February 16, 2009

WACANA PEREMPUAN INDONESIA

Oleh: Agus Budi Wibowo

John Naisbitt dan Patricia Aburdene telah meramalkan, dalam bukunya yang amat populer Megatrends 2000, bahwa pada dekade menjelang tahun 2000 kemungkinan perempuan akan muncul sebagai pemimpin di segala bidang. "Ramalan" ini telah menjadi isu yang menyita perhatian para pengamat dan peneliti masalah perempuan di manca negara, termasuk Indonesia. Dalam era globalisasi dan di akhir abad ke 20 ini isu perempuan tidak saja masih menyita perhatian, tetapi juga masih sangat relevan untuk dibicarakan.
Setiap isu yang beredar dalam masyarakat mempunyai dua kemungkinan, bisa benar bisa pula salah sehingga bagi khalayak ramai harus membuka mata dan telinga lebar-lebar agar tidak "terjerembab". Isu tersebut harus dikaji secara mendalam dan dilihat dalam konteks yang lebih luas, tidak saja dilihat dari satu sudut pandang saja. Dengan demikian, kita dapat menanggapi isu itu dengan kepala dingin dan mencari sesuatu yang mendekati kebenaran.
Menanggapi isu yang menarik ini, saya ikut tertarik untuk menguji kebenarannya. Apakah benar ramalan itu telah terjadi di Indonesia ? Bagaimana kondisi perempuan Indonesia saat ini ? Kemajuan apa saja yang telah mereka capai ? Sudahkah perempuan di Indonesia menjadi pemimpin seperti yang telah diramalkan ?

Era Penindasan Perempuan
Kalau kita merunut ke belakang, kita dapat jumpai perempuan sebagai makhluk yang tertindas. Perempuan tidak lebih sebagai objek belaka. Aristoteles dalam The Politics mengkategorikan wanita (sic!) sama dengan budak. Wanita dianggap sebagai objek seksual. Bila dianggap sebagai objek seksual, wanita mudah diekploitasi (Hardi, 1996).
Dalam konteks ini perempuan hanya dihargai dari segi nilai reproduksinya. Perempuan ditempatkan pada posisi dikuasai, subordinatif. Perempuan, dalam keluarga, sesuai dengan fithrah alaminya sebagai istri, menerima benih, mengandung anak, melahirkan, menyusui, memelihara anak. Sejalan dengan nilai reproduksinya, dari pihak perempuan juga dibebani dengan pekerjaan rumah tangga lainnya dan dituntut pula tetap setia pada suaminya. Di luar nilai reproduksinya, peran perempuan hanya dianggap dengan "sebelah mata". Perempuan tidak mempunyai suara, utamanya dengan hal-hal yang berkaitan pengambilan keputusan. Orang dilarang atau tidak mau mendengarkan saran dari pihak perempuan. Pengambilan keputusan untuk memecahkan masalah kemasyarakatan didominasi oleh laki-laki.
Saat itu, "citra baku" bahwa fisik perempuan lemah daripada laki-laki masih mendominasi alam budaya masyarakat. Kaum perempuan biasanya diberi predikat pasif, lemah-lembut, sabar, setia, emosional dan irrasional, sedangkan laki-laki menempati kedudukan superior dengan predikat kuat, berkuasa, agresif, dan lain-lain.
"Citra baku" yang kemudian dibungkus oleh rekayasa sosial budaya menyebabkan perempuan terpuruk dalam alam ketidakberdayaan. Perempuan menempati kedudukan sebagai kanca wingking laki-laki. Makhluk yang diatur oleh laki-laki, harus dilindungi dengan macam-macam yang mengekang dan mengurangi hak kewenangannya. Perempuan harus setia dan tunduk pada laki-laki, swarga nunut, neraka katut.
Namun ironisnya, perempuan sendiri tidak berani bersuara dengan keadaan mereka yang seperti itu. Perempuan menyetujui dan menerima kekuasaan laki-laki itu sebagai suatu yang wajar.
Kondisi seperti itu pernah dialami perempuan sebelum era Kartini. Era sebelum itu ditandai dengan "penindasan" perempuan oleh laki-laki. Slogan perempuan sebagai kanca wingking dan swarga nunut neraka katut menjadi bahan yang disosialisasikan oleh para orang tua pada anak-anak mereka. Selain itu, ketidakadilan dalam perkawinan seperti kawin paksa, sistem poligami, sistem selir dan ditambah dengan adanya sistem "nyai" dalam masyarakat kolonial telah membatasi lingkungan hidup perempuan

Era Emansipasi
Zaman sudah berubah. Kata-kata yang sering didengung-dengungkan oleh banyak orang. Kini kita telah memasuki era masyarakat informatika. Globalisasi sudah terjadi dan dunia menjadi kecil. "Batas-batas" negara semakin tipis.
Adanya suasana haluan baru ini kiranya yang disebut oleh Herbert Blumer sebagai cultural drift yang ditandai dengan adanya nilai-nilai baru yang menyebabkan manusia menghendaki perubahan-perubahan dalam tata kehidupan karena banyak hal dalam kehidupan sehari-hari tidak lagi sesuai dengan apa yang dianggap baik atau adil (Manus dkk, 1993).
Oleh karena itu, perempuan bergerak atas dorongan mereka sendiri untuk merubah "citra baku" yang ada selama ini. Mereka tidak lagi merasa puas hidup yang terbatas yang diisi dengan kewajiban keluarga dan rumah tangga saja. Mereka ingin memperoleh kebebasan dan bekerja di lingkungan yang lebih luas. Mereka tidak hanya bergerak di sektor domestic, tetapi juga di sektor public. Mereka berharap pula ketidakadilan dalam perkawinan dihapuskan.
Dengan pelan tetapi pasti, perempuan Indonesia mulai menampakkan kemajuan yang menggembirakan. Perempuan Indonesia sudah mempunyai peluang dan kesempatan yang sangat besar untuk berkembang. Hal ini ditunjang dengan mulai memudarnya (walaupun belum hilang sama sekali) "citra baku" masyarakat terhadap keberadaan dan peran perempuan di berbagai aspek kehidupan.
Kalau R.A Kartini, Dewi Sartika, dan pelopor emansipasi perempuan lainnya masih hidup, mereka dapat tersenyum bangga bahwa apa yang mereka cita-cita dan perjuangkan selama ini mulai menampakkan hasilnya. Atas kemajuan perekonomian dan pendidikan perempuan mulai menunjukkan dirinya. Mereka mulai memasuki dunia yang selama ini secara tradisional digeluti kaum laki-laki. Banyak kaum perempuan keluar rumah, baik untuk bekerja maupun melakukan kegiatan dalam rangka aktualisasi diri.
Saat ini, kita sudah tidak asing lagi mendengar perempuan masuk dalam kehidupan dunia politik, bisnis, pendidikan, dan hankam. Dalam kehidupan politik kita pernah mendengar nama-nama seperti Megawati, Fatimah Akhmad, Aisyah Amini, dan lain-lain. Mereka adalah salah tiga pemimpin perempuan yang berhasil duduk di lapisan pimpinan partai. Kemudian, saya kagum pula pada Pratiwi Soedharmono, Edi Sedyawati, yang merupakan beberapa contoh ilmuwan yang sukses, yang tentunya masih ada yang lainnya. Dalam dunia bisnis, kita mengenal Martha Tilaar, Siti Hardiyati Rukmana yang dapat dijadikan contoh perempuan yang dapat membuktikan keuletan dan kebolehannya mengendalikan perusahaan. Dalam bidang Hankam, kita juga mengenal Roekmini dan Jean Mandagi dua orang perempuan yang mencapai pangkat jenderal.
Namun kalau kita kaji mendalam ternyata perempuan sebetulnya belum dapat menembus dinding yang tebal yang didirikan oleh pimpinan laki-laki. Memang, diakui beberapa perempuan telah mencapai puncak karir mereka masing-masing. Namun kualitatifnya ? perempuan belum dapat menduduki posisi yang menentukan dalam pengambilan kebijakan atau keputusan. Dengan kata lain, masih diperlukan suatu kedudukan perempuan untuk turut serta dalam pengambilan keputusan. Karena kenyataanya, dalam banyak contoh, perempuan masih berada dalam posisi nomer dua dalam pengambilan kebijakan atau keputusan.

Hambatan-hambatan
Apa yang salah ? Apakah ini berarti perempuan tidak dapat menjadi pemimpin ? Padahal apabila perempuan diberi kesempatan, jawabannya mengapa tidak. Apabila perempuan dipandang dari sisi manusia (human) bukan betina (female) - meminjam istilah yang dipakai Parsudi Suparlan - tentunya mereka mampu memimpin dan jadi pemimpin. Kedua makhluk dikaruniai otak yang sama-sama cerdasnya, sama-sama punya harapan, impian, ambisi, cita-cita dan perlu pula tidur, dicintai dari Tuhan Yang Maha Esa.
Ternyata beban kultural masih begitu kuat menindih mereka, yang sering kali terekspresikan dalam berbagai bentuk humor, ejekan, gosip, dan sebagainya. Betapa sukarnya mereka melepaskan diri dari "citra baku" masyarakat dan mitos yang mengungkung mereka hanya untuk menunjukkan bahwa mereka mampu. Karenanya, tidak sedikit dijumpai adanya cerita mengenai rasa terasing perempuan yang memilih jalan tersebut dari lingkungannya seperti yang tergambar dalam kata-kata, Apa yang kau cari Palupi ? (Krisna dalam Alfian, 1994). Oleh karena itu pula tidak sedikit dari mereka yang akhirnya memilih "rumah yang damai", kembali ke posisi tradisional yang aman (Sumarjo dalam Alfian, 1994).
Dengan demikian, "ramalan" John Naisbitt dan Patricia Aburdene masih perlu dipertanyakan lagi. Kepemimpinan perempuan yang akan terjadi di masa depan bukanlah mutlak suatu kepastian. Wong namanya saja kecenderungan (trends) yang bisa saja ada kecenderungan lain dari fenomena yang belum berlangsung sekarang. Yang terjadi di Indonesia adalah proses perubahan menuju lebih berperannya kaum perempuan dalam wilayah public adalah suatu proses yang irreversible, yang mau tidak mau dan suka atau tidak suka, akan jalan terus dan tidak dapat dikembalikan kepada keadaan semula. Sejarah tidak akan terulang kedua kali, bung.

No comments: