August 16, 2011

Keberadaaan Desa (Gampong) Pada Masyarakat Aceh

Oleh: Agus Budi Wibowo

Desa (bahasa Jawa) di Nanggroe Aceh Darussalam dikenal dengan nama Gampong, yang secara harfiah artinya kampung. Jumlah seluruhnya 5.463 buah Secara administratif desa atau gampong ini merupakan unit pemerintahan terkecil yang berada di bawah satuan pemerintahan lain yang lebih besar yang dalam istilah Aceh dinamakan mukim. Perkataan mukim berasal dari bahasa Arab “muqim” yang artinya tempat tinggal, jumlah di seluruh Kabupaten Pidie 126 buah, dan Nanggroe Aceh Darussalam 591 buah. Gampong dan mukim ini saling berhubungan satu dengan yang lain. Tidak ada mukim tanpa gampong dan demikian juga sebaliknya.
Landasan bagi kepala Daerah Tk. II untuk memilih, mengakui dan memberhentikan seorang kepala gampong di daerahnya mulai sejak akhir tahun 1953-1961 adalah ketetapan Gubernur Kepala Daerah Propinsi Sumatera Utara tanggal 31 November 1953. Karena pada waktu itu Daerah Istimewa Aceh berstatus Keresidenan merupakan bagian dari wilayah Sumatera Utara. Dalam ketetapan itu disebutkan tentang tata cara pemilihan kepala gampong (keuchik/geuchik). Setelah Daerah Istimewa Aceh menjadi Propinsi berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1956 yang realisasinya tanggal 27 januari 1957, maka dalam perkembangannya pada tahun 1961 hal mengenai peraturan tentang memilih, mengakui dan memberhentikan kepala gampong (keuchik/geuchik) di Daerah Istimewa Aceh ditetapkan suatu keputusan baru. yaitu berdasarkan Keputusan Gubernur KDH Istimewa Aceh (urusan pemerintahan umum dan pusat) No.32/GA/1961. Keputusan ini di antaranya mencabut semua peraturan tentang memilih, mengakui dan memberhentikan kepala-kepala gampong (keuchik/geuchik) yang bertentangan dengan peraturan Gubernur KDH Sumatera Utara No.30/U.U/1953 tanggal 30 Mei tentang memilih, mengakui dan memberhentikan kepala-kepala gampong (keuchik/geuchik) di dalam Daerah Propinsi Sumatera Utara yang dianggap tidak sesuai lagi. Dalam keputusan itu juga ditetapkan mengenai peraturan tentang memilih, mengakui, dan memberhentikan kepala-kepala gampong (keuchik/geuchik) di Daerah Istimewa Aceh saat itu (sekarang Nanggroe Aceh Darussalam). Dengan demikian segala hal yang menyangkut tentang pemilihan, memberhentikan dan mengakui seorang kepala gampong didasarkan atas keputusan No.32/GA/1961
Namun dalam pelaksanaannya baik peraturan Gubernur KDH Sumatera Utara No.30/U.U/1953 tanggal 30 Mei 1953 maupun keputusan Gubernur KDH Istimewa Aceh No.32/GA/1961 tidak selalu sesuai. Hal ini banyak tergantung faktor situasi dan kondisi yang ada pada suatu gampong (kampung) yang bersangkutan. Dengan demikian, pengakuan dan memberhentikan kepala gampong (keuchik/geuchik) tidak selalu ditempuh dengan cara yang telah ditetapkan sebagaimana tersebut di atas.
Banyak kepala gampong tidak dipilih menurut ketentuan itu, tetapi karena warisan dari orang tuanya secara turun menurun, disebabkan karena si orang tua ini sudah sangat tua. Dan banyak juga kepala gampong (keuchik/geuchik) yang ditetapkan/dipilih berdasarkan hasil musyawarah penduduk gampong yang bersangkutan. Orang yang dipilih itu biasanya dilihat bagaimana pengalamannya, tingkah laku akhlaknya dan dianggap sebagai orang yang banyak mengetahui tentang seluk beluk kampung itu.
Aparat-aparat atau unsur-unsur pemerintahan gampong lainnya seperti Teungku Meunasah (Teungku Imeum), Tuha Peut, Waki Keuchik/geuchik, pemilihannya juga dilakukan secara musyawarah. Tentang jabatan Waki Keuchik/geuchik (wakil kepala kampung) meskipun baik dalam peraturan Gubernur Kepala Daerah Sumatera Utara No.30/U.U/1953 maupun keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh Nomor 32/GA/1967, menyebutkan bahwa wakil kepala kampung adalah orang yang ditunjuk oleh kepala kampung bersangkutan untuk mewakili dirinya dalam hubungan dengan masyarakat di kampung itu atas jaminan dan tanggung jawab dari kepala kampung itu sendiri, tetapi dalam prakteknya hal ini juga jarang terjadi.
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa sebelum keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa yang menjadi landasan bagi seorang Bupati Kepala Daerah Tingkat II atau seorang Camat, untuk memilih, mengakui dan memberhentikan kepala-kepala desa dalam wilayah Daerah Istimewa Aceh ialah surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh (urusan pemerintahan umum pusat) No. 32/GA/1961, dan surat kawat Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh No. 16353/18a tanggal 2 Nopember 1971 yang ditujukan kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II dalam wilayah Daerah Istimewa Aceh, yang intinya mengenai masa jabatan keuhik-keuchik/geuchik (kepala-kepala kampung).
Dengan keluarnya Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1979, yang mengatur tentang pemerintahan desa (pasal 3) termasuk cara pemilihan pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah (pasal 4, 5 dan pasal 9), maka semua keputusan dan instruksi-instruksi yang pernah dikeluarkan sebelumnya oleh pemerintah Daerah tentang hal itu, dengan sendirinya harus disesuaikan atau bahkan tidak berlaku lagi. Dan hal yang berhubungan dengan pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian kepala-kepala kampung/desa untuk seluruh daerah di Indonesia termasuk dalam wilayah Aceh seharusnya didasarkan atas Undang-Undang nomor 5 Tahun 1979 itu. Namun seperti halnya surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh No. 32/GA/1961, serta surat-surat instruksi yang berkaitan dengan pemerintahan desa, Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 itu juga dalam pelaksanaannya belum pada semua kampung/desa di Daerah Istimewa Aceh, berjalan secara lancar. Faktor tradisi, situasi dan kondisi serta faktor sosial politik yang ada di kampung-kampung masih memegang peranan atau masih dijadikan unsur pertimbangan bagi seorang bupati ataupun bagi seorang camat, dalam memilih, mengangkat dan memberhentikan seorang kepala kampung/desa. Selain juga karena Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 itu sendiri belum diketahui secara luas dan belum sepenuhnya dimengerti oleh kepala-kepala kampung/desa dalam wilayah Daerah Istimewa Aceh.
Dapat ditambahkan bahwa dalam hubungan dengan pengaturan pemerintahan desa di Daerah Istimewa Aceh, hingga tahun 80-an, belum ada suatu peraturan baik yang dikeluarkan oleh pemerintah Daerah Tingkat II maupun oleh Pemerintah Daerah Tingkat I. Namun dalam hubungan dengan usaha peningkatan penyelenggaraan Pemerintahan Kampung / desa Pemerintah Daerah Tingkat I Daerah Istimewa Aceh telah mengusahakan sistem pemerintahan kampung/desa. Untuk ini misalnya pada tahap pertama Pelita I Tahun 1969/1970 pemerintah telah menetapkan gampong (kampung) di Daerah Istimewa Aceh sebagai unit pemerintahan desa. Penetapan ini sesuai dengan surat Menteri Dalam Negeri Nomor Desa 5/1/29 tanggal 29 April 1969. Dan sesuai dengan surat instruksi Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh tanggal 11 Oktober 1971 Nomor 6018, maka pada setiap desa dalam wilayah Daerah Istimewa Aceh, mulai diadakan Sekretaris Kampung. Selain itu untuk meningkatkan administrasi desa, Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh, pada tanggal 8 Juni 1976 mengeluarkan suatu Surat Keputusan Nomor 263/1976, yaitu tentang penyeragaman stempel kepala kampung yang digunakan oleh kepala-kepala kampung dalam wilayah Daerah Istimewa Aceh.
Usaha untuk peningkatan bidang Pemerintahan Kampung, sesungguhnya terus dipaksakan untuk dilaksanakan oleh pemerintah, sudah semenjak Pelita I dikumandangkan misalnya dengan mendirikan kantor-kantor desa sebagai tempat pelaksanaan administrasi desa pada setiap gampong dalam wilayah Daerah Istimewa Aceh (berdasarkan surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 36/2/37 tanggal 21 April 1975 dan surat Pemerintah Nomor 36/2/28, tanggal 21 Juni 1976.
Selain pengadaan kantor-kantor desa, pemerintah juga mengusahakan penyediaan rupa-rupa alat kelengkapan administrasi seperti mesin ketik, buku register desa dan alat-alat tulis menulis. Untuk desa-desa di Daerah Istimewa Aceh, selama Pelita I hingga Pelita IV pemerintah juga telah memberikan subsidi desa yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dan sesuai dengan Daftar Isian Proyek dan Daftar Usulan Proyek uang bantuan desa tersebut dimanfaatkan oleh kepala-kepala kampung untuk perbaikan/ pembangunan kampungnya masing-masing.
Pada setiap desa, mulai tahun 1969 dan tahun 1970 telah dibentuk suatu lembaga yang disebut LSD (Lembaga Sosial Desa) dengan tujuan untuk menghidupkan kembali unsur gotong royong melalui organisasi formal. Dalam perkembangannya sejak tahun 1971 lembaga ini mendapat landasan hukum, yaitu keputusan presiden No. 81 Tahun 1981, tahun 1971 berada di bawah Departemen Dalam Negeri. Selanjutnya menurut Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1980 lembaga ini dirubah menjadi LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa). Tugas dan fungsinya adalah membantu pemerintahan, meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat.
Adanya berbagai usaha dari pemerintah sehubungan dengan pelaksanaan Pelita dalam rangka untuk menyempurnaan lembaga pemerintahan kampung telah menempatkan kepala kampung dalam posisi yang penting dan luas. Penting, karena ikut menentukan maju mundurnya masyarakat di kampungnya, dan luas, karena menangani hampir semua segi kehidupan masyarakat kampung. Kedudukannya adalah sebagai “wakil pemerintah”, sebagai pemimpin yang paling bawah yang melaksanakan tugas-tugas untuk kepentingan negara.
Tugas untuk menjalankan administrasi pemerintahan dan pembangunan kelihatannya merupakan tugas baru bagi kepala kampung. Oleh karena itu jelas beberapa kepala kampung, “belum siap” menerima tugas semacam itu. Mereka belum terbiasa dengan pekerjaan administrasi, berkantor, membuat program kampung dan sebagainya. Banyak kepala desa masih “kaku” dalam melaksanakan tugas-tugas mereka yang berhubungan dengan hal-hal tersebut di atas meskipun kepala-kepala desa telah memperoleh bantuan dari pemerintah berupa alat-alat penunjang administrasi, namun ada yang belum pernah menggunakannya; lebih-lebih di antara mereka ada yang masih buta aksara latin.
Akibatnya sesuai dengan situasi zaman, lembaga pemerintahan gampong telah mengalami perubahan-perubahan dan penyempurnaannya meskipun di sana-sini masih menunjukkan adanya kekurangan-kekurangan. Misalnya LKMD belum seluruhnya menunjukkan keaktifannya, masih ada yang merupakan sekedar nama saja. Demikian juga halnya dengan kantor-kantor desa, ada yang tidak/belum berfungsi sebagai mana mestinya. Keuchik/geuchik-keuchik/geuchik masih banyak yang menggunakan tempat kediaman mereka atau meunasah sebagai tempat kegiataan dalam urusan kampung. Demikian juga masih banyak penduduk jika berurusan dengan kepala kampung dilaksanakan pada sore atau malam hari, dikediaman kepala desa atau di meunasah-meunasah, karena pada siang harinya mereka harus ke sawah atau ke ladang. Oleh karenanya sulit bagi mereka jika disuruh berdiam di kantor desa pada siang hari, kecuali bagi beberapa rekan mereka yang sudah berstatus “lurah”.
Sebagaimana telah disinggung pada bagian awal tulisan ini, bahwa gampong-gampong di Aceh/Pidie terkoordinir di dalam suatu wilayah yang disebut mukim (kemukiman), yang dikepalai oleh seorang kepala mukim. Pada masa sekarang lembaga ini masih ada, tetapi hak dan kewajibannya tidak jelas, karena tidak ada suatu ketentuan atau pedoman tertulis yang mengatur tentang lembaga ini (lebih-lebih bila dikaitkan dengan U.U No. 5 tahun 1979), sehingga seberapa jauh wewenang kepala mukim selaku koordinator kampung dan sebagai pembantu camat juga tidak jelas. Dalam menjalankan tugasnya kepala mukim bekerja tanpa pembantu, namun untuk ini ia menerima upah jerih payah menurut ketentuan yang ditetapkan (ketentuan ini termuat dalam daftar jerih payah para pamong Desa. Kepala mukim/keuchik/geuchik dalam Propinsi Daerah Istimewa Aceh 8 April 1968).
Hingga kini, desa-desa di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (sejak 2001) masih berada di bawah koordinasi kemukiman. Namun peranan kepala mukim sebagai pembantu camat sudah sangat berkurang. Para Keuchik/geuchik bila berurusan dengan camat tidak lagi melalui perantaraan kepala mukim tetapi langsung dengan Camat sebagai kepala kecamatan di wilayahnya. Hal ini sesuai dengan pasal 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 1979, yaitu yang mengatur tentang hak, wewenang, kewajiban, kepala desa. Dengan melihat ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1979, maka dapat dikatakan bahwa jabatan sekretaris kampung adalah sebagai pembantu-pembantu keuchik/geuchik dalam melaksanakan tugas-tugas yang berhubungan dengan administrasi di desa-desa itu. Adanya jabatan Sekretaris Desa ini telah membawa pengaruh pula terhadap sistem pemerintahan gampong, terutama dalam cara pengaturan administrasinya dan telah membawa pengaruh pula terhadap jabatan Waki Keuchik/geuchik yang ada, yang sebelumnya berfungsi sebagai pembantu keuchik/geuchik dalam menjalankan tugas-tugas kampung. Adanya jabatan sekretaris kampung telah mengaburkan kedudukan Waki Keuchik/geuchik. Namun hingga kini jabatan untuk itu pada beberapa gampong masih tetap ada. Demikian pula dengan fungsi Tuha Peut pada sejumlah gampong menjadi “kabur”.
Dari apa yang telah dikemukakan di atas, jelas bahwa usaha pemerintah Republik Indonesia untuk menyeragamkan desa di seluruh Indonesia seperti terkandung dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, mengakibatkan runyamnya struktur masyarakat gampong di Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Rusdi Sufi, 2000).
Oleh karenanya, dengan diberlakukan Undang-Undang No.44 Tahun 1999 tentang keistimewaan Aceh dan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan desa masalah struktur masyarakat gampong perlu difungsikan kembali seperti sebelum adanya Undang-Undang No.5 Tahun 1979. Pelaksanaan Undang-Undang baru harus diterapkan sesuai dengan situasi masyarakat Aceh yang memiliki keunikan-keunikan tersendiri. Dengan demikian, harapan untuk memperbaiki kembali struktur masyarakat gampong di Aceh dapat tercapai.

B. Struktur Kelembagaan di dalam Gampong/Desa

Menurut Kuahaty (1983: 14), susunan organisasi pemerintahan desa di Aceh terdiri dari keuchik/geuchik, peutua meunasah, dan tuha peuet, dengan pusat kegiatan pemerintahannya berada di meunasah Susunan organisasi pemerintahan desa seperti ini didasarkan pada kerja sama, pembagian kerja, dan hubungan kerja yang jelas, khususnya menyangkut dengan kegiatan-kegiatan keagamaan, adat istiadat, hukum, administrasi, sosial budaya, dan ekonomi. Dalam hal ini, keuchik/geuchik menjalankan urusan adat istiadat dan pemerintahan, peutua meunasah melaksanakan urusan keagamaan, dan tuha peuet bertugas menuntun perkara, menimbang keadilan, serta memberikan saran-saran kepada keuchik/geuchik, diminta maupun tidak diminta. Namun demikian menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1979 struktur pemerintahan desa terdiri dari lembaga-lembaga seperti keuchik/geuchik/kepala desa, LMD, Sekretaris desa, Kepala urusan, kepala dusun dan LKMD.
Untuk lebih jelasnya pada bagian di bawah ini diuraikan lembaga-lembaga yang ada di desa, baik formal maupun nonformal.
1. Lembaga Formal Desa
a. Keuchik/geuchik/kepala desa
Dalam pasal 10 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, ditetapkan bahwa Kepala Desa dalam menjalankan hak, wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintah desa yaitu menyelenggarakan kewajiban pimpinan pemerintahan desa yaitu menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dan merupakan penyelenggara dan penanggungjawab utama di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dalam rangka menyelenggarakan urusan pemerintahan desa, urusan pemerintah umum termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menumbuhkan serta mengembangkan jiwa gotong royong masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan pemerintahan desa.
Selanjutnya juga dijelaskan bahwa dalam rangka menumbuhkan dan mengembangkan jiwa gotong royong masyarakat desa, Kepala Desa antara lain melakukan usaha pemnatapan koordinasi melalui Lembaga Sosial Desa, Rukun Tetangga , Rukun Warga dan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya yang ada di desa.
Dalam rangka pelaksanaan tugas di bidang ketentraman dan ketertiban, ia dapat menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang terjadi di desa. Dengan melihat uraian di atas dapat dikemukan bahwa :
1. Kepala Desa mempunyai tugas :
a. Menjalankan urusan rumah tangganya sendiri;
b. Menjalankan urursan pemerintah, dan pembangunan baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, serta urusan kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan Pemerintah Desa termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban di wilayah desanya.
c. Menumbuhkan serta mengembangkan semangat gotong royong masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan pemerintah dan pembangunan desa.
2. Kepala Desa mempunyai fungsi :
a. Melaksanakan kegiatan dalam rangka penyelenggaraan urusan rumah tangganya desanya sendiri.
b. Menggerakan partisipasi masyarakat dalam wilayah desanya.
c. Melaksanakan tugas dari pemerintah Pusat dan dari pemerintah Daerah.
d. Melaksanakan tugas dalam rangka pembinaan ketentraman dan ketertiban masyarakat desa.
e. Melaksanakan koordinasi jalannya pemerintahan , pembangunan dan pembinaan kehidupan masyarakat di desanya.
Kepala Desa juga mempunyai hak, wewenang dan kewajiban seperti yang tercantum dalam Pasal 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1984 yaitu :
1. Hak Kepala Desa :
a. Melaksanakan peraturan perundang-undangan dari pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
b. Menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang dibebankan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
c. Mendapatkan bimbingan dan pembinaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

2. Wewenang Kepala Desa :
a. Pembinaan ketentraman dan ketertiban di wilayah desanya.
b. Pembinaan ideologi negara, politik dalam negeri dan kesatuan bangsa di wilayah desanya.
c. Pembinaan tertib pemerintahan di wilayah desanya.
d. Pembinaan tugas-tugas pemerintahan lainnya yang ditugaskan oleh pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
e. Menyelenggarakan koordinasi fungsional di desa.
3. Kewajiban Kepala Desa :
a. Memelihara dan meningkatkan ketentraman dan ketertiban di wilayah desanya.
b. Memelihara dan meningkatkan hasil-hasil pembangunan yang ada di wilayah desanya.
c. Melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang ditugaskan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 bahwa Kepala Desa dipilih secara langsung, umum dan rahasia oleh penduduk yang telah berusia 17 tahun. Selanjutnya sesuai dengan pasal 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, Kepala Desa diangkat oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II atas nama Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dari calon yang terpilih, dan syarat-syarat untuk dapat dipilih menjadi Kepala Desa antara lain sekurang-kurangnya berijazah Sekolah Lanjutan Pertama atau yang berpengetahuan yang setingkat dengan itu.
b. Sekretaris Desa
Berdasarkan pasal 14 Undang-Undang No. 5 tahun 1979 bahwa sekretaris desa adalah unsur staf yang membantu kepala desa dalam menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa dan bertugas
1. Melaksanakan urusan surat menyurat, kearsipan dan laporan, serta menyampaikan kepada yang bersangkutan.
2. Melaksanakan urusan keuangan.
3. Melaksanakan administrasi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
4. Tuigas yang paling penting adalah melaksanakan tugas dan fungsi kepala desa apabila kepala desa berhalangan melaksanakan tugasnya.
Sekretaris desa diangkat dan diberhentikan oleh Bupati kepala daerah tingkat II setelah mendengar pertimbangan camat atas usul kepala desa sesudah mendengar pertimbangan LMD (pasal 15 ayat 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1979). Sekretaris desa karena jabatanya menjadi sekretaris Lembaga Musyawarah Desa dan sekretaris Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa.
c. Kepala Dusun
Kepala dusun/kepala lorong berkedudukan sebagai unsur pelaksana tugas kepala desa dalam wilayah kerjanya. Adapun tugas dan wewenang kepala dusun adalah menjalankan kegiatan kepala desa yaitu menyangkut dengan kegiatan di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta ketentraman dan ketertiban di wilayah kerjanya masing-masing. Di samping itu juga pelaksana dari keputusan kepala desa.
Kepala dusun diangkat dan diberhentikan oleh camat atas nama bupati/walikota kepada daerah tingkat II atas usul kepala desa (pasal 9 ayat 3 Undang-Undang No. 5 tahun 1979).
d. Kepala Urusan
Kepala urusan berkedudukan sebagai unsur pembantu sekretaris desa. Tugas dan urusan meliputi kegiatan-kegiatan melaksanakan urusan pemerintahan, pembangunan, kesejahteraan rakyat, keuangan dan urusan umum sesuai dengan bidang masing-masing. Jumlah kepala urusan tiap-tiap desa adalah sekurang-kurangnya 3 yaitu kepala urusan pemerintahan, kepala urusan pembangunan, kepala urusan umum. Apabila perlu, dapat ditambah sehingga sebanyak-banyak 5 kepala urusan yaitu selain yang diatas ditambah lagi 2 yaitu kepala urusan kesejahteraan rakyat dan kepala urusan keuangan.
Kepala urusan diangkat dan diberhentikan oleh camat atas nama Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingakt II atas usul kepala desa.
e. Lembaga Musyawarah Desa
Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dibentuk berdasarkan pasal 17 Undang-Undang No. 5 tahun 1979. Dalam ayat 4 pasal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan mengenai LMD akan ditetapkan dengan peraturan daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Sebagai realisasi dari ketentuan pasal 17 Undang-Undang No. 5 tahun 1979 telah ditetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1981 dan selanjutnya untuk Daerah Istimewa Aceh (saat ini Nanggroe Aceh Darussalam) telah dikeluarkan Peraturan Daerah No. 7 tahun 1982.
Dari berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa lembaga Musyawarah Desa adalah lembaga permusyawaratan/pemufakatan dari pemuka-pemuka masyarakat yang ada di desa. Keputusan ini ditetapkan berdasarkan musyawarah dan mufakat dengan memperhatikan sungguh-sungguh kenyataan hidup dan berkembang dalam masyarakat desa bersangkutan. Hasil musyawarah kemudian ditetapkan dalam keputusan desa dan disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui camat untuk mendapatkan pengesahannya. Kepala desa karena jabatannya menjadi ketua LMD dan sekretaris desa menjadi sekretaris LMD.
Keanggotaan LMD disusun berdasarkan hasil pemufakatan yang dilakukan oleh kepala desa dengan pemuka-pemuka masyarakat di desa yang bersangkutan dengan jumlah sekurang-kurangnya 9 orang dan sebanyak-banyaknya 15 orang tidak termasuk ketua dan sekretaris
f. Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa
Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) adalah suatu lembaga masyarakat yang merupakan wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 28 tahun 1980 tentang Penyempurnaan dan Peningkatan Fungsi Lembaga Sosial Desa menjadi Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa. Tugas pokok dari LKMD adalah membantu pemerintah desa/kelurahan dalam
1. Merencanakan pembangunan yang didasarkan atas asas musyawarah.
2. Menggerakkan dan meningkatkan prakarsa dan partisipasi masyarakat untuk melaksanakan pembangunan secara terpadu, baik yang berasal dari berbagai kegiatan pemerintah maupun swadaya gotong royong masyarakat.
3. Menumbuhkan kondisi dinamis di desa atau kelurahan.
Lembaga ini adalah pembantu pemerintah desa/kelurahan dalam menumbuhkan prakarsa dan menggerakkan swadaya dan gotong royong masyarakat, sehingga masyarakat memiliki kemampuan dan ketangguhan dalam menghadapi dan mengatasi segala hambatan dan tantangan dalam rangka pembinaan/pengembangan desa, juga diharapkan dapat memberikan motivasi bagi membangkitnya potensi masyarakat desa untuk kepentingan pembangunan.
Adapun disamping mempunyai tugas pokok sebagaimana yang telah disebutkan di atas, LKMD mempunyai fungsi sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 28 tahun 1980 adalah
1. Sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam penghayatan dan pengamalan Pancasila.
2. Menanamkan pengertian dan kesadaran penghayatan dan pengamalan Pancasila.
3. Menggali, memanfaatkan potensi dan menggerakkan swadaya gotong royong masyarakat untuk pembangunan.
4. Sebagai sarana komunikasi antara pemerintah dan masyarakat serta antarmasyarakat untuk pembangunan.
5. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat.
6. Membina dan menggerakkan potensi pemuda untuk pembangunan.
7. Meningkatkan peran wanita dalam mewujudkan keluarga sejahtera.
8. Membina kerja sama antarlembaga yang ada dalam masyarakat.
9. Melaksanakan tugas-tugas lain dalam rangka membantu pemerintah desa atau pemerintah kelurahan untuk menciptakan ketahanan yang mantap.
Dilihat dari segi operasional pemerintah desa merupakan suatu proses kerjasama yang dari lembaga-lembaga formal yang ada seperti disebutkan di atas.












2. Lembaga Nonformal
Selain lembaga-lembaga formal seperti yang disebutkan di atas, di desa/gampong masih terdapat lembaga nonformal (yang sebelumnya merupakan lembaga formal) yang kadang-kadang masih diakui keberadaannya oleh masyarakat, walaupun menurut undang-undang tidak disebutkan.
a. Imeum Meunasah
Kedudukan imeum meunasah dalam sistem pemerintahan desa baik di Aceh maupun di Pidie sangat dominan. Setiap desa di Pidie mempunyai imeum meunasah masing-masing. Antara imeum meunasah dengan keuchik/geuchik/kepala desa terjalin hubungan yang dwitunggal, yang saling membutuhkan satu sama lain. Kepala desa/keuchik/geuchik mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hubungan kemasyarakatan, sedangkan imeum meunasah lebih banyak memfokuskan tugasnya di bidang keagamaan, pelaksanaan ibadah, peringatan hari-hari besar Islam, dan sebagainya.
Dalam masyarakat keberadaan imeum meunasah ini sangat dihormati. Hal ini merupakan suatu hal yang wajar karena kehidupan masyarakat Pidie yang sangat Islami. Keputusan-keputusan atau nasihat imeum meunasah lebih dipatuhi oleh masyarakat tanpa paksaan. Keputusan yang tumbuh dari hati masyarakat itu sendiri.
Imeum meunasah diangkat melalui musyawarah desa. Namun demikian, orang yang menjadi imeum meunasah haruslah orang yang benar-benar menguasai ajaran-ajaran agama Islam, di samping itu ia harus pula memiliki akhlak yang mulia sebagai panutan setiap warga desa.
Peranan imeum meunasah sangat besar pengaruhnya terhadap ketentraman masyarakat. Imeum meunasah bersikap netral yang tidak memihak salah satu golongan. Saat ini keberadaan imeum meunasah dalam struktur organisasi pemerintah desa ada yang melebur menjadi anggota LMD dan ada pula pada bidang tugas lainnya.
b. Keujruen Blang
Keujruen Blang sangat besar peranannya dalam bidang pertanian. Keujruen Blang menjalankan fungsi mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan jadwal turun ke sawah, mengatur pengadaan air irigasi dan tugas-tugas pertanian lainnya. Oleh karena itu, untuk memangku jabatan keujruen blang haruslah orang-orang yang mempunyai pengalam dalam bidang pertanian. Oleh karena itu, berhasil atau tidaknya produksi pangan juga sangat ditentukan oleh keberadaan keujruen blang. Perhitungan kapan mulai turun ke sawah, membersihkan tali air dan peraturan-peraturan lainnya ditentukan oleh keujruen blang.

c. Panglima Laot
Lembaga panglima laot merupakan sebuah organisasi dalam bentuk persekutuan hukum adat laot. Persekutuan hukum tersebut dalam menjalankan tugas di bidang kelautan didukung oleh Panglima Laot, Pawang, Aneuk Pukat, dan Muge (Sulaiman Lubis, 1978: 16). Lembaga ini biasanya terdapat pada desa/gampong yang berada di daerah pantai.
Penunjukan panglima laot dilakukan atas dasar pemilihan oleh dan dari pawang, pukat, perkumpulan yang bersangkutan serta ada persetujuan dari uleebalang. Menurut ketentuan pasal 5 Perda No. 2 tahun 1990 bahwa lembaga panglima laot berfungsi membantu kepala desa/keuchik/geuchik dalam pembangunan kemasyarakatan dan adat istiadat, terutama yang menyangkut masalah kelautan.
Adapun yang merupakan tugas dari panglima laot adalah sebagai berikut.
1. Mengatur segala kegiatan para nelayan yang melakukan penangkapan ikan dan hasil laut lainnya.
2. Mengatur waktu turun ke laut.
3. Mendamaikan perselisihan yang terjadi antara para nelayan dalam lingkungan wilayahnya.
4. Menjaga dan mengawasi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan penangkapan ikan di laut.
5. Membantu imeum mukim dalam menjaga keamanan dan ketertiban daerah pantai dan laut.
6. Membantu imeum mukim dalam mengusahakan perbaikan kehidupan nelayan.
7. Dengan demikian, panglima laot mempunyai kedudukan dan peran penting di dalam masyarakat, khususnya masyarakat nelayan yang hidup di pantai.
d. Seunebok Baro
Seunobok merupakan suatu organisasi persekutuan adat pada masyarakat yang berada di wilayah pertanian. Seunebok dipimpin oleh seorang ketua, yang dalam konsep hukum adat Aceh disebut dengan peutua seunebok. Peutua seunebok berperan dalam usaha perambahan hutan untuk pembukaan lahan pertanian baru. Pada umumnya pembukaan lahan pertanian baru dilakukan setelah dimusyawarahkan lebih dahulu dengan peutua seunebok setempat.
Peutua seunobok membantu tugas-tugas kepala desa/keuchik/geuchik khususnya yang berkaitan dengan pembukaan lahan pertanian. Dalam menjalankan tugasnya peutua seunebok bertanggung jawab kepada kepala desa/keuchik/geuchik. Tidak semua desa di Pidie terdapat peutua seunebok. Desa-desa yang mempunyai peutua seunebok adalah desa-desa yang berada di daerah dataran tinggi (pegunungan) atau daerah yang masih belantara.
Peutua seunobok umumnya diangkat oleh masyarakat adat di wilayah pembukaan lahan pertanian tersebut. Peranan peutua seunebok tidak begitu tampak dalam masyarakat adat karena organisasi ini tidak menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Peutua seunebok hanya berperan pada saat perambahan hutan untuk membuka lahan pertanian baru, setelah itu peutua seunebok tidak berperan lagi.
e. Tuha Peut
Tuha peut merupakan lembaga adat yang masih besar pengaruhnya dalam sistem pemerintahan desa di Pidie. Keberadaan tuha peut terutama membantu kepala desa dalam menjalankan tugasnya di bidang kemasyarakatan. Lembaga tuha peut berfungsi secara optimal dalm struktur pemerintahan desa/gampong sebagai lembaga pengontrol (legislatif), hukum adat, dan peradilan (yudikatif) bagi setiap lapisan masyarakat (Muhammad Gade, 1992: 18). Tuha peut secara sederhana dapat kita sebutkan bahwa tugas mereka meliputi bidang agama, adat, pertanian dam cendikiawan.
Tuha peut terdiri dari tokoh-tokoh kharismatik yang dipilih masyarakat desa dalam suatu musyawarah dan diangkat oleh kepala desa. Tuha peut lebih banyak berperan memberikan pertimbangan-pertimbangan dan nasihat-nasihat kepada kepala desa. Demikian juga masyarakat sering meminta nasihat tuha peut dalam berbagai masalah kemasyarakatan.
Pembentukan lembaga tuha peut di Kabupaten Pidie adalah sah dan telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pidie No. 6 tahun 1966 (Abdul Kadir, 1988: 214). Wakil rakyat yang duduk dalam lembaga ini dianggap mampu, cukup berpengalaman, dan memiliki pengetahuan yang cukup mendalam tentang adat-istiadat gampong. Snouck Hurgronje (1906: 75) menyebutkan dengan men of experience, woldly wisdom, good mannerand knowledge of the adat the gampong. Lembaga tuha peut diketuai oleh keuchik/geuchik karena jabatannya.
Setelah diberlakukannya Undang-Undang No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa, pembinaan terhadap kedudukan tuha peut dalam sistem pemerintahan desa telah kurang mendapat perhatian dan kurang difungsikan, jika dibandingkan dengan masa-masa sebelum lahirnya undang-undang tersebut. Namun demikian ada kesan dari penelitian ini sebagian masyarakat desa masih mendambakan agar fungsi tuha peut berlaku seperti sedia kala.
Daftar Pustaka
Syamsul Bahri dan Agus Budi Wibowo. 2002. Strategi Pendayagunaan Lembaga-lembaga Desa dalam Pembangunan Desa di Kabupaten Pidie. Banda Aceh: Bappeda Propinsi D.I. Aceh.


















August 11, 2011

Budaya Malu dalam Rangka Pembentukan Budi Pekerti di Kalangan Remaja

Oleh: Agus Budi Wibowo


A. Pendahuluan

Pada akhir-akhir ini sering kita sering melihat dan alami peristiwa kenakalan remaja dengan berbagai dimensi di Indonesia, seperti tawuran antarsekolah yang mengakibatkan perkelahian dan pembunuhan, kenakalan remaja yang berlebihan, siswa-siswi melakukan perbuatan yang dianggaap tidak sopan dan menyebarkannya melalui media internet/handphone, dan juga banyak siswa sekolah yang menjadi korban narkoba. Pada bagian lain, ada pula siswa-siswi sekolah yang ikut mengacau dan melanggar aturan lalu lintas.1 Siswa ikut terlibat dengan konflik masyarakat, saling membenci kelompok lain, juga cukup banyak.
Pada konteks keacehan, dengan berlakunya syariat Islam, banyak remaja yang pada jam-jam tertentu masih duduk nongkrong di warung/cafe pada hal waktu shalat sudah tiba, berpakaian yang tidak muslimah, bergaul ala budaya barat, dan sebagainya. Tentunya, banyak faktor yang menyebabkan hal itu semua terjadi. Salah satunya, menurut hemat penulis, adalah makin berkurangnya rasa nilai budaya “malu” yang dimiliki oleh para siswa/remaja saat ini.
Dalam tulisan ini penulis akan membahas nilai budaya malu dalam pembentukan budi pekerti. Diasumsikan bahwa nilai budaya malu ini dapat mereduksi kenakalan di kalangan remaja melalui pembentukan budi pekerti karena di dalam nilai budaya malu terdapat nilai-nilai pendidikan, control sosial, dan sebagainya. Pembahasan akan difokuskan kepada keberadaan nilai budaya malu dalam masyarakat Aceh, nilai budaya malu sebagai alat pengendalian sosial, dan nilai budaya malu dalam pembentukan budi pekerti.

B. Pembahasan

1. Nilai Budaya “Malu” bernuasa Keacehan
Nilai budaya adalah satu bagian dari kebudayaan komunitas tertentu yang merupakan suatu konsepsi abstrak yang dianggap baik dan amat bernilai tinggi dalam hidup, yang menjadi pedoman tertinggi kelakuan dalam kehidupan satu masyarakat. 2 Sebagai sebuah etnisitas budaya, masyarakat Aceh juga memiliki nilai budaya, yang salah satunya adalah nilai budaya malu.
Dalam sistem budayanya, masyarakat Aceh sangat menjaga perasaan “rasa malu”. 3 Malu yang menimpa seorang individu berarti malu keluarga. Ukuran malu setingkat “rasa iman” karena rasa malu bersumber dari nilai-nilai Islami, sesuai dengan pesan Rasulullah SAW, malu dan iman adalah satu kesatuan, hilang salah satu (Iman), hilang yang lain (malu) dan sebaliknya Karena itu orang tua terdahulu, sangat menjaga untuk tidak berbuat yang memalukan diri dan keluarganya, termasuk menjaga turunan anak cucunya. 4
Salah satu cara untuk memahami segala sesuatu tentang nilai budaya suatu bangsa adalah dengan menelaah dan mendalami peribahasanya. 5 Kebenaran pendapat ini bertumpu pada kenyataan bahwa arti luas peribahasa merupakan kata, frase, klausa, atau kalimat ringkas yang baku dan tetap susunan serta pemakaiannya, yang (pernah) hidup dalam tradisi lisan sesuatu bahasa, dengan isi yang selalu mengkiaskan maksud tertentu untuk dijadikan penuntun berperilaku dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian peribahasa mencakup ungkapan, bidal, perumpamaan, pepatah, dan petitih, serta berisi tamsil, ibarat, perbandingan, nasihat, petuah, ajaran, asas hidup, atau tata aturan tingkah laku yang dianut oleh bangsa pemilik bahasa yang bersangkutan dalam menjalani hidupnya. Seperti dinyatakan oleh Danandjaja6 , sebagai bagian folklore lisan peribahasa memang dapat berfungsi menjadi pengukuh pranata dan lembaga kebudayaan, alat pengawas dan pemaksa pematuhan norma masyarakat, instrument pendidikan, dan juga alat komunikasi dalam kontrol sosial. Karena kodratnya, isi peribahasa memang dimaksudkan untuk memberikan pengarahan, teladan, harapan dan nasihat, sehingga dapat dijadikan bahan pelajaran berharga untuk diikuti dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Masyarakat Aceh mengenal peribahasa yang sesungguhnya menggambarkan jati diri/watak dari masyarakatnya., yang disebut pula dengan hadis maja atau narit maja. Menurut Ali dkk narit maja menduduki tingkat kebenaran nomor tiga dalam masyarakat Aceh. Tingkat kebenaran pertama adalah Wahyu Allah Swt. Tingkat kebenaran kedua adalah Hadis Rasulullah Saw. Tingkat kebenaran ketiga adalah Narit maja atau Peutitih peteteh. Karena kebenaran narit maja berada di bawah Hadis Nabi, maka orang-orang menyebutnya dengan atau hadih maja. 7
Narit maja adalah tutur perkataan orang-orang tua zaman dahulu yang dapat dijadikan nasihat, petunjuk, petuah, ajaran, dan larangan itu pada umunya berkaitan dengan agama Islam, adat Istidat, pendidikan, dan kehidupan masyarakat. Salah satunya hadih maja berkaitan dengan konsep malu. Seperti dikatakan oleh Harun 8
“Malu merupakan komitmen moral indatu orang Aceh dalam perspektif altruism. Hal ini dikarenakan semua manusia berakal sehat pada hakikatnya memiliki sifat rasa malu, yang termasuk salah satu naluri atau fitrah manusia. Misalnya, anak-anak sudah memiliki rasa malu walaupun tanpa diajari oleh orang tuanya. Jadi, malu merupakan suatu sifat bawaan setiap individu”.

Selanjutnya, Harun juga menegaskan bahwa hampir semua hadih maja yang mengangkat rasa malu diungkap secara terbalik, yaitu bukan anjuran, tetapi proporsi datar tentang simbol-simbol tertentu atau orang yang tidak tahu malu. Beberapa contoh hadih maja yang berkaitan nilai budaya malu di antaranya:
a. orang yang tidak tahu malu
Alee tob beulacan
Barangpeue takheun malee tan
(Alu penumbuk belacan
Apapun dikatakan malu tiada)

b. Orang tidak tahu malu mendatangkan malu bagi orang lain
Alee tob beulacan
Nyang malee ureueng jak sajan)
(Alu penumbuk belacan
Yang malu orang jalan bersama)
c. Orang tidak tahu malu dan dianggap sudah keterlaluan
Malee ja Asee hue
(Malu sudah anjing hela)
d. orang yang sudah tebal muka
Lagee ureueng teubai muka
(Seperti orang tebal muka)
e. orang sudah tidak tahu malu dan sudah menjadi penyakit masyarakat dan dianggap hina
Lagee si panteue alee
Tapoh han saket
Tateunak han malee
(Seperti si dipan Alu
Dipukul tidak sakit
Dimaki tidak malu)
f. orang tidak tahu malu dan semau gue
Jak ho nyang troh
Pajoh peu nyang lot
(Pergi kemana sampai
Makan apa yang suka)
Hadih maja di atas mengajak kepada semua individu yang mempunyai rasa malu untuk menghilangkan perilaku yang menimbulkan rasa malu. Apabila orang sudah kehilangan rasa malu, maka hancurlah hati nurani dan akal pikiran, yang pada gilirannya hancur pula tatanan sosial. Rasa malu, misalnya melakukan sesuatu yang cemar, yang dilarang Allah SWT dan Rasulnya, sama sekali tidak dikerjakan. Yang membawa aib/gosib, perbuatan hina tidak dilakukan, karena memalukan diri dan anak cucunya. Perbuatan yang merendahkan martabat tidak boleh dilakukan. Hal ini dikarenakan nilai-nilai asli budaya adat Aceh, antara lain adalah : taat beribadah kepada Allah SWT dan Rasulnya, taat dan patuh pada orang tua, taat dan patuh pada guru yang telah mengajarkannya, suka bekerja keras dan disiplin. Malu meminta-minta, suka memberi dan menolong orang dan saling hormat menghormati antara sesama keluarga, jiran dan sesama keluarga dalam masyarakat. 9
2. Nilai Budaya Malu sebagai Alat Pengendalian Sosial
Sebagai makhluk berbudaya, manusia memerlukan seperangkat aturan yang mengatur kehidupannya, baik dalam hubungan antarmanusia maupun makhluk lainnya di dunia. Aturan ini berfungsi agar manusia di dalam menjalankan aktivitasnya dapat teratur. Keteraturan ini amat penting agar tidak terjadi kekacauan.
Aturan-aturan yang seperti disebutkan di atas terkait dengan norma-norma dan adat. Norma dan adat kebiasaan ini mengatur kegiatan dan tingkah laku manusia. Norma-norma dan nilai-nilai yang mengatur apa yang pantas dikatakan, kepada siapa, dan dalam kondisi bagaimana. Berdasarkan nilai-nilai inilah, maka disusun norma yang menentukan mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap kurang baik. Atas dasar norma dan kaidah-kaidah itu kemudian dijadikan pedoman bertingkah laku sehingga tidak terjadi bentrokan antarkepentingan manusia dalam pergaulan hidup.
Salah satu wujud norma dalam hubungan interaksi masyarakat adalah sikap sungkan. 10 Dalam konteks keacehan sikap ini dapat disebut sebagai budaya malu, seperti yang telah disebutkan di atas. Budaya Malu yang berkembang di dalam masyarakat Aceh merupakan suatu sistem norma yang dilembagakan pada tingkat kelakuan (mores). Tata kelakuan mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas. Budaya malu yang telah dilembagakan sebagai suatu sistem norma yang disebut tata-kelakuan merupakan suatu alat mekanisme agar anggota-anggota masyarakat menyesuaikan dengan tata kelakuan tersebut.
Dilihat dari segi fungsional budaya malu juga merupakan alat pengendalian sosial.11 Pada masyarakat Aceh hal itu dilakukan melalui sopan santun dan sikap menghindar. Sopan santun dapat berwujud pembatasan dalam pergaulan, baik di dalam keluarga maupun di luar keluarga. Sikap menghindar merupakan alat yang biasa efektif dalam menata hubungan keluarga dan kerabat. Tujuan pembatasan itu antara lain untuk mencegah terjadinya hubungan yang sumbang.
Melalui dua mekanisme itu, di dalam masyarakat Aceh ada beberapa aturan yang mengatur hubungan antara anak dengan orang tua, suami-istri, menantu-mertua, perilaku-perilaku lain dalam bermasyarakat. Misalnya saja dalam kaitannya dengan remaja putri, seorang ibu/ayah malu apabila anak perempuannya berpakaian kurang pantas sehingga anaknya dianggap tidak mengetahui adat-istiadat. Dalam kontak fisik, adanya canda bersifat sentuhan fisik antara anak dan orang tua dianggap kurang pantas. Kalau hal itu dilakukan di depan umum dapat menjatuhkan martabat orang tua di mata anaknya sendiri. Dalam hal ini Badruzzaman12 telah menegaskan beberapa perilaku budaya yang perlu diperhatikan, yaitu perilaku berakhlak Islami, perilaku menghormati orang lain, dan perilaku cinta lingkungan.
2. Nilai Budaya Malu dalam Pembentukan Budi Pekerti
Paparan di atas menunjukkan kepada kita bahwa nilai budaya malu sangat penting dalam masyarakat sebagai sistem pengedalian sosial karena di dalamnya terdapat unsur-unsur yang mendidik atau pun pembentukan budi pekerti. Seperti diketahui bahwa budi pekerti merupakan nilai moralitas manusia yang disadari dan dilakukan dalam tindakan nyata. Di sini ada unsur proses pembentukan nilai tersebut dan sikap yang didasari pada pengetahuan mengapa nilai itu dilakukan. Semua nilai moralitas yang disadari dan dilakukan itu bertujuan untuk membantu manusia menjadi manusia yang lebih utuh. Nilai itu adalah nilai yang membantu orang dapat lebih baik hidup bersama dengan orang lain dan dunianya (learning to live together) untuk menuju kesempurnaan. Nilai itu menyangkut berbagai bidang kehidupan seperti hubungan sesama (orang lain, keluarga), diri sendiri (learning to be), hidup bernegara, alam dunia, dan Tuhan. Dalam penanaman nilai moralitas tersebut unsur kognitif (pikiran, pengetahuan, kesadaran), dan unsur afektif (perasaan) juga unsur psikomotor (perilaku).
Penanaman budi pekerti ini sangat diperlukan dalam rangka menghadapi berbagai permasalahan kenakalan remaja seperti dipaparkan di atas dan menghadapi permasalahan di era global. Dalam hal ini konsep ‘era global’ berarti suatu kurun waktu atau zaman yang ditandai oleh munculnya berbagai gejala serta masalah yang menuntut umat manusia dituntut untuk menggantikan pola-pola persepsi dan pola-pola berpikir tertentu, dari pola-pola yang bersifat nasional semata-mata ke pola-pola yang bercakupan global. Kita tidak dapat menahan era global ini. Kita hanya dapat melakukan pembekalan diri terhadap nilai global yang bersifat negatif. Sikap seharusnya adalah menerima nilai luar yang bersifat positif dan membuang jauh nilai-nilai negatif. Bahkan, kita harus dapat berpikir global dengan perilaku yang local yang masih menghargai nilai-nilai leluhurnya.
Menuju ke arah tersebut bukanlah perkara mudah. Tantangan dan kendala pasti mengemuka. Pertama, adanya perubahan dalam hubungan antargenerasi, yang memperlihatkan berkurangnya dominasi kaum tua dalam pembentukan tatanan sosial. Perubahan ini menunjukkan pergeseran pendefinisian kebudayaan pada tingkatan yang berbeda-beda. Kebudayaan menjadi lain artinya, pada kelompok ABG, pada kelompok tua, ataupun pada kelompok menengah dan sebagainya. Dengan demikian, kelompok tua tidak mudah melakukan pendekatan pada kelompok muda. Kedua, perubahan karakter masyarakat, khususnya dengan melemahnya ikatan-ikatan tradisional. Pada saat yang sama individu-individu memiliki otonomi yang lebih besar. Dalam dunia semacam ini minat individual sedang mendapatkan ruang yang lebih luas dalam berekspresi dan juga dalam proses pengambilan keputusan. Perubahan semacam ini menegaskan suatu peralihan yang mendasar dalam institusi-institusi sosial sebagai pengikat individu-individu dan menunjukkan kebutuhan cara-cara dalam mengorganisasikan individu-individu ke dalam suatu sistem. Pemaksaan dalam hal ini, yang dulunya menjadi suatu mekanisme yang berhasil, menjadi suatu yang berbahaya karena dapat melahirkan reaksi dan resistensi.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mereaktualisasi nilai budaya malu sebagai bagian membentengi para remaja dari pengaruh luar. Hal itu dapat dilakukan melalui proses sosialisasi, yaitu memperkenalkan, mendidik budaya malu sejak anak masih kecil, baik dalam pendidikan di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Rumah tangga dan keluarga merupakan pilar pertama dan memegang peran penting agar anak dapat mereduksi sesuatu yang berasal dari dunia luar. Adapun lembaga formal dan masyarakat berperan dalam pendidikan sopan-santun dan akhlak. Dengan demikian diharapkan untuk masa mendatang remaja di Aceh adalah generasi yang mempunyai pendidikan tinggi, tetapi mempunyai moral (budaya malu) yang tinggi pula. Tidak sekedar IQ (Intelegency Quotient) tinggi dan EQ (Emotional Quotient), tetapi diikuti ESQ (Emotional Spritual Quotient) yang tinggi.

C. Penutup
Dekadensi moral dan kenakalan remaja mulai berkembang dan menampakkan wujudnya di Indonesia, tidak terkecuali Aceh. Perubahan-perubahan telah dialami oleh mereka. Pada zaman dahulu terdapat upaya pengendalian terhadap perilaku yang menyimpang dari budaya masyarakat, melalui budaya malu. Budaya malu sudah menjadi bagian masyarakat. Tentunya, nilai-nilai budaya malu ini dapat diaktualisasikan kembali dalam kehidupan masyarakat. Diharapkan para remaja menjadi remaja yang melestarikan budaya, tetapi juga mempunyai cara berpikir yang global.

Catatan Akhir:
Misalnya, kejadian seorang remaja tewas akibat balapan liar di Jalan Teuku Umar Setuy, Banda Aceh. Sudah dilarang dan dihalau pihak berwenang, tetapi tetap membandel. Belum lagi ada gejala geng motor yang juga meresahkan dan menewaskan seorang korban.
2 M. Junus Melalatoa. “Memahami Aceh Sebuah Perspektif Budaya”, dalam Bambang Bujono (ed.) Aceh Kembali Ke Masa Depan. (Jakarta: Katakita, Yayasan SET dan Gudang Garam, 2005), hlm 10.
3 Hal ini tampak pada hadih maja Nibak malee get ta lob lam tanoh crah, yang artinya Daripada malu, lebih masuk liang tanah”.
4 Badruzzaman Ismail. Panduan Adat Dalam Masyarakat Aceh. (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Aceh, 2009), hlm. 65-66.

5 P. Lunde dan Wintle. A Dictionary of Arabic and Islamic Proverbs. London: Routledge dan Keegan Paul), hlm.
6 James Dandjaja. Folklore Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. (Jakarta: Gratifipers, 1984), hlm. 32).
7 Zaini Ali. Narit Maja Aceh. (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Aceh, 2009), hlm. 1.
8 Mohd. Harun. Memahami Orang Aceh. (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2009), hlm. 159-161
9 Badruzzaman Ismail. op.cit. hlm. 65-66.
10Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Sosial. (Jakart: Rineka Cipta, 1984).
11Menurut T. Bachtiar Effendi Panglima Polem, sistem pengendalian sosial atau social control merupakan suatu sistemm dan proses yang bersifat mendidik, mengajak ataupun memaksa anggota-anggota masyarakat agar mau mentaati norma-norma dalam masyarakatnya. Dengan demikian ia akan memperkokoh struktur dan menjaga integritas masyarakat secara keseluruhan. Pada umumnya pengendalian sosial dengan berpedoman pada berbagai norma itu dilaksanakan serta dikembangkan oleh lembaga-lembaga sosial, seperti lembaga keluarga, lembaga keagamaan, lembaga pemerintahan dan sebagainya. Lihat T. Bachtiar Panglima Polem, “Pengendalian Sosial di Aceh Besar. Dalam Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh. Alfian (ed). Jakarta: LP3ES, 1977), hlm. 101.
12Badruzzaman Ismali, op.cit., hlm. 66-67.