February 13, 2009

PERANAN ULAMA DALAM INTERAKSI ISLAM DAN BUDAYA DI ACEH PADA MASA SULTAN ISKANDAR MUDA DI ACEH

Oleh: Agus Budi Wibowo

Pendahuluan
Masuknya Islam ke Aceh pada abad ketujuh atau kedelapan Masehi banyak sekali mempengaruhi adat-istiadat Aceh Bahkan pengaruh Islam itu sangat besar, sehingga ada pepatah yang menyebutkan hukom ngon adat lagee zat ngon sipheuet (hukum (syariat/hukum Islam dengan adat bagaikan benda dengan sifatnya). Selain itu, masyarakat Aceh diakui sangat religius. Ajaran agama Islam merasuk ke dalam sosio kultural dan adat-istiadat masyarakatnya. Bagi masyarakat di daerah ini segala sikap dan pandangannya dan segala macam bentuk benar-salah, bagus-jelek, baik-buruk dan segala macam bentuk penilaian selalu dikaitkan dengan ajaran agama Islam.
Gambaran di atas membersitkan beberapa hal yang perlu dipertanyakan, seperti siapakah yang berperan sehingga di Aceh terbentuk masyarakat yang Islami ? Seberapa besar peranan mereka ? dan bagaimana proses pembentukan peran mereka dalam masyarakat Aceh ? Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan tersebut dengan mengedepankan peranan ulama dalam interaksi Islam dan budaya. Mengingat luasnya cakupan materi, maka ruang lingkup waktu tulisan ini dibatasi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Kajian tulisan ini ditempuh dengan pendekatan historis antropologis. Melalui pendekatan ini diharapkan dapat merekonstruksi sisi penting dari keberadaan ulama di dalam proses Islamisasi budaya di Aceh dalam konteks sejarah kebudayaan Islam.
Proses Pembentukan Peran Ulama di Masyarakat/kerajaan
Posisi ulama di dalam sistem kemasyarakatan dan pemerintahan sepanjang sejarah Kesultanan Aceh mencapai posisi yang mantap pada masa pemerintahan dipegang oleh Sultan Iskandar Muda. Menurut kronika-kronika Aceh, pembagian ketatanegaraan Aceh dalam bentuk mukim terjadi pada masa pemerintahan Iskandar Muda (1607-1636). Sebagai seorang raja Islam, baik sebagai kepala urusan keduniawian maupun kerohanian, cepat-cepat ia menyadari bahwa Kerajaan Aceh sebagai negara Islam dapat diandalkan hanya dengan mempererat hubungan organisasi kerajaan. Apabila pada masa itu kampung merupakan satu kesatuan masyarakat dalam susunan ketatanegaraan yang diperintah langsung oleh seorang ketua yang dinamakan keuchiek, maka Sultan Iskandar Muda menetapkan bahwa tempat-tempat atau kampung yang penduduknya melakukan sembahyang Jum’at dalam mesjid yang sama merupakan daerah yang disebut mukim.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda di seluruh Kerajaan Aceh terdapat hanya 7 buah mesjid yaitu mesjid Baiturrahim terletak di Kutaraja (=dalam), mesjid Baiturrahman yang menjadi sangat terkenal pada ekspedisi kedua, mesjid Indrapuri dalam XXII mukim, mesjid Indrapurwa di Kuala Neujid atau Pancu dalam VI mukim sagi XXV, dan ketiga mesjid di Ladong, Cadek, dan Krueng Raya dalam XXVI mukim (K.F.H. Van Langen, 1986: 11-12).
Lama kelamaan setelah Islam semakin mengakar di dalam masyarakat para imam yang tadinya mengimami shalat Jum’at di mesjid-mesjid itu berhasil pula melaksanakan kekuasaan-kekuasaan keduniawian terhadap penduduk kampung-kampung yang bershalat Jum’at di mesjid-mesjid yang sama. Lambat-laun para imam ini menyerahkan urusan-urusan kerohanian didalam daerah mereka kepada orang lain supaya mereka lebih mantap dapat mengurus pemerintahan. Oleh karena itu, ketua yang memerintah suatu mukim kadangkala dinamakan imeum mukim atau imeum adat untuk membedakan antara imeum seumayang di dalam mesjid. Dengan demikian, kesatuan bangsa asli yaitu gampong melebur dalam kesatuan ketatanegaraan, yaitu mukim dan akibatnya para kepala kampung atau keuchiek menjadi bawahan imeum mukim.
Semakin banyak penduduk dan meluasnya daerah kampung, maka dengan sendirinya di antara beberarapa anggota yang mengurus kepentingan keluarga dan umum merasakan perlunya mereka lebih bersatu dalam mengerjakan kewajiban-kewajiban agama, yaitu sembahyang lima waktu, melaksanakan pendidikan agama dan sebagainya dalam tempat beribadat yang dinamakan binasah atau meunasah dan terjadilah pembagian kampung dalam meunasah-meunasah atau lorong-lorong.
Ketua meunasah dinamakan teungku meunasah. Ia pun turut dalam mempertahankan kepentingan jama’ahnya di bidang keduniawian sehingga ia menjadi wakil kepala kampung. Oleh karena itu, dewasa ini kesatuan rakyat terkecil adalah meunasah (K.F.H. Van Langen, 1986: 11-12).

Peranan Ulama dalam Interaksi Islam dan Budaya
Di dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di seluruh dunia, ada tiga kelompok yang sangat berperan proses dinamika kehidupan (Ismuha, 1983: 10-12). Mereka adalah pemimpin masyarakat (raja/bangsawan), pemimpin keagamaan/kemasyarakatan, dan masyarakat biasa. Pemimpin masyarakat adalah sekelompok anggota masyarakat yang mempunyai tugas memimpin kelompoknya di dalam berbagai aspek kehidupan, baik kehidupan duniawi dan spritual sehingga dinamika masyarakat berjalan sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh kelompok itu. Kelompok ini biasanya terdiri dari golongan lapisan atas (bangsawan atau raja). Pemimpin ini adalah Raja. Raja mempunyai kedudukan dan wewenang yang tinggi, yaitu mengatur dan memimpin masyarakatnya. Pemimpin keagamaan adalah sekompok/seseorang yang mempimpin sekelompok masyarakat/ seseorang di dalam menjalankan kehidupan spritual. Pemimpin ini biasanya disebut dengan ulama atau dukun.
Pada masa Sultan Iskandar Muda memerintah di Kerajaan Aceh, ulama mempunyai kedudukan dan peran yang sangat penting di dalam menyertai perjalanan panjang seorang sultan di dalam menjalankan pemerintahannnya. Adat bak Poteu Meureuhom, hukom bak Syiah Kuala (adat pada poteu Meurohom, hukum pada Syiah Kuala) yang sering terdengar di Aceh kiranya dapat menjadi pertanda bahwa pada zaman kesultanan Aceh ulama berperan sebagai pemberi fatwa (keputusan hukum). Peranan itu pada zaman kesultanan demikian besar sehingga pada setiap periode ada ulama yang mendampingi pemerintahan. Sultan Iskandar Muda didampingi oleh Hamzah al-Fansury dan Syams al-Din al Sumatrani selama menjalankan pemerintahannya. Ketika itu, kedua ulama ini mempengaruhi mazhab yang dipakai di Aceh, yaitu aliran wahdat al wujud, sebagai mahzab resmi negara.
Selain itu, melalui karya Hamzah Fansuri, umat Islam telah terbuka pemikiran dan wawasannya karena apabila sebelumnya umat Islam belajar Islam dari bahasa Arab dan Parsi di bawah bayang-bayang otoritas seseorang. Hamzah Fansuri telah berusaha mengungkapkan semua ajaran itu melalui karya sastra dan mistis Islami dengan kedalaman isi dan pesan yang sangat mengagumkan. Kepeloporan Hamzah Fansuri di bidang sastra ini diakui oleh pakar Belanda Valentijn yang pernah datang ke Aceh dimana ia menyatakan bahwa Hamzah Fansuri telah berhasil dengan sukses menggambarkan kebesaran Aceh masa lampau melalui syair-syairnya (Sri Suyanta, 1998).
Kalau sultan adalah raja pertama, ulama dapat dikatakan ulama adalah raja “kedua” . Ulama merupakan warasatul anbiya atau pewaris nabi, akan apa yang disuruhnya mestilah dipatuhi sebab mereka yang tidak mematuhinya akan ditimpa malapetaka. Di Aceh dikenal konsep-konsep darohaka dan teumeureuka . Seorang ulama besar, Teungku Chik Kutakarang pernah mengatakan bahwa “Bermula agama Allah dan raja-raja (baca: pemimpin-pemimpin pemerintahan) sama kembar keduanya yakni seperti tali berputar sama dua, maka tiadalah berkata salah satu dari keduanya jauh daripada satu sama lain”.
Oleh karena itu, pada tingkatan makro, ulama pada zaman Sultan Iskandar Muda mendapat jabatan yang cukup penting, yaitu kadli (kadli malikul adil di tingkat kerajaan/Istana dan kadli uleebalang di tingkat nanggroe. Dengan kedudukan tersebut ulama dapat menjadi bagian dan mempunyai bargaining power di dalam pengambilan keputusan di istana, baik yang menyangkut keduniawian dan kerohanian.
Pada masa ini pemerintah Sultan Iskandar Muda, Aceh berhasil memperluas wilayah kekuasaannya seperti ke Aru, Pahang dan Malaka. Pasa masa ini Aceh menjadi pusat perdagangan yang maju Sistem perundang-undangan yang disebut dengan Adat Mahkota Alam juga disusun. Undang-undang ini di samping berlaku untuk kesultanan Aceh ternyata juga menjadi acuan dalam penyusunan sistem perundang-undangan beberarapa kerajaan tetangga. Islam juga memperoleh perhatian utama sultan.
Kemajuan di berbagai bidang kehidupan seperti politik, militer dan ekonomi menjadi Aceh pada masa Kesultanan Iskandar Muda sebagai kesultanan yang besar dan kuat serta pengaruhnya sangat dirasakan di kawasan Asia Tenggara dan dunia internasional. Selain peranan ulama pada tingkatan makro (negara) seperti dibahas di atas, pada tingkatan teritorial terkecil, wujud dari bentuk hubungan antarkeduanya dapat dilihat di gampong. Teungku meunasah adalah pejabat yang mengurus segala sesuatu yang bertalian dengan soal-soal keagamaan (hukom), sedangkan keuchiek adalah orang yang orang yang mewakili adat. Keucheik adalah “ayah” atau embah, sedangkan teungku meunasah adalah “ibu” kepada gampong itu. (lihat bahasan di atas)
Dengan demikian, dapat dikatakan ulama mempunyai kedudukan dan fungsi yang penting di dalam pengaturan dan interaksi budayapada masyarakat Aceh. Mereka tidak hanya menjadi bagian dari peran yang harus dijalankan, tetapi juga mempengaruhi baik di dalam sistem ide, sistem sosial dan hasil karya budaya masyarakat Aceh. Ulama menjadi salah satu decision maker, yang terlibat di dalam pengambilan sebuah keputusan yang amat penting sehingga dapat mempengaruhi ketiga aspek budaya itu, baik pada tingkat mikro maupun makro.
Dalam kehidupan sehari-hari, pada tingkat mikro, di kampung orang gemar akan mupakat atau duekpakat yaitu pertukaran pikiran untuk mencapai kebulatan pendapat dalam mendukung serta melaksanakan sesuatu urusan. Dalam mufakat ini diundang juga orang-orang yang dituakan serta tokoh terpandang lainnya yang dapat mewakili pendapat segenap penduduk gampong itu. Segala sesuatu mengenai kepentingan umum senantiasa diurus bersama antara geuchik dengan teungku meunasah, sebagai perlambang antara adat dengan syara’. Menurut Edy Nur Ilyas (2000) suatu keputusan yang diambil oleh keuchiek tanpa persetujuan teungku meunasah akan mengalami berbagai hambatan di dalam penerapannya. Setiap keputusan yang disetujui oleh teungku meunasah, masyarakat akan mematuhinya dengan penuh keikhlasan sebab keputusan itu telah disandarkan kepada syariat Islam.
Pada tingkat makro ulama dapat dianggap sebagai teknokrat Aceh pada zaman Sultan Iskandar Muda memerintah Aceh. Mereka memiliki ilmu dalam berbagai disiplin dan memanfaatkannya untuk kepentingan pendidikan, kebudayaan, politik, sosial, ekonomi, pertanian dan lain-lain. Pada saat itu, ulama adalah satu-satunya korp ilmuwan dan pendidik. Pusat-pusat pendidikan sejak dari tingkat meunasah (pendidikan rendah di surau), rangkang (pendidikan menengah) dan balee (pendidikan tinggi) mereka dirikan di seluruh Aceh (Safwan Idris, 1998). Sebagian besar daripadanya adalah dengan usaha mereka sendiri dan kadang-kadang juga dengan bantuan penguasa. Sejak zaman Kesultanan Aceh para ulama lah yang sering pula mengepalai pembukaan areal tanah persawahan baru, pembangunan irigasi, penyusunan kampung, jalan-jalan dan sebagainya.
Sebelum suatu gampong dibangun mereka lebih dulu mendirikan meunasah (walaupun pada mulanya secara darurat), tempat beribadat dan sementara waktu untuk memondok bersama. Kemudian setelah perkampungan siap dibangun, meunasah tetap sebagai tempat beribadat, pendidikan anak-anak, pengajian agama untuk orang tua-tua, merundingkan kepentingan gampong dan sebagainya. Beberapa lama kemudian, jika keadaan mengizinkan mereka dirikan pula rangkang untuk anak-anak yang ingin dan sanggup melanjutkan pelajaran setelah tamat pendidikan meunasah. Apabila ulamanya cukup besar dan berilmu rangkang itu, biasanya –seperti terjadi pada beberapa gampong- ditingkatkan menjadi dayah sehingga merupakan sebuah kompleks yang di dalamnya tergabung rangkang dalam jumlah yang cukup dan sebuah atau beberapa buah balee. Dayah-dayah yang didirikan oleh mereka itulah melahirkan ulama yang tersebar di dan bahkan keluar Aceh. Merekalah bekerja sebagai pendidik dan pemimpin yang mempengaruhi interaksi budaya di suatu daerah, di berbagai tempat di Kesultanan Aceh (Baihaqi A.K., 1983: 131).
Hubungan yang erat antara sultan, ulama dan rakyat pada masa kesultanan tampak dari rasa ketergantungan rakyat terhadap keberadaan ulama di tengah-tengah masyarakat. Rakyat merasa sebagai menggantungkan nasib kepada ulama karena daripadanyalah rakyat mengharapkan bimbingan rohaniah dan jasmaniah, perbaikan di bidang fisik – meterial dan mental-spritual. Ajaran ulama karena kadang-kadang ia dianggap keramat merupakan sesuatu yang dirasakan tidak boleh dibantah dan karenanya rakyat wajib taat dan setia kepadanya. Sultan atau penguasa setempat bilamana ingin melaksananakan suatu pembangunan ataupun lainnya merasa senantiasa sukses jika disalurkan melalui ulama setempat.
Hal ini kiranya dapat dimengerti karena ulama sendiri selain daripada mempunyai hubungan religi yang cukup ketat dan sumber legitimasi yang cukup mengikat juga turut bekerja sama dengan rakyat secara ikhlas. Kerja sama yang demikian, menurut mereka, adalah ibadat yang akan mendapat balasan yang dari Allah.
Penutup
Dari paparan di atas tampak bahwa kedudukan dan peran ulama pada zaman kesultanan amat strategis, baik di dalam kehidupan kemasyarakatan dan pemerintahan. Ulama tidak hanya mengususi masalah-masalah agama saja, tetapi juga masalah-masalah keduniawian. Peran yang diambil ini membawa ulama sebagai salah satu aktor yang membawa budaya (adat) dan Islam menjadi suatu kesatuan yang tidak terpisahkan di masyarakat Aceh.
Peran yang dijalani oleh ulama ini mengalami dinamika, baik pasang maupun surut. Ia pernah mengalami puncak kejayaanya pada masa kesultanan kemudian terkooptasi pada masa Orde Baru. Diharapkan pada masa era pemberlakuan syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, ulama menjadi ujung tombak yang membawa masyarakat Aceh kepada masyarakat sejahtera, aman dan tertib bersama umara, apalagi saat ini telah terbentuk Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU).

No comments: