January 19, 2012

Kuah Blangong (Aceh)

Oleh: Agus Budi Wibowo Makanan khas merupakan identitas suatu daerah yang dapat membedakan keberadaan dengan daerah lain. Begitu juga keberadaan makanan khas suku bangsa Aceh yang berbeda dengan makanan khas dari daerah lain di Indonesia. Kekayaan kuliner Aceh diwariskan dari generasi ke generasi hanya dengan lisan sehingga sukar untuk dapat diketahui secara pasti kapan keberadaan makanan khas tersebut di Aceh. Namun ada dugaan tentang sejarah kuliner di belahan dunia manapun, kolonialisme, penjelajahan dan arus perdagangan memegang peranan yang sangat besar dalam pertukaran budaya termasuk pertukaran kuliner. Penjelajahan Marcopolo mencapai Cina, menyerap budaya makan mi dan membawanya ke Italia untuk menjadi spaghetti. Belanda yang menjajah Indonesia membawa pengaruh kuliner berupa bistik sampai budaya makan ala Rijstaffel. Tahun 1600'an, dunia perdagangan telah menghantarkan para pedagang dari Gujarat (India) masuk ke negara kita. Sebenernya mereka bukan orang Gujarat aseli, mereka orang2 asli daerah Jazirah Arab yang berlayar untuk berdagang dan menyebarkan Islam. Dalam pelayarannya mereka sempat singgah dan menetap di Gujarat untuk beberapa lama (sekaligus menyerap kebudayaan termasuk kuliner), lalu sebagian tinggal disana dan sebagian melanjutkan pelayarannya hingga masuk ke Indonesia. Tempat pertama di Indonesia yang mereka singgahi tentu saja Aceh sebagai titik tranfer pelayaran Asia Tenggara. Di Aceh mereka juga sempat tinggal beberapa lama, berdagang dan menyebarkan Islam, sebagian tinggal di Aceh dan sebagian lagi melanjutkan pelayaran menyusuri sepanjang pesisir barat Sumatera, terus ke Jawa. Di Aceh, khususnya Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie dan sebagian wilayah Aceh Barat, Kuah Blang (gulai sawah) merupakan menu kuah daging yang sangat khas. Kuah Blang sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Aceh saat menyambut musim tanam padi tiba. Sebelum dimulainya waktu turun ke sawah, terlebih dahulu diadakan selamatan memohon kepada Yang Maha Kuasa supaya hasil padinya bagus, jauh dari gangguan hama dan memenuhi panen seperti yang diharapkan. Hajatan ini dinamakan Kenduri Blang (selamatan turun ke sawah). Masyarakat akan menyembelih seekor sapi atau kerbau sesuai dengan kemampuan masyarakatnya dan dimasak dengan bumbu khas kuah blang di dalam belanga besar. Kemudian hidangan ini akan disantap bersama-sama. Hingga kini, kuah blang menjadi menu utama disetiap acara selamatan, hajatan, pesta perkawinan dan kegiatan-kegiatan perayaan lainnya. Bisa dikatakan, bila tidak ada menu kuah blang, maka belum dikatakan lengkap acara hajatan tersebut. Perayaan dalam bentuk apapun yang diselingi dengan makan bersama, kuah blang merupakan menu utama disamping menu-menu yang lain. Adapun Bahan-bahannya adalah : - ½ kilogram tulang dan daging + tetelan - 14 kilogram nangka muda - 3 sendok makan kepala gongseng - 2 helai daun temurui - 600 cc santan - 1 sendok makan asam jawa - 3 butir bungong lawang - 3 buah sere - 1 batang garam secukupnya Bumbu : - 5 siung bawang merah - 3 siung bawang putih - 2 centi meter jahe - 1 sendok makan ketumbar - ½ sendok merica - ¼ sendok jintan - 2 sendok makan cabe kering - 5 buah cabe merah Cara membuatnya : 1. Tulang, daging dan tetelan dibersihkan lalu dipotong-potong dan lumuri dengan garam 2. Nangka dipotong-potong sesuai selera 3. Semua bumbu dihaluskan dan aduk dengan daging, tulang dan tetelan 4. Masukkan kelapa gongseng, daun temurui, santan, asam jawa, bungong lawang, cengkeh, sere 5. Masak hingga matang 6. Siap dihidangkan Di Aceh banyak terdapat warung-warung dan restauran yang menyajikan menu khas kuah blang dari daging kambing (bu sie kameng kuah blang). Bahkan, banyak warung yang hanya khusus menyediakan daging kambing saja tanpa ada menu-menu lainnya. Warung-warung tersebut banyak ditemui hampir diseluruh pelosok wilayah Aceh.

Siwah (Aceh)

Oleh: Agus Budi Wibowo Sebelum rencong dikenal, masyarakat Aceh telah menggunakan senjata yang disebut siwah. Jenis senjata ini tidak memiliki gagang, sehingga cukup menyulitkan ketika digunakan untuk berperang, terutama ketika senjata ini sudah berlumuran dengan darah. Senjata ini menjadi licin dan mudah terlepas dari genggaman karena lumuran darah tersebut. Oleh karena itu, atas perintah Sultan Alaiddin Riayat Syah Al-Kahhar yang berkuasa pada waktu itu, maka dipanggil para pandai besi untuk mengubah siwah dengan model terbaru yang tidak menyulitkan ketika digunakan untuk berperang. Para pandai besi ini akhirnya menambahkan gagang yang berbentuk huruf Ba (huruf kedua dalam aksara Arab) pada siwah tersebut. Selanjutnya senjata ini dikenal dengan nama reuncong atau rincong, di dalam bahasa Indonesia disebut rencong. Mubbin Sheppard mencatat bahwa senjata tikam abad I yang berasal dari daerah Dong Son di Teluk Tonkin bisa jadi merupakan cikal bakal daripada keris (Leigh, 1989: 45). Perbedaan antara keris dengan rencong terletak pada mata pisau keris yang berombak dan terasah pada kedua belah sisinya. Selanjutya, Sheppard mengemukakan bahwa belati yang terasah hanya pada satu sisi adalah hal yang umum di antara bangsa-bangsa rumpun Melayu. Badek dan tumbak lada yang berbentuk tabung atau pipa sangat mirip dengan senjata siwah dari Aceh. Siwah termasuk salah satu hasil seni tradisional, sejak zaman dahulu siwah dalam penggunaannya berfungi sebagai berikut: sebagai perhiasan; rencong ini dipergunakan sehari-hari sebagai perhiasan (pakaian) yang diselipkan di pinggang; sebagai seni (seni ukir). Siwah juga dipakai sebagai senjata perang untuk menghadapi musuh-musuh peperangan yang ingin menjajah Aceh seperti Inggris, Belanda dan sebagainya. Siwah adalah senjata tajam sejenis dengan rencong yang juga merupakan senjata untuk menyerang. Bentuknya hampir sama dengan rencong tetapi siwaih ukurannya (baik besar maupun panjang) melebihi dari rencong. Siwaih sangat langka ditemui, selain harganya mahal, juga merupakan bahgian dari perlengkapan raja-raja atau ulebalang-ulebalang. Namun demikian untuk siwaih yang telah diberikan hiasan emas dan permata pada sarung dan gagangnya lebih berfungsi sebagai perhiasan dari pada sebagai senjata..