February 02, 2009

Lonceng Cakra Donya (Banda Aceh)


Berdasarkan angka tahun yang terdapat di bagian atasnya, dapat diketahui bahwa lonceng Cakra Donya ini dibuat pada tahun 1409, merupakan hadiah dari Kaisar Cina kepada Sultan Aceh dalam rangka mengikat persahabatan. Lonceng ini berukuran lebih kurang 1,25 meter tinggi dan mempunyai lebar 0,75 meter. Cakra antara lain dapat berarti poros kereta. Cakra merupakan lambang-lambang dari Wishnu, mengenai peredaran tahun, garis horizon atau cakrawala dan mata hari, yang secara keseluruhan semua itu merupakan sebuah lingkaran. Nama Cakra Donya itu melingkupi dunia. Barang siapa saja yang memerintah sebuah kerajaan luasnya sampai ke ujung-ujung Samudra, yang dapat disamakan dengan kekuasaan Hamengku Buwononya orang-orang Jawa. Selain itu juga dapat disamakan artinya dengan epitheton (sebagai penghias) yang dalam bahasa Sanskerta Cakra Wartin, yaitu penguasa tunggal atau penguasa dunia.
Menurut G.L. Tichelman dalam buku Cakra Donya, De Indische Gids I (1939), lonceng ini dahulu pernah dianggap sebagai barang atau benda keramat oleh sebagian orang Aceh. Di dekat pohon tempat lonceng itu digantung pada masa dahulu terdapat sebuah meusejid (masjid) yang diberi nama Baitul Rahim yang artinya rumah dari yang bermurah hati, yang merupakan masjid Sultan Aceh yang berada di dalam komplek kraton (dalam). Di masjid ini Sultan Aceh selalu ikut serta dalam kegiatan-kegiatan ibadah pada setiap hari Jum'at. Lonceng Cakra Donya hingga akhir tahun 1915 masih digantung di sebatang pohon ba'gloendong (pohon kuda-kuda) yang letaknya di sebelah timur masjid yang disebutkan di atas. Asal usul lonceng ini tidak diketahui oleh siapa pun. Anak gentanya telah hilang dan sejak tahun 1915 tidak ada lagi seorang pun yang pernah mendengar suaranya. Pada masa dahulu lonceng ini hanya dibunyikan apabila orang-orang yang tinggal di sekitar komplek kraton harus datang berkumpul guna mendengarkan pengumuman yang penting dari sultan. Orang yang memukul lonceng terakhir adalah seorang Aceh yang bernama Boedjang Ma Asan. Dahulu lonceng itu tidak dipandang sebagai suatu yang keramat dan tidak pernah diadakan suatu kenduri terhadapnya.
Sebenarnya Lonceng Cakra Donya ini telah pernah pula dibicarakan dalam sebuah hikayat Aceh yaitu Hikayat Malem Dagang. Sajak kepahlawanan tersebut memuji suatu episode dari tindakan-tindakan yang agung dari orang-orang Aceh di bawah sultan mereka yang termasyur yaitu Sultan Eseukanda (Iskandar Muda 1607-1636). Dalam sajak-sajak kepahlawanan tersebut diberikan gambaran mengenai satu kenyataan sejarah pada masa keemasan tersebut. Selain itu, menurut sebuah sumber, lonceng ini dulu pernah dipakai oleh Sultan Iskandar Muda pada waktu penyerbuan Portugis di Malaka yang ditempatkan di Kapal Cakra Donya (kapal komando).
T.J. Veltman dalam bukunya Nota Over de Geschedenis van het Landschap Pidie menyatakan bahwa dahulu pada bulan Mei 1521 telah dapat dikalahkan sebuah armada Portugis yang dipimpin oleh Jorge de Brit. Keberhasilan ini terutama disebabkan karena kebijakan Raja Ibrahim, yaitu saudara Sultan Ali Mughayat Syah. Kapal-kapal Portugis yang berhasil direbut bersama dengan meriam-meriamnya itu mempunyai kemampuan yang bila perlu dapat mengadakan penaklukan atas negara-negara tetangganya.
Karena kemenangan-kemenangan yang di-perolehnya, timbul sifat tamak pada Sultan Ahmad (Pidie), sehingga dia menggunakan setiap kesempatan untuk memperluas daerah kekuasaannya. Karena sikapnya yang tidak simpatik tersebut, maka rakyat Pidie dan juga bawahannya merasa tidak senang atas Sultan Ahmad. Mengenai keadaan Sultan Ahmad telah mereka laporkan kepada saudara-saudara kandungnya dan juga kepada sahabat-sahabatnya yang berada di Aceh. Berita mengenai hal ini juga didengar oleh Sultan Ali Mughayat Syah (Sultan Aceh) dan karenanya ia menggunakan kesempatan ini untuk membebaskan diri dari pengaruh majikannya (Sultan Ahmad) di Pidie. Untuk itu, ia beserta dengan suatu laskar tentara yang besar di bawah pimpinan abangnya berangkat untuk menyerang Pidie. Para pemimpin dan rakyat Pidie yang telah merasa jemu atas pemerintahan sultan mereka (Sultan Ahmad) menggabungkan diri dengan laskar tentara Aceh dan ternyata tentara Sultan Aceh sendiri melarikan diri ke Samudra Pasai yang karenanya memberi alasan kepada Sultan Aceh untuk juga menyerang kerajaan tersebut. Kerajaan Samudra Pasai ini telah berhasil direbutnya dalam tahun 1524 sementara orang-orang Portugis yang berada di tempat tersebut diusirnya.
Sebagai barang rampasan perang dari Samudra Pasai ini disebutkan Sultan Aceh telah membawa lonceng yang amat besar itu. Sebagai musuh Samudra Pasai (yang bersahabat dengan negeri Cina), maka Aceh Besar pada waktu itu tidak mengadakan hubungan dengan negeri Cina. Hubungan Aceh dengan negeri Cina baru diadakan sesudah tahun 1618. Lonceng besar itu sama sekali bukan barang rampasan perang yang diambil dari Malaka, sebab apabila demikian halnya pasti Bustanul Salatin telah memberitakan tentang hal itu.
Pada tanggal 2 Desember 1915, pada masa Gubernur H.N.A Swart menguasai istana kerajaan memberi perintah untuk menurunkan lonceng dari pohon ba'gloendong karena khawatir pohon tersebut patah dan lonceng akan rusak, maka lonceng itu diletakkan di tanah. Lonceng itu diturunkan oleh orang-orang Cina, karena orang menganggap lonceng tersebut berhantu. Menurut cerita, orang Cina yang menurunkan lonceng tersebut sebelumnya meminum arak terlebih dahulu sampai mabuk, baru kemudian berani menurunkan lonceng itu. Setelah penurunan lonceng itu, Banda Aceh dilanda banjir besar. Selanjutnya pada tanggal 13 Desember 1915 datanglah seorang utusan menghadap Gubernur H.N.A Swart memberitahukan bahwa banjir tersebut disebabkan peletakkan lonceng yang tidak pada tempatnya.
Oleh sebab itu, Gubernur Swart memberi perintah lonceng tersebut agar digantungkan di bawah museum Aceh dan banjir pun reda saat itu. Akan tetapi, tahun berikutnya banjir datang lagi. Maka sekali lagi utusan tersebut datang dan mengatakan bahwa peletakannya masih kurang tepat. Seharusnya lonceng tersebut diletakkan terpisah dan tertutup. Swart pun menyetujui dan membuat bangunan khusus untuk menggantungkan lonceng tersebut.
Pada tahun 1939 lonceng sultan yang telah tua itu digantungkan dengan sebuah rantai di dalam sebuah kubah dari kayu di depan Museum Negeri Aceh. Ternyata pada saat lonceng itu dibersihkan pada bagian luarnya terdapat hiasan-hiasan dengan simbol-simbol (ukiran-ukiran) dalam bentuk huruf Arab dan huruf Cina. Simbol-simbol tersebut telah aus dan inskripsi dalam huruf Arab tidak dapat dibaca lagi. Diduga bahwa tuangan-tuangan lonceng itu dahulu diberi lapisan-lapisan emas. Tanda-tanda yang bermacam-macam itu telah dipahat ke dalam besinya dan emasnya telah dimasukkan pada aluran-alurannya.
Lonceng itu mungkin merupakan lonceng kuil dan telah berkarat seluruhnya, sedangkan emasnya telah hilang dari bentuk-bentuk hurufnya dan mungkin sekali sudah diambil oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Huruf-huruf Cina pada lonceng itu berbunyi Sing Fang Niat Toeng Juut Kat Yat Tjo yang dapat diartikan sebagai berikut Sultan Sing Fa yang telah dituang dalam bulan 12 dari tahun 5.
Lonceng Cakra Donya sekarang merupakan salah satu koleksi Museum Aceh yang terletak di Jalan Sultan Alaidin Mahmud Syah dapat dikunjungi oleh masyarakat umum. Pada hari senin sampai dengan hari kamis dibuka dari pukul 08.30 14.00 WIB, sedangkan pada hari Jumat dan Sabtu dibuka dari pukul 08.30-12.00 WIB, sedang pada hari Minggu dari pukul 08.30 - 16.00 WIB.

No comments: