banda Aceh: Bappeda Propinsi D.I. Aceh.


















August 11, 2011

Budaya Malu dalam Rangka Pembentukan Budi Pekerti di Kalangan Remaja

Oleh: Agus Budi Wibowo


A. Pendahuluan

Pada akhir-akhir ini sering kita sering melihat dan alami peristiwa kenakalan remaja dengan berbagai dimensi di Indonesia, seperti tawuran antarsekolah yang mengakibatkan perkelahian dan pembunuhan, kenakalan remaja yang berlebihan, siswa-siswi melakukan perbuatan yang dianggaap tidak sopan dan menyebarkannya melalui media internet/handphone, dan juga banyak siswa sekolah yang menjadi korban narkoba. Pada bagian lain, ada pula siswa-siswi sekolah yang ikut mengacau dan melanggar aturan lalu lintas.1 Siswa ikut terlibat dengan konflik masyarakat, saling membenci kelompok lain, juga cukup banyak.
Pada konteks keacehan, dengan berlakunya syariat Islam, banyak remaja yang pada jam-jam tertentu masih duduk nongkrong di warung/cafe pada hal waktu shalat sudah tiba, berpakaian yang tidak muslimah, bergaul ala budaya barat, dan sebagainya. Tentunya, banyak faktor yang menyebabkan hal itu semua terjadi. Salah satunya, menurut hemat penulis, adalah makin berkurangnya rasa nilai budaya “malu” yang dimiliki oleh para siswa/remaja saat ini.
Dalam tulisan ini penulis akan membahas nilai budaya malu dalam pembentukan budi pekerti. Diasumsikan bahwa nilai budaya malu ini dapat mereduksi kenakalan di kalangan remaja melalui pembentukan budi pekerti karena di dalam nilai budaya malu terdapat nilai-nilai pendidikan, control sosial, dan sebagainya. Pembahasan akan difokuskan kepada keberadaan nilai budaya malu dalam masyarakat Aceh, nilai budaya malu sebagai alat pengendalian sosial, dan nilai budaya malu dalam pembentukan budi pekerti.

B. Pembahasan

1. Nilai Budaya “Malu” bernuasa Keacehan
Nilai budaya adalah satu bagian dari kebudayaan komunitas tertentu yang merupakan suatu konsepsi abstrak yang dianggap baik dan amat bernilai tinggi dalam hidup, yang menjadi pedoman tertinggi kelakuan dalam kehidupan satu masyarakat. 2 Sebagai sebuah etnisitas budaya, masyarakat Aceh juga memiliki nilai budaya, yang salah satunya adalah nilai budaya malu.
Dalam sistem budayanya, masyarakat Aceh sangat menjaga perasaan “rasa malu”. 3 Malu yang menimpa seorang individu berarti malu keluarga. Ukuran malu setingkat “rasa iman” karena rasa malu bersumber dari nilai-nilai Islami, sesuai dengan pesan Rasulullah SAW, malu dan iman adalah satu kesatuan, hilang salah satu (Iman), hilang yang lain (malu) dan sebaliknya Karena itu orang tua terdahulu, sangat menjaga untuk tidak berbuat yang memalukan diri dan keluarganya, termasuk menjaga turunan anak cucunya. 4
Salah satu cara untuk memahami segala sesuatu tentang nilai budaya suatu bangsa adalah dengan menelaah dan mendalami peribahasanya. 5 Kebenaran pendapat ini bertumpu pada kenyataan bahwa arti luas peribahasa merupakan kata, frase, klausa, atau kalimat ringkas yang baku dan tetap susunan serta pemakaiannya, yang (pernah) hidup dalam tradisi lisan sesuatu bahasa, dengan isi yang selalu mengkiaskan maksud tertentu untuk dijadikan penuntun berperilaku dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian peribahasa mencakup ungkapan, bidal, perumpamaan, pepatah, dan petitih, serta berisi tamsil, ibarat, perbandingan, nasihat, petuah, ajaran, asas hidup, atau tata aturan tingkah laku yang dianut oleh bangsa pemilik bahasa yang bersangkutan dalam menjalani hidupnya. Seperti dinyatakan oleh Danandjaja6 , sebagai bagian folklore lisan peribahasa memang dapat berfungsi menjadi pengukuh pranata dan lembaga kebudayaan, alat pengawas dan pemaksa pematuhan norma masyarakat, instrument pendidikan, dan juga alat komunikasi dalam kontrol sosial. Karena kodratnya, isi peribahasa memang dimaksudkan untuk memberikan pengarahan, teladan, harapan dan nasihat, sehingga dapat dijadikan bahan pelajaran berharga untuk diikuti dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Masyarakat Aceh mengenal peribahasa yang sesungguhnya menggambarkan jati diri/watak dari masyarakatnya., yang disebut pula dengan hadis maja atau narit maja. Menurut Ali dkk narit maja menduduki tingkat kebenaran nomor tiga dalam masyarakat Aceh. Tingkat kebenaran pertama adalah Wahyu Allah Swt. Tingkat kebenaran kedua adalah Hadis Rasulullah Saw. Tingkat kebenaran ketiga adalah Narit maja atau Peutitih peteteh. Karena kebenaran narit maja berada di bawah Hadis Nabi, maka orang-orang menyebutnya dengan atau hadih maja. 7
Narit maja adalah tutur perkataan orang-orang tua zaman dahulu yang dapat dijadikan nasihat, petunjuk, petuah, ajaran, dan larangan itu pada umunya berkaitan dengan agama Islam, adat Istidat, pendidikan, dan kehidupan masyarakat. Salah satunya hadih maja berkaitan dengan konsep malu. Seperti dikatakan oleh Harun 8
“Malu merupakan komitmen moral indatu orang Aceh dalam perspektif altruism. Hal ini dikarenakan semua manusia berakal sehat pada hakikatnya memiliki sifat rasa malu, yang termasuk salah satu naluri atau fitrah manusia. Misalnya, anak-anak sudah memiliki rasa malu walaupun tanpa diajari oleh orang tuanya. Jadi, malu merupakan suatu sifat bawaan setiap individu”.

Selanjutnya, Harun juga menegaskan bahwa hampir semua hadih maja yang mengangkat rasa malu diungkap secara terbalik, yaitu bukan anjuran, tetapi proporsi datar tentang simbol-simbol tertentu atau orang yang tidak tahu malu. Beberapa contoh hadih maja yang berkaitan nilai budaya malu di antaranya:
a. orang yang tidak tahu malu
Alee tob beulacan
Barangpeue takheun malee tan
(Alu penumbuk belacan
Apapun dikatakan malu tiada)

b. Orang tidak tahu malu mendatangkan malu bagi orang lain
Alee tob beulacan
Nyang malee ureueng jak sajan)
(Alu penumbuk belacan
Yang malu orang jalan bersama)
c. Orang tidak tahu malu dan dianggap sudah keterlaluan
Malee ja Asee hue
(Malu sudah anjing hela)
d. orang yang sudah tebal muka
Lagee ureueng teubai muka
(Seperti orang tebal muka)
e. orang sudah tidak tahu malu dan sudah menjadi penyakit masyarakat dan dianggap hina
Lagee si panteue alee
Tapoh han saket
Tateunak han malee
(Seperti si dipan Alu
Dipukul tidak sakit
Dimaki tidak malu)
f. orang tidak tahu malu dan semau gue
Jak ho nyang troh
Pajoh peu nyang lot
(Pergi kemana sampai
Makan apa yang suka)
Hadih maja di atas mengajak kepada semua individu yang mempunyai rasa malu untuk menghilangkan perilaku yang menimbulkan rasa malu. Apabila orang sudah kehilangan rasa malu, maka hancurlah hati nurani dan akal pikiran, yang pada gilirannya hancur pula tatanan sosial. Rasa malu, misalnya melakukan sesuatu yang cemar, yang dilarang Allah SWT dan Rasulnya, sama sekali tidak dikerjakan. Yang membawa aib/gosib, perbuatan hina tidak dilakukan, karena memalukan diri dan anak cucunya. Perbuatan yang merendahkan martabat tidak boleh dilakukan. Hal ini dikarenakan nilai-nilai asli budaya adat Aceh, antara lain adalah : taat beribadah kepada Allah SWT dan Rasulnya, taat dan patuh pada orang tua, taat dan patuh pada guru yang telah mengajarkannya, suka bekerja keras dan disiplin. Malu meminta-minta, suka memberi dan menolong orang dan saling hormat menghormati antara sesama keluarga, jiran dan sesama keluarga dalam masyarakat. 9
2. Nilai Budaya Malu sebagai Alat Pengendalian Sosial
Sebagai makhluk berbudaya, manusia memerlukan seperangkat aturan yang mengatur kehidupannya, baik dalam hubungan antarmanusia maupun makhluk lainnya di dunia. Aturan ini berfungsi agar manusia di dalam menjalankan aktivitasnya dapat teratur. Keteraturan ini amat penting agar tidak terjadi kekacauan.
Aturan-aturan yang seperti disebutkan di atas terkait dengan norma-norma dan adat. Norma dan adat kebiasaan ini mengatur kegiatan dan tingkah laku manusia. Norma-norma dan nilai-nilai yang mengatur apa yang pantas dikatakan, kepada siapa, dan dalam kondisi bagaimana. Berdasarkan nilai-nilai inilah, maka disusun norma yang menentukan mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap kurang baik. Atas dasar norma dan kaidah-kaidah itu kemudian dijadikan pedoman bertingkah laku sehingga tidak terjadi bentrokan antarkepentingan manusia dalam pergaulan hidup.
Salah satu wujud norma dalam hubungan interaksi masyarakat adalah sikap sungkan. 10 Dalam konteks keacehan sikap ini dapat disebut sebagai budaya malu, seperti yang telah disebutkan di atas. Budaya Malu yang berkembang di dalam masyarakat Aceh merupakan suatu sistem norma yang dilembagakan pada tingkat kelakuan (mores). Tata kelakuan mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas. Budaya malu yang telah dilembagakan sebagai suatu sistem norma yang disebut tata-kelakuan merupakan suatu alat mekanisme agar anggota-anggota masyarakat menyesuaikan dengan tata kelakuan tersebut.
Dilihat dari segi fungsional budaya malu juga merupakan alat pengendalian sosial.11 Pada masyarakat Aceh hal itu dilakukan melalui sopan santun dan sikap menghindar. Sopan santun dapat berwujud pembatasan dalam pergaulan, baik di dalam keluarga maupun di luar keluarga. Sikap menghindar merupakan alat yang biasa efektif dalam menata hubungan keluarga dan kerabat. Tujuan pembatasan itu antara lain untuk mencegah terjadinya hubungan yang sumbang.
Melalui dua mekanisme itu, di dalam masyarakat Aceh ada beberapa aturan yang mengatur hubungan antara anak dengan orang tua, suami-istri, menantu-mertua, perilaku-perilaku lain dalam bermasyarakat. Misalnya saja dalam kaitannya dengan remaja putri, seorang ibu/ayah malu apabila anak perempuannya berpakaian kurang pantas sehingga anaknya dianggap tidak mengetahui adat-istiadat. Dalam kontak fisik, adanya canda bersifat sentuhan fisik antara anak dan orang tua dianggap kurang pantas. Kalau hal itu dilakukan di depan umum dapat menjatuhkan martabat orang tua di mata anaknya sendiri. Dalam hal ini Badruzzaman12 telah menegaskan beberapa perilaku budaya yang perlu diperhatikan, yaitu perilaku berakhlak Islami, perilaku menghormati orang lain, dan perilaku cinta lingkungan.
2. Nilai Budaya Malu dalam Pembentukan Budi Pekerti
Paparan di atas menunjukkan kepada kita bahwa nilai budaya malu sangat penting dalam masyarakat sebagai sistem pengedalian sosial karena di dalamnya terdapat unsur-unsur yang mendidik atau pun pembentukan budi pekerti. Seperti diketahui bahwa budi pekerti merupakan nilai moralitas manusia yang disadari dan dilakukan dalam tindakan nyata. Di sini ada unsur proses pembentukan nilai tersebut dan sikap yang didasari pada pengetahuan mengapa nilai itu dilakukan. Semua nilai moralitas yang disadari dan dilakukan itu bertujuan untuk membantu manusia menjadi manusia yang lebih utuh. Nilai itu adalah nilai yang membantu orang dapat lebih baik hidup bersama dengan orang lain dan dunianya (learning to live together) untuk menuju kesempurnaan. Nilai itu menyangkut berbagai bidang kehidupan seperti hubungan sesama (orang lain, keluarga), diri sendiri (learning to be), hidup bernegara, alam dunia, dan Tuhan. Dalam penanaman nilai moralitas tersebut unsur kognitif (pikiran, pengetahuan, kesadaran), dan unsur afektif (perasaan) juga unsur psikomotor (perilaku).
Penanaman budi pekerti ini sangat diperlukan dalam rangka menghadapi berbagai permasalahan kenakalan remaja seperti dipaparkan di atas dan menghadapi permasalahan di era global. Dalam hal ini konsep ‘era global’ berarti suatu kurun waktu atau zaman yang ditandai oleh munculnya berbagai gejala serta masalah yang menuntut umat manusia dituntut untuk menggantikan pola-pola persepsi dan pola-pola berpikir tertentu, dari pola-pola yang bersifat nasional semata-mata ke pola-pola yang bercakupan global. Kita tidak dapat menahan era global ini. Kita hanya dapat melakukan pembekalan diri terhadap nilai global yang bersifat negatif. Sikap seharusnya adalah menerima nilai luar yang bersifat positif dan membuang jauh nilai-nilai negatif. Bahkan, kita harus dapat berpikir global dengan perilaku yang local yang masih menghargai nilai-nilai leluhurnya.
Menuju ke arah tersebut bukanlah perkara mudah. Tantangan dan kendala pasti mengemuka. Pertama, adanya perubahan dalam hubungan antargenerasi, yang memperlihatkan berkurangnya dominasi kaum tua dalam pembentukan tatanan sosial. Perubahan ini menunjukkan pergeseran pendefinisian kebudayaan pada tingkatan yang berbeda-beda. Kebudayaan menjadi lain artinya, pada kelompok ABG, pada kelompok tua, ataupun pada kelompok menengah dan sebagainya. Dengan demikian, kelompok tua tidak mudah melakukan pendekatan pada kelompok muda. Kedua, perubahan karakter masyarakat, khususnya dengan melemahnya ikatan-ikatan tradisional. Pada saat yang sama individu-individu memiliki otonomi yang lebih besar. Dalam dunia semacam ini minat individual sedang mendapatkan ruang yang lebih luas dalam berekspresi dan juga dalam proses pengambilan keputusan. Perubahan semacam ini menegaskan suatu peralihan yang mendasar dalam institusi-institusi sosial sebagai pengikat individu-individu dan menunjukkan kebutuhan cara-cara dalam mengorganisasikan individu-individu ke dalam suatu sistem. Pemaksaan dalam hal ini, yang dulunya menjadi suatu mekanisme yang berhasil, menjadi suatu yang berbahaya karena dapat melahirkan reaksi dan resistensi.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mereaktualisasi nilai budaya malu sebagai bagian membentengi para remaja dari pengaruh luar. Hal itu dapat dilakukan melalui proses sosialisasi, yaitu memperkenalkan, mendidik budaya malu sejak anak masih kecil, baik dalam pendidikan di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Rumah tangga dan keluarga merupakan pilar pertama dan memegang peran penting agar anak dapat mereduksi sesuatu yang berasal dari dunia luar. Adapun lembaga formal dan masyarakat berperan dalam pendidikan sopan-santun dan akhlak. Dengan demikian diharapkan untuk masa mendatang remaja di Aceh adalah generasi yang mempunyai pendidikan tinggi, tetapi mempunyai moral (budaya malu) yang tinggi pula. Tidak sekedar IQ (Intelegency Quotient) tinggi dan EQ (Emotional Quotient), tetapi diikuti ESQ (Emotional Spritual Quotient) yang tinggi.

C. Penutup
Dekadensi moral dan kenakalan remaja mulai berkembang dan menampakkan wujudnya di Indonesia, tidak terkecuali Aceh. Perubahan-perubahan telah dialami oleh mereka. Pada zaman dahulu terdapat upaya pengendalian terhadap perilaku yang menyimpang dari budaya masyarakat, melalui budaya malu. Budaya malu sudah menjadi bagian masyarakat. Tentunya, nilai-nilai budaya malu ini dapat diaktualisasikan kembali dalam kehidupan masyarakat. Diharapkan para remaja menjadi remaja yang melestarikan budaya, tetapi juga mempunyai cara berpikir yang global.

Catatan Akhir:
Misalnya, kejadian seorang remaja tewas akibat balapan liar di Jalan Teuku Umar Setuy, Banda Aceh. Sudah dilarang dan dihalau pihak berwenang, tetapi tetap membandel. Belum lagi ada gejala geng motor yang juga meresahkan dan menewaskan seorang korban.
2 M. Junus Melalatoa. “Memahami Aceh Sebuah Perspektif Budaya”, dalam Bambang Bujono (ed.) Aceh Kembali Ke Masa Depan. (Jakarta: Katakita, Yayasan SET dan Gudang Garam, 2005), hlm 10.
3 Hal ini tampak pada hadih maja Nibak malee get ta lob lam tanoh crah, yang artinya Daripada malu, lebih masuk liang tanah”.
4 Badruzzaman Ismail. Panduan Adat Dalam Masyarakat Aceh. (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Aceh, 2009), hlm. 65-66.

5 P. Lunde dan Wintle. A Dictionary of Arabic and Islamic Proverbs. London: Routledge dan Keegan Paul), hlm.
6 James Dandjaja. Folklore Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. (Jakarta: Gratifipers, 1984), hlm. 32).
7 Zaini Ali. Narit Maja Aceh. (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Aceh, 2009), hlm. 1.
8 Mohd. Harun. Memahami Orang Aceh. (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2009), hlm. 159-161
9 Badruzzaman Ismail. op.cit. hlm. 65-66.
10Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Sosial. (Jakart: Rineka Cipta, 1984).
11Menurut T. Bachtiar Effendi Panglima Polem, sistem pengendalian sosial atau social control merupakan suatu sistemm dan proses yang bersifat mendidik, mengajak ataupun memaksa anggota-anggota masyarakat agar mau mentaati norma-norma dalam masyarakatnya. Dengan demikian ia akan memperkokoh struktur dan menjaga integritas masyarakat secara keseluruhan. Pada umumnya pengendalian sosial dengan berpedoman pada berbagai norma itu dilaksanakan serta dikembangkan oleh lembaga-lembaga sosial, seperti lembaga keluarga, lembaga keagamaan, lembaga pemerintahan dan sebagainya. Lihat T. Bachtiar Panglima Polem, “Pengendalian Sosial di Aceh Besar. Dalam Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh. Alfian (ed). Jakarta: LP3ES, 1977), hlm. 101.
12Badruzzaman Ismali, op.cit., hlm. 66-67.




May 23, 2011

Bentuk/Wujud Sistem Kepemimpinan di Aceh

Oleh Agus Budi Wibowo

sultan dan ulama merupakan sistem kepemimpinan Aceh yang tidak dapat dipisahkan. Sultan atau raja atau penguasa dianggap memiliki otoritas politik (pemimpin dunia) dan agama. Taj al-Salatin, sebagai panduan bagi para penguasa mengenai pemerintahan, disebutkan bahwa gelar khalifat al-Rahman (wakil Yang Maha Pengasih) dan zill Allah fi al-alam atau al-ard (bayangan Allah di muka alam atau bumi dirujuk kepada sultan. Untuk itu, kemudian seorang penguasa (sultan/raja) berhak menggunakan gelar-gelar agamis. Misalnya, dalam Bustanus Salatin, Sultan Iskandar Muda menggunakan gelar sayyiduna wa mawlana paduka seri Sultan Iskandar Muda Johan berdaulat zill Allah fi al-‘alam, sementara penggantinya, Iskandar Thani juga menggunakan gelar yang sama, sebagaimana halnya dengan empat ratu (sultanat) yang memimpin Aceh berikutnya. Pada bagian lain, seorang tokoh ulama besar Aceh ‘Abd al-Rauf al-Singkili menegaskan bahwa Kerajaan Aceh merupakan sebuah khilafah (kekhalifahan) yang berdiri sendiri. Oleh karena itu, seorang khalifah diartikannya sebagai “wakil Tuhan”. Menurutnya, khalifah yang pertama adalah Nabi Adam AS. Kemudian tugas ini dilaksanakan oleh semua nabi dan rasul sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Setelah Rasul ini wafat, posisi ini dilaksanakan oleh para keempat khulafa’ al-Rashidin, yang dalam perkembangannya kemudian, posisi khalifat didelegasikan kepada para penguasa di berbagai penjuru dunia Islam (Hadi, 2010: 105-108).
Gambar

Akan tetapi, kepemilikan penguasan akan otoritas agama tidak bermakna bahwa ia pemegang otoritas tertinggi dalam urusan keagamaan karena sesungguhnya otoritas tertinggi dalam hal ini dimiliki oleh para ulama. Untuk itu, seorang ulama sangat membutuhkan ulama. Di dalam Adat Aceh dan Taj-al-Salatin ditekankan bahwa seorang penguasa diminta untuk menghormati dan merujuk kepada para ulama dalam urusan keagamaan, yang dalam praktiknya kemudian para ulama ketika itu menempati berbagai posisi penting di kerajaan, dari posisi yang berbentuk Agama (seperti qadhi, faqih, dam Shaykh al-Islam hingga posisi politis (seperti penasihat sultan, ketua dewan kerajaan dan wakil sultan).
Merujuk pada hal tersebut di atas, maka dapat kita lihat juga pada aspek kepemimpinan yang lain. Berdasarkan pendekatan historis, masyarakat Aceh dapat dikelompokkan pada dua golongan kepemimpinan, yaitu golongan umara dan golongan ulama. Umara dapat diartikan sebagai pemerintah atau pejabat pelaksana pemerintah dalam suatu unit wilayah kekuasaan. Contohnya seperti jabatan sultan yang merupakan pimpinan atau pejabat tertinggi dalam unit pemerintahan kerajaan, Uleebalang sebagai pimpinan unit pemerintahan Nanggroe (negeri), Panglima Sagoe (Panglima Sagi) yang memimpin unit pemerintahan Sagi (di Aceh Besar), Imeum Mukim yang menjadi pimpinan unit pemerintahan Mukim dan Keuchik atau Geuchik yang menjadi pimpinan pada unit pemerintahan Gampong (kampung). Mereka semua atau pejabat tersebut di atas, dalam struktur pemerintahan di Aceh pada masa dahulu dikenal sebagai lapisan pemimpin adat, pemimpin keduniawian atau kelompok elite sekuler. Dalam hal ini Sjamsuddin (1998: 2) mengatakan bahwa,
“... oleh sebab itu, didasar struktur politik secara tradisional kehidupan rakyat Aceh sering dikatakan sebagai dikuasai oleh dua penguasa, yaitu uleebalang (umara-penulis) dan ulama. Barangkali kenyataan ini dapat dilukiskan dengan tepat sebagaimana ungkapan yang terdapat di dalam sebuah hikayat Aceh populer, Hikajat Potjut Muhammad: hana di gob na di geutanyo, saboh nanggro dua raja, yang secara bebas bermakna: hanya di tempat kita sajalah terdapat sebuah negeri yang diperintah oleh dua raja”.

Sementara golongan ulama yang menjadi pimpinan yang mengurusi masalah-masalah keagamaan (hukom atau syariat Islam) dikenal sebagai pemimpin keagamaan atau masuk kelompok elite religius. Oleh karena para ulama ini mengurusi hal-hal yang menyangkut keagamaan, maka mereka haruslah seorang yang berilmu agama Islam, yang dalam istilah Aceh disebut ureueng malem. Dengan demikian tentunya sesuai dengan predikat/sebutan ulama itu sendiri, yang berarti para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan. Adapun golongan atau kelompok ulama ini (lihat pada bab 2 sebelumnya) dapat disebut yaitu :
1. Teungku Meunasah, yang memimpin masalah-masalah yang berhubungan dengan keagamaan pada suatu unit pemerintahan Gampong (kampung).
2. Imeum Mesjid (Imam Mesjid), yaitu yang mengurusi masalah keagamaan pada tingkat pemerintahan mukim, yang bertindak sebagai imam sembahyang pada setiap hari Jumat di sebuah mesjid pada wilayah mukim yang bersangkutan.
3. Qadli (kadli), yaitu orang yang memimpin pengadilan agama atau yang dipandang mengerti mengenai hukum agama pada tingkat kerajaan (Kadhi Malikul Adil) dan juga pada tingkat Nanggroe yang disebut Kadli Uleebalang.
4. Teungku-teungku, yaitu pengelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti dayah dan rangkang, juga termasuk murid-muridnya. Bagi ulama yang sudah cukup tinggi tingkat keilmuannya, disebut dengan istilah Teungku Chik.

Saat Sultan Iskandar Muda memerintah, bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan di Aceh adalah yang disebut dalam istilah Aceh Gampong atau dalam istilah Melayu Kampung. Sebuah Gampong terdiri atas kelompok-kelompok rumah yang letaknya berdekatan satu dengan yang lain. Pimpinan gampong disebut Geucik atau Keuchik, yang dibantu oleh seorang yang mahir dalam masalah keagamaan, dengan sebutan Teungku Meunasah. Selain itu, dalam sebuah dalam sebuah Gampong terdapat pula unsur-unsur pimpinan lainnya seperti yang dinamakan Waki (wakil) yang merupakan wakil dari Keuchik, serta juga yang disebut Ureung Tuha (orang tua). Mereka yang tersebut terakhir adalah golongan orang-orang tua kampung yang disegani dan berpengalaman dalam kampungnya. Menurut tradisi jumlah mereka ada empat orang yang dinamakan Tuha Peut dan ada juga yang delapan orang yang disebut Tuha Lapan.
Bentuk teritorial yang lebih besar lagi dari gampong yaitu Mukim. Mukim ini merupakan gabungan dari beberapa buah gampong yang letaknya berdekatan dan para penduduknya melakukan sembahyang bersama pada setiap hari Jumat di sebuah masjid. Pimpinan Mukim disebut sebagai Imum Mukim. Perkataan Imum ini berasal dari bahasa Arab, artinya Imam (orang yang harus diikuti). Imum Mukim inilah yang bertindak sebagai pemimpin sembahyang pada setiap hari Jumat di sebuah masjid. Pada mula dibentuk setiap mukim diharuskan sekurang-kurangnya mempunyai 1000 orang laki-laki yang dapat memegang senjata. Hal ini tentunya dimaksudkan untuk tujuan politis, yaitu bila terjadi peperangan dengan pihak luar agar mudah menghimpun tenaga-tenaga tempur. Dalam perkembangannya fungsi Imum Mukim menjadi kepala pemerintahan dari sebuah Mukim. Dialah yang mengkoordinir kepala-kepala kampung atau Keuchik-Keuchik. Dengan berubahnya fungsi Imum Mukim berubah pula nama panggilannya, yakni menjadi Kepala Mukim. Untuk pengganti sebuah imam sembahyang pada setiap hari Jum'at di sebuah masjid, diserahkan kepada orang lain yang disebut Imuem Mesjid.
Dalam memimpin pemerintahan Nanggroe, Uleebalang dibantu oleh pembantu-pembantunya seperti yang disebut dengan Banta, yaitu adik laki-laki atau saudara Uleebalang, yang kadang-kadang juga bertindak sebagai Uleebalang, bila yang bersangkutan berhalangan. Pembantu yang lainnya adalah yang disebut Kadhi atau Kali, yang membantu dalam hukom, yaitu yang dipandang mengerti mengenai hukum Islam. Selain itu, ada yang disebut Rakan yaitu sebagai pengawal Uleebalang, yang dapat diperintahnya untuk bertindak dengan tangan besi. Para Rakan yang terbaik dalam perang diberi gelar Panglima Perang, sedangkan pimpinan-pimpinan pasukan kecil yang tidak begitu trampil dalam peperangan diberi gelar pang.
Nanggroe-nanggroe tersebut di atas, pada umumnya berlokasi di pantai bagian timur dan pantai bagian barat Aceh. Di awahnya terdapat pula sejumlah mukim yang terdiri atas beberapa buah gampong atau yang disebut pula dengan istilah meunasah. Tetapi tidak semua nanggroe mengenal lembaga mukim. Di wilayah pantai timur dan di pantai barat, tidak terdapat apa yang disebut mukim. Di beberapa nanggroe bagian pantai Timur dan sebagian wilayah Kabupaten Aceh Utara sekarang, terdapat apa yang disebut dengan istilah Ulebalang Cut (Uleebalang kecil). Uleebalang Lapan (Uleebalang Delapan), dan Uleebalang Peut (Uleebalang Empat). Namun kedudukan dari bermacam jenis Uleebalang ini, berada di bawah.
Tingkat tertinggi dalam struktur pemerintahan Kerajaan Aceh adalah pemerintah pusat yang berkedudukan di ibukota kerajaan, yang dahulunya bernama Bandar Aceh Dar as Salam. Pimpinan atau kepala pemerintahan pusat adalah Sultan yang para kelompoknya bergelar Tuanku. Dalam mengendalikan pemerintahan Sultan dibantu oleh beberapa pembantu yang membawahi bidang masing-masing. Berdasarkan sebuah manuskrip (MS), susunan pemerintahan pusat Kerajaan Aceh terdiri atas 24 lembaga atau jabatan yang diumpamakan dengan kementrian pada masa sekarang. Nama dari masing-masing lembaga tersebut adalah sebagai berikut:
1. Keurukun Katibul Muluk atau Sekretaris Raja
2. Rais Wazirat Addaulah atau Perdana Menteri
3. Wazirat Addaulah atau Menteri Negara
4. Wazirat al Akdham atau Menteri Agung
5. Wazirat al HArbiyah atau Menteri Peperangan
6. Wazirat al Haqqamiyah atau Menteri Kehakiman
7. Wazirat ad Daraham atau Menteri Keuangan
8. Wazirat ad Mizan atau Menteri Keadilan
9. Wazirat al Maarif atau Menteri Pendidikan
10.Wazirat al Khariziyah atau Menteri Luar Negeri
11. Wazirat ad Dakhilyyah atau Menteri Dalam Negeri
12. Wazirat al Auqaf atau Menteri Urusan Wakaf
13. Wazirat az Ziraaf atau Menteri Pertanian
14. Wazirat al Maliyyah atau Menteri urusan HArta
15. Wazirat al Muwashalat atau Menteri Perhubungan
16. Wazirat al asighal atau Menteri Urusan Kerja
17. As Syaikh al Islam Mufti Empat Syeik Kaabah
18. Qadli al Malik al Adil atau Qadi Raja Yang Adil
19. Wazir Tahakkum Muharrijlailan atau Ketua Pengurus Kesenian
20. Qadli Muadlam atau Qadhi/Jaksa Agung
21. Imam Bandar Darul Makmur Darussalam
22. Keuchik Muluk atau Keuchik Raja
23. Imam Muluk atau Imam Raja
24. Panglima Kenduri Muluk atau Ketua Urusan Kenduri Raja.
Kedua puluh empat lembaga atau jabatan seperti disebutkan di atas, dipegang oleh orang-orang tertentu sebagai pimpinan yang diangkat oleh Sultan Aceh. Selain jabatan-jabatan itu di Kerajaan Aceh, terdapat pula tiga buah badan atau lembaga lainnya yang fungsinya hampir dapat disamakan dengan lembaga legislatif sekarang. Lembaga ini turut mendampingi Sultan dalam melaksanakan tugasnya. Ketiga Lembaga ini adalah 1. Balairungsari, yaitu tempat bermufakat empat orang Uleebalang (Hulu Balang Empat) dan tujuh orang alim ulama, serta menteri-menteri Kerajaan Aceh. 2. Bale Gadeng, yaitu Tempat mufakat dari delapan orang Uleebalang dan tujuh orang alim ulama serta menteri-menteri Kerajaan Aceh, dan 3. Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu sebagai tempat mufakat wakil rakyat sebanyak tujuh puluh tiga orang yang datang dari tujuh puluh tiga mukim. Jadi tiap-tiap mukim diwakili oleh satu orang.
Selain ketiga lembaga di atas, dalam sebuah naskah yang bernama Kanun Meukuta Alam Sultan Iskandar Muda, disebut pula ada Balai Laksamana yaitu semacam markas angkatan perang, yang dikepalai oleh seseorang yang disebut Laksamana, yang tunduk atau berada di bawah Sultan. Selanjutnya ada pula yang disebut Balai Fardah, yang tugasnya memungut atau mengumpulkan Wase (Bea Cukai). Balai ini tunduk pada perintah Perdana Menteri. Disebutkan pula, dalam pemerintahan kerajaan, Sultan Aceh tunduk kepada Kanun.

Selain kepemimpinan yang telah disebutkan di atas terdapat pula beberapa bentuk kepempimpinan pada tataran kampung atau gampong di Aceh. ”Keuchik” adalah pemimpin yang mengepalai sebuah Gampong (kampung). Gampong merupakan bentuk teritorial terkecil dari susunan Pemerintahan di Daerah Aceh, yang terdiri atas beberapa kelompok rumah tangga dan memiliki sebuah tempat kegiatan bersama, bermusyawarah dan beribadat bagi warga yang disebut dengan ”Meunasah”. Di samping itu ada ”Balei” tempat lebih kecil dari Meunasah (fungsinya hampir sama). Keuchik merupakan tokoh sentral Gampong, dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Waki dan Tuha Peut Gampong.
”Waki” artinya Wakil Keuchik sebagai pejabat penyampai informasi kepada masyarakat atas perintah Keuchik dan berkewajiban mendampingi Keuchik dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Ia memukul tambö (bedug) untuk memanggil orang menghadiri suatu musyawarah atau bersifat pengumuman lainnya.
“Imeum Meunasah” yang lebih populer dengan panggilan Teungku Meunasah, merupakan pembantu Keuchik, dalam bidang agama Islam (huköm) pada setiap Gampong. Fungsi ini sangat dihormati dalam masyarakat Gampong.
”Tuha Peut” adalah suatu institusi perangkat Gampong yang terdiri dari empat orang unsur ketokohan masyarakat, yang dituakan karena pengalaman, kearifan dan disegani dalam Gampong bersangkutan (Dewan Empat). Mereka membantu Keuchik, memberi nasehat/saran atau tempat Keuchik meminta pendapat/nasehat dalam mengambil kebijak-an/keputusan, terutama “bidang pengadilan” dalam hal sengketa.
“Imeum Mukim” adalah orang yang memimpin wilayah Mukim, wilayah gabungan dari beberapa Gampong yang berdekatan. Mukim berasal dari wilayah kesatuan penduduk dalam melaksanakan sembahyang Jum’at di sebuah Masjid. Imeum Mukim mulanya berasal dari fungsi Imam Mesjid. Karena perkembangan masyarakat, fungsi Imeum Mukim berubah menjadi Kepala wilayah Mukim, mengkoordinir Keuchik-keuchik yang mengepalai Gampong. Sekarang Imeum Mukim merupakan elemen pemerintah (sesuai dengan Qanun No.4 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Mukim), sekaligus sebagai Kepala Adat, berwenang menyelesaikan sengketa adat di wilayahnya, sedangkan Imam Mesjid adalah berfungsi mengelola urusan Mesjid (agama).
“Keujruen Blang” adalah seseorang atau lebih yang ditugasi Keuchik untuk mengurus hal-hal yang berkenaan dengan pertanian/persawahan/irigasi Gampong, seperti menetapkan waktu turun ke sawah, penetapan tatacara/adat istiadat upacara “khanduri” turun ke sawah, penetapan lepas panen untuk lepas ternak (luwaih blang) pengaturan air ke sawah penduduk, dan lain-lain.
”Panglima Laot” (Panglima Laut) adalah orang yang mengatur para nelayan dalam mencari ikan, tatacara pemasaran dan sistem pembagian hasil penangkapan ikan di laut.
“Peutua Seuneubök” adalah seseorang yang diangkat untuk memimpin, pengaturan dan pe-nyelesaian persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pembukaan lahan hutan untuk areal per-kebunan, misalya perkebunan lada, cengkeh, pala dan lain-lain
“Haria Peukan” adalah seseorang yang ditugasi untuk mengatur Peukan (Pasar dagang), mengutip pajak atau cukai yang disebut “Cok Adat” pada peukan-peukan tertentu, termasuk hari-hari Peukan (Uroe Gantoe) di Gampong atau Mukim. Haria Peukan disebut juga “Ureueng Cok Adat” dan bila muncul persoalan-persoalan di “Peukan”, maka Haria peukan dapat mengatasinya atau menyelesaikannya.
”Syahbanda” artinya Syahbandar. Dia adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengepalai pelabuhan dalam wilayah hukum tertentu. Tugas utamanya adalah mengawasi kapal-kapal yang masuk dan keluar dari pelabuhan dalam wilayah hukumnya.
“Pawang Glé” adalah seseorang yang mengatur dan mengurusi orang-orang yang mata pencaharian di “Glei”/gunung, menyangkut mencari rotan, berburu rusa dan lain-lain dalam kesatuan wilayah hukum tertentu.