March 31, 2009

Aspek Geografis Nanggroe Aceh Darussalam

Oleh: Agus Budi Wibowo

Nanggroe Aceh Darussalam adalah sebuah daerah istimewa setingkat provinsi yang terletak di Pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan. Secara geografis dari arah barat laut ke tenggara terletak pada posisi 2º-6° Lintang Utara dan 95º-98° Bujur Timur. Adapun yang menjadi batas wilayah provinsi ini adalah sebelah utara dengan Selat Malaka dan Teluk Benggala sebelah selatan dengan Samudera Indonesia sebelah barat dengan Samudera Indonesia dan sebelah timur dengan Selat Malaka dan Propinsi Sumatera Utara. Mengenai Aceh, G.P. Tolson (1880) pernah mengatakan bahwa,
”Aceh adalah ”nama yang sesungguhnya dari bagian paling utara Pulau Sumatera yang membentang dari Tamiang di Timur ke Trumon di bagian pesisir Barat, meskipun ia sering disebut oleh orang-orang Eropah dengan nama Acheen”.
Selain itu, G.P. Tolson (Hadi, 2006: 18) juga menyebut Aceh dengan menulis, ”Masyarakat yang mendiami wilayah yang berbatasan dengan laut sampai ke pedalaman yang berbukit ...” sedangkan Hurgronje (1985: 1) pernah mengatakan tentang wilayah Aceh sebagai berikut,
”Batas-batas kerajaan Aceh di Sumatera menurut orang Aceh sendiri terletak sampai di Teumieng (Tamiang) di pantai timur dan lebih jauh ke selatan di pantai barat, sampai ke Baros atau di suatu tempat dimana mereka meletakkan batas antara daerah raja-raja Minangkabau dan daerah-daerah sultan-sultan Aceh. Namun mereka menganggap ”Aceh” yang sebenarnya adalah yang biasanya dinamakan ”Aceh Besar”, adalah suatu yang jauh lebih kecil”.
Berdasarkan posisi geografisnya ini, jelas tampak bahwa Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berada di pintu gerbang masuk wilayah Indonesia bagian barat. Dengan demikian, sangat strategis, baik dari segi kemiliteran maupun dari segi perekonomian. Semua kapal yang akan menuju Samudra Hindia akan melalui Selat Malaka. Oleh karena itu, tidak mengherankan Aceh menjadi daerah terbuka dan menjadi tempat persinggahan kapal-kapal berbagai bangsa dalam aktivitas perdagangan. Selain Aceh sendiri telah menjalin kerjasama perdagangan dengan berbagai daerah di Semenanjung Malaya dan India (Van Leur, 1983; Abdullah, 2007b: 128). Mengenai hal tersebut, Sir James Lancaster (Sufi dan Wibowo, 2004: 2) pernah menulis,
“... in the roade of Achem, some two miles of the city; where we found eighteen saile of shippes of divers nations, some goserats, some of Benggala some of Calicut (called Malabares), some Pegues, and some Patanyes, which came to trade there”
(“... dalam jalan menuju Aceh, kira-kira dua mil dari kota, kita melihat 80 pelaut dari kapal-kapal berbeda bangsa, beberapa dari Gujarat, beberapa dari Benggala, beberapa dari Kalikut (disebut juga Malabar), beberapa dari Pegue, beberapa dari Pataya, yang datang untuk berdagang di sana)”.
Selain itu, John Davis of Sandridge, yang bekerja untuk sebuah kapal Belanda di bawah pimpinan de Houtman bersaudara (Cornelis dan Frederick) berada di Aceh pada 1598, menulis kesan-kesannya tentang keberadaan orang asing dan perdagangan di Aceh dengan mengatakan bahwa,
“The one and twentieth (June 1599) we anchored in the Bay of Achin, in twelve fathome. Being here, the King sent hos Officers to measure the length and breadth of our ships, to take the number of our Men and Ordnance, which they did. With those Officers, our Baase (Dutch baas, boss) sent two of his people with Present to the King, a Looking-glasse, a Drinking-glasse, and Bracelet of Corall. The one and twentieth, our men came aboord, whome the King had apparelled after his Countrey manner, in white Calicut cloth: they brought newes of peace, Welcome and plenty of Scicery. We found foure Banks riding the Bay, three of Arabia, and of Pegu, that came to lade Pepper. Here was also a Portugall, named Don Alfonso Vincent, that came with foure Barkes from Malacca, to prevent our trade (Ali, 2008: 4)
(Tanggal 21 (Juni 1599) kami bersauh di pantai Aceh, sedalam dua belas depa. Raja mengirim pejabatnya untuk mengukur panjang dan luasnya kapal-kapal kami, menghitung jumlah anggota kami dan peralatan militer. Bersama dengan pejabat-pejabat itu, pemimpin kami mengirim dua anggotannya dengan (membaw) hadiah-hadiah kepada raja, sebuah cermin dan gelas, serta gelang batu. Pada tanggal 21 kami mendarat dimana raja telah berdandan khas daerah dalam pakaian putih Kalikut: mereka menyampaikan berita perdamaian, keramah-tamahan, dan sekian banyak rempah-rempah. Kami melihat empat barks (kapal, tongkang ?) yang berlayar di pantai, tiga milik orang Arab dan satunya lagi milik orang Pegu, yang datang untuk memuat lada. Juga orang Portugas, bernama Don Alfonso Vincent, yang datang dengan empat barks dari Malaka, untuk merintangi perdangan kami)
Luas wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yaitu: 57.365,57 Km² atau 2,88 % dari luas negara Republik Indonesia. Pemekaran wilayah administratif pemerintahan sekarang ini mencapai 23 daerah tingkat II, yang terdiri dari 18 Kabupaten dan 5 kota. Kedelapan belas kabupaten tersebut adalah Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Nagan Raya Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Singkil, dan Kabupaten Simeulu. Lima pemerintahan kota yaitu Kota Banda Aceh (Ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), Kota Sabang, Kota Lhokseumawe, Kota Langsa, dan Kota Subulussalam. Keseluruhan daerah ini terdiri dari 139 kecamatan yang meliputi 591 mukim dan 5.463 desa. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki tinggi rata-rata diatas permukaan laut 125 m dengan kondisi daerah: 74,8 persen yang terdiri dari hutan 11,67 persen lahan pertanian 1,59 persen desa/kemukiman 8,7 persen gunung, danau dan sungai. Adapun gunung terdiri atas: 39 buah, danau 2 buah dan sungai 73 buah.
Wilayah Nanggroe Aceh Darussalam bagian tengah merupakan pegunungan yang merupakan bentangan Bukit Barisan. Pegunungan Bukit Barisan ini memanjang mulai dari Banda Aceh/Aceh Besar hingga Aceh Tenggara. Dalam rangkaian pegunungan Bukit Barisan terdapat beberapa gunung yang cukup terkenal di antaranya Gunung Seulawah Agam (1.806 m), dan Gunung Leuser (3. 381 m). Gunung ini adalah gunung tertinggi yang ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sungai-sungai yang terdapat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam bermuara di tiga laut, yang sebahagian muaranya ke Samudera Indonesia, Selat Malaka, dan yang sebahagian lagi bermuara ke Laut Andaman/Teluk Benggala. Seperti telah dijelaskan diatas bahwa di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terdapat dua buah danau yang berukuran besar, yaitu Danau Laut Tawar di Kabupaten Aceh Tengah (Takengon) dan Danau Aneuk Laot di Kotamadya Sabang. Luas Danau Laut Tawar adalah 660 km², dengan ketinggian 1.225 m dari permukaan laut. Sedangkan Danau Aneuk Laot luasnya sekitar 300 km². Kedua danau tersebut mempunyai potensi ekonomi dan pariwisata yang sangat besar untuk perkembangan daerah.
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dikelilingi oleh sejumlah pulau yang berukuran besar maupun kecil. Jumlah pulau secara keseluruhan adalah 19 buah, ini baik pulau yang dihuni ataupun pulau yang tidak ada penghuninya. Pulau yang memiliki luas wilayah dengan penghuni yang banyak adalah Pulau Simeulue dan Pulau Banyak, pulau tersebut berada di sebelah pantai selatan. Di samping itu, terdapat juga Pulau Weh, Pulau Breueh, Pulau Rondo, dan Pulau Nasi yang berada di sebelah pantai barat laut. Sementara pulau-pulau lainnya diantaranya adalah Pulau Asu, Pulau Babi, Pulau Bangkaru, Pulau Keureuse, Pulau Kluang, dan Kepulauan Kokos.
Luas perairan Aceh lebih kurang 35.000 km², meliputi perairan laut Samudera Indonesia di posisi sebelah barat dan selatan, sedangkan laut Andaman/Teluk Benggala berada di posisi sebelah utara. Banyak pulau-pulau yang terdapat di Aceh, namun pulau-pulau tersebut dipisahkan oleh selat. Misalnya saja Selat Malaka yang merupakan pemisah antara Pulau Weh dengan daratan Aceh, disamping Selat Lampuyang dan Teluk Benggala. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki juga sejumlah tanjung dan teluk. Beberapa tanjung dan teluk yang cukup terkenal antara lain adalah Teluk Sabang Tanjung Bateeputih, Tanjung Pidie, Tanjung Peusangan, Tanjung Jambo Aye, Teluk Seumawe (Lhok Seumawe), Tanjung Peureulak, Tanjung Tamiang, Teluk Sanaton, Teluk Sibigo.
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam termasuk wilayah beriklim tropis, meliputi dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Musim kemarau diperkirakan terjadi pada bulan Maret sampai bulan Agustus sedangkan musim hujan terjadi mulai dari bulan September sampai dengan bulan Februari. Adapun curah hujan rata-rata minimal mencapai 23 - 25° C dan rata-rata maksimal mencapai 30 - 33° C dengan kelembaban relatif antara 65% - 75%.

Penyelesaian Konflik atau Sengketa dalam Masyarakat Aceh

Oleh: Agus Budi Wibowo

Dalam kehidupan sehari-hari manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi sesamanya. Melalui interaksi ini manusia memenuhi segala kebutuhan. Interaksi sosial ini dapat terjadi di antara kerabat, tetangga, dan di luar komunitasnya. Interaksi dapat pula terjadi di rumah, lingkungan tempat tinggal, di pasar, dan sebagainya. Dalam berinteraksi manusia tidak selalu berjalan dengan mulus. Kadang kala interakai sosial ini malah menimbulkan masalah, bahkan konflik atau persengketaan. Persengketaan mengandung arti adanya pihak yang bersalah sebagai penyebab ketidakserasian atau ketidaksepahaman antar perorangan atau antar kelompok masyarakat yang saling berhubungan, karena adanya hak atau kepentingan-kepentingan dari salah satu pihak terganggu, dirugikan, ataupun dilanggar.
Tentunya, konflik atau persengketaan ini tidak diharapkan oleh siapapun yang melakukan interaksi karena pada dasarnya interaksi merupakan suatu cara manusia untuk tetap survive. Penyebab terjadinya konflik ini bermacam. Berawal dari masalah-masalah sepele hingga masalah-masalah yang lebih rumit.
Manusia merupakan makhluk yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan dibekali akal. Melalui akal inilah manusia mengatur segala tindak tanduknya. Dapat dikatakan tindakan manusia tidak didasarkan oleh naluri semata, seperti pada binatang. Salah satu hasil dari kerja akal adalah bagaimana manusia menyelesaikan konflik di antara sesama manusia. Dalam masyarakat yang teratur, setiap sengketa diselesaikan dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat, baik yang dikategorikan sebagai norma hukum positif maupun bukan.
Hasil kerja akal seperti diuraikan di atas dalam terminologi antropologi seringkali disebut dengan adat-istiadat. Melalui adat-istiadat tata kehidupan masyarakat suatu komunitas diatur. Salah satu aturan yang diterapkan adalah mengenai konflik-konflik yang terjadi pada masyarakat dan cara penyelesaiannya. Salah satu komunitas budaya yang menerapkan tata aturan penyelesaian konflik adalah masyarakat Aceh.
Dalam kehidupan keluarga Aceh, sebenarnya tidak ada dendam, karena sifat itu amat bertentangan dengan syari’at Islam (hukom ngon agama, lage zat ngon sifeuet). Masyarakat mengenal tueng bila yang dilakukan karena terpaksa demi untuk ”membela diri/bila droe” guna menegakkan kehormatan, agama, martabat keluarga, harta benda dan nyawa atas segala kerugian yang disebabkan oleh perbuatan menghina/melukai hati orang lain. Dalam hubungan ”harkat martabat/harga diri”, paduan nilai-nilai preventif dengan represif hampir berimbang dalam benak kultur masyarakat Aceh. Karena itu faktor equilibrium/penyeimbang yang disebut dengan damai sangat dominan dalam kehidupan masyarakat dan biasanya menjadi senjata pamungkas yang diterapkan oleh elit struktural Aceh sepanjang sejarah, bila timbul persengketaan (peranan lembaga-lembaga adat).
Nilai-nilai damai itu dilahirkan oleh kesepakatan bersama para pihak, yang dipimpin oleh ”Ureueng-ureueng patot/Ureueng Tuha Adat/Ulama”, bersama penguasa dalam masyarakat setempat menurut wilayahnya (dulu uleebalang, ulama, tokoh adat dan cerdik pandai lainnya) berupa berbagai kompensasi. Damai bermakna membangun kembali silaturrahmi yang telah hancur dan berantakan menjadi rukun damai dan tentram penuh persaudaraan (Ismail, 2008). Prinsip-prinsip damai itu tergambar dalam narit maja, sebagai berikut,
”Hai aneuk hai, beik lee ta mupakee”
”Masalah nyang rayeuk ta peu ubit
Nyang ubit ta peu gadoh ”
”Beu lee saba...,
(Hai anak hai, jangan banyak membuat keributan
Masalah yang besar kita kecilkan
Yang kecil kita hilangkan
Yang banyak sabar)
”Aman nanggroe sare, rakyat makmu rata,
Sifat seunukat sabe meusigo ngon ade raja”

(Aman negeri semua, rakyat makmur adil
Sifat takaran sama bersatu dengan keadilan raja)
Ta meu jroeh-jroeh sabee keu droe-droe,
Mak got nanggroe makmue beurata
Tajak bak troek, ta eu bak deuh,
Beik rugoe meuh sakeit hatee
(Berbaik-baikan dengan sesama
Biar bagus nanggroe makmur semua
Kalau pergi kita harus sampai kalau melihat harus tampak
Jangan rugi emas sakit hati)
Damai dalam adat Aceh sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam, karena dijiwai oleh al-Qur’an, yang dikenal melalui bacaaannya sejak kecil, di rumah, rangkang dan meunasah.
Di Aceh, terdapat suatu pranata adat yang disebut suloh, dan berfungsi untuk mendamaikan persengketaan dalam masyarakat. Jika perselisihan itu mengakibatkan keluar darah, sanksi menurut suloh dibebankan kepada orang yang dinyatakan bersalah. Sanksinya berupa dam, yaitu kenduri dengan menyembelih ayam, kambing, sapi atau kerbau, yang jumlah dan jenisnya tergantung kepada besar kecilnya akibat yang ditimbulkan dari suatu pelanggaran. Pada pelanggaran kecil, kenduri dalam penyelesaian persengketaan melalui lembaga suloh, cukup dengan minuman dan makanan yang disertai dengan ketan kuning.
Suloh itu, di berbagai daerah Aceh disebut dengan istilah lokal yang berbeda-beda. Di Kabupaten Aceh Selatan, disebut takanai, di Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Pidie, serta Kabupaten Aceh Barat, disebut sayam. Sedangkan di Kabupaten Aceh Besar, disebut dhiet/diyat. Ruang lingkup persengketaan yang diselesaikan melalui pranata suloh tersebut, meliputi semua pelanggaran norma-norma dalam masyarakat, yang secara umum meliputi pelanggaran yang menyebabkan kerugian, menyebabkan penyakit atau pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Sanksi adat tersebut dapat berakibat kerugian material dan penderitaan batin atau jatuhnya harkat dan martabat si pelanggar.
Intisari dari fungsi pranata suloh tersebut, dalam bahasa Aceh terangkum dalam istilah hukom peujroh, yaitu menetapkan yang terbaik bagi para pihak dan masyarakat begitu rupa, sehingga penyelesaiannya itu ditempuh melalui tahap-tahap yang bijaksana dan dirasakan adil oleh semua pihak (Djuned, 1998). Penyelenggaraan damai adat, ada dua mekanisme yang dilalui, yaitu:
• Pertama: prosesi penyelesaian nilai-nilai normatif (hukum adat), melalui forum Adat Musapat, musyawarah para tokoh adat/lembaga terkait dan pihak-pihak bersangkutan dalam hubungan penyelesaian sengketa/pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dengan menggunakan asas luka tasipat, darah ta sukat (kompensasi/kerugian). Buet nyan geit peureulee beu bagah, bek jeuet susah watee iblih teuka.
• Kedua: prosesi penyelesaian formal melalui sere-monial adat (publik) di depan umum, dengan inti acara: peusijuk, bermaafan, sayam (penyerahan kompensasi), nasehat dan do’a
• Kompilasi hukum adat (Adat Meukuta Alam tentang Kejahatan dan Pelanggaran) mencatat: Adapun bangun (diyat–dhiet) orang merdeka 100 unta dibayar kepada ahli waris yang mati. Jikalau sudah dibayar bangun yang mati kepada ahli warisnya, tiada boleh dibunuh orang yang menganiaya itu, karena sudah taubat dan berdamai (Sulaiman, 2002:121).
• Kebiasaan lain dalam masyarakat adalah penyelesaian secara sayam, yaitu hampir sama dengan diyat, dimana dasar pertimbangannya dilihat kepada kemampuan pihak pelaku (diat ditanggung bersama keluarga).
Bentuk aktivitas adat dan budaya yang melekat pada institusi adat meulangga, diyat, sayam dan suloh adalah peusijuek dan peumat jaroe. Kedua institusi ini memegang peranan penting dalam menjalin rasa persaudaraan (ukhuwah) antara pelaku pidana dengan korban atau ahli waris korban. Masyarakat Aceh anggap belum sempurna penyelesaian pidana melalui diyat, sayam dan suloh1, bila tidak dibarengi dengan pesijuek dan peumat jaroe (Kurdi, 2005: 157).
Kata peusijuek barasal dari akar kata sijuek yang berarti dingin. Biasanya acara peusijuek (menepung tawari) dilakukan masyarakat Aceh sebagai bentuk syukur terhadap keselamatan dan kesuksesan meraih sesuatu, baik yang berkaitan dengan benda maupun orang (Sufi, 2002: 18). Oleh karena itu, peusijuek dalam masyarakat dilakukan ketika menempati tempat baru, seperti rumah ibadah, rumah baru, tempat kerja, menerima tamu, dan lain-lain. Peusijuek terhadap manusia umumnya dilakukan pada upacara perkawinan, khitan, orang hamil, terlepas dari bahaya, kembali dari rantau dan lain-lain. Menurut Husin (1970) semua pesijuek ini ditujukan sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah SWT, atas nikmat yang diberikan-Nya, sekaligus sebagai permohonan dan harapan untuk memperoleh keberkahan dan keselamatan hidup. Selain itu, peusijuek juga merupakan simbol adat untuk meminta maaf kepada sesama atas suatu kesalahan dan kekhilafan (Kurdi, 2005:158).
Dalam kaitan dengan penyelesaian kasus pidana setelah tercapai perdamaian, baik berupa pembunuhan maupun penganiayaan, peusijuek ditujukan untuk membina kembali hubungan yang retak akibat terjadinya tindak pidana. Persiapan peusijuek baik dalam konteks adat meulangga, diyat2, sayam maupun suloh dilakukan oleh pelaku pelanggaran atau keluarganya, dan yang di-peusijuek adalah para pihak yang secara langsung dirugikan sebagai korban dalam pelanggaran tersebut. Pelaksanaan peusijuek dilakukan oleh imeum (teungku meunasah), kepala desa (keuchik) dan orang yang dihormati di desa.
Peumat jaroe (berjabat tangan untuk saling memaafkan) merupakan simbol perbaikan hubungan antara para pihak yang bermasalah, dengan harapan konflik antar mereka berakhir. Oleh karena itu, dalam prosesi peumat jaroe, pihak yang memfasilitasi seperti imeum, keuchik dan pemangku adat mengucapkan kata-kata khusus (Syafioeddin, 1982: 50) seperti,
"Nyoe kaseb oh no dan bek na dendam le. Nyoe beujeuet keujalinan silaturrahmi, karena nyan ajaran agama geutanyoe.
(Masalah ini cukup di sini dan jangan diperpanjang lagi. Bersalaman ini diharapkan menjadi (awal) dari jalinan silaturrahmi antara anda berdua, sebab ini ajaran agama kita).
Upacara peumat jaroe disaksikan oleh banyak orang yang diundang pada acara kenduri dan peusijuek. Urutan kegiatan adat ini dimulai dengan peusijuek, peumat jaroe dan makan bersama (kenduri). Ketiga kegiatan ini merupakan rangkaian perjalanan panjang dari proses perdamaian untuk penyelesaian kasus pelanggaran dalam kerangka adat Aceh. Peran ulama dan pemangku adat sangat dominan pada acara pra kenduri, peusijuek dan peumat jaroe. Namun pasca peusijuek dan peumatjaroe peran mereka berkurang. Artinya, keluarga kedua belah pihak yang akan melanjutkan peran untuk menjalin hubungan silaturrahmi sesuai dengan pesan pada upacara peumat jaroe.
Bentuk silaturrahmi lanjutan lazimnya diawali dengan kunjungan keluarga kedua pihak pada hari khusus seperti hari meugang (hari memotong sapi atau ternak lain, sehari sebelum Hari Raya atau puasa Ramadan), Hari Raya, kenduri molod, dan lain-lain. Upaya keluarga pelaku pidana yang mengaku bersalah biasanya ditanggapi dengan baik sebagai bentuk manifestasi habblumminannas oleh keluarga korban, sesuai dengan pesan peumat jaroe.

Catatan Akhir
1Suloh berasal dari bahasa Arab Sulh. Sulh secara etimologis berarti memutuskan atau menyelesaikan persengketaan atau mengadakan perdamaian. Istilah ditemukan dalam literatur fikih yang berkaitan dengan persoalan transaksi, perkawinan, peperangan, dan pemberontakan. Secara terminologis, sulh didefinisikan sebagai akad yang ditentukan untuk menyelesaikan pertengkaran (Saleh, 2007: 5).

2Sarakata Sultan Aceh Syamsul Alam tahun 1723 menyebutkan bahwa dhiet nyawong (diyat nyawa) kejahatan pembunuhan berat adalah 100 ekor unta dan yang ringan 80 ekor unta. Seratus onta dikonversikan pada masa itu ±2,956 kg emas murni. Sarakata itu menekankan untuk memakai hukum Allah (Islam) dan tidak boleh menggunakan hukum adat (Van Langen, 1888).


Daftar Pustaka
Ismail, Badruzzaman. 2006. Sistem Adat Budaya Aceh. Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Kurdi, Muliadi. 2005. Menelusuri Karakteristik Masyarakat Desa Pendekatan Sosiologi Budaya Dalam Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Pena.
Saleh, Fauzi. 2007. “Konsep Suluh dan Konstruksi Pendidikan Damai di IAIN Ar-Raniry: Kontribusi Kampus dalam Dakwah Perdamaian di Aceh”, dalam Tim Penulis IAIN Ar-Raniry Pergulatan Panjang Budaya Damai dalam Masyarakat Multikultural Kajian Edukasi, Syar’i, Historis, Filosofis, dan Media Masa. Banda Aceh: Yayasan Pena dan Ar-Raniry Press
Syafioeddin, M. Hisyam. 1982 Perdamian Adat dalam Masyarakat Aceh: Studi di Kabupaten Aceh Besar dan Pidie. Banda Aceh: PLPIIS.
Sufi, Rusdi. 2002 Adat Istiadat Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh.

March 17, 2009

Sultan Iskandar Muda

Oleh: Agus Budi Wibowo

Kapan tanggal dan tahun kelahiran Sultan Iskandar Muda belum diketahui secara pasti. Beberapa sumber yang memberi informasi berkenaan dengan kelahiran sultan tersebut berbeda-beda. Menurut sebuah manuskrip (MS) Sultan Iskandar Muda lahir pada hari Senin Rabiul Awal 999 Hijriah yang bila dicocokkan pada tahun Masehi jatuh pada hari Selasa (bukan Senin) tanggal 27 Januari 1591. Adapun transkripsi dari MS tersebut adalah sebagai berikut,
“Bismillah Alrahman alrahim. Bahwasanya pada tarikh tahun hijriah sembilan ratus sembilan puluh sembilan, 999 pada dua belas Rabi'lawal hari Isnin, pada waktu dhuha telah dilahirkan Allah ta'ala seorang hamba yang kuat lagi perkasa bernama Abdullah Sulaiman bin Mansur yaitu dalam Dar al Dunia Madinat al Salatin al-Syih al-Kubra, Bandar al-ma'mur Aceh Dar al-Salam, yaitu pada zaman kerajaan Paduka Sri Sultan Ala ad-Din Mansur Syah bin Ahmad, raja Perak. Maka pada hari itu disembelih kambing satu. Dan pada pisang, buah zahib. Maka pada hari tujuh disembelih dengan lembu akikah dan dicukur rambut dan ditimbang dengan emas. Maka diberi sedekah pada fakir miskin serta khanduri. Hadir alim ulama membaca do'a selamat.
Pada hari itulah dinamakan oleh Sultan Ala ad-Din Mansur Syah, Raja Perak Pocul Abdullah Sulaiman Mansur yang memegang Kerajaan Aceh. Kemudian al-Syaikh Abd'l-Khair, berkata inilah Iskandar Muda Mansur al-Asyi. Kemudian maka berkata al-Syekh Muhammad Yamin: Inilah Mahkota Mansur, kemudian tuan kita yang mengimani, mengempu negeri bawah angin, Mahkota Alam Iskandar Muda Perkasa Alam Syah al-Kuat. Intiha.
Dengan mukhtasar Tadzkirat tabaqat Mahkota Alam oleh Wazir al-sabil al-Mijahid Amir al-Mijahidal-Ulama Teungku di-Mele, Sayid Abdullah ibn Ahmad ibn Ali ibn Abdul Rahman ibn Usman ibn Hasan Ibn Wandi Mule Sayidi Laila al-Habib Syarif Abdullah ibn Said Abdullah al-Habib Syarif Ibrahim Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir al-Jamal Lail”.
Menurut catatan R.A. Hoesein Djajadiningrat dalam karyanya disebutkan bahwa Sultan Alaudin Riayat Syah Al Mukammil (1588-1604) mempunyai enam orang anak, empat laki-laki dan dua perempuan. Yang laki-laki bernama Maharaja Di Raja, Sultan Muda, Sultan Husen, dan Sultan Abangta Merah Upak. Anak yang pertama meninggal pada saat ia masih hidup, anak kedua diangkat menjadi pembantu dalam memerintah Kerajaan Aceh, yang ketiga ditetapkan sebagai Sultan di Pedir, dan yang keempat juga meninggal di Kerajaan Johor. Anak yang perempuan bernama Putri Raja Indra Bangsa dan Raja Putri. Yang tersebut pertama merupakan putri kesayangan Sultan Alaudin Riayat Syah Al Mukammil. Ia dinikahkan dengan Sultan Manshur, cucu Sultan Alaudin Riayat Al Kahhar (yang memerintah Kerajaan Aceh tahun 1537-1571). Dari perkawinan ini pada tahun 1950 lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Darma Wangsa Tun Pangkat, yang kemudian bergelar Sultan Iskandar Muda. Jadi kalau kita bandingkan antara keterangan dari MS di atas dengan yang dikemukakan oleh R.A. Hoesein Dajajadiningrat tentang tahun kelahiran sultan tersebut terdapat satu tahun perbedaan.
Selain itu, menurut keterangan Hikayat Aceh perkawinan Mansyur Syah dengan Putri Indra Bangsa diadakan pada masa pemerintahan Sultan Alaudin, anak Sultan Ahmad dari Perak. Menurut sumber lain memerintah dari tahun 1579 hingga 1558/6. Hikayat tersebut menegaskan pula bahwa Putri Raja Bangsa hamil sesudah pernikahannya. Penjelasan ini cocok dengan cerita Thomas Best yang mengunjungi Kerajaan Aceh pada tahun 1613. Dia mengatakan bahwa Sang Raja (Sultan Iskandar Muda) pada saat itu berumur 32 tahun. Oleh karena itu, kalau pasti menurut perhitungan Islam, ada alasan untuk menganggap Iskandar Muda lahir kira-kira tahun 1583 kalau hitungan Masehi menjadi 1581 dan mangkat pada usia 55/56 tahun pada tahun 1636. Hal ini berarti bahwa umurnya kira-kira 24 tahun waktu naik tahta. Dalam hal ini mungkin karena keterbatasan sumber dan ketidakpastian informasi dari sumber yang ada, maka umumnya para penulis sejarah belum menunjukkan suatu kesepakatan tentang angka yang konkrit sehubungan dengan kelahiran Sultan Iskandar Muda.
Naskah Hikayat Aceh mengkisahkan tentang pertumbuhan Sultan Iskandar Muda. Disebutkan bahwa ketika umurnya 4 tahun kakeknya yang menyayanginya secara khusus memberinya “gajah emas dan kuda untuk permainannya”. Selain itu, juga memberi sebuah mainan otomatis berupa dua ekor domba yang dapat berlaga, lalu gasing dan kelereng dari emas atau dari suasa. Ketika ia berumur 5 tahun, kakeknya memberikan seekor anak gajah yang bernama Indrajaya sebagai teman bermain. Pada umur 7 tahun anak itu sudah berburu gajah liar, pada umur 8 tahun ia suka bermain perahu di sungai mengatur perang, peperangan dengan meriam-meriam kecil. Pada umur 9 tahun ia melakukan perang-perangan sambil membangun benteng-benteng pertahanan kecil. Pada umur 12 tahun ia berburu kerbau liar dan waktu mencapai umur 13 tahun ia mulai bekerja dengan bimbingan Fakih Raja Indra. Si kakek menyuruh membuatkan 30 batu tulis dari logam mulia bagi cucunya dan teman-temannya. Ia juga belajar membaca Al Qur'an dan seorang guru pedang ditugaskan mengajarkan kepandaian main pedang kepadanya.
Di atas telah disinggung bahwa yang membantu atau yang melindungi Sultan Alaudin Riayat Syah Al Mukammil (karena ia telah berusia lanjut) dalam memerintah Kerajaan Aceh adalah Sultan Muda. Rupa-rupanya putranya ini berambisi hendak menjadi sultan penuh. Untuk ini ia menyingkirkan ayahnya dari kedudukan sultan dan ia sendiri naik tahta memerintah sebagai sultan dengan gelar Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607). Tahun-tahun pertama dari pemerintahan sultan yang baru ini ditandai dengan adanya bencana-bencana besar yang menimpa Kerajaan Aceh, yaitu adanya suatu musim kemarau panjang dan ganas luar biasa yang telah menimbulkan bahaya kelaparan dan berjangkitnya suatu wabah penyakit yang menimbulkan banyak kematian di kalangan penduduknya. Sultan ini tidak mampu mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut dan ditambah lagi dengan adanya suatu pertikaian berdarah dengan saudaranya yang menjabat sebagai sultan di Pedir. Meskipun untuk beberapa lama Sultan Ali Riayat Syah masih menduduki jabatan sultan, tetapi kerajaannya pada waktu itu merupakan sebuah kancah perampokan, pembunuhan, dan ketidakteraturan yang sangat menyedihkan. Oleh karena itu, pemerintahannya berjalan dengan tidak memuaskan rakyatnya. Hal ini disebabkan juga karena ia menduduki jabatan sultan dengan menyingkirkan ayahnya sendiri dan ia kurang memperhatikan bahaya yang mengancam kerajaannya. Rasa tidak puas terhadap kepemimpinannya diperlihatkan pula oleh kemenakannya Darma Wangsa Tun Pangkat. Hal ini menyebabkan sultan tidak senang kepadanya sehingga dia ditangkap dan dijatuhi hukuman. Darma Wangsa Tun Pangkat kemudian dapat melarikan diri dari tahanan dan mencari perlindungan pamannya yang bernama Sultan Husen di Pedir. Di sana dia diterima dengan baik, tetapi Sultan Aceh menghendaki agar Darma Wangsa Tun Pangkat diserahkan kembali kepadanya oleh Sultan Pedir. Namun Sultan Pedir tidak bersedia, mengingat Darma Wangsa Tun Pangkat adalah cucu dari anak kesayangan ayah mereka. Perkara ini menimbulkan ketegangan antara Kerajaan Aceh dan Kerajaan otonom Pedir. Setelah terjadi beberapa kali pertempuran antara kedua kerajaan ini yang menimbulkan banyak korban jiwa, akhirnya rakyat Pedir tidak mampu lagi menghadapi pihak Aceh dan Sultan Pedir (Sultan Husen) terpaksa menyerahkan kemenakannya kepada saudaranya, Sultan Aceh.
Pada saat orang-orang Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Castro pada bulan Juni 1606 menyerang Aceh, Darma Wangsa Tun Pangkat masih ditahan sebagai tawanan. Ketika dia mendengar adanya penyerangan itu, maka ia mohon kepada sultan agar dia diperkenankan ikut berperang melawan orang-orang Portugis. Permohonan ini rupa-rupanya dikabulkan oleh Sultan Aceh. Kemudian ia bersama-sama dengan tentara Aceh lainnya melakukan penyerangan terhadap orang-orang Portugis di sebuah benteng Aceh yang telah direbutnya.
Sesudah beberapa lama bertempur, tentara Aceh berhasil menghancurkan benteng terakhir Portugis “Kuta Lubok” dekat Krueng Raya dengan pasukan kavaleri bergajah dan mengusir kembali armada orang-orang Portugis dari Aceh dengan kerugian besar. Oleh karenanya Darwa Wangsa Tun Pangkat yang telah berjasa karena keberaniannya dalam pertempuran itu menjadi terkenal dan menarik perhatian orang-orang di kalangan istana Aceh.
Sultan Muda Ali Riayat Syah menurut Kitab Bustanus Salatin meninggal pada hari Rabu 4 April 1607. Sebagai penggantinya adalah kemenakannya sendiri, yaitu Maharaja Darma Wangsa Tun Pangkat dengan gelar Sultan Iskandar Muda. Pada mulanya sebahagian pejabat-pejabat di istana berkeberatan untuk menobatkan Darma Wangsa Tun Pangkat sebagai sultan karena mereka menganggap masih ada saudara Sultan Ali Riayat Syah yang lebih berhak untuk memangku jabatan tersebut, yaitu Sultan Husen dari Pedir. Menurut laporan Agustin de Beaulieu, Darma Wangsa Tun Pangkat dapat diangkat karena ibunya (Putri Raja Indra Bangsa) yang berhasil mempengaruhi orang-orang di kalangan istana, sebelum Sultan Husen datang dari Pedir. Setelah Sultan Husen mengetahui tentang kematian saudaranya Sultan Aceh, ia datang ke Aceh untuk menerima warisan dari saudaranya itu. Ketika sampai ke Aceh, ia tidak mendapatkan penyambutan yang selayaknya. Tatkala memasuki istana Aceh, Sultan Aceh yang baru yaitu Sultan Iskandar Muda yang dulu dibela dan dilindunginya, kini segera menangkapnya dan memasukkan ke dalam penjara.
Demikianlah riwayat hidup Sultan Iskandar Muda dari masa kecil hingga dia mencapai tahta sebagai Sultan Kerajaan Aceh. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mencapai puncak kejayaannya. Wilayah kekuasaanya sampai ke Sumatra Barat. Selain itu, semasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh berusaha mengusir para penjajah. Bahkan ia berusaha mengusir Portugis yang berada di Malaka. Atas jasa-jasa yang dilakukannya terhadap bangsa dan negara, pemerintah Republik Indonesia me-nganugrahi Sultan Iskandar Muda sebagai Pahlawan Nasional.

Permainan Tradisional Masyarakat Aceh

Oleh: Agus Budi Wibowo

Masyarakat Aceh mengenal beberapa permainan tradisional. Beberapa di antaranya adalah

1. Geulayang Tunang
Geulayang Tunang terdiri dari dua kata yaitu geulayang yang berarti layang-layang dan Tunang yang berarti pertandingan. Jadi geulayang tunang adalah pertandingan layang-layang atau adu layang yang diselenggarakan pada waktu tertentu. Permainan ini sangat digemari di berbagai daerah di Aceh. Mengenai nama permainan ini kadang-kadang juga ada pula yang menyebutnya adud geulayang. Kedua istilah yang disebutkan terakhir sama artinya, hanya lokasinyalah yang berbeda.
Pada zaman dahulu permainan ini diselenggarakan sebagai pengisi waktu setelah mereka panen padi. Sebagai pengisi waktu, permainan ini sangat bersifat rekreatif. Oleh karena itu, permainan ini sering kali dilombakan dalam acara peringatan hari kemerdekaan RI atau event-event lainnya.

2. Geudeue-Geudeue
Geudeue-geudeue atau disebut juga due-due adalah permainan ketangkasan yang terdapat di Pidie. Di samping ketangkasan, gesit, keberanian dan ketabahan pemain geudeue-geudeue harus bertubuh tegap dan kuat. Permainan ini kadang-kadang berbahaya karena permainan ini merupakan permainan adu kekuatan.
Cara memainkannya adalah seorang yang berbadan tegap tampil di arena. Ia menantang dua orang lain yang juga bertubuh tegap. Pihak pertama mengajak pihak kedua yang terdiri dari 2 orang supaya menyerbu kepadanya. Ketika terjadi penyerbuan, pihak pertama memukul dan menghempaskan penyerangnya (pok), sedangkan pihak yang pihak kedua menghempaskan pihak yang pertama.
Dalam tiap permainan bertindak 4 orang juru pemisah yang disebut ureueng seumubla (juri), yang berdiri selang-seling mengawasi setiap pemain.

3. Peupok Leumo
Peupok leumo adalah sejenis permainan yang khas terdapat di Aceh Besar. Permainan ini merupakan suatu permainan mengadu sapi. Permainan ini sebelumnya berkembang di kalangan peternak sapi. Zaman dahulu lazimnya peupok leumo diselenggarakan oleh sekelompok peternak yang berada pada satu lokasi seperti yang berada pada satu kampung atau lebih luas lagi satu mukim, diselenggarakan seminggu sekali. Untuk menentukan hari-hari penyelenggaraan setiap hari minggu, Jumat atau hari-hari lainnya. Dapat juga diselenggarakan pada sore hari, pukul 16.00-18.00.
Selain peupok leumo masih ada lagi acara peupok leumo tunang, yaitu permainan peupok leumo untuk mencari sapi yang akan keluar sebagai pemenang. Acara peupok leumo tunang ini biasanya diselenggarakan oleh sebuah panitia. Waktunya tergantung kepada cuaca dan musim-musim tertentu seperti sehabis panen atau waktu-waktu lain seperti pada hari-hari besar dan sebagainya.

4. Pacu Kude
Pacu kude dapat diartikan duduk di atas kuda yang lari atau dapat diartikan sebagai pacuan kuda. Permainan ini terdapat di Kabupaten Aceh Tengah. Karena daerah ini terdapat padang rumput yang sangat luas serta kuda adalah alat angkutan yang sangat praktis di daerah pegunungan, di samping dipergunakan untuk membajak sawah.
Sehabis panen kuda-kuda ini tidak mempunyai kegiatan apa-apa yang dianggap penting. Waktu-waktu seperti itu sering kuda-kuda tersebut berlari-lari berkelompok. Kebiasaan ini dikoordinir akhirnya terbentuk permainan pacu kude.
Pada awalnya permainan ini adalah permainan informal, tidak ada aturan yang baku untuk dilaksanakan. Namun lama kelamaan, permainan ini ditingkatkan menjadi permainan resmi dan terdapat aturan-aturan yang harus dipatuhi. Akhirnya, pada bulan Agustus 1930 pertandingan pacu kude resmi diselenggarakan dalam rangka memperingati hari kelahiran Ratu Belanda, Welhilmina. Saat ini, pacu kude diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan RI. Adapun aturan-aturan dalam permainan ini di antaranya joki adalah orang laki-laki berumur 12-20 tahun dan beratnya dibatasi maksimum 40 kg.

5. Peh Kayee
Meuen Peh Kayee disebut juga meuen gok atau meuen sungkeet. Para pemain adalah anak-anak yang sudah bisa berhitung, karena untuk mengakhiri permainan dengan hitungan. Perlengkapan yang dibutuhkan sebuah gagang sepanjang lebih kurang 60 cm yang dipergunakan sebagai alat untuk memukul dan sebuah anak kayu sepanjang lebih kurang 10 sampai 15 cm untuk dipukul oleh pemain, juga dibutuhkan lapanga yang luas. Gagang dan anak kayu biasanya dari pelepah rumbia yang telah dipotong-potong dan dibulatkan dengan maksud tidak mencederai bagi pemainkarena ringan.
Dalam permainan peh kayee ada beberapa istilah, yaitu boh sungkeet, boh peh, dan boh jeungki. Boh Sungkeet adalah bola pertama dalam memulai permainan dengan menyungkit anak yang telah diletakkan diatas lobang yang telah disediakan dengan gagang sekuat mungkin ke arah lawan. Boh Peh adalah bola kedua di mana anak diumpamakan sebagai bola sesudah dilambung ke atas kemudian dipukul sekuat mungkin ke arah lawan. Boh Jeungki adalah bola ketiga dimana anak diletakkan secara membujur yang sebagian berada di dalam lubang dan kemudian dipukul bagian atas sampai naik, setelah naik diusahakan untuk dipukul secara lemah beberapa kali, seandainya tidak dapat dipukul secara lemah barulah dipukul yang kuat ke arah lawan.

March 05, 2009

Tradisi Kaurie Beurat Pada Masyarakat Lamno Aceh Jaya

Oleh: Agus Budi Wibowo
Lamno adalah ibukota Kecamatan Jaya yang terletak di daerah pesisir barat Aceh Jaya Daerah Nanggroe Aceh Darussalam. Daerah ini terdiri dari tujuh kemukiman yang dipecah ke dalam 48 desa/gampong. Sebagaimana masyarakat Aceh lainnya, sebagian besar penduduk Lamno memeluk agama Islam. Di Aceh, daerah Lamno memiliki suatu keistimewaan yang tidak dimiliki oleh daerah lain. Di salah satu gampong yang ada di Lamno, yaitu gampong Daya kita menjumpai banyak penduduknya yang berkulit putih serta bermata biru seperti bangsa Eropa.
Dalam sejarahnya, Lamno merupakan sebuah kota dagang yang amat maju dan telah menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa seperti Portugis dan Spanyol. Sejak masa itu, proses asimilasi dalam hal perkawinan antara bangsa Eropa yang berkunjung ke Lamno dengan masyarakat setempat terus berlangsung.
Ketika terjadi gempa dan tsunami di Aceh tanggal 26 Desember 2004, sebagian daerah Lamno mengalami kehancuran. Salah satu, daerah yang mengalami kehancuran adalah gampong Daya dimana keturunan Portugis bertempat tinggal. Walaupun demikian, sebagian di antara mereka juga ada yang selamat.

Tradisi Beureat
Salah satu kenduri di Masyarakat Lamno Aceh Jaya adalah kaurie beurat. Kenduri ini dilaksanakan pada bulan suci Ramadhan dan berlangsung pada malam hari di bulan pertengahan bulan Sya’ban. Malam berlangsungnya kenduri ini dikenal dengan istilah malam beurat. Kenduri ini dilaksanakan oleh seluruh anggota masyarakat sebuah desa dan bertempat di meunasah yang dipimpin oleh teungku.
Pada kenduri ini seluruh masyarakat datang ke meunasah dengan membawa sebuah idang (paket makanan yang terdiri dari nasi beserta lauk pauk dan ditempatkan dalam sebuah talam yang besar). Makanan tersebut disantap bersama anggota masyarakat lainnya yang hadir pada saat pelaksanaan kaurie beurat.
Malam beurat adalahh sebuah interpretasi masyarakat Aceh dari kebiasaan Nabi Muhammad dimana pada malam di pertengahan bulan Sya’ban Rasulullah melaksanakan shalat sunat yang dikenal dengan istilah shalat nisfu sha’ban (shalat pertengahan bulan sya’ban). Karena shalat ini bukan bagian dari shalat wajib, maka umat Islam yang berada didalam berbagai masyarakat mencoba menginterpretasikan makna yang terkandung di dalam shalat tersebut. Dengan kata lain, mereka mencoba mencari jawaban atas pertanyaan mengapa Rasulullah melaksanakan shalat nisfu sha’ban ?
Menurut kepercayaan masyarakat Lamno bahwa pada malam pertengahan bulan syaban Allah akan menentukan nasib seseorang (usia, rizki, dan amal perbuatan) untuk satu tahun ke depan. Oleh karena itu, melalui kaurie beurat masing-masing individu berdoa kepada Allah agar Allah memberikan yang terbaik kepada mereka.
Cerita-cerita rakyat yang berhubungan dengan masalah penentuan nasib di malam beurat ini amat banyak, tetapi semua bermuara kepada suatu konsep kosmologi yang memandang bahwa nasib manusia dalam setahun ke depan akan ditentukan oleh Allah pada malam itu. Nasib manusia dalam sebuah pohon yang besar berdaun lebat. Nasib setiap individu terpresentasikan dalam sehelai daun. Pada malam beurat tersebut Allah akan mengguncang pohon itu dengan guncangan yang amat hebat sehingga jika daun yang jatuh dari guncangan tersebut, maka individu yang terwakili didalam daun jatuh akan meninggal dunia suatu waktu dalam setahun ke depan. Untuk menghindari diri dari kematian, maka diperlukan sebuah ibadah berupa shalat nisfu sya’ban, doa, dan kenduri. Pada konteks ini fungsi utama dari seluruh prosesi ritual ini adalah sebagai tindakan preventif dari kemalangan pada tahun depan.
Walaupun Rasulullah hanya melaksanakan shalat dan puasa di pertengahan bulan sya’baan, di dalam tradisi masyarakat Lamno dikenal dengan bentuk ritual lain dari nisfu sya’ban yaitu berdoa secara berjamaah, makan bersama dalam ritual kenduri dan diakhir dengan ceramah agama. Pola pelaksanaan ritual nisfu sya’ban sedikit berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya di dalam NAD.
Dalam konteks menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan kaurie beurat menjadi sebuah isyarat bahwa bulan Ramadhan akan segera hadir. Hal ini dapat dilihat dari isi ceramah di akhir acara kenduri dimana teungku lebih banyak membahas hal-hal yang perlu dipersiapkan oleh setiap muslim untuk memasuki bulan Ramadhan. Teungku juga berdoa agar setiap pribadi muslim masih diberi kesempatan oleh Allah untuk dapat bertemu dengan bulan Ramadhan yang sebentar lagi akan ditiba. Di samping itu, keuchik juga mengajak masyarakat untuk melakukan sebuah tradisi penting dalam menyambut bulan Ramadhan, yaitu tradisi peugleh meunasah (membersihkan meunasah). Dalam himbuannnya ia menggunakan ungkapan “jamee rayeuk ka rap trouk” (tamu besar yaitu bulan Ramadhan akan segera tiba).
Namun yang menarik dalam tradisi kaurie beureat ini adalah kentalnya nuansa senang-senang yang dimanifestasikan dalam bentuk partisipasi masyarakat pada seluruh aspek kenduri sehingga semakin besar sebuah kenduri, maka suasana kesenangan dan kebahagiaan akan lebih menonjol ke permukaan dibandingkan dengan esensi kaurie beureat itu sendiri. Pada titik ini masyarakat lupa bahwa esensi ritual ini adalah permohonan nasib baik ke depan sementara kenduri ini sendiri hanyalah alat pemersatu masyarakat ke dalam sebuah solidaritas yang lebih baik.

March 03, 2009

Mesjid Lueng Bata Banda Aceh

Oleh: Agus Budi Wibowo




Mesjid Jami’ Lueng Bata merupakan salah satu mesjid yang menyimpan nilai historis cukup tinggi. Keberadaan mesjid ini terkait dengan perjalanan sejarah yang cukup panjang dari perjuangan masyarakat Aceh melawan penjajah Belanda.
Mesjid Jamik Lueng Bata terletak tidak jauh dari jalan Banda Aceh – Medan, tepatnya di simpang Muhammadiyah. Daerah ini termasuk di dalam adaministrasi Desa Cot Mesjid Kecamatan Lueng Bata Kota Banda Aceh. Di dalam kompleks Mesjid Jami’ Lueng Bata terdapat dua mesjid, yaitu mesjid tuha (lama) dan baru. Mesjid lama merupakan mesjid peninggalan masa Belanda sedangkan mesjid baru, yang berada tidak jauh dari mesjid lama, dibangun pada tahun 1968. sejak diresmikannya mesjid baru, mesjid lama tidak difungsikan lagi untuk kegiatan keagamaan dengan alasan mesjid lama ukurannya sangat sempit sehingga tidak dapat menampung jamaah lagi. Dapat dipastikan jamaah 50 persen berada di dalam mesjid dan sisanya berada di luar mesjid. Mesjid tuha berukuran 10 x 12 meter. Berbentuk menyerupai mesjid Indrapuri dengan kubah satu bersegi empat dan tidak bertingkat. Berdinding tebal sehingga dapat dijadikan benteng apabila sewaktu-waktu terjadi penyerangan dari pihak Belanda.
Keberadaan nama Lueng Bata sudah ada pada zaman Kerajaan Aceh. Saat itu, Lueng Bata merupakan wilayah yang dikategorikan sebagai sebuah mukim dengan uleebalang-nya bernama Teuku Raja. Berbeda dengan sagi XXV mukim, sagi XXVI, dan sagi XXII mukim, mukim Lueng Bata merupakan wilayah yang diperintah langsung oleh Sultan. Walaupun mukim ini mempunyai wilayah lebih kecil dibandingkan ketiga sagi, namun kedudukan pimpinannya (imeum mukim) setara dengan panglima sagi yang mengepalai XXV mukim, sagi XXVI, dan sagi XXII mukim (K.F.H. Van Langen (1888).
Pada zaman perang kolonial Belanda di Aceh, Lueng Bata memegang peranan yang sangat penting. Demikian pula pimpinan mukim Lueng Bata, Teuku Imeum Lueng Bata. Ketika agresi Belanda kedua terhadap Kerajaan Aceh, kraton (dalam) terus menerus dibombardir oleh Belanda. Wabah kolera pun sedang berjangkit. Sultan, Panglima Polem, dan Teuku Baet menyingkir ke Lueng Bata. Pada waktu dalam direbut oleh Belanda pada tanggal 24 Januari 1874, Belanda untuk menghentikan serangan, dengan harapan agar dapat memaksakan sebuah persetujuan perdamaian. Dalam pada waktu itu Sultan Mahmud Syah terkena kolera dan mangkat pada tanggal 29 Januari di Pagar Aye (tidak jauh dari Lueng Bata), dimakamkan di Cot Bada, dekat Samahani, Aceh Besar. Walaupun dalam telah jatuh dan sultan telah tiada namun pasukan Aceh masih tetap terpelihara semangat juangnya.
Bahwa pendudukan dalam serta sebagian wilayah Aceh Besar yang disertai secarik kertas proklamasi, Belanda beranggapan sudah cukup membuat wilayah lain bertekuk lutut. Nyatanya tidak demikian. Salah satunya perlawanan ditunjukkan oleh Teuku Imeum Lueng Bata dan Teuku Chik Lam Nga. Mereka berusaha menaklukan Meuraksa. Walaupun mereka berhasil dipukul mundur oleh Belanda, tetap semangat tempur tidak kunjung surut. Sebelumnya, Teuku Imeum Lueng Bata juga pernah ikut serta dalam pasukan yang menghambat gerak pasukan Belanda ketika mereka mendarat di Kampung Lheue dekat Kuala Giging, Aceh Besar (M. Hasan Basri dan Ibrahim Alfian, 1990).
Peran yang lain yang dilakukan oleh daerah dan masyarakat Lueng Bata adalah pelantikan Tuwanku Hasyim Bangtamuda sebagai Mangkubumi Kerajaan Aceh karena Tuwanku Muhammad Daud Syah yang dinobatkan sebagai sultan di Mesjid Indrapuri tahun 1878 dianggap belum dewasa. Tuwanku Hasyim Bangtamuda dilantik di mesjid Lueng Bata.


Masjid Teungku di Anjong, Peulanggahan Banda Aceh NAD

Oleh: Agus Budi Wibowo





Mesjid Teungku Dianjong terletak di Kelurahan Peulanggahan, Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh. Untuk menuju lokasi tersebut dapat dilalui oleh kenderaan bermotor karena jalan menuju lokasi tersebut sudah beraspal. Mesjid tersebut terletak dekat sungai Aceh , sebelah Barat Pasar Peunayong, Banda Aceh sehingga di samping dapat melihat kebesaran sejarah mesjid tersebut, juga dapat menikmati pemandangan sungai Aceh yang dilalui oleh hilir-mudik perahu bermotor untuk mencari ikan di laut.
Mesjid Teungku Dianjong didirikan di atas pondasi yang berdenah bujur sangkar dengan ukuran 14,80 x 9.20 m dan tinggi 16 m. Selain itu, juga terdapat ruang berukuran 166 x 166 cm dan tingginya 177 cm, yang digunakan untuk tempat imam memimpin shalat berjamaah (mihrab). Mesjid tersebut mempunyai atap tumpang dua dan bersusun semakin mengecil ke atas. Pada sisi paling depan bangunan tersebut terdapat serambi yang merupakan bagian dari bangunan induk mesjid. Mesjid tersebut sudah memiliki langit-langit yang terbuat dari triplek sehingga udara tidak bebas keluar masuk dari ventilasi atap tumpang.
Mesjid Teungku Dianjong telah mengalami pemugaran pada tahun 1990 yang dibiayai oleh Pemda Kota Banda Aceh, karena perluasan bangunan baru pada sisi dindingnya menyimpang dari bentuk semula akhirnya pembangunan tersebut dihentikan
Mesjid Teungku Dianjong didirikan sekitar abad ke-18 oleh seorang ulama besar bernama Syaikh Abubakar bin Husein Bafaqih pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah (1760-1791). Beliau mengembara dari Timur Tengah, kemudian bermukim dan mengembangkan agama Islam di daerah ini. Beliau menjadi guru besar dalam hal pendidikan agama dan kemasyarakatan. Di samping sebagai guru agama juga dianggap sebagai orang keuramat dan diberi gelar Teungku Dianjong (orang yang tinggi statusnya).
Selain itu, maksud Teungku Dianjong adalah orang yang disanjung, dimuliakan dan tinggi martabatnya dari segi agama, adab dan adat-istiadat. Dalam usaha merealisasikan pengembangan dakwah Islam, beliau bersama masyarakat setempat membangun sebuah rumah (rumoh raya) sebagai tempat pengajian Al-quran sekaligus sebagai tempat memberikan pelajaran agama Islam.
Selain mendirikan tempat pengajian (rumoh raya), beliau juga mendirikan sebuah mesjid. Pendirian mesjid tersebut sebagai realisasi dari ajaran Islam untuk melaksanakan ibadah, di antaranya sebagai tempat shalat berjamaah. Di samping itu, juga dapat difungsikan sebagai tempat pertemuan mobilisasi massa dalam usaha melawan penjajahan Belanda. Setelah Syaikh Abubakar bin Husein Bafaqih meninggal, kemudian dimakamkan di samping mesjid tersebut. Oleh karena itu, sebagai tanda penghormatan masyarakat, maka namanya diabadikan pada nama mesjid tersebut, yaitu Mesjid Teungku Dianjong.
Seperti mesjid-mesjid yang ada di Aceh, mesjid merupakan sebuah pusat kegiatan keagamaan, yang mencakup syiar Islam. Selain itu, mesjid ini juga dijadikan sebagai tempat pendidikan keagamaan. Pada zaman dahulu di komplek mesjid ini dibangun pula dayah untuk mendidik para santri menjadi ulama.
Selain itu, pada zaman penjajahan Belanda, mesjid Tgk. Dianjong pernah pula dipakai oleh Belanda sebagai tempat “bersumpah” Teuku Umar. Ketika itu Teuku Umar bersumpah untuk menjadi “pejuang” Belanda melawan pejuang Aceh. Padahal sebelumnya Teuku Umar amat gigih melawan Belanda. Ada yang mengatakan bahwa langkah ini diambil oleh Teuku Umar hanya merupakan salah satu bentuk strategi perjuangan. Oleh Belanda, Teuku Umar kemudian mendapat gelar Teuku Johan Pahlawan sebagai penghargaan terhadap “penghianatan” Teuku Umar atas rakyat Aceh. Memang, tidak lama kemudian Teuku Umar bertempur atas nama Belanda. Akan tetapi, dalam perjalanan sejarah Teuku Umar kembali lagi ke pangkuan ibu pertiwi dan meninggalkan Belanda.
Ketika tsunami melanda Aceh pada tanggal 26 desember 2004 mesjid ini mengalami kehancuran. kemudian, dipugar, akan tetapi sangat disayangkan pemugaran sedikit banyak telah merubah bentuk asli dari bangunan.

Kebudayaan Aceh sebagai Pilar Pengembangan Kepariwisataan

Oleh: Agus Budi Wibowo

A. Pendahuluan
Aceh merupakan salah satu daerah berada di ujung Pulau Sumatera. Ia mempunyai akses yang strategis ke segala penjuru dunia. Ia menjadi pintu gerbang menuju Samudra atlantik dan Hindia. Tidak mengherankan Aceh pernah menjadi tempat singgahan dari para pedagang yang berasal dari berbagai negara. Tentunya, dalam konteks ini, Aceh mempunyai potensi pula dalam bidang pariwisata. Di daerah ini mempunyai potensi wisata budaya, alam, bahari, dan sebagainya yang cukup potensial untuk dikembangkan. Sebelum konflik pariwisata cukup berkembang secara baik. Akan tetapi, tatkala koflik berlangsung pariwisata Aceh mengalami perkembangan yang stagnan. Apalagi bencana tsunami melanda Aceh, pariwisata Aceh mengalami kemunduran yang cukup parah. Pariwisata di Aceh dalam posisi nadhir.
Pasca konflik dan masa rehabilitasi dan rekonstruksi di aceh, pariwisata di daerah ini mengalami perubahan-perubahan yang cukup baik menuju proses pemulihan. Akan tetapi, proses pemulihan tidak berjalan secara cepat. Malahan terdapat kontradiksi di lapangan. Akhir-akhir ini tempat-tempat wisata di razia oleh sekelompok orang karena dianggap tempat-tempat wisata dipakai tempat untuk bermaksiat. Akibatnya, objek wisata menjadi sepi dari pengujung. Hal ini menyebabkan akibat lebih lanjut perekonomian masyarakat menjadi tidak berkembang.
Memang tidak disalahkan apabila ada razia dilakukan terhadap pengunjung tempat-tempat wisata yang melakukan maksiat. Hal sesuai dengan pemberlakuan syariat Islam dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam hal ini pariwisata. Namun, juga tidak boleh serta merta menutup objek wisata dari kegiatan pariwisata.
Fakta dan kenyataan di atas menunjukkan bahwa pengembangan pariwisata yang relevan dilaksanakan adalah pariwisata yang bernuansa dengan syariat Islam. Hal ini memang tidak berbeda jauh dengan keseharian kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh. Mereka menjadikan ajaran agama Islam menjadi pegangan hidup. Semua aspek kehidupan harus berlandaskan ajaran agama Islam. Dengan demikian, apabila kita ingin mengembangkan kepariwisataan di Aceh, maka kita tidak boleh melupakan kebudayaan Aceh. Dengan kata lain, kebudayaan Aceh merupakan pilar dalam pengembangan kepariwisataan di daerah Serambi Mekah ini.

B. Dimensi Sosial Budaya Aceh
Kebudayaan merupakan suatu penyesuaian pada lingkungan fisik dan kebutuhan-kebutuhan biologis. Kebudayaan juga merupakan suatu penyesuaian pada lingkungan (Carol R. Ember dan Melvin Ember, 1973). Di sisi lain kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1981: 180) diartikan sebagai,
“Keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”.
Manusia sebagai pendukung kebudayaan itu disebut pula sebagai makhluk sosial sehingga dalam hidupnya selalu mengadakan hubungan secara timbal-bahk dengan sesamanya. Interaksi itu dapat terjadi antara orang perorangan, antara kelompok manusia dengan kelompok manusia antara kelompok manusia dengan kelompok manusia, dan antara perorangan dengan kelompok manusia (Soekanto, 1990: 67).
Seperti kita ketahui, memasuki awal tahun 2002, masyarakat Aceh memasuki babak baru dalam kehidupan sosial politik, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Mulai tahun 2002 ini, syariat Islam diterapkan dalam berbagai kehidupan masyarakat Aceh. Secara politis, di Aceh diterapkan syariat Islam melalui Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Berdasarkan kedua undang-undang ini DPRD Propinsi Daerah Istimewa Aceh menetapkan Perda Propinsi Daerah Istimewa Aceh No. 5 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Syariat Islam.
Kenyataannya, Islam dalam masyarakat Aceh telah mendarah daging di dalam segala aspek kehidupan sejak zaman dahulu. Ajaran Islam mengakar kuat di dalam sanubari hati dan jejak langkah kehidupan masyarakat. Bagi orang Aceh, ajaran agama merupakan tolok ukur dan barometer atas segala sikap, tindak-tanduk, perbuatan, dan penampilan mereka dalam pergaulan sesamanya. Sikap dan pandangannya dan segala macam bentuk benar-salah, bagus-jelek, baik-buruk dan segala macam bentuk penilaian selalu dikaitkan dengan ajaran agama Islam.
Masyarakat Aceh benar-benar menghayati ajaran agama Islam dalam kehidupannya. Penghayatan yang begitu besar dan mendalam terhadap ajaran agama Islam diwujudkan dalam bentuk akulturasi antara adat dan ajaran agama. Hal ini berarti seseorang yang telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan yang dituntut atau digariskan dengan adat, ia telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan ajaran agama atau sekurang-kurangnya tidak keluar dari bingkai agama yang mereka anut (Hakim Nyak Pha, 2000).
Oleh karena itu, semua gerak kehidupan masyarakat selalu terikat pada syariat Islam yang dikemas dalam bentuk adat (hukum) dan adat-istiadat. Keadaan ini tampak pada beberapa aspek seperti termaktub dalam beberapa hadih maja seperti Adat bak Poteu Meurohom, hukom bak Syiah Kuala, kanun bak Putroe Phang, reusam bak Lakseumana; hukom ngon adat lagee dzat ngon sipheuet dan hukom adat hanjeut cree lagee mata itam ngon mata puteh. Ungkapan-ungkapan tersebut memberikan pencerminan dari perwujudan syariat Islam dalam praktik hidup sehari-hari masyarakat Aceh. Kemudian tidak berlebihan apabila Aceh mendapat gelar Serambi Mekkah, Semangat Perang Sabil, Kerajaan Aceh Darussalam. Kesemua itu wujud dari semangat dan nilai yang lahir dari perpaduan tadi. Terkait dengan hal tersebut, pariwisata yang dikembangkan Nanggroe Aceh Darussalam umumnya adalah pariwisata yang dilandasi oleh nilai-nilai budaya Islam.

C. Potensi Wisata Budaya Di Banda Aceh
Banda Aceh yang mencanangkan motto Banda Aceh bandar Islami memiliki banyak potensi wisata budaya, seperti
1. Mesjid Raya Baiturrahman
Mesjid Raya Baiturrahman merupakan mesjid yang terbesar dan termegah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Mesjid ini mempunyai arsitektur yang indah dan terletak di pusat kota. Mesjid Raya Baiturrahman tidak sekedar berfungsi sebagai sebuah tempat religius semata, tetapi juga mempunyai makna yang mendalam bagi masyrakat Aceh berkaitan dengan sejarah pendudukan Belanda di daerah ini. Ketika Belanda belum menduduki Aceh, mesjid ini dipergunakan oleh pejuang-pejuang Aceh sebagai markas pertahanan mereka.Sebelum wujudnya yang seperti sekarang, beberapa tulisan tentang sejarah mesjid raya Baiturrahaman menyebutkan bahwa mesjid ini mulai dibangun pada masa Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Namun ada pula yang mensinyalir bahwa mesjid ini dibangun pertama kali pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah pada tahun 1292 (621H). Perluasan mesjid juga dilakukan kembali pada masa pemerintahan Nakiatuddin Khinayat Syah pada tahun 1675 - 1678 M.
Saat ini, tepat di depan mesjid ini terdapat Menara Tugu Modal. Menara/Tugu modal merupakan sebuah menara sebagai monumen bahwa Aceh pernah dinyatakan sebagai Daerah Modal di dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Menara terdiri dari enam lantai yang dapat dicapai melalui lift maupun tangga biasa.

2. Taman Sari Gunongan
Salah satu benda peninggalan budaya yang bernilai sejarah dan masih dapat kita saksikan dalam keadaan utuh adalah Gunongan lengkap dengan taman sarinya. Gunongan ini terletak di pusat kota Banda Aceh, tepatnya berada di Kelurahan Sukaramai, Kecamatan Baiturahman, Kota Banda Aceh. Lokasi ini dapat dijangkau dengan menggunakan kendaraan bermotor atau labi-labi melalui jalan Teuku Umar. Taman Sari Gunongan merupakan salah satu peninggalan kejayaan Kerajaan Aceh, setelah kraton (dalam) tidak terselamatkan karena Belanda menyerbu Aceh.
Gunongan dibangun pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang memerintah tahun 1607-1636. Sultan Iskandar Muda berhasil menaklukkan Kerajaan Johor dan Kerajaan Pahang di Semenanjung Malaka. Putri boyongan dari Pahang yang sangat cantik parasnya dan halus budi bahasanya membuat Sultan Iskandar Muda jatuh cinta dan menjadikannya sebagai permaisuri. Demi cintanya yang sangat besar, Sultan Iskandar Muda bersedia memenuhi permintaan permaisurinya untuk membangun sebuah taman sari yang sangat indah, lengkap dengan Gunongan sebagai tempat untuk menghibur diri agar kerinduan sang permaisuri pada suasana pegunungan ditempat asalnya terpenuhi. Selain sebagai tempat bercengkrama, Gunongan juga digunakan sebagai tempat berganti pakaian permaisuri setelah mandi di sungai Isyiki yang mengalir di tengah-tengah istana
Gunongan adalah bagian dari suatu kompleks yang lebih luas, Taman Ghairah, yang merupakan bagian dari taman istana. Di kompleks ini sekarang hanya tersisa empat buah bangunan; Gunongan itu sendiri, leusong (lesung batu) terletak di kaki Gunongan, agak di bagian Tenggara; kandang sebuah bangunan empat persegi di bagian utara di arah timur laut sepanjang sungai Krueng Daroy, dan Pinto Khop adalah sebuah pintu gerbang berbentuk kubah yang dulunya menghadap istana dan menghubungkan taman dengan alun-alun istana. Hanya anggota keluarga istana kerajaan yang diizinkan melewati pintu gerbang ini.
3. Museum, Rumoh Aceh, Lonceng Cakra Donya, Kompleks Makam Kandang Meuh, Makam Sultan Iskandar Muda, dan Pendopo Gubernur
Di sekitar jalan Sultan Mahmud Syah terdapat beberapa objek bersejarah yang sangat menarik dikunjungi. Adapun objek tersebut adalah Museum Negeri Aceh, Rumoh Aceh, lonceng Cakra Donya, Kompleks Makam Kandang Meuh, Makam Sultan Iskandar Muda, dan Pendopo Gubernur.
Pemerintah Belanda pada tahun 1914 membangun Rumoh Atjeh (Rumah Aceh). Adapun fungsi Rumoh Atjeh tersebut adalah tempat pameran barang-barang yang berasal dari Aceh dalam Pameran Kolonial (de-koniale tenstoonsteling). Pameran ini dilaksanakan di Semarang Jawa Tengah pada tanggal 13 Agustus sampai dengan 15 Agustus 1915. Setelah selesai pameran, bangunan ini dibongkar dan dibawa kembali ke Kutaraja. Selanjutnya rumoh tersebut dibangun sesuai dengan bentuknya semula dan dijadikan Museum Aceh yang ditempatkan di samping lapangan eksplanade Kutaraja. Oleh karena itu, ada juga yang menyebut museum ini dengan nama Rumoh Aceh. Museum Aceh itu sendiri pemakaiannya diresmikan pada tanggal 31 Juli 1915.
Saat ini Museum Negeri Aceh merupakan museum yang dikelola oleh pemerintah dan sebagai tempat penyimpanan berbagai benda bersejarah, baik dari masa kerajaan hingga masa kemerdekaan. Koleksi yang ada di museum ini antara lain stempel Kerajaan Aceh, replika makam Malikul Saleh, naskah kuno, mata uang Kerajaan Aceh, dan lain-lain.
Koleksi lain yang berada di museum ini adalah Lonceng Cakra Donya. Mengenai keberadaan Lonceng Cakra Donya terdapat beberapa versi. Pada tahun 1939 lonceng sultan yang telah tua itu digantungkan dengan sebuah rantai di dalam sebuah kubah dari kayu di depan Museum Negeri Aceh. Ternyata pada saat lonceng itu dibersihkan pada bagian luarnya terdapat hiasan-hiasan dengan simbol-simbol (ukiran-ukiran) dalam bentuk huruf Arab dan huruf Cina. Simbol-simbol tersebut telah aus dan inskripsi dalam huruf Arab tidak dapat dibaca lagi. Diduga bahwa tunangan-tunangan lonceng itu dahulu diberi lapisan-lapisan emas. Tanda-tanda yang bermacam-macam itu telah dipahat ke dalam besinya dan emasnya telah dimasukkan pada aluran-alurannya.Lonceng itu mungkin merupakan lonceng kuil dan telah berkarat seluruhnya, sedangkan emasnya telah hilang dari bentuk-bentuk hurufnya dan mungkin sekali sudah diambil oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Huruf-huruf Cina pada lonceng itu berbunyi Sing Fang Niat Toeng Juut Kat Yat Tjo yang dapat diartikan sebagai berikut Sultan Sing Fa yang telah dituang di dalam bulan 12 dari tahun 5.
Komplek Kandang Meuh (Makam-Raja-raja Aceh) ini terletak di Komplek Baperis dan Komplek Museum Negeri Aceh. Dalam Komplek Baperis terdapat dua Kandang Raja Aceh, yang pertama disebut Kandang Meuh dan satu lagi disebut Komplek Makam Sultan Ibrahim Mansur Syah. Adapun yang dimakamkan di Komplek Kandang Meuh antara lain Putri Raja anak Raja Bengkulu, Sultan Alaidin Mahmud Syah, Raja Darussalam, Tuanku Zainal Abidin dan lain-lain.
Selanjutnya Komplek Makam Sultan Ibrahim Mansur Syah dimakamkan antara lain Pocut Rumoh Geudong (istri Sultan Ibrahim Mansur), Pocut Sri Banun (anak Sultan Ibrahim Mansur), Sultan Ibrahim Mansur Syah (memerintah tahun 1836 - 1870), Sultan Muhammad Syah (anak Sultan Mahmud Syah), Sultan Husein Johar Al-alam Syah (anak Sultan Muhammad Syah), Putoru Binen (kakak Sultan Ibrahim Mansur Syah), Tuanku Husein Pangeran Anom (anak Sultan Ibrahim Mansur), Tuanku Cut Zainal Abidin, Tengku Chik, Tuanku Raja Ibrahim (anak Sultan Mohammad Daud Syah). Dalam Komplek Museum Negeri terdapat makam Sultan Alaiddin Ahmad Syah (1727 - 1735), Sultan Alauddin Johan Syah (1735 - 1760), Sultan Alauddin Mohammad Daud Syah (1781 - 1795), dan Pocut Mohammad (anak Sultan Ahmad Syah).
Tidak jauh dari kompleks makam Kandang Meuh terdapat makam Sultan Iskandar Muda. Sultan yang pernag memerintah Kerajaan Aceh. Di bawah pemerintahannya Kerajaan Aceh mencapai puncak kejayaannya. Di sebelah barat dari makam Sultan Iskandar Muda, terdapat Pendopo Gubernur (Meuligo Aceh). Di sinilah para gubernur Aceh bertempat tinggal. Pendopo Gubernur dibangun oleh pemerintah militer Belanda. Adapun tempat dimana bangunan ini berdiri merupakan bekas kraton Kerajaan Aceh. Arsitektur bangunan Pendopo Gubernur merupakan kombinasi antara arsitektur Eropa dan Aceh.

Selain potensi yang telah disebutkan di atas, ada beberapa potensi wisata budaya yang dapat menjadi aset yang baik untuk dikembangkan sebagai wisata budaya yang mendukung “Banda Aceh sebagai Bandar Islami”. Potensi tersebut mencakup upacara kenduri Maulid Akbar, Tradisi Makmeugang, Kebiasan minum kopi, tari-tarian seperti seudati, rapai’i, saman. Hasil-hasil industri budaya juga dapat dikembangkan sebagai aset pariwisata yaitu makanan khas Aceh, rencong, dan sebagainya.

D. Pengembangan Wisata Budaya
Secara umum pengembangan pariwisata selalu berorientasi pada kebutuhan pasar dan ketersediaan sumber daya yang berkelanjutan. Menurut Sambudjo Parikesit (2005: 3-4) pengembangan pariwisata ini diarahkan untuk
1. Memberikan perhatian dan dukungan yang lebih besar pada usaha pariwisata skala kecil.
2. Mendorong tumbuhkembangnya ekonomi termasuk bidang pariwisata sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
3. Menempatkan manusia sebagai subyek pembangunan.
4. Menciptakan nilai tambah terhadap kekayaan sumberdaya wisata.
Oleh karena itu, diperlukan prinsip dasar yang harus dijadikan norma dalam penyusunan kebijakan pengembangan pariwisata sebagai berikut,
1. Kelestarian lingkungan hidup. Lingkungan merupakan salah satu ekosistem yang sangat rawan terhadap intervensi yang menyebabkan hilangnya daya tarik yang dimiliki. Untuk meminimalisasi dampak yang terjadi, maka konsep daya dukung (physical and social carriying capacity) mutlak diterapkan pada semua destinasi pariwisata.
2. Kemitraan. Pengembangan pariwisata memerlukan dukunungan dunia usaha dan pelibatan masyarakat selain peranan pemerintah. Keterlibatan dan partisipasi masyarakat merupakan penjabaran pengembangan pariwisata berbasis masyarakat (community based tourism).
3. Pengembangan masyarakat. Pelibatan masyarakat dalam pengembangan wisata untuk menciptakan keamanan, kenyamanan, dan peningkatan kapasitas masyarakat sehingga dapat meminimalisasi ancaman yang berasal dari masyarakat. Dengan demikian, arah pengembangan yang melibatkan masyarakat sebagai subjek ditujukan untuk meningkatkan kesadaran dan manfaat kepariwisataan di sebuah destinasi atau daerah bagi masyarakat.
4. Persatuan dan kesatuan. Pengembangan pariwisata harus tetap dalam kerangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Wisata budaya merupakan suatu bentuk wisata dengan objek utama mengacu kepada kehidupan masyarakat. Dalam hal ini dimaksudkan dengan kehidupan masyarakat yang dapat “dijual” adalah nilai-nilai budaya, cara hidup dari suatu komunitas, seperti kesenian rakyat, kerajinan tangan, pameran, festival, upacara daur hidup dan sebagainya. Namun wisatawan asing biasanya tertarik tidak hanya pada objek wisata yang sifatnya front stage seperti yang telah disebutkan, tetapi mereka juga tertarik pada aspek-aspek budaya yang sifatnya back stage. Hal ini tidak terlepas dari trend kehidupan orang Barat yang ingin back to nature. Masyarakat Indonesia kaya dengan kehidupan seperti itu. Dapat kita sebutkan seperti kehidupan masyarakat Baduy di Jawa Barat, Orang Tengger di Jawa Timur, Orang Papua. Di Banda Aceh juga memiliki kehidupan masyarakat yang masih “alami” dan masih memegang kehidupan adat-istiadat. Kehidupan ini mempunyai nilai jual yang cukup baik bagi wisatawan.
Di Aceh (Banda Aceh) terdapat delapan subsuku bangsa yaitu suku Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet, Simeulu, Singkil, dan Tamiang. Kedelapan subsuku bangsa ini mempunyai nilai-nilai budaya yang amat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Namun demikian, kedelapan subsuku bangsa ini ditautkan oleh ajaran agama Islam yang dianut oleh sebagian besar masyarakat. Mereka menjadikan ajaran agama Islam menjadi tolok ukur baik-buruk dari semua perilaku, baik dalam kehidupan sosial ekonomi maupun kehidupan kemasyarakatan lainnya.
Oleh karena itu, di dalam aktivitas kepariwisataan di Banda Aceh masyarakat juga harus mengacu kepada nilai-nilai ajaran agama Islam. Tanpa mengacu kepada ajaran Islam, pariwisata Aceh akan dijauhi oleh masyarakat. Masyarakat tidak akan menerima dunia pariwisata di sekeliling kehidupan mereka. Apalagi sejak tahun 2001, Aceh ditetapkan sebagai daerah di Nusantara yang melaksanakan syariat Islam secara kaffah. Dengan demikian, semua sendi kehidupan masyarakat harus berpedoman kepada syariat Islam.
Dalam dunia kepariwisataan terdapat beberapa aspek seperti pelayanan, penyediaan infrastruktur. Pelayanan dimaksud di sini pelayanan akomodasi dan konsumsi. Selain pelayanan harus mengikuti standar internasional dalam dunia kepariwisataan, maka sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Aceh harus ditambah lagi dengan penyesuaian terhadap ajaran agama Islam, sehingga pariwisata yang dilaksanakan di Banda Aceh sesuai dengan syariat Islam. Misalnya, kesenian yang ditampilkan juga harus bernuansa Islami; pelayanan yang diberikan harus pula bernafaskan Islami.
Ajaran agama Islam tidak melarang adanya kegiatan kepariwisataan. Karena Nabi Muhammad SAW sendiri sudah pernah melakukannya. Ajaran agama Islam hanya melarang kegiatan kepariwisataan yang merusak akidah seseorang dan merusak lingkungan alam sekitarnya. Di sisi lain, ajaran agama Islam juga mengajarkan bagaimana umatnya agar memuliakan tamu yang datang ke rumah atau daerahnya (Aceh: peumulia jamee).
Beberapa kegiatan prioritas dalam pengembangan Banda Aceh - Nanggroe Aceh Darussalam antara lain meliputi
1. Membangun komitmen seluruh stakeholder pariwisata.
2. Pemantapan kondisi keamanan, ketertiban, kebersihan, dan failitas pelayanan pariwisata.
3. Penataan dan pemantapan rencana indung pengembangan pariwisata pascatsunami.
4. Optimalisasi atraksi dan daya tarik wisata yang siap jual antara lain pengembangan wisata religi/agama dengan pasar yang lebih fokus.
5. Peningkatan pemahaman dan kesiapan masyarakat untuk mendukung agenda pembangunan kepariwisataan di Banda Aceh - Nanggroe Aceh Darussalam.
6. Kerjasama dan kemitraan dengan daerah lain/sekitarnya untuk kegiatan perencanaan dan pemasaran/promosi bersama melalui peluncuran paket wisata terpadu.
Pada dasarnya tujuan pengembangan kepariwisataan bukan saja diarahkan untuk pariwisata itu sendiri, tetapi sebagai alat untuk mendukung pengembangan wilayah dalam rangka pembangunan daerah dan nasional.

D. Penutup
Pariwisata Aceh umumnya dan Banda Aceh mempunyai kekhasan yang tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain di Nusantara. Kegiatan kepariwisataan di daerah ini harus dibingkai oleh syariat Islam yang kaffah. Dengan demikian, kebudayaan adalah pilar utama pengembangan kepariwisataan di daerah ini. Apalagi hal tersebut didukung oleh potensi yang cukup banyak dalam pengembangannya. Tinggal lagi, komitmen dan political will dari semua pihak dalam pembangunan kepariwisataan yang didukung oleh masyarakat dan dana yang memadai.

DAFTAR PUSTAKA
Geertz, Cliford
1978 The Interpretation of Culture. New York: Basic Book Inc.
Hakim Nyak Pha, M.
2000 “Adat dan Penegakan Disiplin Masyarakat” Haba No. 13/2000. Banda Aceh: BKSNT Banda Aceh.

Husin, Amir
1992 Pariwisata Spritual. Banda Aceh: Dinas Pariwisata.
I Gusti Ngurah Bagus
1991 "Hubungan Pariwisata dengan Budaya di Indonesia: Prospek dan Masalahnya", Makalah disampaikan pada Kongres Kebudayaan di Jakarta tahun!991.
Kanwil Deparsenibud Propinsi D.I. Aceh
1998 Sadar Wisata. Banda Aceh: Kanwil Deparsenibud Propinsi D.I. Aceh.
Mardiatmojo, BJ.
1991 "Wawasan Wisata", Kompas. 12 januari.
Naisbitt, John
1994 Global Paradox, ten. Budijanto. Jakarta: Binarupa Aksara.
Parikesit, Sambudjo
2005 “Kebijakan Pembangunan Kepariwisataan Nasional”, Makalah pada Rakor dan Ratnit Pengembangan Pariwisata Prov. NAD tanggal 5-6 September 2005 di IAIN Ar-Raniry.
Pribadi, Jeliteng
2000 Sikap Masyarakat Iboih terhadap Program Pengembang-an Pariwisata dalam Rangka Pelaksanaan Kapet Sabang. Banda Aceh: PPISB Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh.
R.M. Soedarsono
1991 "Secara Alami dan Kultural seharusnya Indonesia Mampu Menjadi Negara Wisata Nomor Satu di Asia Tenggara", dalam Ilmu-ilmu Humaniora, FS UGM Yogyakarta.
Sedyawati, Edi
1998 "Kebijakan Pengelolaan Budaya Sebagai Produk Unggulan Pariwisata", Makalah disampaikan pada Dies Natalis XXXV Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung, 14 April.
Sppilans, James J.
1987 Ekonomi Pariwisata, Sejarah dan Prospeknya. Yogyakarta: Kanisius.
1994 Pariwisata Indonesia: Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Stale Ange Rye
2004 “The Dynamics of Low Budget Tourist Area The Case of Prawirotaman”, Asean Journal On Hospitality and Tourism Vol. 2 No. 1 Januari, Centre for Research on Tourism ITB Bandung.

Perjuangan Teuku Raja Tampok di Seunagan (Nagan Raya) Melawan Belanda

Oleh: Agus Budi Wibowo dan M. Isa Sulaiman

"Mengenai Teuku Raja Tampok yang disebut dalam laporan politik yang lalu, seorang lawan kita yang terdamaikan itu telah dicari-cari 20 tahun yang lalu, hanya diterima berita yang samar-samar; namun demikian dapat dipastikan ia beserta istrinya tetap bertualang di paya-paya Seuneuam yang amat sukar ditembusi itu diberi makan oleh penduduk Seuneuam (Mailrapport No. 130/29)
Petikan singkat laporan Gubernur Aceh Goedhart tentang keadaaan politik di Aceh tahun 1928 di atas mengingatkan kita bahwa sejak 1908 T.R Tampok telah tampil sebagai pejuang dari gerilyawan Aceh (muslimin) yang cukup diperhitungkan oleh pemerintah kolonial terutama dalam penaklukan daerah Seunagan di Pantai Barat Aceh. Kemunculan T. R. Tampok sendiri sebagai salah seorang pemimpin perlawanan sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dengan drama penaklukan wilayah Meulaboh umumnya dan Seunagan khususnya sejak penghujung abad ke-19 lalu.
Pemimpin perlawanan rakyat Seunagan dalam menghadapi Belanda pada mulanya berada di tangan T. Keumangan. Ia didampingi oleh putra pemimpin ulama terkemuka di daerah itu, Habib Nagan, yaitu Tgk. Padang Si Ali alias Sayid Yasin dan kemenakannya Tgk. Putik alias Said Abdur Rani. Dalam tahun 1902-1904 berlangsung peperangan yang cukup seru antara kesatuan-kesatuan Marsose Divisi 2 yang dipimpin Campioni dan Mathes yang bermarkas di Pulo Ie (kemudian Jeuram) dengan para gerilyawan bersangkutan (muslimin) yang menimbulkan banyak korban. Kapten Campioni sendiri gugur dalam suatu pertempuran, namun pasukan Belanda yang ter-organisir rapi dengan dukungan senjata dan logistik yang baik terlalu kuat untuk dikalahkan oleh pihak gerilyawan. Menyadari hal demikian pada bulan Januari 1905 T. Keumangan turun berdamai dengan Belanda (Du Cro, 1943: 62-63). Sebelas tahun kemudian ia diangkat sebagai zelfbestuurder Seunagan menggantikan saudaranya, T. Johan.
Turunnya T. Keumangan memang berpengaruh terhadap volume perlawanan, tetapi tidak berarti perlawanan menjadi berhenti. Persoalannya Tgk. Padang Siali dan Tgk. Putik masih tetap meneruskan perang gerilya. Dalam melakukan perlawanan terhadap tentara Marsose yang dipimpin Letnan H.J. Schmidt dan Kapten Baretta, mereka dibantu oleh beberapa orang ksatria terkemuka seperti T. Raja Tampok, T. Kapa, T. Itam. Para kesatria itu terdiri dari atas orang-orang pemberani, ahli siasat, dan trampil dalam mempergunakan kelewang.
Aksi perlawanan yang dilakukan oleh para pejuang itu cukup merepotkan pasukan Marsose yang telah membangun bivak (asrama) di Jeuram dan Lam Ie di samping dua lainnya di Meulaboh dan Kuala Bhe. Masalahnya para pejuang itu sangat menguasai alam sekitarnya, tambahan lagi menurut Belanda sendiri (Du Cro, 1943 dan Goedhart, 1927), mereka adalah penyerang-penyerang berkelewang yang amat berbahaya yang disokong oleh keyakinan bahwa gugur dalam peperangan melawan kafir adalah syahid.
Apapun perlawanan yang mereka lakukan nyatanya pasukan Belanda yang terorganisasi rapi tidaklah mampu mereka enyahkan dari negeri Seunagan. Malah sejumlah ksatria mereka, termasuk T. Usman, anak Tgk. Putik, sendiri gugur dalam pertempuran dan sebagian lainnya luka atau tertawan. Atas prakarsa T. Keumangan, Tgk. Putik dan ± 40 orang pengikutnya pada bulan Oktober 1910 turun berdamai. Pada bulan Januari 1911 Tgk. Padang Si Ali, ayah Habib Muda, juga meniru langkah yang sama. Para ksatria yang turun itu ada yang terus berbaur dengan masyarakat kembali, seperti Tgk. Padang Si Ali dan ada pula yang oleh beberapa pertimbangan diasingkan ke luar daerah Aceh termasuk Tgk. Putik sendiri yang pada tahun 1918 diasingkan ke Banyumas, Jawa Tengah.
Pendirian Tgk. Putik dan Tgk. Padang Si Ali untuk berdamai rupanya tidak diikuti oleh T.R. Tampok. Masalahnya ia mengalami trauma yang cukup berat terhadap perlakuan keji yang dilakukan oleh serdadu Belanda terhadap orang tuanya T. Datuk Mat Sareh. Ketika tentara Marsose menggempur basis perlawanan mereka di Alu Bata, Tadu Atas, beberapa waktu lalu, ayahnya T. Datuk Mat Sareh yang sedang terbaring di atas dangau dibakar oleh serdadu Belanda sampai hangus bersama dengan dangau tersebut. Pada waktu menyaksikan mayat ayahnya yang telah jadi abu itu, ia pun bersumpah akan terus melakukan perlawanan terhadap Belanda sampai titik darah terakhir.
Terikat oleh sumpahnya itulah, maka T.Raja Tampok beserta istrinya Cut Caya, asal hulu Seunagan terus melajutkan gerilya dari satu hutan ke hutan yang lain atau dari satu rawa ke rawa yang lain di Tadu Alas, Seuneunam dan hulu Krueng Tripa. Di samping itu seorang panglima lain, yaitu Pang Karim -seperti T.R. Tampok- melakukan aksi gerilya di daerah Tripa. Mereka ini merupakan pemimpin gerilya yang sangat ditakuti dan dicari-cari oleh Belanda sebagaimana salah satu kutipan yang telah disebut di atas.
Kurang diketahui secara persis berapa jumlah pengikut T.R. Tampok selama masa gerilya dari satu hutan ke hutan tersebut. Menurut sumber intelejen Belanda kawanan T.R. Tampok dalam tahun 1926-1931 sekitar 12 orang. Pengikutnya itu berasal dari orang-orang yang tidak puas di dalam desanya yang berhasrat untuk menyalurkan perasaan tidak puas itu melalui perang sabil melawan kafir.
Dalam suasana perang gerilya T.R. Tampok menerapkan aturan-aturan yang keras kepada pengikutnya agar terhindar dari marabahaya. Para gerilyawan diharuskan menggunakan pakaian warna hitam. Lelaki dan perempuan memakai celana untuk memudahkan gerakan bila terjadi kontak senjata. Celana mereka berpotongan babah keumurah (di bawah lutut) dan baju bulat leher, sementara lelaku memakai destar yang juga berwarna hitam. Destar itu juga dapat digunakan sebagai kain selimut dan wadah mengangkut barang keperluan sehari-hari.
Operasi militer dan patroli yang dilakukan oleh serdadu Marsose yang berpangkalan di Lam Ie dan Jeuram hanya dapat mengurangi pengikut T.R. Tampok melalui berbagai kontak senjata, tetapi tidak mampu menangkap atau menewaskan T.R. Tampok sendiri. Akibatnya, T.R. Tampok luput dari kejaran Belanda hingga akhir masa kolonial Belanda di Aceh. Ketidakberhasilan Belanda tersebut justru meningkatkan reputasi T.R. Tampok di mata rakyat umum di negeri Seunagan melalui mitos yang disebarkan dari mulut ke mulut bahwa ia memiliki ilmu kebal, ilmu ureh (pengetahuan waktu-waktu yang cocok untuk bertindak agar selamat) dan peurabon (dapat hilang seketika atau menjelma menjadi makhluk lain).
Di samping penguasaan terhadap alam sekitar dan kemampuan beradaptasi dengan alam, rahasia kemampuan bertahan T.R. Tampok juga terletak atas jaringan kekerabatan yang berlangsung antara dirinya dengan masyarakat setempat. Ketika ia berada di hulu Krueng Tripa, keuchik Uyam dan Khatib Bismi masing-masing kepala desa dan imam Desa ujung Baroh, Mukim Blang Tripa, tempat leluhur T.R. Tampok berasal dan dikebumikan, Menurut T.R. Tadu, telah berhubungan secara rahasia dengan T.R. Tampok di tempat persembunyiannya. Melalui jaringan hubungan itulah ia dapat memperoleh suplai garam atau kain yang amat diperlukan. Malah putrinya Cut Keumala yang telah lama ditingggalkan di desa bersama dengan 4 cucunya T. Usman, T. Banta, T.R. Tadu, dan T. R. Kuala dapat bergabung kembali dengan T.R. Tampok pada akhir masa kolonial melalui jaringan di atas (Wawancara dengan T.R. Tadu 1995).
Hulubalang setempat kelihatannya bersikap acuk tak acuh terhadap T.R. Tampok sepanjang tidak mengganggu ketertiban penduduk. Hal demikian dapat dimengerti mengingat T. Keumangan hulubalang Seunagan 1916-1929 yang kemudian digantikan oleh T. Ben adalah bekas majikan T.R. Tampok. Sedangkan T.R. Baday alias Petua Beungga, zelbestuurder Seuneunam sebelum 30 Juli 1929, menurut Gubernur Goedhart adalah hulubalang yang lemah dan tidak dapat dipercayai (Mailrapport 835x/28).
Dalam masa perjuangan gerilya itu terdapat juga konflik kepentingan antara T.R. Tampok dengan sebagian masayarakat desa. Konflik kepentingan apabila tidak dapat didamaikan lagi diselesaikan melalui aksi teror sebagaimana halnya pembunuhan terhadap Tgk. M. Yatim, imeum Desa Alue Kuyun Tripa, oleh Pang Perlak atas kerjasama dengan 2 orang penduduk setempat pada awal tahun 1926. Beberapa waktu kemudian T.R. Batak, imeum Tripa Atas, membunuh pula pengikut T.R. Tampok, yang terakhir segera memberikan reaksi balasan. Pada tanggal 15/16 Juli 1926 Ben Lui dan Pang Perlak membunuh T.R. Batak. Zelfbestuurder Seunagan T. Keumangan membiarkan peristiwa yang menimpa bawahannya itu berlalu begitu saja (Mailrapport No. 221x/28 dan 835x/28). Tidak lama kemudian imuem Tripa Atas digantikan oleh T.R. Gombak.
Dalam masa gerilya itulah T.R. Tampok memperoleh seorang putra yang diberi nama T. Bentara Keumangan, tetapi lebih populer T. Raja Ubit (kecil atau bungsu). Tahun persis kelahirannya kurang diketahui, tetapi diperkirakan sekitar 1935. T.R. Ubit sendiri bukan lahir dari rahim Cut Caya. Menurut sebuah sumber ibunya adalah Indah/janda A. Rahman, pengikut T.R. Tampok yang telah ditangkap dan dibuang ke Jawa oleh Belanda. Ketika tempat persembunyian T.R. Tampok di Blang Tadu dikepung serdaddu Marsose, T.R. Tampok dan Cut Caya beserta T.R. ubit yang masih kecil dapat menyelamatkan diri ke hulu Blang Tripa. Sedangkan Indah gugur dalam kepungan itu. Sejak saat itu T.R. Ubit diasuh oleh Cut Caya dalam keadaan berpindah-pindah tempat (Wawancara Zainal Abidin, 1995).
Berbarengan dengan aksi gerilya yang dilakukan dengan T.R. Tampok negeri Seunagan pun mengalami perubahan sebagai akibat dari kolonisasi, modernisasi dan pergantian generasi. Sejak tahun 1928 enam perusahaan besar membuka 10 perkebunan kelapa sawit dan karet yang arealnya ratusan ribu hektar, sementara buruh atau karyawannya didatangkan dari luar (Nota Van Toelichting ...). Berdirinya bivak dan perkebunan mengakibatkan munculnya Pasar Jeuram dan Alue Bilie yang didiami oleh minoritas pendatang dan penduduk setempat. Bersamaan dengan itu pemerintah kolonial membangun pula fasilitas komunikasi dan fasilitas sosial di kedua tempat.
Kesemua hal di atas mengakibatkan struktur sosial masyarakat Seunagan bertambah kompleks berkat munculnya kelompok-kelompok sosial baru di tengah masyarakat. Di kota Jeuram dan Alue Bili sendiri muncul kelas pedagang, baik yang berasal dari orang Cina maupun orang Aceh yang sukses di tempat itu seperti Nyak Ana Hamzah. Di samping itu, muncul pula generasi muda terpelajar baik yang memperoleh pendidikan umum maupun madrasah, seperti M. J. Efendi dan Tgk. Zakaria Yunus, 1906-1996. Kelompok pedagang dan intelegensia muda ini, seperti halnya minoritas pendatang, cukup adaptif terhadap ide pembaharuan yang sedang menggelinding di Kepulauan Nusantara waktu itu. Kekompleksitasan struktur masyarakat dengan sendirinya berpengaruh pada pendistribusian kekuasaan karena munculnya simpul-simpul kekuasaan baru di tengah masyarakat. Masalahnya kekuasaan tradisional di Seunagan dan Beutong pada waktu sebelumnya berada di tangan hulubalang setempat beserta jaringan birokrasinya sebagai penguasa adat dan Tgk. Padang Si Ali, sejak 1929 digantikan oleh Habib Muda 1899-1973 sebagai pemimpin spiritual Tarekat Syatariah.

Daftar Pustaka

M.Isa Sulaiman dan Agus Budi Wibowo. 1998. Dinamika Masyarakat Gunung Kong di Aceh Barat. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh

Masjid Beuracan, Kec. Meureudu Pidie Jaya NAD


Oleh: Agus Budi Wibowo

Mesjid Beuracan terletak di Desa Beuracan, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya, yaitu di sisi jalan poros Sigli-Medan, yaitu di sisi jalan poros Sigli-Medan dan dapat dijangkau dengan semua jenis kendaraan darat. Mesjid ini dibangun di atas tanah seluas 40 x 40 meter deengan status tanah wakaf.
Bangunan mesjid berdenah bujur sangkar. Bagian luar sisi barat bangunan maesjid ini masih tersisa adanya bekas pondasi dari bangunan lama. Bila melihat pondasi yang tersisa itu tampak bahwa dasar pondasi yang sekarang telah bergeser sekitar 50 cm ke arah timur. Mesjid Beuracan hingga kini masih difungsikan meskipun mesjid baru telah dibangun pada sisi utara. Terlebih lagi karena mesjid ini ramai dikunjungi oleh masyarakat pada hari-hari tertentu untuk melepaskan nazar.
Mesjid Beuracan beratap tumpang 3 dari bahan seng dan berdinding kayu dengan ukiran dekoratif motif Aceh serta sulur-suluran. Dinding ini merupakan hasil pemugaran yang dilakukan oleh Muskala pada tahun 1990. Pada luar dinding terdapat teras yang dipisahkan oleh dinding tembok setinggii 95 cm dan tebal 26 cm. Pada bagian depan atap teras terdapat ukiran sulur-suluran dengan kombinasi berbagai warna.
Mesjid ini ditopang oleh 16 buah tiang sebagai soko guru yang berdiameter 52 cm yang menopang atap bagian atas. Masing-masing tiang tersebut berbentuk segi delapan dan satu buah tiang di antaranya telah diganti dengan bentuk yang sama. Selain tiang soko guru masih terdapat 4 buah tiang gantung yang turut menopang atasp bagian atas. Sejak pemugaran yang dilakukan tahun 1947 dan 1990, maka mesjid tersebut telah diberi llangit-langit dari papan. Lantai mesjid terbuat dari semen dan bata. Pola hias berupa tumpal, sulur-suluran dan hiasan bunga juga terlihat pada balok pengikat antara tiang soko guru dengan tiang gantung.
Pada sisi barat bangunan inti terdapat bagian yang menjorok keluar ynag difungsikan sebagai mihrab. Di dalamnya terdapat sebuah mimbar dari tembok semen dengan cat putih dan atap dari tirap/kayu dengan pola hias sulur-suluran dan bunga.
Unsur lain yang masih tersisia ialah adanya sebuah bedug yang terbuat dari kulit sapi dan batang pohon lontar. Menurut seorang informan bahwa kulit sapi yang digunakan bedug ini dan rotan yang digunakan sebagai pengikat telah diganti. Adapun ukuran bedug itu adalah panjang 142 cm, diameter bagian atas 75 cm, diameter badan 67 cm, dan diameter dasar 51 cm.
Peningalan lain yang tidak kalah penting adalah adanya sebuah tongkat yang seusia dengan bangunan mesjid ini. Tongkat tersebut terbuat dari rotan, bagian atas terbuat dari kuningan dan bagian bawah terbuat dari besi yang bentuknya menyerupai linggis dengan ukuran panjang 163 cm.
Di bagian luar bangunan mesjid terdapat sebuah guci Siam yang sebagian badannya tertanam di dalam tanah sehingga yang nampak pada permukaan ialah bagian leher dan mulut guci. Guci ini masih dikeramatkan sehingga diberi pembatas dari kain dan kain penutup seluruh bagian badan guci. Adapun ukuran guci diameter mulut 35 cm, diameter badan 80 cm, kedalaman/tinggi 92 cm.
Diperoleh informasi bahwa mesjid Beuracan dibangun oleh Tgk. Salim pada tahun 1622 M pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda memerintah Kerajaan Aceh. Tgk. Salim berasal Madinah. Ia datang melalui selat Malaka hingga sampai di daerah Meureudu bersama-sama dengan Tgk. Japakeh dan Malim Dagang. Tgk. Salim tinggal menetap di Pocut Krueng sehingga ia dikenal dengan nama Tgk Chik di Pocut Krueng. Tgk. Japakeh menetap di Desa Meunasah Raya dan Malim Dagang menetap di Desa Manyang Cut. Ia adalah seorang ulama. Oleh karena itu, ia kemudian membangun mesjid sebagai pusat pengajaran agama Islam kepada masyarakat di sekitarnya. Di samping itu, ia juga membuka lahan persawahan seluas 50 ha dan tanah perkebunan di lingkungan mesjid seluas 6 ha, yang hasilnya digunakan untuk membiayai pembangunan mesjid.
Mesjid Beuracan pernah dipugar oleh masyarakat pada tahun 1947 dengan memperindah bangunan tanpa merubah bentuk semula, hanyya menambah dinding bagian belakang (sisi barat). Kemudian pada tahun 1990 dipugar kembali oleh Muskala Kanwil Depdikbud Prop. DI Aceh dengan penambahan dinding seluruh bagian mesjid dan mengganti tiang-tiang serta atap yang rusak.

March 02, 2009

Hikayat Prang Aceh Teuku Umar Johan Pahlawan

Mujar MS

Hikayat Prang Atjeh
Teuku Umar
Johan Pahlawan


Diterbitkan oleh
Toko Buku RATA
Jaln. Teuku Cut Ali Banda Aceh



Isi Buku

N0 Halaman
1. Isi Buku i
2. Muqaddimah ii
3. Salam Penyusun 1
4. Kata pembukaan 2
5. Kisah pertama 3
6. Kata penutup 27


******* oo 0 oo *******

Sangat pemberani Umar Pahlawan
Pimpinan pasukan membela negara
Di Ujong Kalak kehendak Tuhan
Syahid Pahlawan pada akhir masa


Salam Penyusun
(sekapur sirih)

Allahu Allah Allahu Rabbi
Syukur dengan puji kepada Tuhan yang Esa
Salawat salam siseun saya beri
Kepada Nabi saidil ambia

Salam sejahtera saya iringi
Akan insan suku sebangsa
Haba(hikayat) lama perjelas kembali
Sejarah lama pada suatu masa
Sejarah lama saya cerita
Kisah tragedi Aceh mulia
Masa perang Aceh sahih berdalil
Pahlawan suci Umar perkasa

Obat pikiran ketika sunyi
ketika sepi untuk penawar
jangan sampai lupa satu tragedi
sejarah negeri zaman Belanda

Kembalikan ingat riwayat suci
Kita ulang kaji sejarah bangsa
Kisah pejuang cukup sejati
Dalam perang sabil membela agama

Sampai di sini sekedar kisah mulaan
Pulang ke abi serta bunda
Kalam permulaan pada saya wahai saudara
Pengarang seni Keuluang Jaya

Mujar Ms
Halama 1

Kisah Permulaan

Syukur dengan puji kepada Allah
Dengan bismillah saya mulai kisah
Selawat salam kepada Rasulullah
Utusan Allah Nabi mulia

Amma bakdu saudara yang berbahagia
Saya berkisah satu ceritra
Dao saya mohon kepada Allah
Menyusun naskah supaya sempurna

Gunung Geurutee tinggi sekali
Tekungan patah jalan sebelah Daya
Zaman dahulu masa penjajah
Dalam sejarah perang dengan Belanda

Seorang panglima paling terkenal
Lagi tampan dengan bijaksana
Pada masa perang Aceh cukup terkenal
Cukup berani membela bangsa

Mempertahan negeri menghalau penjajah
Serambi Mekah jangan dikuasai orang
Jangan sampai kafir yang memerintah
Agama Allah jangan diganggu
Halaman 2

Permulaan Kisah

Allhadulillah puji kepada Tuhan
Saya buka kalam jalan ceritra
Bait saya tata reka mengarang
Pertama tentang awal ceritra

Dalam Lhok Rigaih pada suatu malam
Tiba kapal barang dari Eropa
Menurunka sauh di pelabuhan
Pada malam itu sangatlah besar

Bendera biru bertabur bintang
Tanda bangsaan Britania Raya
Memang kala Inggris cukuplah terang
Penuh di dalam barang niaga

Saudagar Aceh sangatlah senang
Pada malam itu bersuka ria
Lewat pintu kapal masuk ke dalam
Riuh tiada tara di sana berpesta

Banyak tokoh ke sana datang
Turut serta dengan syahbandar
Semalam suntuk sibuk tiada tara
Berpiasan berhura-hura

Kapten kapal lemah pikiran
Orang di dalam disuruh keluar segera
jangan lagi berpesta sini dilama
Hai tuan-tuan harus tahu bahasa
Halaman 3

Kami ke sini jauh tiada tara
Arung gelombang dalam laut raya
Niat dalam hati sampai ke tujuan
Mengantar barang tukar dengan lada

Bukan kami ke sini datang
Bukan tempat tuan berhura-hura
Mengapa di sini lain sekali reusam
Mengadakan piasan pada harta orang

Turunlah secara cepat
Sebelum saya pukul ke dalam mata
Bukan kapal kami tempat bersenang
Berhenti segera jangan keras kepala

Begitulah keluar kata-kata yang keras dan kaku
Kasar tiada mengeluarkan kata-kata
Dengan logat Inggris tiadalah jelas
Bercampur ragam dengan bahasa Jawa

Semua orang Aceh yang ada di dalam
Panas tiada tara hati berguncang
Tak sanggup mengendalikan emosi datang
Pada waktu itu kacau pun datang

Kapten kapal cukuplah tegang
Pada waktu itu dia berdebat
Dengan syahbandar dia melawan
Bahasa campuran tiada karuan
Halaman 4

Si kulit putih Inggris bangsawan
Berguncang badan merah dengan muka
Marah sekali si hudung panjang
Seolah-olah redeum ban mata

Waktu itu segera kacau tiada tara
Berbagai macam riuh menggema
Semua orang Aceh marah taida tara
Langsung menentang si biru mata

Cuma syahbandar gelap pikiran
Pada waktu itu silap pun datang
Rencong di pinggang dikeluarkan segera
Tusuk dalam badan kafir celaka

Di ujung pohon rambung sarang burung gang
Di ujung pohon mangga sarang burung cem pala
Tiwah kapten dalam kapal barang
Tida segera sampai kepada panglima

Teuku Umar Johan Pahlawan
Pada waktu itu ke sana datang
orang terkejut takut tiada tara
pada waktu itu pucat air muka
halaman 5

dalam orang ramai masuk segera
mata memandang dengan syahbandar
geleng kepala Umar Pahlawan
air mata jatuh berhamburan

apakah kita sekarang sudah gila
hai tuantuan semua anak bangsa
mengapa begini bisa kejadian
peutiwah lawan belum pada masanya

sekarang kita tiada lagi aman
dengan kejadian begini rupa
penyakit kita beli mempertali utang
besok datang siapa yang datang menagih

maafkan saya Apun segera
sungguh saya tiada sengaja
tak sanggup saya tahan panas dalam badan
gelap pikiran kilaf pun datang

begitu syahbadar menjelaskan
pada pahlawan Umar Perkasa
sangatlah malu pada waktu itu
pucat air roman lutut bergoncang

Begitulah sifat Umar Pahlawan
Ditakuti lawan musuh Belanda
Bagi orang negeri sangat segan
Begitu pahlawan penuh wibawa
Halaman 6
Setelah itu Umar Pahlawan
Minta kerelaan dan izin merata
Terpaksa sekrang sore ini segera
Saya tinggalkan tuan saudara semua

Saya tinggalkan Rigaih sekarang juga
Sebelum datang bencana
Sebab di Inggris tentu sudah jelas
Minta bantuan dari Belanda

Sungguh di sini tiada lagi aman
Dengan kejadian dalam kapal raya
Kemudian syahbandar menyahut segera
Kami semua ikut serta

Kami ikut turut pahlawan
Sama berjuang bela agama
Biar di rimba sengsara badan
Bawalah serta dengan panglima

Kalau sungguh bulat tekat semua tuan
Dalam perjuangan membela negara
Kita butuh banyak perbekalan
Dalam pertahanan di dalam rimba

Naik dalam kapal ambil semua barang
Untuk persiapan kita semua
Kalau sudah habis tiada lagi barang
Kapal biarlah karam biar tidak tampak tanda
Halaman 7

Selain membawa perbekalan
Membawa serta satu orang wanita
Perempuan buleek cantik rupanya
Perempuan tawanan dalam kapal raya

Perempuan Eropa wajah menawan
Rambutnya piran matanya biru
Sangatlah cantik putri rupawan
Cantik tiada tara dengan air wajah

Orang Inggris pada waktu itu
Kepala pening buta pikiran
Semua pelosok mengirim utusan
Semua kawasan menyuruh memata-matai

Melihat ke langit awan berkalang
Angin selatan jarang pun datang
Bangsa Belanda marah tiada tara
Mengirim pasukan ke sana datang

Gampong Rigaih mau diserang
Orang di dalam satu pun tiada lagi
Semua isi negeri ikut serta
Bersama Pahlawan ke dalam rimba

Pada waktu itu Inggris tampak pikiran
Lalu mengadakan segala sayembara
Ke dalam kampung dukun dengan pasar
Memberi utusan dengan segera
Halaman 8

Menyuruh sampaikan semua pengumuman
Pada penerangan orang Belanda
Siapa berani mengambil kembali putri
Dalam tawanan di dalam rimba

Yang ada saat ini dalam sekapan
Umar Pahlawan yang sangat perkasa
Berbulan-bulan siseuen menyelang
Satu pun insan tiada suara

Tiada yang memperlihatkan Umar Pahlawan
Biarpun sumbangan sangatlah besar
Perempuanbuleek tetap dalam tawanan
Dengan pasukan Aceh mulia

Hingga dua tahun langsung berselang
Perempuan Buleek dikembalikan lagi
Bangsa Inggris senang sekali
Karena perempuan itu sedikit pun tiadacacat

Perempuan buleek itu lantas menjelaskan
Dalam tawanan tidak pernah sengsara
Sangat agung jiwa pahlawan
Tiada bandingan hati mulia

Maaf saudaraku tang long gemilang
Bait karangan sedikit saya tukar
Saya ganti ujung supaya lebih garang
Sepaya enak dibaca
Halaman 9
Air besar berlimpah dalam sungai Lambeuso
Jalan pulang pergi Kampung Kuala
Istana Sulta di pusat negeri
Sudah jatuh ke tangan orang Belanda

Sultan pindah dari mahligai
Tiada lagi berkumpul di Kutaraja
Panglima Polem alim tiada tara
Setiap hari lawan Belanda

Teuku Umar terus mendekat
Jurang berbanjar tiada dikira
Pertama dari Rigaih hingga sampai
Dalam hutan Lamno pucuk sungai Gapa

Lewat sana ia turun atas gunung Jantho
Hingga sampai ke Kutaraja
Panglima Polem lalu berkumpul
Pahlawan nanggroe dengan Teuku Umar

Membuat peperangan setiap segi
Di sana sini di dalam kuta
Istana sultan yang sudah dalam tangan
Sikafir pindoe yang tiada beragama

Meletus perang siang dan malam
Di dalam negeri tiada reda
Senjata kafir canggih tiada tara
Tiada sama budi dengan Teuku Umar
Halaman 10

Sudah tujoh bulan hitung hampir sampai
Tetap mahligai kafir kuasa
Pasukan Aceh surut dalam negeri
Kembali pulang ke dalam rimba

Sampai terkena hujan bertali
Air sungai Meureubo melimpah keluar
Tahun 1876 Belanda pindoe
Di pasang besi untuk jalan kereta api

Rel kereta api megah tiada tara
Jalan pulang pergi ke Kutaraja
Dari Ulee Leheu tentara dimasukkan
Ke sini dibawa ke dalam Kuta

Tahun 1885 sampai ke Lambaro
besi datur jalan kereta
pasukan Aceh sudah bercerai berai
tiada lagi bersatu di Kutaraja

Pada waktu itu bertambah kacau
Pahlan negeri dengan tiba-tiba
Teuku Umar yang tiada terkira
Sudah bersatu dengan Belanda

Jatuh semangat semua pejuang negeri
bergoncang daging rakyat semua
Panglima Polem sedih tiada tara
Terduduk di sagi keluar air mata
Halaman 11

Semua pasukan hati tertampi
Waktu mendengar begitu berita
Ada yang tertuduk di pojok
Ada juga yang menangis bengkak dengan mata

Jalan berlapis atas gunung Paroe
Jalan pulang pergi ke Kuta Banda
Kawum Belanda senang tiada tara
Enak perasaan si mata Biru

Sebab Umar yang sangat berani
Sekarang bersatu dengan Belanda
Diserahkan bedil di tangan
Berbagai jenis alat senjata

Semua alat canggih yang dibawa dari negeri
Diberi ke tangan Umar perkasa
Disuruh perang bangsa yang ada dalam negeri
Pertahankan mahligai istana raya

Sekali lagi kisah saya potong di sini
Singkat kisah ini saya ceritra
Jangan panjang sekali kisah bertali
Asal bersatu kisah ceritra

Krue semangat rahmat Ilahi
Langsung saya rawi sambungan kisah
Sudah ada beberapa lama selama dikisah
Pahlawan negeri berbalik pula
Halaman 12
Teuku Umarberbalik kembali
Membela negeri nusa dan bangsa
1896 pada tahun masehi
Kisah abadi kembali lagi panglima

20 maret nyata kembali
Hari itu bukti sejarah bangsa
Pahlawan negeri yang sangat sejati
Pahlawan suci membela agama

Ke dalam rima lalu kembali
Bersama istri yang sangat dicintai
Dengan Cut Nyak Din seorang srikandi
Sangat serasi mempertahankan negara

Senjata dari kafir lalu dibagikan
Kepada orang ahli perang membela bangsa
Dengan Nyak Muhammad mengikat janji
Serta lagi Husen Lung Bata

3 mukim Lambaro bersatu kembali
Bertambah lagi semua rakyat
Rakyat dari Lam Pue bercampur serta
Ikut selalu membela negara

Teuku Cut Tungkop melanjutkan lagi
yang lain lagi beribu semua
semua rakyat Acehbangun kembali
mengikat janji ikrar setia
halaman 13

pergi ke Meulaboh istirahat di Keuluang
Lihat burung walet pulang ke gua
Wahai saudara ku perempuan dan laki-laki
Bait tulisan saya ubah lagi

Sangatlah malang sayang tiada tara
Istana sultan masih diganggu orang
Panglima Polem tidak mau serta
Umar pahlawan tidak mau dipercaya

Setiap sagi Aceh pada waktu itu berperang
Semua rakyat melawan kafir Belanda
Panglima Polem dengan pasukan
Dalam persembunyian di Gunung Raba

Sultan Aceh Aceh di situ serta
dengan angkatan semua bala tentara
kafir penjajah sangatlah kejam
diusir sultan dalam istana

Teuku Umar pimpinan pasukan
Kafir diserang setiap saat
Tidak cukup lagi kepala hampir gila pening
Kafir waktu itu tidak sampai menduga

Banyak sekali mati kafir dalam perang
Banyak sekali korban tidak sanggup lagi hitung
Tidak sanggup lagi hitung meukaheung badan
Terkena senapan Umar perkasa
Halaman 14

Kampung Cina di Ranto Calang
Kampung Lam Asan di Lamno Jaya
Saya coba ubah lain wahai handai taulan
Ujung baitan yang lain pula

Atas Glee Kapai kayu besar batang
Cabangnya rampak di sekeliling
Pasukan Umar akhirnya nyata
Membuat tempat benteng perkasa

Di Aneuk galong di situ tempat
Benteng besar sekali di sana dibangun
Di dalam benteng mengatur siasat
Serangan kilat depan istana

Tentara penjajahbertambah marah
Menyuruh kirim alat dari pulau Jawa
Seorang panglima yang besar pangkat
Ahli siasat hebat sekali

Jenderal Vutter namanya nyata
Sangat hebat dalam perang gerilya
Dari situ bermula langsung sangat dahsyat
Perang cukup berat di Aceh Raya

Dari Cot Reung sangatlah hebat
Lam Barih dahsyat perang tiada reda
Lamcot Seuneulop berkalang asap
Belanda jahat menyiksa orang
Halaman 15
Aneuk Galong dikepung nyata
Langit tampak pucat asap berhamburan
28 Juni dalilnya tepat
1896 tahun yang nyata

Perang Aneuk Galong yang sangat hebat
Nyak cukup dahsyat sejarah bangsa
800 pucuk senjata dipegang
Pasukan Aceh hebat mulia

Tetapi Belanda lebih hebat sekali
Sangatlah lengkap berbagai rupa
131sendiri di sana
Berganjal jasad syuhada bangsa

Di dalam rumput selintang meuhat
Bertindidh jasad para syuhada
Pasukan Aceh sangat melarat
Kafir sang kilat sangatlah kejam

Mayat bertabur setiap tempat
Di sana tempat tempat pejuang bangsa
Sangat pedih waktu teringat
Setiap sagi tempat mayat terlentang

Teuku Umar tidak jatuh semangat
Pikiran bulan seperti baja
Keringat di badan berkilau-kilau
Mengangkat bedil dengan semua rakyat
Halaman 16

Sejengkal tanah dipertahankan
Walau melarat disurut tiada
Kafir Belanda korban cukup berat
pasukan banyak sekali di sana binasa

tidak sanggup lagi hitung berganjal jasad
si kafir laknat keluar mata
terkena di tengkuk pecah kepala
berhamburan otak keluar

yang terkena di punggung selintang tepat
di situ berputar nyawa keluar
yang terkena di perut keluar semua urat
kafir sangkilat menjerit-jerit

Allah Akbar Umar berkata
Puji Hazarat yang Maha Esa
Bertambah berani dengan serta merta
Kembali semangat luar biasa

Pasukan Umar samag dengan rakyat
Panas berasap di dalam dada
Perang melawan kafir semakin meningkat
Bertambah dahsyat dari yang sudah

Ramai ketika gelap di Kota Langkat
Hari ahat di Lamno Jaya
Panglima Polem sangatlah sayang
Tidak mau berkumpul dengan Teuku Umar
Halaman 17

Pada waktu itu Umar merubah siasat
Tidak lagi mengejar melawan Belanda
sebab musuh sedang lagi kuat
berhenti sebentar semua pasukan

wahai saudara kawum sejawat
bait tersurat saya balik lain
jangan sampai bosan rakan dan sahabat
itulah seba saya ubah kemudian

Allahdulillah limpah pujian
Yang menjadikan alam langit dan bumi
Orang Belanda sangatlah paham
Hajat pahlawan tahu rahasia

Empat penjuru bangun pasukan
setiap simpang di bangun tentara
Banyak sekali korban rakyat pada waktu itu
syahid meukuyan pejuang bangsa

sangat biadab rakyat semua diperang
begitulah kejam siputih mata
orang tiada salah juga disamakan
tiada disayang sebelah mata

meninggalkan Sibreh sahih waktu itu
Bawa lari pasukan ke dalam rimba
Sebagian dalam kawah menyelamatkan badan
Sebagian lari ke sawah berenang di rawa
Halaman 18
Ada juga sebagian yang ditawan
Dalam tahanan ke sana semua dibawa
Ada juga yang sedang lari langsung meutimphan
Jatuh badan terkena senjata

Ada yang jatuh di dalam sawah
Ada yang di jalan jatuh korban
Ada yang di dalam rawa putus terpotong-potong
Terkena klewang kafir Belanda

Yang masih tinggal dengan Pahlawan
Semua pasukan yang setia
Ke kampung Lamteh ke sana datang
Atur pasukan di pinggir rimba

Di kampung Lamteh rintis pasukan
tegakkan barisisan semua bala tentara
tetapi waktu itu paling sial
karena diketahui oleh Belanda

ke kampung Lamteh kirim pasukan
dengan bermacam alat senjata
bulan Agustus jatuh bilangan
tempat itu menurut kisah

1897 meletus dalam perang
Dengan iringan semua mata-mata
Pasukan Aceh menunggu di sana
Dengan pimpinan Umar perkasa
Halaman 19

Jalan kelililing tebing dengan jurang
Di sana Phlawan memimpin tentara
Di sana kafir mati meukuyan
Sebab serangan dengan tiba-tiba

Satu-satu dipancung meutimphan
Dengan klewang yang tajam mata
Satu pun tiada ampung semua dicincang
Seperti membunuh babi rimba

Ada satu orang kafir sangat tampan
Tubuhnya tinggi gagah perkasa
Orangnya tampan rambutnya pirang
Besar badannya kelabu mata

Dia mau lari ke dalam jurang
Namun Pahlawan menghalang lanja
Hai anjing buleek kembali ke sini
Saya kamu lawan kalau kamu berani

Mencabut rencong langsung menghujam
Sangat garang Umar Perkasa
Tetapi sibuleek sangatlah paham
Badannya melinggang rencong berputar

Menarik langkah gagah tiada tara
Langsung menyerang tubuh Panglima
Kowe Extimeest wahai beruang
Begitu ia katakan pada Panglima
Halaman 20

Umar marah tiada tara
Rencang dipaku terkena di dada
Di sini terguling si kafir rambut pirang
Di sana terjatuh memanggil ibu

Pasukan Aceh sangat senang
sangat senang hati gembira
semangat jiwa dengan kemenangan
semua pasukan bersuka ria

ular mengeluarkan sarung di kampung Rigaih
Titi sudah patah di pantai Purba
Panglima negeri langsung perintah
Lamteh kita simpan kita akan pergi

Sebab Belanda akan sampai langkah
Pasukan dikerah ke sini datang
Itulah sebab kita tinggalkan segera
Kita hijrah ke dalam rimba

Malam bergati hari berubah
Kalau lapar dengan haus tiada dikira
Pertama anak gunug masuk dalam culah
Mengayun langgkah ke dalam rimba

Karang bercula dalam rimba Allah
Mencari cara jalan dicari
Habis diarung lorong dengan sungai
Harimau dengan gajah tiada dihirau
Halaman 21
Berpulu-puluh gunung masuk jelajah
Dengan susah payah pagi dengan senja
Hujan dengan badai sampai selamat
Tentara dituntun oleh Panglima

Hangga waktunya Pahlawan gagah
Jalan batu terbuka pucuk sungai Raba
Dengan tiba-tiba perang meletus lagi
Tentara penjajah ke sana tiba

Di dalam rimba berenang darah
Pasukan jatuh bertubi-tubi
Begitu juga kafir penjajah
Tentara jatuh tewas bertubi

Setelah itu dalam sejarah
Di dalam kisah perang membela bangsa
Ke Pidie dalil yang jelas
Ke sana sangat sah pasukan datang

Ke negeri Tiro berkumpul cepat
Dengan seorang alim ulama
Teungku Chik Ditiro seorang yang gagah
Lawan penjajah kafir Belanda

Wahai saudar perempuan dan laki-laki
Bait tulisan saya ubah pula
Tida saya potong ujung karangan
Tetap sambungan menurut kisah
Halaman 22

Jalan cerita tidak saya pangkas
Bukan saya memperpendek kisah
Tetapi buhu sedikit berubah
Supaya bacaan bertambah seru

Siasat Umar licik tiada tara
Belanda pening sakit kepala
Sudah lama waktu berselang
Umar Pahlawan tidak didapat

Pihak Belanda sudah banyak korban
Mati pasuk tidak sanggup lagi dihitung
Apalagi senjata alat dalam perang
Dibawa lari serta oleh Teuku Umar

Banyak sekali rugi segi keuangan
Dalam pemerintahan Hindia Belanda
Uang kas negera banyak sekali korban
Biaya perang di Aceh Raya

Lalu Belanda merancang cara
Supaya lemah lawan dicari cara
Pejuang Aceh ditutup hubungan
Tali ikatan dengan negeri luar

Semua ke Pidie dikerah pasukan
Berbagai macam jenis senjata
Dibangun benteng kokoh tiada tara
Lengkap barisan pasukan kuda
Halaman 23

Di luar benteng atur meriam
Berbagai macan ke sana tiba
Waktu meletus riuh tiada tara
Langit berkalang asap membumbung

Pasukan Umar pada waktu itu lari kembali ke dalam rimba
Sebab di Pidie posisi goyang
Setiap hari Tuhan serangan datang

Ke dalam rimba membawa pasukan
Umar Pahlawan langsung berangkat
Tentara marsose selalu menghadang
Umar pada waktu itu cukup sengsara

JB van Heutsz yang memegang pimpinan
sangat ahli perang dari Belanda
sangat pandai memainkan klewang
orang dicencang tidak sanggkup kita hitung

sampai ke Gayo Umar berjalan
dengan pasukan yang seadanya
habis raja Cut dalam kerajaan
berdamai segera dengan Belanda

Tetapi Umar Johan Pahlawan
Sangatlah pantang mengkhianati bangsa
Walau melarat tetap berjuang
Di jalan Tuhan membela Agama (bangsa)
Halaman 24

Di Lhok Seumawe Pantai Ujung Blang
Aceh Selatan Ujung Serangga
Huruf lain gati sekali lagi saudara
Ujung babakan hampir tamat kisah

Kemudian akhir sampai tiba langkah
Ke sana wilayah Meulaboh Raya
Di Ujong Kalak di sana Allah menggerak
Panglima gagah terkena senjata

Di sana di hutun terlentang jatuh
daun rumpun merah saksi nyata
badan Panglima ratanya basah
berenang darah di dalam rimba

wahai saudara saudara yang berbahagia
saya kamu simpan jangan lagi diingat
sambung berjuang pantang menyerah
Serambi Mekkah tetap kamu jaga

Kepada handai taulan saya mohon maaf
Mungkin ada salah suatu dosa
Sampaikan salam saya ke setiap wilayah
Yang saya simpan selama-lama

Sudah sampai waktu saya kembali kepada Allah
Sampaikan segera kepada handai taulan semua
Sudah sampai di sini janji dari Allah
Bagaimana saya katakan sudah sampai masa
Halaman 25

Kata-kata terakhir Pahlawan gagah
Waktu itu jatuh keluar dengan mata
Semua pasukan mukanya basah
Yang mengalir darah di dalam dada

Tubuh Panglima langsung dituntun
Mencari cara segera membawa lari
Walau di belakang ribut sekali
Kafir penjajah mengejar terus

Teuku Umar sangat megah sekali
di sana tewas pada akhir masa
tujuh kuburan yang jelas dikatakan
di dalam kisah perjuangan bangsa

di sana dibangun oleh pemerintah
mengenang kisah Umar Perkasa
satu tugu bentuk kopiah
lambang sejarah untuk anak bangsa
halaman 26

Kata Penutup

Beribu puji kepada Tuhan
Berlimpah pujian tidak terhingga
Diberi syafaat enak dengan badan
Tamat karan satu ceritra

Kembali kepada saudara handai taulan
Isi di dalam sejarah bangsa
Sebuah kisah pada masa silam
Seorang pahlawan membela agama

Beri kritik, saran dan kesan
Kepada saya yang tulis ceritra
Saya sadari isi karangan
Sangatlah kurang belum sempurna

Menulis hikayat yang permulaan
Inilah tulisan yang pertama
Kisah saya susun saya kumpulkan segera
Dari cerita orang tua-tua

Hampai di sini wahai muda sedang
Akhir karangan saya tutup kisah
Kalau ada umur diberi oleh Tuhan
Lain karangan bertemu pula

Banda Aceh, 2003

Wassalam pengarang


MUJAR MS