May 22, 2009

Konsep Merantau dalam Masyarakat Aceh

Oleh: Agus Budi Wibowo

Pendahuluan
Riwayat migrasi adalah setua riwayat manusia. Definisi migrasi menurut Brinley Thomas adalah gerakan perpindahan dari satu negara ke negara lain yang terjadi karena kemauan sendiri dari yang bersangkutan, baik secara perseorangan maupun perkelompok (Indriani, 1999: 17). Kenyataannya migrasi terjadi karena terpaksa, sedangkan pelaksanaannya pun ada yang diatur dan yang tidak diatur dengan berbagai faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor) seperti keadaan alam, keadaan politik dan keamanan, tetapi di antara faktor tersebut yang paling dominan adalah faktor ekonomi. Bagaimanapun, secara demografis, migrasi akan mempengaruhi daerah asal pengiriman dan penerimaan.
Salah satu bentuk migrasi adalah merantau. Merantau berasal dari kata rantau. Menurut Winstedt, Iskandar dan Puwadarminta adalah kata benda yang menunjuk kepada sebuah dataran atau pinggiran sungai sehingga dikenal dengan daerah pantai. Merantau dengan awalan me dapat berarti pergi ke rantau dan sering juga disebut melakukan perantauan. Merantau mengandung beberapa elemen utama yaitu meninggalkan kampung halaman, dengan kemauan sendiri, untuk jangka waktu yang lama atau tidak dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman, biasanya dengan maksud kembali pulang dan merantau merupakan lembaga sosial yang membudaya (Naim, 1974: 18).
Di Indonesia ada beberapa suku bangsa yang mempunyai budaya merantau, yaitu suku bangsa Minang, Jawa, Bugis, Madura, dan Aceh. Tulisan ini akan membahas konsep, macam dan latar belakang dari budaya merantau pada masyarakat Aceh, Diharapkan tulisan ini akan menambah khasanah etnografi dari suku bangsa yang ada di Indonesia dan pengetahuan dan wawasan masyarakat sehingga mengurangi rasa etnosentrisme yang sempit.



B. Macam dan Latar Belakang Budaya Merantau
Masyarakat Aceh mendefinisikan merantau sebagai pergi mencari penghidupan ke negara lain. Masyarakat di daerah ini mengenal beberapa macam istilah yang mengandung makna merantau, antara lain jak u timo (pergi ke timur/merantau ke timur) dan jak meudagang (belajar ke pesantren serta meurantao (pergi mencari pengalaman dan penghasilan). Dari berbagai versi merantau yang ada di Aceh Siegel (1969) menggolongkan merantau itu menjadi dua tipe rantau, yaitu merantau ke timur (jak u timo) dan merantau ke pesantren. Untuk pembahasannya akan difokuskan pada dua macam merantau tersebut, sesuai dengan konsep dari Siegel.
Bentuk atau tipe pertama, merantau ke timur (jak u timo) menurut Siegel sudah muncul sejak lama, sebelum tipe rantau kedua muncul. Prosesnya dimulai dengan berangkatnya orang-orang Aceh ke daerah pesisir pantai Barat untuk menanam lada di ladang kemudian orang-orang Aceh juga pergi ke pesisir timur (jak u timo), sehingga masyarakat Aceh mengenal istilah rantau barat dan rantau timur yang berarti merantau ke pantai barat dan merantau ke pantai timur. Merantau ke timur merupakan rantau berjarak jauh, sehingga kaum laki-laki hanya pulang ke kampung setiap beberapa tahun. Sifat rantau ini hanya sementara, sehingga mereka tidak membawa istri dan anak-anaknya di daerah perantauan. Siegel menyebutkan bahwa tipe rantau ini lebih berkaitan dengan tujuan ekonomi (Budiarti, 1989: 31).
Tipe rantau kedua, yaitu merantau ke pesantren (jak meudagang) muncul karena pengaruh ulama. Ulama menawarkan suatu alternatif bagi laki-laki untuk merantau dengan jarak dekat agar seseorang laki-laki (suami) mempunyai hak terhadap istri dan anak-anaknya karena mereka tidak meninggalkan kampung halaman. Kehidupan pesantren dapat dipandang sebagai bentuk merantau. Menurut Snouch Hurgronje (1906: 26) kata yang berarti untuk belajar ke pesantren berarti sama seperti meudagang sesungguhnya berarti untuk menjadi orang asing yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Seseorang tidak dapat menjadi ulama dengan belajar di daerah kelahirannya, tanpa ke luar kampung dan mencari tempat tepat untuk menjadi ulama. Orang Aceh mengatakan bahwa tidak akan pernah ada seorang laki-laki pun yang menjadi alem tanpa ke luar kampung untuk merantau ke pesantren. Karenanya, setiap orang Aceh harus ke luar dari daerahnya untuk menjadi orang yang dihargai di daerahnya sendiri.
Dalam beberapa tulisan Siegel menjelaskan bahwa alasan ekonomi menjadi dasar dari gejala merantau di Aceh daripada sosial budaya. Hal ini dikarenakan pada saat ia melakukan penelitian, keadaan ekonomi pedesaan di Aceh saat itu sangat buruk yang mana kondisi ekonomi ini diakibatkan revolusi sosial yang sedang berlangsung di Aceh. Siegel kurang memperhatikan faktor lain selain faktor ekonomi. Padahal ada faktor lain yang mendorong orang Aceh melakukan perantauan. Budiarti (1989: 33-34) menunjukkan bahwa faktor sosial budaya merupakan faktor penting yang harus turut diperhatikan untuk menganalisis penyebab tradisi merantau di daerah Aceh ini. Pertama, di sana struktur sosial masyarakat Aceh yang matrilokal, pasangan pengantin harus tinggal di kerabat istrinya sampai anak pertama lahir (sekitar 3–4 tahun). Setelah itu mereka berpisah rumah karena mertua memberi rumah kepada anak perempuannya. Seorang suami karenanya tidak otonom, tetapi tergantung kepada mertuanya, ia tidak memiliki kekuasaan mantap di rumah istrinya dan tidak pula di rumah ibunya. Istri di Aceh disebut po rumoh (yang punya rumah), yakni yang memiliki kekuasaan atas rumah yang mereka tempati.
Kedua, pola pengasuhan anak yang membuat seseorang anak tidak betah di rumah. Dalam masyarakat Aceh terdapat suatu kecenderungan yang mana anak laki-laki yang telah berumur kira-kira 5 tahun atau 6 tahun diharuskan meninggalkan rumah di shubuh buta untuk pergi ke meunasah belajar Al Qur’an. Setelah mengaji biasanya langsung ke tempat-tempat yang tidak jauh dari meunasah yang disebut bale (B. Alamsyah, 1992: 70). Mereka yang pulang kalau akan makan atau dipanggil oleh orang tua untuk membantu bekerja sesudah anak laki-laki mencapai umur 12 tahun dan sudah disunat sebagai tanda bahwa mereka telah dewasa, maka tidak ada kesempatan baginya untuk tinggal di rumah. Mereka sudah harus tidur di meunasah. Dari fenomena sosial ini dapat dilihat bahwa kebiasaan untuk tidak tinggal di rumah telah tumbuh pada diri seseorang sejak masih kecil, yaitu sejak umur 6 tahun sampai memasuki jenjang kedewasaannya. Dari kecil dibiasakan untuk menjauhi rumah, sehingga perasaan tinggal di rumah sangat terbatas.
Ketiga, perantau merupakan sebuah upaya untuk menghindarkan ketidaksesuaian dalam keluarga yang bersifat meluas. Dalam sistem keluarga luas suami dan istri masing-masing tetap merupakan bagian dari keluarga induk. Hubungan marital mereka sering mengalami kegoncangan karena hubungan lebih ditentukan oleh faktor eksternal berupa interaksi antarkeluarga induk. Laki-laki walaupun terhitung sebagai anggota keluarga di rumah ibunya tidak mendapat bagian harta warisan. Peranan suami di rumah istrinya tidak begitu penting, baik sebagai suami maupun sebagai ayah. Ia tidak begitu berperan dalam kehidupan ekonomi dan tidak berperan dalam proses membesarkan dan mendidik anak karena ia jarang tinggal di rumah. Kaum laki-laki seperti tamu di rumah istrinya. Dengan demikian, struktur sosial yang seperti dikemukakan di muka inilah yang telah melahirkan pola merantau di Aceh.

Penutup
Manusia adalah makhluk yang mobil dalam usahanya memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itu, manusia yang tidak dapat bertahan di suatu daerah akan melakukan migrasi ke suatu daerah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Karenanya, migrasi merupakan salah satu cara mengatasi suatu tekanan ekonomis dan sosiologis ataupun budaya di suatu daerah.
Merantau yang dikenal dalam masyarakat Aceh, menurut Siegel, tedapat dua macam, yaitu jak u timo dan jak meudagang. Lebih lanjut Siegel juga mengemukakan bahwa alasan mengapa masyarakat Aceh melakukan merantau adalah alasan ekonomi dan pengaruh ulama. Namun alasan Siegel ini dianggap belum memadai untuk menjelaskan alasan merantau. Ada faktor lain yang turut berpengaruh. Budiarti menunjukkan alasan sosial budaya sebagai faktor pendorong mengapa masyarakat merantau.

Daftar Pustaka
Budiarti, Hari. 1989. “Dua Tipe Rantau Di Aceh”. Bulletin Antropologi, Th. V, No. 15. Jurusan Antropologi FS UGM Yogyakarta

Hurgronje , Snouck. 1906. The Acehnese. Jilid. London.

Indriani. 1999. “Migrasi dan Kegiatan Ekonomi Suku Bangsa Cina Pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda (1983-1930). Buletin Haba. Banda Aceh: BKSNT Banda Aceh.




Naim, Mochtar. 1979. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Siegel. J.T. 1969. The Rope of God. Berkeley. University of California Press