February 02, 2009

Reaktualisasi dan Revitalisasi Budaya Aceh di tengah Pusaran Globalisasi Menuju Aceh Yang bermartabat Pasca Gempa dan Tsunami

“ Di Aceh saat ini sedang terjadi “krisis kebudayaan”. Artinya, di bumi Iskandar Muda ini “agama” telah kehilangan “partner” (adat) dalam menata kehidupan sosialnya”.
M. Junus Melalatoa


A. Pendahuluan
ceh merupakan sebuah kata yang tidak asing lagi bagi telinga mereka yang pernah mendengarnya. Aceh merupakan daerah yang sangat fenomenal, baik dilihat dari sisi sosial budaya, sejarah, geopolitik, Hankam, maupun ekonomi. Dengan demikian, Aceh tidak dapat dihilangkan dan dipinggirkan begitu saja dalam kancah kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selama perjalanan sejarah yang terus berputar, Aceh telah dikenal di manca negara karena Aceh telah melakukan hubungan dagang dan diplomatik dengan berbagai belahan masyarakat lain di dunia. Boxer (1969) mengisyaratkan bahwa orang-orang Aceh mempunyai peranan penting dalam perdagangan Timur-Barat pada tahun akhir 1530-an/awal 1540-an. Misalnya, menurut catatan sejarah, pada tahun 1534 sejumlah kapal Aceh (dan kapal asal Gujarat pernah dihadang oleh sebuah skuadron Portugis yang dikomandoi oleh Diego da Silveira. Partisipasi Aceh dalam perdagangan internasional mencapai puncak kejayaannya pada pertengahan abad ke-16. Selain itu, Aceh pun pernah menjadi tempat persinggahan banyak pelaut dari berbagai belahan dunia. Salah satunya, adalah Ibnu Batuta. Aceh menjadi lebih terbuka lebar-lebar setelah lapisan bumi bergesar dan bergoyang serta gelombang tsunami muncul meluluhlantakkan semua hidupan masyarakat Aceh pada tanggal 24 Desember 2004. Dengan demikian tidak mengherankan sebagian masyarakat di dunia pun pernah mendengar bahkan melihatnya.
Aceh mempunyai posisi yang strategis. Menurut letaknya, ia berada di ujung paling barat negara Republik Indonesia. Nol kilometer perhitungan wilayah Indonesia dimulai dari Aceh, tepatnya di Sabang. Di sebelah Utara Aceh terdapat Selat Malaka yang sibuk dilayari kapal-kapal, sehingga berbagai negara berkepentingan dengan keberadaan Selat Malaka yang aman untuk dilayari karena kepentingan-kepentingan sosial ekonomi mereka tidak ingin dihambat.
Secara sosial budaya, Aceh adalah komunitas besar yang multikultural. Ia menjadi bagian dari suatu bangsa yang juga multikultural, atas nama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai sebuah komunitas, Aceh merupakan konfigurasi sejumlah etnik (suku bangsa), yang didalamnya ada sebuah etnik yang disebut juga dengan sebutan Aceh dan dapat dikatakan dominan di antara 8 etnis yang ada di daerah ini.
Begitu fenomenalnya Aceh, banyak akademisi yang telah melakukan berbagai studi dari berbagai sudut pandang keilmuan. Dapat disebutkan beberapa di antara mereka yang telah melakukan kajian tentang Aceh adalah C. Snouck Hurgronje, Teuku Ibrahim Alfian, Muhammad Said, Husein Djajadiningrat, Nazaruddin Sjamsuddin, J. Bowen, M. Junus Melalatoa, Julius Jacobs, dan sebagainya.
Dalam konteks ini kajian yang cukup menarik adalah studi yang pernah dilakukan oleh C. Snouck Hurgronje. Ia melakukan studi karena mendapat “pesanan” dari Belanda dalam upaya menaklukkan Aceh. Belanda merasa kewalahan menaklukkan Aceh. Seperti diketahui bersama bahwa Belanda telah banyak mengeluarkan biaya dan kehilangan beribu-ribu nyawa prajuritnya selama kurang lebih 30 tahun bertempur, tetapi perlawanan rakyat Aceh tidak kunjung dapat dipadamkan. Setelah sempat ke Mekkah untuk belajar tentang Islam, C. Snouck Hurgronje pergi ke Aceh untuk melakukan penelitian tentang segi-segi kehidupan masyarakat Aceh. Hasil dari kajiannya dibukukan dalam dua jilid buku yang cukup terkenal De Atjehers (1892-1893), yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris The Achehenese (1906). Selain itu, C. Snouck Hurgronje juga menulis yang berjudul Het Gajoland en Zijne Bewoners (1903). Hasil kajian imi kemudian dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh pihak Belanda dalam rangka menaklukkan Aceh.
Sejarah panjang kehidupan yang dilalui oleh masyarakat Aceh membentuk kultur masyarakat di ujung Pulau Sumatra ini. Masuknya Islam menjadi pondasi adat-istiadat masyarakat Aceh. Berbagai peristiwa dan “masalah-masalah” sosial politik pun menjadi memori kolektif terbentuknya jiwa budaya masyarakat Aceh, yang tangguh, tabah, patriotik, dan egaliter. Tentunya, budaya Aceh yang telah terbentuk - tampak dalam kehidupan sehari-hari tersebut - bukanlah suatu hal permanen dan tidak dapat berubah. Kebudayaan suatu masyarakat tidak kekal sifatnya. Ia akan mengikuti perkembangan dari masyarakat itu sendiri selama perjalanan sejarah sebuah komunitas (lihat kutipan pernyataan dari Junus Melalatoa pada halaman 1) (Junus Melalatoa, 2005).
Budaya Aceh yang telah mengalami berbagai peristiwa dan temapaan yang sarat dengan nuasa “hitam” di masa lalu tersebut sekali lagi mengalami cobaan dari Allah SWT. Cobaan itu berupa musibah gempa dan tsunami (yang tidak hanya dirasakan oleh rakyat Aceh, tetapi juga beberapa negara lainnya). Sebagai sebuah “pelita”, budaya Aceh dituntut membimbing masyarakatnya agar tetap menjaga roh keacehannya. Tanpa pengawalan budaya, masyarakat Aceh terombang-ambing. Biasanya, suatu masyarakat yang terkena musibah berada di dalam posisi yang dikatakan oleh Victor Turner, sebagai posisi yang ambigu, yaitu tidak berada di sana dan di sini (Agus Budi Wibowo, 2005). Masyarakat Aceh yang diliputi oleh jiwa Islam selama pasca bencana alam ini seakan-akan kehilangan pegangan ajaran agama Islamnya. Sejenak mereka lupa bahwa mencuri, merampas hak orang lain adalah dosa. Bahkan, banyak mesjid yang bersisian dengan tenda-tenda pengungsi tidak penuh di kala shalat. Mesjid seakan-akan ditinggalkan oleh umatnya. Dalam sebuah shalat Jum’at di sebuah mesjid di Banda Aceh yang penulis ikuti, seorang khatib pernah merasa gelisah melihat sebagian umatnya yang meninggalkan mesjid ini. Roh nilai-nilai budaya masyarakat Aceh (berupa ajaran agama Islam) tercabut dari jiwanya.
Demikianlah gambaran yang terjadi di masyarakat Aceh yang sedang “terluka” akibat bencana alam yang begitu dahsyat melanda mereka. Saat ini, di Aceh, ada berbagai macam perilaku yang tampak dalam kehidupan keseharian masyarakat. Ada sekelompok masyarakat yang acuh ketika banyak relawan mengangkat mayat di sekitar tempat tinggalnya. Ada sekelompok masyarakat yang mengambil keuntungan di atas derita masyarakat lain. Ada sekelompok masyarakat yang seakan-akan telah melupakan Tuhan-Nya. Di sisi lain, ada pula sekelompok orang yang cemas dan traumatik melihat kondisi lingkungan sekitarnya yang mungkin dapat berubah secara cepat, yang akan membahayakan posisi dan kehidupannya. Mereka ini melakukan berbagai macam perilaku sesuai dengan naluri, kepentingan, dan tujuan yang hendak dicapainya.
Gambaran masyarakat yang seperti disebutkan di atas dapat diibaratkan seperti dua kaki yang berdiri di sebuah pintu. Salah satu pintu kaki sudah berada di luar di sisi lain berada kaki masih tertinggal di dalam. Masyarakat Aceh yang tertimpa bencana merasa hidup ini seakan-akan “kosong”. Kehilangan harta benda, kehilangan sanak saudara, istri dan orang tua, kehilangan pekerjaan, kehilangan rumah, dan sebagainya. Mereka kehilangan suatu yang begitu dekat, “sesuatu yang begitu dicintai, sangat personal dan menjadi bagian kesehariannya”. Suatu yang melekat di bathin mereka yang selama telah merasuk di dalam relung-relung kalbu mereka. Lihatlah sebuah rumah di kawasan Ulee Lheu itu, Ya, di rumah yang telah porak poranda itu, kebahagiaan sebuah keluarga terkoyak. Pemiliknya telah dipisahkan dengan rumah yang begitu dicintainya. Begitu dalam cintanya, sampai-sampai ia pun harus menorehkan “fatwa” pada dinding yang telah kusam itu: “pemilik rumah ini masih hidup. Orang-orang yang sudah mengambil barang-barannya adalah orang kafir !”. tersiar khabar, keluarga itu kini hijrah ke Medan Sumatra Utara, membawa kepedihannya (Kalim, 2005). Kehilangan ini juga berlangsung secara massal dan serentak, sehingga meninggalkan luka psikis yang dalam, yang tidak cukup didekati dengan sekardus obat-obatan saja (Nitura, 2005).
Untuk itu, pascagempa dan tsunami budaya Aceh harus tetap tegak berdiri agar tetap dapat mengawal tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi. Upaya-upaya mempertahankan budaya Aceh sebagai pilar pembangunan di Aceh tentu harus didukung dengan sepenuh hati. Untuk itu, tulisan ini akan membahas upaya reaktualisasi dan revitalisasi budaya Aceh di tengah pusaran globalisasi pasgagempa dan tsunami. Globalisasi tidak mungkin dihindari oleh semua bangsa yang ada di dunia. Globalisasi dapat menyebabkan kita “ditarik” menjadi bangsa yang maju dengan kemajuan di bidang teknologi dan menjadi warga “kampung dunia”. Namun di sisi lain globalisasi juga membawa akibat negatif bagi budaya suatu masyarakat.
Tidak mengherankan hal ini dapat terjadi karena budaya yang datang dari luar (akibat globalisasi) seringkali tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya suatu komunitas, khususnya nilai budaya Aceh. Diperlukan sebuah kearifan untuk memilah-milah mana budaya yang sesuai dan budaya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya kita.

B. Konfigurasi Budaya Aceh
Berbicara budaya, kita harus membuka dahulu ruang untuk menyamakan pandangan tentang konsep budaya itu sendiri. Budaya (kebudayaan/kultur) seringkali diartikan oleh beranekaragam arti atau makna. Antara satu makna dengan makna yang lain dapat berbeda. Antara orang awan dan akademisi pun dapat berbeda pendapat tentang arti budaya ini. Bahkan di antara akademisi mempunyai pandangan yang tidak sama. Kenyataannya, budaya memang adalah sebuah konsep yang bermakna beranekaragam. Ada yang memaknainya secara luas dan ada pula yang memaknainya secara sempit. Bagi mereka yang memaknai sempit, budaya diartikan hanya sekedar sebuah seni, padahal seni itu sendiri adalah bagian dari budaya.
Dalam tulisan ini, konsep budaya dipahami sebagai sistem ide atau sistem gagasan milik satu masyarakat yang dijadikan acuan tingkah laku dalam kehidupan sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Jadi, kebudayaan itu bersifat abstrak, sedangkan perilaku dan benda-benda (“benda budaya”) merupakan “gejala-gejala kebudayaan” saja Selanjutnya, konsep budaya dapat dikembangkan dalam suatu perincian untuk mendapatkan pemahaman atau makna yang lebih operasional. Perincian itu terdiri dari unsur-unsur gagasan tadi yang terkait dalam suatu sistem yang dikenal dengan konsep “sistem budaya” (cultural system). Sistem budaya itu sendiri adalah seperangkat pengetahuan yang meliputi pandangan hidup, keyakinan, nilai, norma, aturan, hukum yang menjadi milik suatu masyarakat melalui proses belajar, yang kemudian diacu sebagai pedoman untuk menata, menilai, menginterpretasi sejumlah benda dan peristiwa dalam beragam aspek kehidupan dalam kehidupan lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Keseluruhan unsur tadi terkait dalam satu sistem yang dapat disebut “roh” dari kehidupan satu masyarakat. Yang terpenting di antaranya adalah nilai atau nilai budaya (cultural value) yang merupakan suatu konsepsi abstrak yang dianggap baik dan amat bernilai tinggi dalam hidup, yang menjadi pedoman tertinggi kelakuan dalam kehidupan satu masyarakat (Junus Melalatoa, 2005).
Bagan 1: Kerangka Kebudayaan









Nilai budaya yang dimiliki satu masyarakat dapat terdiri dari beberapa kategori nilai, yaitu nilai pengetahuan, nilai religi, nilai sosial, nilai seni, dan nilai ekonomi. Dalam kategori nilai sosial ada sejumlah nilai, misalnya nilai tertib, setia kawan, harga diri, tolong-menolong, rukun, kompetitif, disiplin, dan sebagainya. Nilai disiplin juga merupakan unsur nilai religi, di samping takwa, iman, yang menjadi unsur nilai seni di samping indah, melankolis, halus, riang, dinamis, kreatif, dan lain-lain. Dengan kata lain, sebuah atau beberapa nilai tersebar sebagai unsur dalam kategori nilai-nilai: pengetahuan, religi, sosial, seni, dan ekonomi. Keseluruhan nilai-nilai itu terkait satu dengan yang lain, sehingga merupakan satu sistem nilai budaya (cultural value system).
Bagan 2: Pemerincian Kebudayaan










Pengalaman nilai-nilai itu dalam kehidupan empirik masih harus ditunjang oleh sistem norma, aturan, dan hukum. Nilai-nilai itu terdapat dalam berbagai kebudayaan, meskipun jumlah atau variasinya tidak sama pada berbagai masyarakat, seperti pada beberapa penelitian yang dilakukan oleh sejumlah peneliti, termasuk Aceh.
Mengacu kepada definisi kebudayaan seperti telah dipaparkan di atas, maka kita dapat merunut apa sebenarnya kebudayaan Aceh itu. Kebudayaan Aceh merupakan keseluruhan gagasan, aktivitas, dan hasil karya masyarakat Aceh yang dibiasakannya melalui proses belajar, beserta keseluruhan dari hasil karya itu (Koentjaraningrat, 1990). Di dalam kebudayaan ini terdapat 7 unsur kebudayaan universal, yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem religi, dan kesenian (lihat bagan 1). Namun untuk melihat bagaimana sebenarnya kebudayaan Aceh, tidak lepas pula faktor-faktor yang mempengaruhinya, baik faktor internal dan eksternal.
Dari karya-karya sejarah (sumber sejarah) kita dapat mengetahui bahwa di wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pernah ada kerajaan yang bercorak Islam seperti Pasai, Perlak, Pedir, Daya, dan Aceh Darussalam. Kerajaan-kerajaan ini telah berperan menyebarkan ajaran agama Islam ke seluruh Aceh, bahkan ke seluruh Nusantara.Tidak mengherankan apabila Aceh dinobatkan sebagai daerah yang pertama menerima ajaran Islam Nusantara.
Akhirnya, ajaran agama Islam ini mempengaruhi kebudayaan Aceh. Dalam segala bidang kehidupan masyarakat ajaran agama Islam telah merasuk ke semua sendi-sendi kehidupan masyarakat Aceh, mulai dari siasat peperangan, kesenian, pergaulan masyarakat, pendidikan, dan pengajaran sampai kepada keyakinan dan kehidupan sosial lainnya. Walaupun saat ini, umat manusia sudah memasuki abad ilmu pengetahuan dan demokrasi, namun masyarakat Aceh masih mengakui ajaran agama Islam sebagai bagian dari kehidupannya. Apalagi Pancasila dan UUD 1945 mengakui dan membuka luas pintu kepada setiap warga melaksanakan dan mengamalkan agama menurut keyakinannya masing-masing. Dengan demikian, budaya Aceh dapat diidentikan dengan budaya Islam, sehingga tidak salah seperti juga dikatakan oleh B.J. Boland (1971) bahwa seorang Aceh adalah seorang Islam.
Masyarakat Aceh benar-benar menghayati ajaran Islam dalam kehidupannya. Penghayatan yang begitu besar dan mendalam terhadap ajaran Islam diwujudkan dalam bentuk akulturasi antara adat dengan ajaran agama. Hal ini berarti bahwa seseorang yang telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan yang dituntut atau digariskan dengan adat, maka hal itu berarti ia telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan ajaran agamanya pula, atau sekurang-kurangnya tidak keluar dari bingkai agama yang mereka anut (M. Hakim Nyak Pha, 2000: 10)
Ajaran agama Islam telah menjadi dasar berpijak dalam kehidupan bermasyarakat, sosial, ekonomi, politik, tata negara, hukum dan budaya. Bagi orang Aceh, ajaran agama merupakan tolok ukur dan barometer atas segala sikap, tindak-tanduk, perbuatan dan penampilan mereka dalam pergaulan sesamanya. Sikap dan pandangannya dan segala macam bentuk benar-salah, bagus-jelek, baik-buruk dan segala macam bentuk penilaian selalu dikaitkan dengan ajaran agama Islam (Agus Budi Wibowo, 2002).
Bagan 3: Konfigurasi Kebudayaan Aceh


Adat
Ajaran agama Islam


Pengalaman Sejarah Globalisasi/modernisasi


Oleh karena itu, semua gerak kehidupan masyarakat selalu terikat pada syariat Islam yang dikemas dalam bentuk adat (hokum) dan adat-istiadat. Keadaan ini tampak pada beberapa aspek seperti yang termaktub dalam beberapa hadih maja di bawah ini.
1. “Adat bak Poteumeurohom, Hukom bak Syiah Kuala, Kanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana”. (Adat-hukum pengaplikasiannya dalam masyarakat berada di bawah tanggung jawab raja/pemerintahan, sedangkan hukum-hukum Islam berada di bawah tanggung jawab ulama, adat-istiadat dan upacara protokoler istana berada di bawah tanggung jawab berada di bawah tanggung jawab - Putro Phang dan adat istiadat atau kebiasaan berada di bawah tanggung jawab penguasa-penguasa atau pemimpin-pemimpin setempat).
2. Hukom ngon adat lagee dzat ngon sipheuet (Hukum Islam dan Hukum adat ibarat benda dengan sifatnya, jadi tidak dapat dipisahkan).
3. Hukum ngon adat hanjeuet cree, lagee mata itam ngon mata puteh (Hukum Islam dan hukum adat tidak boleh berpisah seperti mata hitam dan mata putih) (lihat bagan 3)
Ungkapan-ungkapan ini merupakan pencerminan dari perwujudan syariat Islam dalam praktik hidup sehari-hari pada masyarakat Aceh. Kemudian tidak berlebihan apabila Aceh mendapat gelar Serambi Mekah, semangat Perang Sabil, Kerajaan Aceh Darussalam. Kesemua itu adalah wujud dari semangat dan nilai yang lahir dari perpaduan tadi.
Budaya sebagai sebuah aturan yang dipedomani masyarakat di dalam hidup bermasyarakat bersumber dari gampong. Gampong adalah “rumah” bagi pembinaan, pelestarian, dan pengendalian budaya Aceh. Di gampong , seseorang dijadikan ureung Aceh dengan segala keacehannya. Gampong merupakan tempat menggodok atau menginternalisasi seseorang dalam hal yang terkait dengan subtansi adat dan agama melalui proses pendidikan. Jadi, gampong bukan hanya sekedar pola perkampungan menurut terminologi teritorial dimana sebuah komunitas bertempat tinggal, tetapi telah melebihi batas-batas fungsinya. Ia menjadi “istana” bagi budaya masyarakat Aceh.
Setelah dilahirkan ke dunia seseorang diacehkan oleh kerabat inti dan di luar kerabat. Saat itu siapapun yang dilahirkan akan diberi pelajaran tentang sopan-santun, tolong-menolong, cara hidup, cara berpikir, dan cara bertindak menurut budaya Aceh. Untuk itu, seorang anak laki-laki Aceh yang berusia enam tahun sampai remaja menginap di meunasah . Di meunasah ini, mereka dididik, diajar, diasuh untuk menginternalisasi dasar-dasar pengetahuan dan keyakinan agama Islam (yang menjadi pondasi budaya Aceh), sehingga mendarahdaging di dalam jiwanya. Keseharian anak laki-laki ini berada di meunasah. Mereka pulang hanya ketika makan. Sedangkan anak perempuan tidak jauh berbeda dengan anak laki-laki. Mereka juga mendapat pemahaman yang sama tentang ajaran agama Islam. Hanya saja, anak-anak perempuan ini dididik di rumah imeum meunasah dan tidak menginap. Internalisasi berlanjut ke jenjang lebih tinggi di rangkang dan dayah.
Dalam tata pemerintahan gampong kita akan dapati dwi-tunggal di dalam pemeliharaan dan pembinaan budaya Aceh. Dwi tunggal itu adalah keuchik dan imeum meunasah. Keuchik adalah seseorang yang diserahi tugas mengelola hal-ikhwal yang menyangkut adat. Di dalam kaca mata rakyat Keuchik dipandang sebagai “ayah”, sedangkan imeum meunasah dipandang sebagai “ibu”. Dwi tunggal tersebut mempunyai kewajiban melestarikan budaya Aceh. Di dalam menjalankan tugasnya, dwi tunggal ini dibantu oleh tuha peut (“dewam orang tua). Mereka memberi nasihat kepada keuchik dan imeum meunasah. Posisi dwi tunggal ini mencerminkan bagaimana pertalian “agama dan adat”, yang dibaratkan dua sisi yang terdapat satu keping uang atau sisi putih dan sisi hitam dari kelopak mata manusia.

C. Nilai-nilai Budaya Aceh di Tengah Pusaran Globalisasi
Walaupun benar bahwa unsur-unsur dari suatu kebudayaan tidak dapat dimasukkan ke dalam kebudayaan lain tanpa mengakibatkan sejumlah perubahan pada kebudayaan itu, namun harus diingat bahwa kebudayaan tidaklah bersifat statis ia akan selalu berubah. Tanpa adanya gangguan yang disebabkan oleh masuknya unsur asing sekalipun suatu kebudayaan dalam masyarakat tertentu pasti akan berubah dengan berlalunya waktu.
Sebagai contoh kecil namun berarti, Muhammad Yamin adalah orang Minangkabau. Mengapa dia kagum dan mencintai budaya Jawa dan dapat menulis kebesaran kebudayaan Jawa ? Mengapa banyak orang Barat yang mempelajari kebudayaan Bali dan Jawa kemudian jatuh cinta pada kebudayaan yang dipelajarinya itu dan hidup dalam budaya Jawa dan Bali, sehingga kadang kala dia disebut sebagai orang yang "lebih Bali atau Jawa daripada orang Bali atau orang Jawa sendiri ? Mengapa banyak orang Indonesia yang dianggap memiliki cara hidup kebarat-baratan, apalagi sekarang, dan dianggap telah melupakan kebudayaan sendiri ? Dari kasus-kasus itu, dengan demikian kebudayaan bukan suatu yang tertutup, yang tidak dapat berubah, yang bila sudah masuk dalam jiwa seseorang (internalized) akan terus hidup sepanjang hayatnya. Dengan contoh-contoh kecil itu, ternayata sesorang dapat beralih anutan kebudayaan, baik sadar atau tidak sadar, dan tidak harus sepanjang hidupnya dia tercengkram atau tidak dapat melepaskan diri dari kebudayaan asalnya. Dengan kata lain, kebudayaan dapat berubah dan dalam kenyataannya memang kebudayaan mengalami perubahan, tidak tertutup dan statis, sehingga kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain dapat saling berkomunikasi dan berbaur, bahkan dalam proses hubungan (cultural contact) tersebut dapat saja tumbuh dan berkembang suatu kebudayaan baru, suatu bentuk budaya hasil proses akulturasi.
Ketika sebelum ajaran agama Islam masuk ke Aceh, budaya Aceh masih diliputi oleh budaya asli, yang tidak bernuasa Islami. Kemudian, ajaran agama Islam masuk ke Aceh mempengaruhi budaya asli Aceh. Jadilah budaya Aceh yang bernuasa Islam, seperti yang kita lihat saat ini. Demikian pula masuknya bangsa Barat ke bumi Serambi Mekah, sedikit banyak telah membawa pengaruh pula terhadap budaya masyarakat daerah ini. Hal ini terlihat dengan terdegradasinya budaya Aceh selama setengah abad lamanya. Budaya dan peradaban Aceh diobrak-abrik oleh kolonial Belanda. Pada waktu pemerintah Hindia Belanda melakukan penetrasi terhadap Kerajaan Aceh.
Selain itu, pembangunan nasional yang telah kita laksanakan lebih dari 29 tahun (sejak Pelita I tanggal 1 April 1969), secara nyata telah menjadikan masyarakat memiliki pendidikan yang semakin tinggi, mempunyai pengetahuan yang semakin luas, dan kehidupan ekonominya semakin sejahtera. Namun di balik kesuksesan dalam bidang sosial-ekonomi tersebut, sedikit demi. sedikit membawa dampak terhadap kehidupan budaya bangsa Indonesia, termasuk juga tentunya budaya Aceh.
Secara struktural, budaya Aceh kehilangan peran yang cukup penting di dalam masyarakat ketika diberlakukan Undang-undang No. 7 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-undang ini menghendaki penyeragaman tata pemerintahan di tingkat desa, yang berlatar belakang beraneka ragamnya budaya etnik. Akibatnya, struktur masyarakat gampong di Aceh menjadi runyam. Peranan tuha peut, keuchik, dan imeum meunasah menjadi “kabur. Padahal, mereka adalah benteng dari budaya Aceh. Penodaan terhadap peran yang dimiliki oleh “benteng” budaya Aceh tersebut membuatnya kehilangan makna di dalam diri ureung Aceh.
Faktor yang tidak kalah penting yang turut mempengaruhi budaya Aceh adalah globalisasi dan modernisasi. Globalisasi telah menyebabkan dunia menjadi sebuah “kampung” yang besar, yang mana batas-batas negara hanya tampak pada peta. Komunikasi dan telekomunikasi merambah semua kawasan di seluruh pelosok dunia, termasuk Indonesia. Dahulu kita sangat sulit apabila ingin mengetahui sebuah peristiwa yang terjadi di suatu negara yang berjarak ribuan kilometer. Saat ini, kita dengan mudah mengetahui sebuah peristiwa terjadi di belahan dunia lainnya dalam hitungan detik. Bagaimana pengaruh itu terjadi tampak pada gaya rambut Lady Di yang ditiru banyak wanita di Indonesia. Demikian pula dengan berita kematian Lady Di yang dapat diakses dengan mudah. Salah satu contoh lain tentang nilai global yang telah masuk ke Indonesia adalahh pada dasarnya kulit orang Indonesia adalah sawo matang, tetapi saat ini orang Indonesia (khususnya wanita) menginginkan kulit mereka berwarna putih (Widjajanti M. Santoso, 2001).
Modernisasi juga merupakan faktor yang cukup signifikan yang mempengaruhi budaya Aceh. Komunikasi dan telekomunikasi yang kita nikmati sekarang merupakan salah bentuk kemajuan peradaban akibat modernisasi. Modernisasi mempercepat proses dari globalisasi. Budaya suatu bangsa dapat diketahui oleh bangsa lain dengan mudah, walaupun bangsa-bangsa tersebut terpisah jauh dengan jarak ribuan kilometer. Pengetahuan tentang budaya bangsa lain ini pada akhirnya mempengaruhi juga budaya suatu bangsa. (lihat bagan 3).
Salah satu bangsa di dunia yang ikut terpengaruh oleh budaya bangsa lain adalah bangsa Indonesia. Saat ini, banyak aspek-aspek nilai budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Di kota-kota besar di Indonesia tampak sekali nilai-nilai individualisme, hedonisme, konsumerisme yang berasal dari dunia luar mulai tumbuh dalam nilai-nilai budaya masyarakat kita. Nilai-nilai budaya asli sebagai nilai budaya yang agung dimiliki bangsa Indonesia (Aceh) mulai terkikis, seperti nilai komunalisme, guyup rukun, gotong royong, dan sebagainya. Gaungnya hanya tampak di daerah-daerah pedesaan yang jauh tersentuh oleh nilai-nilai modernisme.
Dalam sebuah seminar di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh, Yusni Sabi (2000) mensinyalir bahwa ada tiga aspek dari nilai budaya Aceh yang sedikit-banyak telah dilupakan oleh masyarakatnya. Adapun aspek-aspek tersebut adalah aspek integritas, tatakrama, dan kedisiplinan. Erosi ini mungkin disebabkan oleh pengaruh luar ataupun pengaruh dari dalam masyarakat itu sendiri. Yang dimaksud dengan pengaruh luar adalah bahwa sikap budaya Aceh telah bergeser karena adanya tekanan budaya luar Aceh yang melanda karena globalisasi yang tidak dapat dielakkan. Pengaruh dalam dapat terjadi ketika orang Aceh sendiri telah melunturkan nilai-nilai Ke-Acehannya yang disebabkan oleh mental orang Aceh itu sendiri yang tidak setia kepada budayanya.
Pada bagian lain, M. Hakim Nyak Pha (2000) juga telah memperkirakan bahwa masyarakat Aceh telah mengalami pergeseran budaya. Menurutnya, era reformasi dan informasi dengan bantuan teknologi canggih telah menembus “kelambu” masyarakat desa, telah mempengaruhi mimpi-mimpi ureueng gampong dalam tidurnya sehingga telah membawa dampak positif bersamaan dengan membawa dampak negatif yang dalam banyak hal berbentuk “kemudharatan”` yang ditimbulkannya. Masyarakat telah mengarah kepada globalisasi, yaitu masyarakat yang bercirikan keterbukaan, tranparansi, kecepatan mengolah, kecepatan mendistribusikan, kesibukan individual, profesionalisme dan sebagainya. Namun amat disayangkan hal ini belum didukung oleh kemampuan nalar yang memadai. Akibatnya, telah menimbulkan efek yang sebahagian besar tidak diharapkan. Sebagian masyarakat Aceh melupakan jiwa keacehannya. Misalnya, tatkala Aceh memproklamasikan dirinya sebagai daerah yang bernuansa syariat Islam sesuai dengan pondasi dari budaya Aceh ternyata masih ada sebagian masyarakat yang tidak bernapaskan syariat Islam di dalam aktivitas kesehariannya.
Misalnya, hasil penelitian Agus Budi Wibowo (2000) tentang penerapan syariat Islam mengenai pemakaian busana muslimah ternyata belum optimal. Masih ada di kalangan masyarakat yang belum memakai busana muslimah secara kaffah. Peneliti mengidentifikasi ada empat gaya busana muslimah di kalangan remaja putri dari hasil penelitian di Kota Sabang, yaitu gaya busana ke sekolah, gaya busana ke tempat umum, dan gaya busana ke tempat ibadah serta gaya busana pesta. Adapun model yang mereka kenakan ada beberapa jenis, seperti celana ketat/jins, baju biasa/ketat, dengan atau tanpa jilbab. Remaja putri di Aceh berusaha menampilkan gaya busana yang tidak ketinggalan zaman, namun mereka juga tidak ingin dikatakan melupakan akarnya (pakai jilbab), sehingga remaja ini memakai jilbab tetapi pakaian mereka menampilkan gairah anak muda (pakaian ketat). Dengan demikian, ada perpaduan antara budaya lokal dengan nilai-nilai globalisasi/budaya luar, yang seperti dikatakan oleh Jailani M. Yunus (2000), yaitu jilbab yang dihiasi dengan lipstik tebal, lekuk tubuh yang menantang mata, dan perilaku agresif.
Pendeklarasian syariat Islam di Aceh belum sepenuhnya menyentuh semua aspek kehidupan. Ada hal-hal lain yang harus dibenahi dan dioptimalkan, sehingga Aceh sebagai daerah dengan penerapan syariat Islam (sesuai dengan akar budaya Aceh) dapat terlaksana.

D. Reaktualisasi dan Revitalisasi Nilai-nilai Budaya Aceh

Paparan di atas menunjukkan bahwa selama perjalanan sejarahnya budaya Aceh telah mengalami pasang surut. Ia pernah mengalami puncak kejayaannya ketika Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda. Namun pasca Sultan Iskandar Muda, perlahan tetapi pasti, budaya Aceh tidak segemerlap zaman dahulu. Tentunya, banyak faktor yang menjadi penyebab “mundur”nya budaya Aceh, baik faktor internal maupun eksternal.
Oleh karena itu, upaya reaktualisasi dan revitalisasi nilai-nilai budaya Aceh harus menjadi sebuah prioritas di dalam pembangunan yang akan dilaksanakan di Aceh. Suatu bangsa yang melaksanakan pembangunan tanpa berlandaskan kebudayaannya seringkali mengalami kemudharatan. Banyak hasil pembangunan yang tidak sesuai dengan hakikat kemanusiaan dari manusia yang menjadi objek pembangunan. Pembangunan yang demikian lebih cenderung menjadikan manusia sebagai subjek saja. Bahkan, pembangunan yang tidak berbudaya akan menghilangkan identitas dan jati diri dari manusia yang dibangun.
Dalam upaya mereaktualisasi dan merevitalisasi budaya Aceh penulis menerapkan bagan alur faktor yang mempengaruhi upaya-upaya tersebut (lihat bagan 4). Dari bagan 4 tersebut tampak terdapat beberapa faktor seperti faktor lingkungan, kelembagaan, keluarga, dan sebagainya. Dalam operasionalisasi komponen antropos mencakup masyarakat Aceh; komponen etnos mencakup lembaga-lembaga sosial masyarakat Aceh seperti Majelis Adat Aceh (dahulu: LAKA), MUI, Dinas Kebudayaan dan Stakeholder lainnya; komponen tehnos mencakup cara-cara dan sarana-sarana yang mendukung reaktualisasi dan revitalisasi budaya Aceh dan pengendalian sosial dalam masyarakat; komponen oikos mencakup lingkungan komunitas Aceh tinggal, baik di pedesaan dan maupun perkotaan. Sebagai wadah operasionalisasi dari upaya reaktualisasi dan revitalisasi dua pola kehidupan, yaitu kehidupan keluarga dan kehidupan masyarakat.
Berdasarkan faktor yang berpengaruh seperti dipaparkan tersebut, maka dapat diambil beberapa kebijakan. Pertama, Perlunya perubahan pola pikir (mainset) dari semua komponen masyarakat Aceh dalam memandang kebudayaan. Selama ini terdapat pemikiran bahwa kebudayaan bukan suatu hal yang sangat penting. Budaya dipinggirkan oleh berbagai pihak. Bicara kebudayaan dianggap suatu yang kuno atau kolot. Padahal budaya merupakan jati diri dari suatu bangsa. Misalnya, bangsa Jepang yang telah maju tidak melupakan jati diri budayanya. Mereka tetap mempunyai komitemen yang tinggi terhadap budaya yang mereka miliki.
Kedua, pembuatan Undang-undang/qanun yang menjamin keberadaan budaya Aceh di dalam kehidupan bermasyarakat. Berbagai upaya untuk memperkuat budaya Aceh sebetulnya pernah dilakukan. Pascakemerdekaan, Tgk Muhammad Daud Beureueh pernah menuntut pelaksanaan Syariat Islam sebagai landasan kehidupan bermasyarakat di tanah rencong. Hasilnya adalah Aceh diberi status daerah istimewa dalam bidang adat, pendidikan, dan agama, sehingga kemudian Aceh diberi sebutan sebagai Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Namun dalam sejarah perjalanan dari pelaksanaan keistimewaan tersebut tidak sesuai dengan harapan. Status istimewa tersebut seakan-akan hanya sebuah dokumen di atas kertas. Aplikasi dalam kehidupan sehari-hari tidak berjalan secara optimal. Cita-cita masyarakat Aceh memberlakukan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya di Aceh mengalami pasang-surut. Puncak kejayaan dari semua itu dapat dilihat pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, yang ketika itu dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda. Namun sejak Indonesia merdeka dan penetapan UU NO. 5 tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, adat Aceh semakin runyam dalam pelaksanaannya (Rusdi Sufi, 2000). Akhir-akhir ini tampak bahwa masyarakat Aceh “rindu” untuk menghidupkan kembali adat tersebut. Keinginan masyarakat Aceh ini kemudian disahuti oleh pemerintah pusat dalam wujud dengan memberikan kewenangan pemerintah daerah dan masyarakatnya dalam penyelenggaraan pelaksanaan syariat Islam ini. Penyelenggaraan pelaksanaan syariat Islam itu ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Aceh. Berdasarkan kedua Undang-Undang ini kemudian pemerintah daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh bersama DPRD menetapkan Perda Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 tahun 2000 tentang penyelenggaraan syariat Islam. Pasca konflik telah terbentuk Undang-undang Pemerintahan Aceh, yang diharapkan pula Aceh menuju jati dirinya dan undang-undang ini memuat upaya-upaya reaktualisasi dan revitalisasi budaya Aceh.
Ketiga, menyediakan ruang publik sebagai upaya melestarikan budaya masyarakat. Ruang publik ini dapat berupa museum dan “taman mini” (dalam hal ini arena Pekan Kebudayaan Aceh). penyediaan ruang publik ini sebagai upaya pelestarian budaya dan ruang pameran, baik bagi masyarakat Aceh dan maupun masyarakat dari luar Aceh. Keempat, budaya Aceh disosialisasikan melalui media pendidikan. Untuk itu, hendaknya budaya dijadikan mata pelajaran muatan lokal sehingga pengetahuan, persepsi, keyakinan, sikap anak-anak terhadap budaya Aceh semakin baik. Hal ini juga untuk membentengi anak-anak dari pengaruh luar yang negatif, sehingga mereka tidak kehilangan roh keacehannya.
Kelima, pembentukan lembaga-lembaga yang melestarikan dan mensosialisasikan keberadaan budaya Aceh. Pendirian lembaga-lembaga ini juga harus didukung oleh kerjasama yang baik di antara lembaga-lembaga yang bergerak di bidang kebudayaan dan stakeholder. Jangan sampai mereka bekerja sendiri. Kalau hal ini terjadi, program-program yang dilaksanakan hanya menghamburkan uang dan terjadinya tumpang tindih program. Hasilnya tidak optimal. Kelima, merekatualisasi pengendalian sosial yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga masyarakat. Keenam, penyediaan dana yang cukup dalam upaya melaksanakan pembangunan di bidang kebudayaan. Tanpa dana yang cukup, kebudayaan tetap menjadi suatu yang terpinggirkan. Penyediaan dana ini harus mendapat dukungan dari pihak legislatif dan yudikatif di pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Bagan 4: Diagram Alur Faktor yang Berpengaruh
Dalam upaya mereaktualisasi dan merevitalisasi budaya Aceh



Tehnos Pendorong / Oikos
Penghambat


Nilai Budaya Persepsi Sikap upaya reaktualisasi
Pengetahuan dan revitalisasi
Keyakinan


Etnos Penghambat /
Pendorong Antropos


Sumber : Diolah dari S. Swarsi, dkk (1997)

Dalam upaya mereaktualisasikan dan merevitalisasi budaya Aceh harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu. Ia tidak dapat dilakukan secara sepotong-potong. Selain itu, upaya ini harus dilakukan secara berkesinambungan oleh lembaga-lembaga yang mempunyai tugas di dalam pembangunan kebudayaan bersama stakeholder.

E. Penutup

Subbahasan penutup merupakan akhir dari seluruh paparan dan pembahasan dalam tulisan ini. Sebagai penutup, pemaparan dalam subbahasan memberikan penekanan dan membulatkan seluruh bahasan dalam paparan sebelumnya dalam rangkuman kesimpulan. Selain itu, pada subbahasan ini juga sekaligus digunakan untuk mengekspresikan renungan-reungan mengenai reaktualisasi dan revitalisasi budaya Aceh.
1. Kesimpulan
Berdasarkan bahasan yang penulis kemukakan pada subbahasan sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a. Aceh merupakan salah satu daerah yang mempunyai kekuatan tersendiri, yang membedakan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Ia menempati posisi yang strategis, baik dalam geopolitik, Hankam, sosial, ekonomi, maupun budaya. Salah satu bentuk kekuatan yang dimiliki Aceh adalah budayanya.
b. Dalam konteks budaya, Aceh Budaya Aceh terbentuk dari perpaduan antara ajaran agama Islam dan adat. Di antara keduanya tidak dapat dipisahkan dan bahkan menyatu seperti, dua sisi dalam sebuah mata uang. Selain itu, faktor internal dan eksternal juga ikut mempengaruhi perkembangan keberadaan budaya Aceh hingga kita melihat bentuknya seperti saat ini kita lihat..
c. Namun budaya itu memiliki sifat yang sangat dinamis. Ia berkembang sesuai dengan perkembangan manusia sebagai pemilik kebudayaan. Demikian pula dengan budaya Aceh, yang menurut M. Junus Melalatoa, agama sebagai pondasi budaya Aceh telah kehilangan partnernya (adat). Diakui, agama (Islam) tidak mungkin mengalami perubahan karena agama adalah sebuah dogma yang tidak mungkin berubah.
d. Untuk itu, upaya mereaktualisasi dan revitalisasi budaya (adat) menjadi suatu sebuah keharusan. Pascagempa dan tsunami, budaya merupakan bagian yang cukup penting. Hendaknya, budaya dijadikan “panglima” dalam pembangunan di Aceh. Pembangunan tanpa mengedepankan budaya akan menghasilkan sebuah masyarakat yang tercabut dari “akar” budayanya dan kehilangan jati dirinya sebagai “ureung” Aceh. Melupakan warisan indatu yang harus tetap dijaga. Ingatlah akan hadih maja sebagai berikut,
“Matee Aneuk meupat Jeurat, Matee Adat Pat Tamita”.

2. Saran-saran
Berdasarkan paparan dan kesimpulan seperti yang diuraikan di atas, penulis menyarankan beberapa hal, yaitu:
a. Agar reaktulisasi dan revitalisasi budaya dapat dilaksanakan, diperlukan sebuah program yang terpadu dan berkesinambungan di antara semua komponen masyarakat, birokrat, ulama, dan lembaga-lembaga terkait. Kerjasama yang harmonis di antara lembaga yudikatif dan legislatif juga sebuah keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar dalam menggolkan program-program pembangunan di bidang kebudayaan..
b. Program yang dilaksanakan untuk mereaktualisasi dan revitalisasi budaya Aceh mencakup aspek kelembagaan, sumber daya manusia, undang-undang/perda/qanun, dan sarana/prasarama pendukung. Program-program reaktualisasi dan revitalisasi juga harus didukung pendanaan yang cukup.























Daftar Bacaan

Alfian, Teuku Ibrahim. 1967. Perang di Jalan Allah. Jakarta: Sinar Harapan.

Agus Budi Wibowo. 1999. “Memaknai Kondisi Aceh Dewasa Ini”, Serambi Indonesia tanggal 4 Juli.

____________________. 2004. Makna Busana Bagi Remaja Wanita Aceh (Sebuah Interpretasi Antropologis). Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

___________________. 2005. “Budaya Aceh Pascagempa dan Tsunami 24 Desember 2004: Masihkah Ada ?”, dalam Haba No. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.

Boxer, C.R. 1969. “A. Note on Potuguese Reactions to the Revival of the Red Sea Spice Trade and The Rise of Atjeh 1540-1600”. JSEAH 10, III.

Boland, B.J. 1971. The Struggle of Islam in Modern Indoenesia. The Hague: Martinus Nijhoff.

Djajadiningrat, R.Hoesin. 1911. “Critisch overzich van de in Maleissche vervatte gegevens over geschiedenis van het Sultanaat van Atjeh”, BKI, 65.

Hakim Nyak Pha, M. “Adat dan Penegakan Disiplin Masyarakat”, Haba No. 13/2000. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.

Hoesin, Muhammad. 1970. Adat Atjeh. Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh.

Jacobs, Julius. 1894. Het Familie en Kampongleven op Groot Atjeh. Leiden: E.J. Brill.

Junus Melalatoa, M. 2005. “Memahami Aceh Sebuah Perspektif Budaya”, dalam Bambang Bujono (ed.) . Aceh Kembali Ke Masa Depan. Jakarta: Katakita, Yayasan SET dan Gudang Garam.

Kalim, Nurdin. “Kedekatan Yang Terberai Foto-foto yang menghadirkan sisi lain duka Aceh. Sebuah lanskap simbolis reruntuhan bencana”, Tempo No. 1/XXXIV/28 Feburari – 6 Maret 2005.

Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

M. Santoso, Widjajanti. 2001. “Tubuh (perempuan) dan Konstelasi Lokal versus Global Mengkasuskan Kecantikan Timur dan Pasar Global”, Makalah disampaikan pada Panel Kontruksi Gender dan Seksualitas dalam Masyarakat Yang Sedang Berubah. Kongres AAI Padang pada tanggal 18-21 Juli.

M. Yunus. Jailani. 2000. “Jilbab, antara Modisme dan Feminisme”. Serambi Indonesia, tanggal 14 Mei.

Nitura, Nur Janah, “Ekspresi Emosi Bocah Pengungsi”, Serambi Indonesia tanggal 1 Maret 2005.

Sabi, Yusni “Budaya Aceh Memasuki Abad 21 (Aspek Integritas, Tatakrama, dan Disiplin), dalam Haba No. 13/2000.

Said, Muhammad. 1961. Atjeh Sepandjang Abad. Medan: Penerbit Pengarang Sendiri.

Sjamsuddin, Nazaruddin. 1999. Revolusi di Serambi Mekkah: Perjuangan Kemerdekaan dan Pertarungan Politik di Aceh 1945-1949. Jakarta: UI Press.

Snouck Hurgronje, C. 1894. De Atjehers Vo. I dan II. Batavia: Landsdrukkerij.

_______________________. 1903. Het Gajoland en Zijne Bewoners.

__________________. 1906. The Achehnese. Vol. I dan II. Leiden: E.J. Brill.

Sufi, Rusdi. 2000. “Runyamnya Struktur Gampong di Aceh Akibat UU No. 5 Tahun 1979”, Haba No. 13/2000. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.

Syamsuddin, Teuku. 2004. “Kebudayaan Aceh”, dalam Koentjaraningrat (ed.) Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Zentgraaff. H.C. 1983. Aceh. Banda Aceh: Beuna.

No comments: