August 05, 2009

Tueng Bila Masyarakat Aceh Pada Masa Kolonialisme Belanda

Oleh: Agus Budi Wibowo

A.PendahuluanS

etiap komunitas di dunia memiliki karakteristik khas, yang membedakan satu komunitas dengan komunitas lainnya. Pengetahuan terhadap karakteristik khas ini sangat diperlukan tatkala kita akan menjalin hubungan atau komunikasi dengan komunitas tersebut, sehingga kita akan terhindar dari konflik yang tidak diinginkan dan akan mempermudah kita masuk ke dalam dunia budaya komunitas tersebut.
Tulisan ini akan membahas tentang salah satu karakteristik masyarakat Aceh, yaitu tueng bila. Bagi masyarakat Aceh kata ini tidak asing lagi. Akan tetapi, bagi masyarakat luar Aceh tentunya belum banyak mengenal dengan istilah ini. Diharapkan tulisan ini akan membantu pemahaman tentang salah satu aspek dari karakteristik dari masyarakat Aceh, khususnya di era kolonialisme Belanda.

B.Makna Tueng Bila

Tueng bila merupakan bagian dari protipe watak orang Aceh, yang tampak pada pikiran, perilaku, tindakan, sikap, dan tutur kata. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Harun (2008: 16) terhadap hadih maja yang mengandung nilai filosofis, tampak bahwa orang Aceh memiliki prototipe watak yang (1) reaktif, (2) militan, (3) optimis, (4) konsisten, dan (5) loyal. Ciri-ciri tersebut mewarnai pola pikir dan pola tindak mereka dalam kehidupan, salah satunya terkait dengan perilaku tueng bila yang dilakukan oleh ureueng Aceh. Menurut Syamsuddin (2000) bahwa tueng bila itu sifat dari orang Aceh untuk balas dendam terhadap sesuatu yang mana balas dendam tersebut dapat dilakukan kapanpun juga tergantung kesempatan.
Oleh karena itu, istilah tueng bila merupakan suatu kata yang tidak asing lagi bagi kalangan ureung Aceh. Seperti telah disebutkan sebelumnya dalam adat dan kebiasaan ureueng Aceh perkataan tueng bila sudah sangat terikat dengan kepribadiannya (Sufi, 2003; Adan, 2006: 86). Menurut Aboebakar dkk (2001: 1004) dalam Kamus Bahasa Aceh-Indonesia, Teung bila berasal dari dua suku kata, yaitu tueng dan bila yang artinya mengambil atau menuntut bela. Akan tetapi, dalam buku Kamus Aceh-Bahasa Indonesia (Aboebakar dkk, 2001: 83) terdapat juga kata bila yang merupakan kata benda dari bela yang artinya pembalasan, menuntut ajal lawan atau keluarganya sedangkan kata Tueng dapat diartikan sebagai menerima (Daud dan Durie, 2002: 42), atau dapat juga diartikan menjemput, Dengan demikian, tueng bila dapat diartikan menjemput atau menuntut balas/ajal terhadap lawan atau keluarganya.
Sufi (2003: 14) mengartikan tueng bila sebagai menuntut bela. Tentunya, seorang Aceh akan menuntut atas kerugian yang dideritanya. Menuntut bela ini hendaknya diartikan dalam kerangka yang positif karena memang dalam bahasa Aceh terdapat pula perkataan menuntut balas (dendam) yang disebut dam dan menyimpan dendam (trόh dam). Akan tetapi, penggunaannya sangat negatif. Selanjutnya, Sufi mengatakan bahwa,

“Dalam buku-buku yang dikarang oleh orang-orang Belanda pada masa lalu ada yang menyebutkan bahwa orang Aceh itu pendendam. Gambaran ini sebenarnya keliru. Orang Aceh sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya sebenarnya hanya mengenal kata tueng bila, maksudnya menuntut bela. Seorang Aceh akan menuntut bela atas kerugian yang dideritanya. Menuntut bela menurut Islam adalah wajib. Ini dijelaskan dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 178 atau surat Al Maidah ayat 45. Akan tetapi, karena prinsip hidup orang Aceh yang lebih menyukai damai itu, maka menjadi tugas bagi eumbah atau ma di sebuah kampung, sebagai tokoh-tokoh yang berwibawa untuk bertindak, sehingga semua persoalan sengketa dapat dinetralkan kembali dalam pergaulan masyarakat di kampung itu. Memang dalam bahasa Aceh ada perkataan dendam yang disebut dam. Akan tetapi, penggunaannya sangat negatif. Jadi, jika dalam praktik terjadi penyimpangan daripada yang disebut di atas, maka orang ini tidak memahami prinsip hidupnya sebagai orang Aceh”.

Adan (2006: 85) menyatakan bahwa tueng bila yang dalam bahasa Melayu bermakna sebagai balas dendam merupakan sebuah fenomena lama yang dapat dikonotasikan juga sedikit negatif dalam arti sebuah pembalasan dendam. Selanjutnya, apabila kita telusuri lebih jauh makna serta hakikat daripada kata tueng bila, ia tidak terlepas dari sebuah manifestasi imaginasi konkrit dari seseorang yang merasa dikhianati untuk meluruskan persoalan yang sebenarnya. Dalam hal ini, Adan mengatakan bahwa,

“Selalunya tueng bila terjadi sebagai umpan balik dari sesuatu pengkhinatan yang tidak bisa diterima akal sehat dan hukum syara’, seumpama penipuan, pemerkosaan, pembunuhan tanpa syarat, pencurian, dan sebagainya. Dalam kamus orang Aceh lama tueng bila ini merupakan sesuatu yang mesti dilakukan untuk menebus kerugiannya walau apapun risiko yang akan menimpa dirinya, aksi seumpama ini kerap terjadi dalam kehidupan bermasyarakat setelah pihak berkuasa gagal atau tidak tahu menyelesaikan sesuatu konflik yang merugikan salah satu pihak daripada mereka”.

Ajaran agama Islam sebenarnya juga mengenal menuntut balas atau membela kehormatan. Akan tetapi, menuntut balas yang dilakukan adalah atas kerugian yang diderita. Pada masa Nabi Muhammad SAW penyerangan-penyerangan tentara Islam terhadap orang kafir dilakukan setelah lebih dahulu diberikan peringatan serta ajakan untuk memilih agama yang benar. Selain itu, keputusan untuk melaksanakan hukum hudud dan qishas, merajam melalui persetujuan Nabi Muhammad SAW.

Menuntut balas bukan dilakukan berdasarkan pada subjektifitas seseorang dan merupakan wajib bagi umat Islam. Dasar dari menuntut balas ini terdapat pada Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 178, yang artinya,
Wahai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) Qisas1 berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik dan membayar diat (pampasan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rakhmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka ia mendapat azab yang sangat pedih.

Selain itu juga pada surat Al Maidah ayat 45 disebutkan upaya menuntut balas diwajibkan bagi umat Islam, yang artinya,
Kami telah menetapkan bagi mereka didalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya (balasan yang sama). Barang siapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu (menjadi) penebus bagi dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.

Oleh karena itu, menurut Ismail (2006:3), asas tueng bila yang dilakukan oleh ureueng Aceh harus memenuhi kriteria tertentu, tidak asal melakukannya begitu saja. Selanjutnya Ismail menyatakan sebagai berikut,
“Dalam kehidupan keluarga Aceh, tidak ada ”dendam”, karena amat bertentangan dengan syari’at Islam (hukom ngon agama, lagei zat ngon sifeut). ”Tueng bila” dilakukan karena terpaksa demi untuk ”membela diri/bila droe” menegakkan kehormatan, agama, martabat keluarga, harta benda dan nyawa atas segala kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang lain”.

C.Tueng Bila Pada Masa Kolonialisme Belanda

Perang Belanda di Aceh merupakan salah satu perang yang dikategorikan cukup lama, membawa korban banyak dan biaya yang besar. Dalam rangka menyelesaikan perang agar tidak terus berkepanjangan ini, Belanda menugaskan Snouck Hurgronje untuk mengadakan penelitian. Hasil penelitian, rakyat Aceh yang taat beragama Islam tidak mungkin menyerah kepada kafir sebelum mereka ditundukkan dengan kekerasan, sikap menunggu dan kompromi tidak akan membawa hasil. Hasil penelitian ini kemudian dijabarkan dengan membentuk korps Marechausee, pasukan berani mati dan sangat kejam. Dengan gerak cepat, pasukan ini akhirnya dapat menaklukkan daerah-daerah sejak dari Aceh Besar sampai ke pantai timur (Doup, 1930; Schmidt, 1942). Setelah Kuta (benteng) Batee Iliek (Samalanga) (1901) menyusul Peukan Baro dan Peukan Sot (1902) (Pidie) jatuh ke tangan Jend. Van Heutsz pasukan reguler Sultan kian terdesak. Akhirnya, karena mendapat tekanan yang terus menerus dan tertangkapnya istri-istri sultan, Pocut Murong dan Pocut Putroe, maka Sultan pun terpaksa menghentikan perlawanan dan berdamai pada tahun 1903 setelah 29 tahun berperang melawan kompeni Belanda.
Walaupun begitu, perlawanan individu-individu masyarakat Aceh tetap berlangsung. Kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh Belanda telah memicu dendam yang tidak berkesudahan bagi pribadi-pribadi ureueng Aceh. Menurut Abdullah (1996: 18) tradisi wali dan karong, turunan darah pihak ayah dan turunan darah pihak ibu sebagai pihak pertama dan pihak kedua yang akan bangkit menuntut bela (tueng bila) atas kematian keluarganya.2 Kesiapan menuntut bela ini merupakan prestise dan martabat keluarga. Jika tidak ada seorang pun yang bangkit membalaskan dendam keluarga, takut menghadapi musuh, maka keluarga tersebut dipandang tidak berharga sedikit pun di mata masyarakat. Oleh karena itu, seorang pemuda yang tidak terjun ke medan perang untuk menuntut bela kematian orang tuanya akan menerima sanksi yang berat dari masyarakat. Bahkan istri-istri yang ditinggal gugur oleh suaminya bangkit menuntut bela suami-suaminya (misalnya, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, dan lain-lain). Tradisi ini ditambah dengan fanatisme agama, perang sabililillah yang dipompakan melalui pembacaan Hikayat Prang Sabi yang termasyur itu lengkaplah pemicu perang yang sulit dipatahkan oleh Belanda. Oleh karena itu, tueng bila pada masa kolonial Belanda mewujud dalam perilaku bertempur habis-habisan sampai menemui syahid dan perlawanan secara sendiri-sendiri, yang disebut oleh ureueng Aceh sebagai aksi poh kaphe atau Aceh Moorden bagi orang Belanda. Untuk itu, R.A. Kern (1994: 75) yang pernah mengadakan penyelidikan tentang motivasi perang dilakukan oleh rakyat, menyatakan tentang latar belakang timbulnya pembunuhan-pembunuhan Aceh dilakukan karena rasa/komplek benci kaphe/kaphe complex yang dimilikinya dengan cara tueng bila. Selanjutnya, Kern mengatakan bahwa,

“Hal itu sebenarnya dilatarbelakangi oleh kebencian yang meluap-luap terhadap orang-orang yang dianggap kafir dan adanya hasrat mati syahid. Selain itu, juga karena adanya perasaan ingin tueng bila (semacam balas dendam) terhadap mereka yang telah membunuh keluarganya atau kepada mereka yang telah membuat malu keluarga atau dirinya”.

Motif pembalasan dendam yang dilakukan dengan modus tueng bila, menurut Kern seperti disebut di atas, dapat ditimbulkan oleh berbagai sebab, yaitu perlakuan tidak baik, perampasan kebebasan, melukai perasaan, keresahan karena tidak diperlakukan secara adil, perlakuan yang tidak adil oleh kepala-kepala, patah hati karena asmara, tidak puas menurut perasaan keadilan.

Kebencian yang meluap-luap atas keberadaan kafir Belanda di Aceh yang telah memporakporandakan sendi-sendi kehidupan dan mengakibatkan kematian anggota keluarga membuat seseorang ingin melakukan tueng bila. Hal ini tampak pula pada diri pahlawan nasional Cut Nyak Dhien. Sufi (2008: 10) menyatakan hasrat tueng bila pada diri Cut Nyak Dhien ini tampak pada pernyataan sebagai berikut,

“Hasrat Cut Nyak Dhien untuk melakukan tueng bila atas kematian suaminya yang merupakan salah satu penyebab mengapa ia bersedia nikah lagi dengan Teuku Umar yang telah beristri dua. Di sini jelas bahwa Cut Nyak Dhien memanfaatkan Teuku Umar yang dianggap mempunyai potensi dalam upaya untuk tueng bila atas kematian suaminya yang pertama...”

Berikut ini juga ditampilkan salah satu pembunuhan yang didasari oleh semangat tueng bila terhadap seorang perwira Belanda yang dilaporkan Komandan Divisi 5 Marsose, Anton yang dikutip oleh Sufi (2002: v) yang mengatakan bahwa

“Salah seorang perwira Belanda yang menjadi korban akibat pembunuhan khas Aceh ini ialah Kapten C.E. Schmid, komandan Divisi 5 Korps Marsose di Lhoksukon pada tanggl 11 Juli 1933 yang dilakukan oleh Amat Lepon, sementara pada bulan Nopember 1933 dua orang anak-anak Belanda yang sedang bermain di Taman Sari Kutaraja (sekarang Banda Aceh) juga menjadi korban pembunuhan khas Aceh ini. Amat Lepon menyaksikan ayahnya Teungku Beureunuen syahid tewas ditembak serdadu Belanda tatkala ia berumur 10-12 tahun, rasa dendam dengan semangat ingin menuntut bela (tueng bila) dipendamnya selama lebih 20 tahun kemudian”.

Hal tersebut juga diakui pula oleh Adan (2006: 87) yang menyatakan bahwa perjuangan yang dilakukan oleh para pejuang Aceh melawan Belanda merupakan manifestasi dari tueng bila yang melekat dalam jiwa dan raga para mujahid besar, seperti Teungku Chik Di Tiro, Cut Nyak Dhien, Fakinah, Pocut Baren, dan lain-lain. Beberapa kasus yang dapat ditangkap sebagai wujud perilaku tueng bila tampak dari pernyataan Adan di bawah ini,

“Menghayati proses tueng bila bagi bangsa Aceh memang sungguh sangat menarik serta punya makna tersendiri. Sejarah telah mencatat apabila orang Aceh telah meudarah ate (sakit hait yang sangat mendalam), maka jalan keluarnya adalah tueng bila. Dua contoh yang dikemukakan penulis terkemuka H.M. Zainuddin merupakan rujukan saheh serta akurat walaupun tidak berani dijadikan referensi. Ketika perang melawan Belanda sedang berkecamuk di bumi Aceh seorang kampung Nyong di Kecamatan Geulumpang Minyeuk (sekarang Geulumpang Baro), Pidie, Abdul Hamid dengan bersahaja seorang diri menghadang pasukan Belanda di sebuah jambo (gubuk) di tengah sawah untuk membunuh sebagai sebuah manifestasi tueng bila terhadap pembunuhan orang-orang kampung tersebut oleh pihak Belanda. Dalam kasus lain seorang perempuan setengah baya dalam sebuah kereta api dari arah Langsa ke Sigli dengan geramnya menusuk seorang Belanda yang tengah duduk santai di kursi kereta api tersebut. Ketika ditanyai orang banyak sang wanita menjawab: aku benci kafir itu yang telah menghancur luluhkan Islam dan ummat Islam di bumi ini dan itulah ganjaran tueng bila daripadaku, ujarnya tegas”.

D.Penutup

Salah satu karakteristik ureueng Aceh adalah melakukan tueng bila. Perbuatan ini dilaksanakan dalam rangka menuntut bela atas kerugian yang pernah diderita. Jadi tueng bila dilakukan bukan tanpa alasan. Kalau tidak ada masalah, tentunya tidak ada tueng bila. Oleh karena itu, ketika Belanda masuk ke Aceh dan menimbulkan korban, baik harta maupun nyawa serta harkat dan martabat masyarakat Aceh, uereueng Aceh melakukan tueng bila terhadap pihak Belanda.

Catatan Akhir

1Qisas ialah hukuman yang semisal dengan kejahatan yang dilakukan atas diri manusia.

2Motivasi berperang melawan Belanda bagi ureueng Aceh dapat dikarenakan mencari syahid, ingin membalas atas kematian anggota keluarga/kawomnya, dan sebagainya.



Daftar Pustaka
Aboebakar dkk
2001 Kamus Bahasa Aceh-Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Adan, Hasanuddin Yusuf
2006 Politik dan Tamaddun Aceh. Banda Aceh: Adnin Foundation Aceh.

Daud, Bukhari dan Mark Durie
2002 Kamus Bahasa Aceh. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.

Harun, Mohd
2008 “Prototipe Watak Orang Aceh”, Jeumala No. 25/2008. Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Ismail, Badruzzaman
2006 ”Pengaruh Faktor Budaya Aceh dalam Menjaga Perdamaian dan Rekonstruksi”, Makalah disampai-kan pada Seminar Faktor Budaya Aceh Dalam Perdamaian dan Rekonstruksi, yang dilaksanakan oleh Tunas Aceh Research Institute, Darussalam, tanggal 20 September 2006.

Kern, R.A.
1994 Hasil-hasil Penyelidikan Sebab-Musabab terjadinya Pembunuhan Aceh (terj. Aboebakar). Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.

Sufi, Rusdi
1997 “Pembunuhan Khas Aceh dan Sebutan Aceh Pungo”. Serambi Indonesia, 15 Desember.
2000 ”Sikap Pusat Bisa Lahirkan Aceh Pungo”, dalam Kontras No. 95 Tahun II 25 Juli - 2 Agustus 2000.

2002 “Kata Sambutan Pembunuhan Khas Aceh dan Kelirunya Sebutan Aceh Pungo” dalam Ridwan Azwad dan Ramli A. Dally (eds.) Aksi Poh Kaphe di Aceh. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.

2003 “Etnis Aceh”, dalam Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, Ragam Sejarah Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

2008 “Menelusuri Tindak Cut Nyak Dhien melawan Kolonial Belanda (sebagai inspirasi bagi Perempuan di Era Pembangunan)”, Makalah disampaikan pada Seminar di Rumah Cut Nyak Dien Lampisang yang diselenggarakan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan di Banda Aceh tanggal 6 November.

Syamsuddin, Teuku
2000 “Sayam Itu Langkah Terakhir Setelah Dialog” dalam Kontras No. 95 Tahun II 25 Juli - 2 Agustus 2000.

Budaya Damai dalam Masyarakat Aceh

Oleh: Agus Budi Wibowo

A. Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari-hari manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi sesamanya. Melalui interaksi ini manusia memenuhi segala kebutuhan. Interaksi sosial ini dapat terjadi di antara kerabat, tetangga, dan di luar komunitasnya. Interaksi dapat pula terjadi di rumah, lingkungan tempat tinggal, di pasar, dan sebagainya. Dalam berinteraksi manusia tidak selalu berjalan dengan mulus. Kadang kala interakai sosial ini malah menimbulkan masalah, bahkan konflik atau persengketaan. Persengketaan mengandung arti adanya pihak yang bersalah sebagai penyebab ketidakserasian atau ketidaksepahaman antar perorangan atau antar kelompok masyarakat yang saling berhubungan, karena adanya hak atau kepentingan-kepentingan dari salah satu pihak terganggu, dirugikan, ataupun dilanggar.
Tentunya, konflik atau persengketaan ini tidak diharapkan oleh siapapun yang melakukan interaksi karena pada dasarnya interaksi merupakan suatu cara manusia untuk tetap survive. Penyebab terjadinya konflik ini bermacam. Berawal dari masalah-masalah sepele hingga masalah-masalah yang lebih rumit.
Manusia merupakan makhluk yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan dibekali akal. Melalui akal inilah manusia mengatur segala tindak tanduknya. Dapat dikatakan tindakan manusia tidak didasarkan oleh naluri semata, seperti pada binatang. Salah satu hasil dari kerja akal adalah bagaimana manusia menyelesaikan konflik di antara sesama manusia. Dalam masyarakat yang teratur, setiap sengketa diselesaikan dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat, baik yang dikategorikan sebagai norma hukum positif maupun bukan.
Hasil kerja akal seperti diuraikan di atas dalam terminologi antropologi seringkali disebut dengan adat-istiadat. Melalui adat-istiadat tata kehidupan masyarakat suatu komunitas diatur. Salah satu aturan yang diterapkan adalah mengenai konflik-konflik yang terjadi pada masyarakat dan cara penyelesaiannya. Salah satu komunitas budaya yang menerapkan tata aturan penyelesaian konflik adalah masyarakat Aceh.

B. Penyelesaian Sengketa atau Konflik dalam Masyarakat
Dalam kehidupan keluarga Aceh, sebenarnya tidak ada dendam, karena sifat itu amat bertentangan dengan syari’at Islam (hukom ngon agama, lage zat ngon sifeuet). Masyarakat mengenal tueng bila yang dilakukan karena terpaksa demi untuk ”membela diri/bila droe” guna menegakkan kehormatan, agama, martabat keluarga, harta benda dan nyawa atas segala kerugian yang disebabkan oleh perbuatan menghina/melukai hati orang lain. Dalam hubungan ”harkat martabat/harga diri”, paduan nilai-nilai preventif dengan represif hampir berimbang dalam benak kultur masyarakat Aceh. Karena itu faktor equilibrium/penyeimbang yang disebut dengan damai sangat dominan dalam kehidupan masyarakat dan biasanya menjadi senjata pamungkas yang diterapkan oleh elit struktural Aceh sepanjang sejarah, bila timbul persengketaan (peranan lembaga-lembaga adat).
Nilai-nilai damai itu dilahirkan oleh kesepakatan bersama para pihak, yang dipimpin oleh ”Ureueng-ureueng patot/Ureueng Tuha Adat/Ulama”, bersama penguasa dalam masyarakat setempat menurut wilayahnya (dulu uleebalang, ulama, tokoh adat dan cerdik pandai lainnya) berupa berbagai kompensasi. Damai bermakna membangun kembali silaturrahmi yang telah hancur dan berantakan menjadi rukun damai dan tentram penuh persaudaraan (Ismail, 2008). Prinsip-prinsip damai itu tergambar dalam narit maja, sebagai berikut,
”Hai aneuk hai, beik lee ta mupakee”
”Masalah nyang rayeuk ta peu ubit
Nyang ubit ta peu gadoh ”
”Beu lee saba...,
(Hai anak hai, jangan banyak membuat keributan
Masalah yang besar kita kecilkan
Yang kecil kita hilangkan
Yang banyak sabar)
”Aman nanggroe sare, rakyat makmu rata,
Sifat seunukat sabe meusigo ngon ade raja”

(Aman negeri semua, rakyat makmur adil
Sifat takaran sama bersatu dengan keadilan raja)
Ta meu jroeh-jroeh sabee keu droe-droe,
Mak got nanggroe makmue beurata
Tajak bak troek, ta eu bak deuh,
Beik rugoe meuh sakeit hatee
(Berbaik-baikan dengan sesama
Biar bagus nanggroe makmur semua
Kalau pergi kita harus sampai kalau melihat harus tampak
Jangan rugi emas sakit hati)
Damai dalam adat Aceh sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam, karena dijiwai oleh al-Qur’an, yang dikenal melalui bacaaannya sejak kecil, di rumah, rangkang dan meunasah.
Di Aceh, terdapat suatu pranata adat yang disebut suloh, dan berfungsi untuk mendamaikan persengketaan dalam masyarakat. Jika perselisihan itu mengakibatkan keluar darah, sanksi menurut suloh dibebankan kepada orang yang dinyatakan bersalah. Sanksinya berupa dam, yaitu kenduri dengan menyembelih ayam, kambing, sapi atau kerbau, yang jumlah dan jenisnya tergantung kepada besar kecilnya akibat yang ditimbulkan dari suatu pelanggaran. Pada pelanggaran kecil, kenduri dalam penyelesaian persengketaan melalui lembaga suloh, cukup dengan minuman dan makanan yang disertai dengan ketan kuning.
Suloh itu, di berbagai daerah Aceh disebut dengan istilah lokal yang berbeda-beda. Di Kabupaten Aceh Selatan, disebut takanai, di Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Pidie, serta Kabupaten Aceh Barat, disebut sayam. Sedangkan di Kabupaten Aceh Besar, disebut dhiet/diyat. Ruang lingkup persengketaan yang diselesaikan melalui pranata suloh tersebut, meliputi semua pelanggaran norma-norma dalam masyarakat, yang secara umum meliputi pelanggaran yang menyebabkan kerugian, menyebabkan penyakit atau pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Sanksi adat tersebut dapat berakibat kerugian material dan penderitaan batin atau jatuhnya harkat dan martabat si pelanggar.
Intisari dari fungsi pranata suloh tersebut, dalam bahasa Aceh terangkum dalam istilah hukom peujroh, yaitu menetapkan yang terbaik bagi para pihak dan masyarakat begitu rupa, sehingga penyelesaiannya itu ditempuh melalui tahap-tahap yang bijaksana dan dirasakan adil oleh semua pihak (Djuned, 1998). Penyelenggaraan damai adat, ada dua mekanisme yang dilalui, yaitu:
• Pertama: prosesi penyelesaian nilai-nilai normatif (hukum adat), melalui forum Adat Musapat, musyawarah para tokoh adat/lembaga terkait dan pihak-pihak bersangkutan dalam hubungan penyelesaian sengketa/pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dengan menggunakan asas luka tasipat, darah ta sukat (kompensasi/kerugian). Buet nyan geit peureulee beu bagah, bek jeuet susah watee iblih teuka.
• Kedua: prosesi penyelesaian formal melalui sere-monial adat (publik) di depan umum, dengan inti acara: peusijuk, bermaafan, sayam (penyerahan kompensasi), nasehat dan do’a
• Kompilasi hukum adat (Adat Meukuta Alam tentang Kejahatan dan Pelanggaran) mencatat: Adapun bangun (diyat–dhiet) orang merdeka 100 unta dibayar kepada ahli waris yang mati. Jikalau sudah dibayar bangun yang mati kepada ahli warisnya, tiada boleh dibunuh orang yang menganiaya itu, karena sudah taubat dan berdamai (Sulaiman, 2002:121).
• Kebiasaan lain dalam masyarakat adalah penyelesaian secara sayam, yaitu hampir sama dengan diyat, dimana dasar pertimbangannya dilihat kepada kemampuan pihak pelaku (diat ditanggung bersama keluarga).
Bentuk aktivitas adat dan budaya yang melekat pada institusi adat meulangga, diyat, sayam dan suloh adalah peusijuek dan peumat jaroe. Kedua institusi ini memegang peranan penting dalam menjalin rasa persaudaraan (ukhuwah) antara pelaku pidana dengan korban atau ahli waris korban. Masyarakat Aceh anggap belum sempurna penyelesaian pidana melalui diyat, sayam dan suloh, bila tidak dibarengi dengan pesijuek dan peumat jaroe (Kurdi, 2005: 157).
Kata peusijuek barasal dari akar kata sijuek yang berarti dingin. Biasanya acara peusijuek (menepung tawari) dilakukan masyarakat Aceh sebagai bentuk syukur terhadap keselamatan dan kesuksesan meraih sesuatu, baik yang berkaitan dengan benda maupun orang (Sufi, 2002: 18). Oleh karena itu, peusijuek dalam masyarakat dilakukan ketika menempati tempat baru, seperti rumah ibadah, rumah baru, tempat kerja, menerima tamu, dan lain-lain. Peusijuek terhadap manusia umumnya dilakukan pada upacara perkawinan, khitan, orang hamil, terlepas dari bahaya, kembali dari rantau dan lain-lain. Menurut Husin (1970) semua pesijuek ini ditujukan sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah SWT, atas nikmat yang diberikan-Nya, sekaligus sebagai permohonan dan harapan untuk memperoleh keberkahan dan keselamatan hidup. Selain itu, peusijuek juga merupakan simbol adat untuk meminta maaf kepada sesama atas suatu kesalahan dan kekhilafan (Kurdi, 2005:158).
Dalam kaitan dengan penyelesaian kasus pidana setelah tercapai perdamaian, baik berupa pembunuhan maupun penganiayaan, peusijuek ditujukan untuk membina kembali hubungan yang retak akibat terjadinya tindak pidana. Persiapan peusijuek baik dalam konteks adat meulangga, diyat, sayam maupun suloh dilakukan oleh pelaku pelanggaran atau keluarganya, dan yang di-peusijuek adalah para pihak yang secara langsung dirugikan sebagai korban dalam pelanggaran tersebut. Pelaksanaan peusijuek dilakukan oleh imeum (teungku meunasah), kepala desa (keuchik) dan orang yang dihormati di desa.
Peumat jaroe (berjabat tangan untuk saling memaafkan) merupakan simbol perbaikan hubungan antara para pihak yang bermasalah, dengan harapan konflik antar mereka berakhir. Oleh karena itu, dalam prosesi peumat jaroe, pihak yang memfasilitasi seperti imeum, keuchik dan pemangku adat mengucapkan kata-kata khusus (Syafioeddin, 1982: 50) seperti, "Nyoe kaseb oh no dan bek na dendam le. Nyoe beujeuet keujalinan silaturrahmi, karena nyan ajaran agama geutanyoe (Masalah ini cukup di sini dan jangan diperpanjang lagi. Bersalaman ini diharapkan menjadi (awal) dari jalinan silaturrahmi antara anda berdua, sebab ini ajaran agama kita).
Upacara peumat jaroe disaksikan oleh banyak orang yang diundang pada acara kenduri dan peusijuek. Urutan kegiatan adat ini dimulai dengan peusijuek, peumat jaroe dan makan bersama (kenduri). Ketiga kegiatan ini merupakan rangkaian perjalanan panjang dari proses perdamaian untuk penyelesaian kasus pelanggaran dalam kerangka adat Aceh. Peran ulama dan pemangku adat sangat dominan pada acara pra kenduri, peusijuek dan peumat jaroe. Namun pasca peusijuek dan peumatjaroe peran mereka berkurang. Artinya, keluarga kedua belah pihak yang akan melanjutkan peran untuk menjalin hubungan silaturrahmi sesuai dengan pesan pada upacara peumat jaroe.
Bentuk silaturrahmi lanjutan lazimnya diawali dengan kunjungan keluarga kedua pihak pada hari khusus seperti hari meugang (hari memotong sapi atau ternak lain, sehari sebelum Hari Raya atau puasa Ramadan), Hari Raya, kenduri molod, dan lain-lain. Upaya keluarga pelaku pidana yang mengaku bersalah biasanya ditanggapi dengan baik sebagai bentuk manifestasi habblumminannas oleh keluarga korban, sesuai dengan pesan peumat jaroe.

C. Penutup
Tidak ada suatu masalah yang tidak selesai. Demikian juga tidak ada konflik yang tidak berakhir. Dalam narit maja Aceh dikatakan bahwa Pat ujeuen yang han pirang, pat prang yang han reuda (tidak ada hujan yang tidak berhenti dan tidak ada perang yang tidak berakhir. Untuk itu, masyarakat Aceh telah memiliki sebuah mekanisme dalam menyelesaikan konflik atau persengkatan yang terjadi. Mekanisme dijalankan oleh seluruh lapisan masyarakat sehingga konflik/persengketaan tidak menjadi dendam di masa yang akan dating.

Catatan Akhir
Suloh berasal dari bahasa Arab Sulh. Sulh secara etimologis berarti memutuskan atau menyelesaikan persengketaan atau mengadakan perdamaian. Istilah ditemukan dalam literatur fikih yang berkaitan dengan persoalan transaksi, perkawinan, peperangan, dan pemberontakan. Secara terminologis, sulh didefinisikan sebagai akad yang ditentukan untuk menyelesaikan pertengkaran (Saleh, 2007: 5).

2Sarakata Sultan Aceh Syamsul Alam tahun 1723 menyebutkan bahwa dhiet nyawong (diyat nyawa) kejahatan pembunuhan berat adalah 100 ekor unta dan yang ringan 80 ekor unta. Seratus onta dikonversikan pada masa itu ±2,956 kg emas murni. Sarakata itu menekankan untuk memakai hukum Allah (Islam) dan tidak boleh menggunakan hukum adat (Van Langen, 1888).


Daftar Pustaka
Ismail, Badruzzaman. 2006. Sistem Adat Budaya Aceh. Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Kurdi, Muliadi. 2005. Menelusuri Karakteristik Masyarakat Desa Pendekatan Sosiologi Budaya Dalam Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Pena.
Saleh, Fauzi. 2007. “Konsep Suluh dan Konstruksi Pendidikan Damai di IAIN Ar-Raniry: Kontribusi Kampus dalam Dakwah Perdamaian di Aceh”, dalam Tim Penulis IAIN Ar-Raniry Pergulatan Panjang Budaya Damai dalam Masyarakat Multikultural Kajian Edukasi, Syar’i, Historis, Filosofis, dan Media Masa. Banda Aceh: Yayasan Pena dan Ar-Raniry Press
Syafioeddin, M. Hisyam. 1982 Perdamian Adat dalam Masyarakat Aceh: Studi di Kabupaten Aceh Besar dan Pidie. Banda Aceh: PLPIIS.
Sufi, Rusdi. 2002 Adat Istiadat Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh.

Agama, Seni, dan Nilai Budaya Masyarakat Terasing Gunung Khong di Nagan Raya NAD

Oleh: Isa Sulaiman dan Agus Budi Wibowo

A. Pendahuluan
Masyarakat terasing Gunung Kong Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya bukanlah masyarakat terasing seperti yang digambarkan sebagai masyarakat terasing yang kita ketahui. Masyarakat terasing Gunung Kong merupakan sekelompok masyarakat yang masih tetap memelihara dan setia kepada tradisi miliki dan warisi secara turun temurun. Cikal bakal kelompok ini berasal dari T. Raja Tampok yang menolak kekuatan asing, pemerintah kolonial Belanda, yang menganeksasi Pantai Barat Aceh, terutama Seunagan pada awal abad ke-20.
Sejak akhir masa pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan T. Raja Tampok mampu merekrut dan memperbesar jumlah pengikutnya, baik orang Aceh maupun orang Gayo, untuk membentuk suatu komunitas ekslusif di pedalaman Krueng Tripa dan menutup diri dari pengaruh luar serta mengembangkan tradisi sendiri. Setelah T. Raja Tampok meninggal pada tahun 1962 kepemimpinan komunitas masyarakat ini diteruskan oleh anaknya T. Raja Ubit hingga tahun 1997.
Pada tahun 1978/1979 pemerintah daerah Aceh Barat dan Kanwil Departemen Sosial membangun pemukiman untuk mereka di Gunung Kong dalam upaya “membangun” komunitas ini agar lebih hidup “wajar” seperti masyarakat lainnya. Akan tetapi, kenyataan hanya sebagian saja di antara mereka yang beradaptasi dalam pemukiman baru dan sementara sebagian yang lain masih tetap bertahan dengan pola kehidupan yang eksklusif. Tulisan ini memaparkan salah satu aspek kehidupan dari masyarakat Gunung Kong tersebut.

B. Agama, Seni dan Nilai Budaya

Seperti masyarakat Aceh lainnya, komunitas terasing pengikut T.R. Tampok adalah pemeluk agama Islam. Hanya saja dalam pengamalan ajaran Islam terlihat lebih bersifat upacara dan bercampur baur dengan tradisi lokal. Ketika T.R. Tampok masih hidup, ia sendiri gemar melakukan pertapaan atau khalwat . Kurang diketahui apakah praktek khalwat yang ia amalkan itu sama seperti Tarekat Syatariah yang dikembangkan oleh Habib Muda 1899-1973 di Pulo Ie dan Peuleukong; Jeuram.1 Namun suatu hal yang jelas murid spritual T.R. Tampok yang pernah melakukan khalwat itu antara lain khatib Minim, Tgk. Blang Baro (Mak Diah), Tgk. Bileu Salam, Tgk. Suak, keuchik Uyam, Pang Ganto dan Pang Gumbak
Berbeda dengan orang tuanya, T.R. Ubit tidak meneruskan praktek khalwat atau menjalankan kehidupan zuhud. Ia lebih suka berganti-ganti istri di antara mana 2 telah meninggal dunia dan 3 orang minta cerai. Suatu hal yang jelas jumlah istrinya itu sudah melampui ketentuan syariat dalam Islam.
Pengajian agama dengan maksud mensosialisasikan ajaran Islam di kalangan komunitas itu hanya berlangsung secara teratur pada dasa warsa 1950-an dan 1960-an ketika komunitas itu berdiam di seuneubok Luar dan seuneubok dalam, Krueng Itam. Menurut informasi yang diperoleh pengajian agama dan pelaksanaan upacara agama waktu itu berada di tangan Tgk. Kali Hasan, khatib Munin, Tgk. Blang Baro dan Pang Ganto (Suhendang, 1990: 34 dan 49). sewaktu berada di seuneubok Alue Tgk. Suak, pelaksanaan ajaran agama berada di tangan Pang Meuse.
Kuburan Syekh Liwaul Hamdi (leluhur T.R. Tampok) yang terletak di Blang Tripa, kuburan T.R. tampak dan kuburan Cut Caya mereka percayai dihuni atau dijaga oleh harimau. Harimau tersebut, menurut mereka, tidak akan mengganggu seseorang yang berziarah ke situ jika dilakukan dengan niat bersih dan hati yang tulus. Kuburan tersebut juga menjadi salah satu objek melepas nazar di antara seseorang warga komunitas bersangkutan.
Di samping itu mereka percaya juga bahwa makhluk halus dalam wujud aulia, jin dan hantu berkeliaran dan bersemayam di berbagai tempat yang terdapat di sekitar mereka. Kesemua makhluk halus itu dapat memberi pertolongan dan juga malapetaka kepada manusia. Di lain pihak mereka juga percaya bahwa benda-benda tertentu seperti rante bui (cacing yang telah membatu didapati pada mulut babi) dapat memberikan kekuatan sakti kepada si pemakainya.
Kesadaran akan makhluk halus atau kekuatan sakti telah mendorong sebagian di antara mereka memperdalam pengetahuan ilmu gaib atau magis (euleume) dengan harapan yang bersangkutan mempunyai kemampuan magis. Mereka yang telah memiliki kemampuan magis itu dipercayai kebal dari senjata tajam dapat berubah rupa atau menghilang seketika, dapat mengobati sesuatu penyakit atau mengguna-gunai lawan dan musuh, serta mempunyai keahlian tertentu. Orang-orang seperti itu biasanya memperoleh kehormatan melalui panggilan pang (ksatria), dukun atau pawang. T.R. Tampok mereka percayai kebal dan dapat berubah rupa atau menghilang seketika. Para ksatria seperti Pang Bakar dan Pang Ganto mereka percayai kebal terhadap senjata tajam.
Di samping itu kesadaran akan makhluk halus atau kekuatan sakti telah mendorong mereka untuk mematuhi berbagai tabu atau pantangan. Hal demikian mereka lakukan baik di dalam rumah tangga seperti pantangan pada wanita hamil maupun sewaktu mencari rezeki (berburu, berladang dan menangkap ikan) atau sewaktu pergi memerangi musuh. Dalam mempersiapkan penyerangan terhadap tentara, mereka pergi bertapa di kuburan Habib Nagan terlebih dahulu.
Upacara ritual yang masih mereka lakukan adalah kenduri Maulid Nabi, Khitanan, Perkawinan, Kematian, Pembuatan rumah dan Kenduri Ladang. Penyelenggaraan upacara berlangsung sederhana di bawah pimpinan pemimpin spiritual mereka. Bentuk upacaranya adalah berdoa, bersaji dan memotong ayam.
Kesenian atau permainan yang paling digemari oleh komunitas terasing pengikut T.R. Tampok adalah pembacaan hikayat dan rapai. Pembacaan hikayat biasanya dilantunkan oleh pembaca hikayat yang mempunyai suara merdu. Hikayat yang paling populer di kalangan mereka umumnya berasal dari cerita-cerita lama seperti hikayat Tuan Ta Husin dan Hikayat Prang Sabil. Hikayat pertama berkenaan dengan peperangan yang berlangsung antara Jazid bin Muawiyah dengan Saidina Husin cucu Nabi yang berakhir gugurnya Saidina Husin.Hikayat kedua berisikan tentang pahala orang yang gugur dalam perang sabil melawan kafir. Hikayat-hikayat tersebut dengan sendirinya menanamkan kesadaran tentang imbalan yang diperoleh berjihad demi agama.
Dampak nyata peran hikayat dalam kehidupan mereka dapat diamati melalui nama putra-puti atau cucu dari T.R. Ubit. Nama-nama Gumbak Meuh, Meureudam Dewi, Tani Angsa, Sanadewa dan lain sebagainya adalah nama-nama aktor yang terdapat dalam cerita-cerita Hikayat Aceh Lama.
Rapai adalah permainan dabus yang dibarengi pertunjukan kekuatan magis dalam wujud kekebalan tubuh dari senjata tajam. Permainan ini diselenggarakan pada malam Jum'at atau bila ada seseorang warga komunitas menyelengarakan upacara khitanan atau perkawinan. Pemainnya terdiri atas 8-10 orang yang menabuhkan gendang (rapai) di bawah pimpinan seorang khalifah. Penabuh gendang memukul gendangnya sesuai dengan nada dan irama syair yang dilantunkan oleh khalifah. Sewaktu pukulan Rapai sedang bertalu-talu, para hadirin memasuki arena permainan untuk melakukan atraksi menikam diri, menyayat diri, membakar diri atau memukulkan benda keras kepada dirinya yang lagi berada dalam suasana ekstasi. Pendek kata permainan itu merupakan wahana uji ketangkasan dan kekebalan tubuh dari senjata tajam. Selama berada di Krueng Itam orang-orang yang pernah menjadi khalifah antara lain T. Hasan, Tgk. Lingga, Tgk. Salam dam K. Badai.
Dalam kehidupan sehari-hari komunitas terasing pengikut T.R. Tampok itu mengembangkan norma-norma atau kebiasaan yang harus ditaati oleh warganya. Hal tersebut terlihat jelas dalam hal busana, perhiasan, atau senjata. Setiap warga mereka, baik laki-laki maupun perempuan, berpakaian warna hitam dan tidak boleh memakai sandal atau sepatu. Kaum laki-laki memakai destar di kepala yang berfungsi sebagai topi, selimut, atau wadah pengangkut barang. Anak-anak kecil dicukur rambutnya dengan meninggalkan sedikit rambut seperti jambul di ubun-ubun (gumbak cudiek), sedangkan orang dewasa rambutnya dibiarkan panjang tanpa dipangkas. Tiap laki-laki yang telah remaja memakai senjata rencong dan pedang (beberapa orang di antara mereka senapan rampasan) sebagai ksatria.
Kebiasaan berpakaian atau berbusana seperti itu tetap dipelihara hingga akhir hayat T.R. Ubit. Pelanggarnya, jika diketahui, akan memperoleh hukuman keras dalam wujud makian, pukulan, dan malah ditetak oleh T.R. Ubit. Larangan atau pantangan memakai sandal atau sepatu dan topi malah juga diberlakukan oleh T.R. Tampok dan T.R. Ubit terhadap orang luar yang datang bertamu untuk menjumpai mereka.
Frekuensi kontak dengan dunia luar yang semakin meningkat sejak akhir dasa warsa tahun 1980-an menimbulkan dampak pula terhadap kelestarian adat di kalangan putra dan cucu T.R. Ubit. Kalangan anak laki-laki hanya mematuhi tata busana seperti yang telah ditetapkan bila sedang berhadapan dengan T.R. Ubit atau berada di seuneubok Alue Tgk Suak. Sebaliknya, bila berjalan-jalan ke Gunung Kong, pusat desa atau ke Pasar Alue Bilie mereka berpakaian seperti remaja atau anak muda lainnya. Pakaian pengganti itu biasanya dititipkan di rumah salah seorang kerabatnya di Blang Tripa.
Ketika T.R. Tampok masih hidup konon terdapat beberapa tata krama yang harus dipatuhi oleh para pengikutnya. Seorang pengikut yang datang menghadap atau audiensi dengannya diharuskan memberi salam dengan cara mengangkat kedua tangan di atas kepala. Seseorang yang turun ke bawah rumah atau ke sungai tidak boleh mengucapkan "turun" (tron), melainkan "turun ke bawah" (jak ujueb atau jak ubaroh) karena perkataan "turun" mengandung makna turun berdamai dengan musuh.

C. Penutup
Gambaran yang dipaparkan pada bagian di atas menunjukkan bagaimana sesungguhnya salah satu aspek kehidupan masyarakat terasing Gunung Kong, yang masih mereka pegang sebagai tradisi yang tetap dilestarikan. Akan tetapi, frekuensi hubungan yang semakin sering dengan dunia luar telah membawa dampak pada bergesernya sebagian dari nilai-nilai yang mereka anut.
Tentunya kondisi ini merupakan suatu yang wajar dalam hubungan antarbudaya dimana antara satu budaya dengan budaya lain akan saling mempengaruhi. Akan tetapi, hendaknya perubahan itu jangan menghilangkan jati diri dari sebuah komunitas.

Daftar Pustaka
M. Isa Sulaiman dan Agus Budi Wibowo. 1998. Aspek Historis Kultural Masyarakat Terasing Gunung Kong Aceh Barat. Banda Aceh, 1998: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.

Suhendang, Kustadi, et.al., 1990. Kehidupan Beragama di Kalangan Masyarakat Terasing Gunung Kong Aceh Barat. Banda Aceh, P3M IAIN Ar-Raniry.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa.2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Pekan Kebudayaan Aceh V dan Pelestarian Budaya

Oleh: Agus Budi Wibowo

Berabad-abad yang lalu, Aceh adalah sebuah nanggroe yang sangat terkenal sampai manca negara. Keharuman, kemegahan, dan keberanian menjadi decak kagum apabila orang bicara tentang Aceh. Aceh yang terletak di ujung paling barat Pulau Sumatera merupakan sebuah wilayah yang sangat strategis bagi setiap bangsa di dunia. Di sini lah terpampang Selat Malaka yang menjadi jalur masuk menuju Samudra Atlantik dari Samudra Hindia. Siapa pun yang dapat mengusai jalur ini dapat memetik keuntungan yang beranekaragam, baik secara ekonomi, politik, pertahanan keamanan, maupun sosial dan budaya sehingga dapat dijadikan modal yang sangat strategis. Tidak heran, banyak bangsa-bangsa di dunia ingin mengusainya.

Letak yang begitu strategis membawa Aceh kepada perkembangan yang begitu maju. Berbagai bangsa hadir di daerah ini. Aceh menjadi daerah cosmopolitan. Posisi dan aktivitas ini memperlihatkan keterbukaan Aceh terhadap dunia luar sehingga tidak jarang ada sebagian pendapat yang menyatakan bahwa ACEH disebut sebagai singkatan dari Arab, Cina, Eropa, dan Hindia. Keterbukaan ini pulalah yang kemudian Aceh juga menjadi ikon bagi perkembangan Islam di Nusantara karena Aceh merupakan asal muasal Islam berada di wilayah ini. Selain mempengaruhi dalam lingkungan internal di luar Aceh, Islam juga mempengaruhi gaya hidup masyarakat Aceh itu sendiri. Bagi ureueng Aceh, Islam telah mendarahdaging dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku, tutur kata, sikap, dijiwai oleh ajaran Islam. Agama dan adat menjadi pilar penting dalam penataan social “Adat bak Po Teumeurohom, hukom bak Syiah Kuala”. Pada bagian lain Aceh terkenal juga dengan keberaniannya dalam melawan setiap ketidakadilan, seperti dalam bentuk penjajahan yang dilakukan oleh para imperialis dan kolonialis. Patriotisme orang Aceh banyak diakui, baik orang Indonesia sendiri maupun orang luar. Lihatlah bagaimana Belanda merasa kewalahan menghadapi perlawanan rakyat Aceh. Semua lapisan masyarakat Aceh bersatu padu mengusir Belanda dari bumi Iskandar Muda. Tidak mengherankan apabila kemudian Aceh sering disebut Tanah Rencong.
Nilai-nilai kolektif merupakan nilai-nilai yang juga dijunjung oleh orang Aceh. Fenomena minum di warung kopi, saling mengunjung, kenduri, upacara-upacara yang melibatkan banyak orang merupakan manifestasi sifat itu. Dalam kumpulan semacam itu sosialisasi nilai keacehan dan identitas bersama dibangun, tumbuh melalui berbagai kesenian. Seudati, Saman, Dabus, dan berbagai tarian Aceh menegaskan orientasi kolektif tersebut.

Di era abad 21 dunia makin berkembang dengan cepat. Lompatan peradaban dan kebudayaan tidak mungkin dapat dihindari oleh seluruh bangsa di dunia. Saling pengaruh antar budaya sudah menjadi hal biasa di era abad digital ini. Globalisasi telah menghadirkan perbedaan-perbedaan yang meruntuhkan totalitas, kesatuan nilai dari kepercayaan. Budaya global ditandai oleh integrasi budaya local ke dalam suatu tatanan global, yang kemudian dapat diikuti oleh proses menghilangnya batas-batas kebudayaan, yang oleh Arjun Appadurai (1991) sebagai “deteritorialisasi”.
Akibatnya, pada suatu saat nanti kita akan susah mencari budaya “asli” dari sebuah bangsa. Bahkan bukan suatu keniscayaan bahwa jati diri kita pun akan hilang karena nilai-nilai budaya luar yang beragam menjadi basis dalam pembentukan sub-sub kebudayaan yang berdiri sendiri dengan kebebasan berekspresi. Globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan memunculkan praktik kehidupan yang beragam. Berbagai dimensi kehidupan mengalami redefinisi dan diferensiasi terjadi secara meluas yang menunjuk sifat relative suatu praktik social.

Hal ini pun dialami oleh masyarakat Indonesia pada umumnya dan Ureueng Aceh pada khususnya. Nilai-nilai budaya yang telah mentradisi sedikit demi sedikit dirasuki oleh nilai-nilai budaya yang datangnya dari luar. Walaupun nilai-nilai budaya luar ada yang baik untuk kemajuan, tetapi tidak sedikit pula yang membawa kita pada hal-hal yang tidak baik. Mungkin suatu saat nanti, kalau kita tidak hati-hati bersikap; kita belajar berbagai tarian Aceh di luar negeri, kita kehilangan sifat komunalisme (tidak ada lagi sifat gotong royong), matinya bahasa ibu (bahasa Aceh), dan sebagainya.

Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) V merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh masyarakat Aceh dalam rangka tetap melestarikan budaya seperti dikatakan dalam narit maja Aceh yang menyebut “Matee aneuk meupat jeurat, Gadoh adat pat tamita” (Mati anak tahu makamnya, Hilang adat dimana dicari). Apa yang ditampilkan dan dipamerkan dalam event ini adalah wujud dari gambaran seutuhnya budaya Aceh yang dijunjung dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Romantisme tentang kebesaran dan kemegahan budaya Aceh yang selama ini dirasakan, semoga menjadi penggugah dan motivasi untuk terus ditumbuhkembangkan sehingga ureueng Aceh merasa tetap hardabeni (rasa memiliki) terhadap budayanya. Sebaik-baik atau sehebat-hebatnya budaya luar masih lebih baik budaya sendiri.

Bagaimanapun system refensi tradisional yang berasal dari budaya local harus diperkuat bukan untuk meredam pengaruh budaya global, tetapi lebih untuk memanfaatkan sebaik mungkin pertemuan dengan budaya luar sebagai modal di dalam pengembangan budaya local. Budaya yang menyangkut substansi doktrin, nilai-nilai, dan pola tingkah laku dalam keberagaman merupakan “Culture modalities” yang menentukan bagaimana Aceh dengan perubahan-perubahannya dikonsepkan dan ditata. Pada saat pasar mengambil alih kekuasan, maka budaya beralih, yang dikhawatirkan tidak mampu lagi memberikan referensi bagi penataan social.
Namun demikian, kita juga tidak perlu takut dengan globalisasi. Jadikanlah globalisasi sebagai sebuah upaya memperkaya dan melengkapi kebudayaan local. Bahkan kehadiran budaya lain di tengah budaya local dapat menjadi unsure dinamisasi budaya local. Sesungguhnya permasalahan pokok terkait antara kebudayaan dan globalisasi itu bukan globalisasi, tetapi terletak pada eksistensi kebudayaan itu sendiri. Untuk itu, upaya-upaya pembakuan dan modernisasi yang mengarah paa proses pembunuhan tradisi lah yang harus dilawan.

Pekan Kebudayaan Aceh dapat menjadi event wisata, event budaya, event nasionalisme, event mencerminkan sikap religius. Marwah Pekan Kebudayaan Aceh yang adiluhung tetap harus terjaga. Selain itu, menjadi momentum bagi dilakukannya upaya-upaya revitalisasi dan reaktualisasi budaya daerah yang akan memperkuat jati diri dan kearifan local ureueng Aceh.