February 13, 2009

REAKTUALISASI BUDAYA MALU DI KALANGAN REMAJA PUTRI DALAM KERANGKA PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI ACEH

Oleh: Agus Budi Wibowo

Pendahuluan
Memasuki awal tahun 2002, masyarakat Aceh memasuki babak baru dalam kehidupan sosial politik, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Mulai tahun 2002 ini, syariat Islam diterapkan dalam berbagai kehidupan masyarakat Aceh. Perjuangan panjang yang melelahkan terlampaui sudah. Secara politis, di Aceh diterapkan syariat Islam melalui Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Berdasarkan kedua undang-undang ini DPRD Propinsi Daerah Istimewa Aceh menetapkan Perda Propinsi Daerah Istimewa Aceh No. 5 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Syariat Islam.
Kenyataannya, Islam dalam masyarakat Aceh telah mendarah daging di dalam segala aspek kehidupan sejak zaman dahulu. Ajaran Islam mengakar kuat di dalam sanubari hati dan jejak langkah kehidupan masyarakat. Bagi orang Aceh, ajaran agama merupakan tolok ukur dan barometer atas segala sikap, tindak-tanduk, perbuatan, dan penampilan mereka dalam pergaulan sesamanya. Sikap dan pandangannya dan segala macam bentuk benar-salah, bagus-jelek, baik-buruk dan segala macam bentuk penilaian selalu dikaitkan dengan ajaran agama Islam.
Masyarakat Aceh benar-benar menghayati ajaran agama Islam dalam kehidupannya. Penghayatan yang begitu besar dan mendalam terhadap ajaran agama Islam diwujudkan dalam bentuk akulturasi antara adat dan ajaran agama. Hal ini berarti seseorang yang telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan yang dituntut atau digariskan dengan adat, ia telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan ajaran agama atau sekurang-kurangnya tidak keluar dari bingkai agama yang mereka anut (M. Hakim Nyak Pha, 2000:10).
Oleh karena itu, semua gerak kehidupan masyarakat selalu terikat pada syariat Islam yang dikemas dalam bentuk adat (hukum) dan adat-istiadat. Keadaan ini tampak pada beberapa aspek seperti termaktub dalam beberapa hadih maja seperti Adat bak Poteu Meurohôm, hukom bak Syiah Kuala, kanun bak Putrôe Phang, reusam bak Lakseumana; hukom ngon adat lagee dzat ngon sipheuet dan hukom adat hanjeut cree lagee mata itam ngon mata puteh. Ungkapan-ungkapan tersebut memberikan pencerminan dari perwujudan syariat Islam dalam praktik hidup sehari-hari masyarakat Aceh. Kemudian tidak berlebihan apabila Aceh mendapat gelar Serambi Mekkah, Semangat Perang Sabil, Kerajaan Aceh Darussalam. Kesemua itu wujud dari semangat dan nilai yang lahir dari perpaduan tadi. Namun demikian dalam kerangka penerapan syariat Islam di kalangan remaja putri (baca: busana muslimah) kondisi ideal seperti tersebut di atas perlu dicermati kembali. Hasil penelitian Agus Budi Wibowo di Banda Aceh tahun 2000dan di Sabang tahun 2001 tentang aspek busana muslimah di kalangan remaja putri menunjukkan bahwa masih ada remaja putri muslim yang belum berbusana muslimah secara kaffah dan ada beberapa faktor mengapa mereka masih berperilaku demikian.
Tulisan ini membahas upaya yang dapat dilakukan untuk menyukseskan penerapan syariat Islam melalui penggalian sistem budaya yang dimiliki oleh masyarakat Aceh sehingga remaja putri dapat berbusana muslimah secara kaffah.

Realitas Remaja Putri Masa Kini
Membicarakan realitas remaja putri Aceh masa kini tidak terlepas dari permasalahan kekinian masyarakat Aceh pada umumnya dan berarti pula membicarakan martabat masyarakat Aceh.
Martabat Aceh atau nilai keacehan ditentukan oleh perilaku budaya orang Aceh. Perilaku budaya ini tertuang dalam pemahaman dan sikap beragama, berbahasa, adat istiadat, hukum, akhlak, kesenian, cara beribadat dan sebagainya dari masyarakat Aceh itu sendiri. Sejauh mana perilaku budaya itu masih berjalan di atas kondisi normal atau wajar, bukan yang diamalkan secara terpaksa.
Kalau kita amati perilaku budaya Aceh itu nampaknya telah terjadi erosi. Hal itu disebabkan oleh dua faktor, pertama pengaruh dari luar, yaitu sikap budaya Aceh telah bergeser karena adanya tekanan dari luar Aceh yang melanda Aceh karena globalisasi yang tidak dapat dielakkan. Hal ini tampak dari model pakaian yang dipakai, kendaraan yang dinaiki, perlengkapan rumah yang dimiliki sebagai produk global yang melanda dunia. Celana pantelon, jins, sepeda motor, kompor gas, kulkas adalah salah satu wujud realitas dari perkembangan zaman. Kedua, pengaruh dari dalam masyarakat Aceh itu sendiri. Pengaruh dari dalam dapat terjadi ketika orang Aceh sendiri telah melunturkan nilai-nilai keacehannya yang disebabkan oleh mental orang Aceh yang tidak setia kepada budayanya (Yusni Sabi, 2000: 16).
Akibat adanya kedua kekuatan yang mempengaruhi kondisi kekinian dari budaya Aceh tersebut adalah melemahnya ikatan-ikatan tradisional seperti berubahnya hubungan antargenerasi dan perkawinan sehingga kultur kehilangan kontrol terhadap pembentukan suatu tipe sistem sosial. (Irwan Abdullah, 1999). Otoritas tradisi dalam hal ini mulai melemah yang digantikan dengan rasionalitas yang kemudian menjadi pegangan dalam setiap pengambilan keputusan. Orang tua (akibat perubahan hubungan antargenerasi) atau pemimpin mulai kehilangan otoritas tradisional dalam berhubungan dengan masyarakat sehingga kontrol hanya dilakukan dengan instrumen kekuasaan modern yang lebih kompetitif dan berdasarkan negosiasi.
Hal-hal seperti tersebut di atas sedang dihadapi pula oleh remaja putri di Aceh. Realitas remaja putri kekinian yang tampak adalah mereka lebih “bebas” dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Menurut Abidin Hasyim dkk, di kalangan orang-orang berpendidikan terutama yang hidup di kota telah terjadi pergeseran budaya malu. Bagi golongan ini keserasian hubungan keluarga tidak dicapai melalui sikap menghindar, membatasi pergaulan dan sebagainya (Abidin Hasyim dkk, 1997).
Keserasian menurut mereka dapat diperoleh melalui hubungan yang normal, rasional, dan saling menghormati. Bagi mereka yang telah terbiasa dengan pergaulan kota tidak menimbulkan seks phobia terhadap hubungan, misalnya hubungan antara menantu laki-laki dengan ibu mertua. Mereka tidak memandang hubungan itu dengan konotasi seksual. Hubungan dapat berlangsung wajar, rasional dan saling menghargai. Keserasian hubungan keluarga dapat ditegakkan atas dasar nilai-nilai baru yang lebih rasional. Dengan demikian, para orang tua dapat “menerima” apabila melihat putrinya tidak berpakaian muslimah secara kaffah.
Realitas kekinian remaja putri tidak terlepas pula dari sikap dan persepsi mereka sendiri terhadap gaya busana muslimah serta industrialisasi dan globalisasi yang melanda dunia. Konsep cantik bagi wanita sekarang amat berbeda dengan konsep cantik yang dimiliki oleh generasi sebelumnya. Konsep cantik di kalangan remaja tidak hanya dipengaruhi budaya lokal, tetapi turut pula dipengaruhi budaya luar (Widjayanto M. Santoso, 2000).
Kedua aspek yang disebutkan itu akan menjadi referensi remaja dalam berbusana. Mereka lebih berani, cuek, dan lebih bersemangat bebas dibandingkan generasi di atas mereka. Dengan demikian, gaya busana mereka lebih memilih baju-baju kasual untuk kegiatan sehari-hari mereka. Agus Budi Wibowo (2001) mengidentifikasi ada empat gaya busana muslimah di kalangan remaja putri dari hasil penelitian di Kota Sabang, yaitu gaya busana ke sekolah, gaya busana ke tempat umum, dan gaya busana ke tempat ibadah serta gaya busana pesta. Adapun model yang mereka kenakan ada beberapa jenis, seperti celana ketat/jins, baju biasa/ketat, dengan atau tanpa jilbab.
Remaja putri di Aceh berusaha menampilkan gaya busana yang tidak ketinggalan zaman, namun mereka juga tidak ingin dikatakan melupakan akarnya (pakai jilbab). Sehingga remaja ini memakai jilbab tetapi pakaian mereka menampilkan gairah anak muda (pakaian ketat). Dengan demikian, ada perpaduan antara budaya lokal dengan nilai-nilai globalisasi/budaya luar, yang seperti dikatakan oleh Jailani M. Yunus (2000), yaitu jilbab yang dihiasi dengan lipstik tebal, lekuk tubuh yang menantang mata, dan perilaku agresif.

Budaya Malu sebagai Alat Pengendalian Sosial dalam Masyarakat Aceh
Sebagai makhluk berbudaya, manusia memerlukan seperangkat aturan yang mengatur kehidupannya, baik dalam hubungan antarmanusia maupun makhluk lainnya di dunia. Aturan ini berfungsi agar manusia di dalam menjalankan aktivitasnya dapat teratur. Keteraturan ini amat penting agar tidak terjadi kekacauan.
Aturan-aturan yang seperti disebut-kan di atas terkait dengan norma-norma dan adat. Norma dan adat kebiasaan ini mengatur kegiatan dan tingkah laku manusia. Norma-norma dan nilai-nilai yang mengatur apa yang pantas dikatakan, kepada siapa, dan dalam kondisi bagaimana. Berdasarkan nilai-nilai inilah, maka disusun norma yang menentukan mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap kurang baik. Atas dasar norma dan kaidah-kaidah itu kemudian dijadikan pedoman bertingkah laku sehingga tidak terjadi bentrokan antarkepentingan manusia dalam pergaulan hidup.
Salah satu wujud norma dalam hubungan interaksi masyarakat adalah sikap sungkan (Koentjaraningrat, 1984). Dalam konteks keacehan sikap ini dapat disebut sebagai budaya malu. Budaya Malu yang berkembang di dalam masyarakat Aceh merupakan suatu sistem norma yang dilembagakan pada tingkat kelakuan (mores). Tata kelakuan mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas. Budaya malu yang telah dilembagakan sebagai suatu sistem norma yang disebut tata-kelakuan merupakan suatu alat mekanisme agar anggota-anggota masyarakat menyesuaikan dengan tata kelakuan tersebut.
Dilihat dari segi fungsional budaya malu juga merupakan alat pengendalian sosial. Pada masyarakat Aceh hal itu dilakukan melalui sopan santun dan sikap menghindar. Sopan santun dapat berwujud pembatasan dalam pergaulan, baik di dalam keluarga maupun di luar keluarga. Sikap menghindar merupakan alat yang biasa efektif dalam menata hubungan keluarga dan kerabat. Tujuan pembatasan itu antara lain untuk mencegah terjadinya hubungan yang sumbang.
Melalui dua mekanisme itu, di dalam masyarakat Aceh ada beberapa aturan yang mengatur hubungan antara anak dengan orang tua, suami-istri, menantu-mertua. Misalnya saja dalam kaitannya dengan remaja putri, seorang ibu/ayah malu apabila anak perempuannya berpakaian kurang pantas sehingga anaknya dianggap tidak mengetahui adat-istiadat. Dalam kontak fisik, adanya canda bersifat sentuhan fisik antara anak dan orang tua dianggap kurang pantas. Kalau hal itu dilakukan di depan umum dapat menjatuhkan martabat orang tua di mata anaknya sendiri.
Adapun upaya pengendalian terhadap perilaku yang menyimpang dari budaya malu dalam masyarakat dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu cara preventif dan refresif. Usaha yang disebutkan pertama dapat dilakukan melalui proses sosialisasi, pendidikan formal dan informal serta sikap menghindar, sedangkan usaha kedua dapat dilakukan melalui penjatuhan sanksi adat, penyebaran rasa malu terhadap para anggota yang melanggar atau menyimpang dari kaidah-kaidah yang berlaku.

Penutup
Gong pelaksanaan syariat Islam telah ditabuh seiring dengan terbit fajar di awal tahun baru 2002. Secara politis, pemerintah pusat menyerahkan pelaksanaannya kepada masyarakat Aceh dan masyarakat meng-aktualisasikannya di dalam berbagai aspek kehidupannya. Namun pelaksanaan syariat Islam di Aceh ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ada dua tantangan yang akan dihadapi. Pertama dari dalam masyarakat Aceh (termasuk remaja putri) itu sendiri. Pelaksanaan syariat Islam akan berjalan sukses apabila didukung oleh seluruh lapisan masyarakat dengan berbagai perangkat pendukungnya. Kedua, tantangan dari luar masyarakat Aceh, yaitu globalisasi dan industrialisasi yang sedang berlangsung dan merambah se-antero dunia.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mereaktualisasi sistem budaya masyarakat (baca: budaya malu) sebagai bagian membentengi budaya (termasuk juga remaja putri) dari pengaruh luar. Hal itu dapat dilakukan melalui proses sosialisasi, yaitu memperkenalkan, mendidik budaya malu sejak anak masih kecil, baik dalam pendidikan di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Rumah tangga dan keluarga merupakan pilar pertama dan memegang peran penting agar anak dapat mereduksi sesuatu yang berasal dari dunia luar. Adapun lembaga formal dan masyarakat berperan dalam pendidikan sopan-santun dan akhlak. Dengan demikian diharap-kan untuk masa mendatang remaja putri di Aceh adalah generasi yang mempunyai pendidikan tinggi, tetapi mempunyai moral (budaya malu) yang tinggi pula. Tidak sekedar IQ (Intelegency Quotient) tinggi dan EQ (Emotional Quotient), tetapi diikuti ESQ (Emotional Spritual Quotient) yang tinggi. Wujud Aceh baru yang diharapkan dapat segera terbentuk

No comments: