February 20, 2009

Rencong Aceh: Sebuah Potensi Produk Budaya yang Harus dikembangkan secara maksimal

Oleh: Agus Budi Wibowo

A. Pendahuluan
Aceh memiliki potensi industri yang cukup baik. Salah satunya adalah kerajian. Banyak kerajinan yang telah dihasilkan oleh masyarakat Aceh. Beberapa di antara kerajinan itu adalah rencong, kopiah, Sulaman, dan sebagainya. Apalagi dikembangkan dengan baik potensi dapat memberikan manfaat ekonomi bagi daerah dan masyarakat, khususnya perajin.
Potensi yang cukup baik ini harus dikembangkan dengan baik. Ia tidak hanya dapat digunakan sebagai souvenir untuk oleh-oleh para wisatawan, baik wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara, tetapi juga kerajinan ini dapat digunakan sebagai upaya pelestarian kekayaan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Aceh. Di dalam dunia pariwisata souvenir merupakan suatu yang wajib ada. Rasanya belum lengkap apabila suatu daerah mempunyai objek wisata, tetapi tidak mempunyai souvenir. Souvenir merupakan salah satu penunjang yang mana setiap orang atau sekelompok orang yang melakukan perjalanan ke suatu daerah, ia akan mencari buah tangan (oleh-oleh). Oleh-oleh ini akan diberikan kepada sanak keluarga, kerabat, atau sahabat di daerah asalnya. Suovenir merupakan kenangan-kenangan untuk mengenang bahwa kita pernah mengunjungi suatu daerah.
B. Macam-macam Rencong
Sejak zaman dahulu rencong cukup terkenal. Benda ini merupakan senjata yang digunakan oleh rakyat Aceh membendung serangan kaum penjajah di bumi Serambi Mekkah. Bagi siapa saja yang memegang senjata akan merasa lebih berani di dalam menghadapi musuh. Pada masa sekarang, senjata ini memang sudah tidak begitu relevan untuk digunakan sebagai senjata penyerang. Namum demikian, senjata ini masih relevan sebagai sebuah simbolisasi dari keberanian, ketangguhan, dan kejantanan dari masyarakat Aceh. Untuk itu, pada beberapa upacara (seperti upacara pernikahan) rencong dipakai. Pemakaian benda ini lebih mengarah kepada simbolisasi dari keberanian dari seorang lelaki dalam memimpin keluarga setelah menikah.
Masyarakat Aceh mengenal empat macam rencong, yaitu pertama reuncong Meucugek. Disebut rencong meucugek karena pada gagang rencong tersebut terdapat suatu bentuk panahan dan perekat yang dalam istilah Aceh disebut cugek atau meucugek Cugek ini diperlukan untuk mudah dipegang dan tidak mudah lepas waktu menikam ke badan lawan atau musuh. Kedua, Reuncong Meupucok memiliki pucuk di atas gagangnya yang terbuat dari ukiran logam yang pada umumnya dari emas. Gagang dari rencong meupucok ini kelihatan agak kecil pada gagang atau pegangan pada bagian bawahnya. Namun semakin ke ujung gagang ini semakin membesar. Jenis rencong semacam ini digunakan untuk hiasan atau sebagai alat perhiasan. Biasanya, rencong ini dipakai pada upacara-upacara resmi yang berhubungan dengan masalah adat dan kesenian. Ukiran yang terdapat pada gagang rencong bermacam-macam bentuknya, ada yang menyerupai bungan mawar, kembang daun dan lainnya tergantung kepada selera pemakai.
Ketiga, Reuncong Pudoi. Istilah pudoi dalam masyarakat Aceh adalah sesuatu yang dianggap masih kekurangan, atau masih ada yang belum sempurna. Gagang rencong ini hanya lurus saja dan pendek sekali. Jadi, yang dimaksud pudoi atau yang belum sempurna adalah pada bentuk gagang rencong tersebut. Keempat, Reuncong Meukuree. Perbedaan rencong meukuree dengan jenis rencong lain adalah pada mata rencong. Mata rencong diberi hiasan tertentu seperti gambar ular, lipan, bunga dan lainnya. Gambar-gambar tersebut oleh pandai besi ditafsirkan dengan bermacam-macam kelebihan dan keistimewaan. Rencong yang disimpan lama maka pada mulanya akan terbentuk sejenis arit atau bentuk yang disebut kuree. Semakin lama atau semakin tua usia sebuah rencong makin banyak pula kuree yang terdapat pada mata rencong yang bersangkutan. Kuree ini dianggap mempunyai kekuatan magis.
Selain rencong yang telah disebutkan tersebut, kita mengenal senjata yang mirip dengan rencong. Benda ini disebut dengan Siwaih. Senjata ini sejenis dengan rencong yang juga merupakan senjata untuk menyerang. Bentuknya hampir sama dengan rencong tetapi siwaih ukurannya (baik besar maupun panjang) melebihi dari pada rencong. Siwaih sangat langka ditemui, selain harganya yang mahal, juga merupakan bahagian dari perlengkapan raja-raja atau ulebalang-ulebalang.

C. Sentra Perajin Rencong di Aceh
Apabila kita mengunjungi sebuah kecamatan di Aceh Besar, tepat di Kecamatan Sukamakmur yaitu di desa Baet Meunasah, Baet.. kita akan temui orang sedang memukul-mukul besi dan mengecor kuningan. Di tiga desa tersebut penduduknya sebagian besar melakukan pekerjaan sebagai perajin rencong. Rencong tersebut bukan digunakan sebagai senjata, tetapi digunakan sebagai souvenir. Selain rencong dibuat seperti apa adanya, rencong dibuat juga divariasikan/dikombinasikan dengan aspek lain, seperti dibuat kecil (dipakai sebagai bross) atau dibuat hiasan dinding dengan diberi bingkai kaca. Kegiatan pembuatan rencong ini telah lama dilakukan oleh penduduk di ketiga desa tersebut.
Perajin recong terorganisasi dalam sebuah organisasi/perusahaan yang disebut Aceh Lon Sayang. Organisasi ini dipimpin oleh Abu Bakar. Jumlah tenaga kerja yang terakumulasi dalam organisasi berjumlah 294 orang. Jumlah anggota yang cukup besar dalam sebuah organisasi.
Dalam rangka meningkatkan kemampuan dan kreativitas para perajin, pada tahun 2006, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional pernah melakukan kegiatan pemberdayaan perajin rencong ini. Mereka dibekali pengetahuan tambahan tentang pemasaran, teknologi logam, dan mengkreasikan motif/model hasil kerajinan yang telah ada. Selain itu, peserta pemberdayaan perajin tradisional juga mendapat modal usaha dan modal peralatan. Kegiatan ini mendapat dukungan dana dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias. Selain itu, Dinas Pariwisata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam juga memberikan dukungan yang baik dalam kegiatan ini, selain Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Peserta berasal dari seluruh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan menghadirkan pemateri dari Nanggroe Aceh Darussalam (Universitas Syiah Kuala, perbankan), dan luar Aceh.

D. Penutup

Aceh memiliki kekayaan budaya yang cukup menjanjikan apabila dikembangkan secara maksimal. Salah satu potensi tersebut adalah rencong. Memang telah terbentuk sebuah sentra perajin rencong di Aceh Besar. Akan tetapi, perajin belum melakukan diversivikasi usaha kerajinan, utamanya rencong. Bentuk souvenir yang ditampilkan belum dikembangkan secara maksimal dengan motif/model lain. Rencong lebih banyak ditampilkan dalam taraf bentuk rencong seperti adanya (senjata). Seharusnya, perajian mampu membuat rencong dalam bentuk hiasan atau lainnya. Dengan demikian, akan mempunyai nilai tambah.

No comments: