May 23, 2011

Bentuk/Wujud Sistem Kepemimpinan di Aceh

Oleh Agus Budi Wibowo

sultan dan ulama merupakan sistem kepemimpinan Aceh yang tidak dapat dipisahkan. Sultan atau raja atau penguasa dianggap memiliki otoritas politik (pemimpin dunia) dan agama. Taj al-Salatin, sebagai panduan bagi para penguasa mengenai pemerintahan, disebutkan bahwa gelar khalifat al-Rahman (wakil Yang Maha Pengasih) dan zill Allah fi al-alam atau al-ard (bayangan Allah di muka alam atau bumi dirujuk kepada sultan. Untuk itu, kemudian seorang penguasa (sultan/raja) berhak menggunakan gelar-gelar agamis. Misalnya, dalam Bustanus Salatin, Sultan Iskandar Muda menggunakan gelar sayyiduna wa mawlana paduka seri Sultan Iskandar Muda Johan berdaulat zill Allah fi al-‘alam, sementara penggantinya, Iskandar Thani juga menggunakan gelar yang sama, sebagaimana halnya dengan empat ratu (sultanat) yang memimpin Aceh berikutnya. Pada bagian lain, seorang tokoh ulama besar Aceh ‘Abd al-Rauf al-Singkili menegaskan bahwa Kerajaan Aceh merupakan sebuah khilafah (kekhalifahan) yang berdiri sendiri. Oleh karena itu, seorang khalifah diartikannya sebagai “wakil Tuhan”. Menurutnya, khalifah yang pertama adalah Nabi Adam AS. Kemudian tugas ini dilaksanakan oleh semua nabi dan rasul sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Setelah Rasul ini wafat, posisi ini dilaksanakan oleh para keempat khulafa’ al-Rashidin, yang dalam perkembangannya kemudian, posisi khalifat didelegasikan kepada para penguasa di berbagai penjuru dunia Islam (Hadi, 2010: 105-108).
Gambar

Akan tetapi, kepemilikan penguasan akan otoritas agama tidak bermakna bahwa ia pemegang otoritas tertinggi dalam urusan keagamaan karena sesungguhnya otoritas tertinggi dalam hal ini dimiliki oleh para ulama. Untuk itu, seorang ulama sangat membutuhkan ulama. Di dalam Adat Aceh dan Taj-al-Salatin ditekankan bahwa seorang penguasa diminta untuk menghormati dan merujuk kepada para ulama dalam urusan keagamaan, yang dalam praktiknya kemudian para ulama ketika itu menempati berbagai posisi penting di kerajaan, dari posisi yang berbentuk Agama (seperti qadhi, faqih, dam Shaykh al-Islam hingga posisi politis (seperti penasihat sultan, ketua dewan kerajaan dan wakil sultan).
Merujuk pada hal tersebut di atas, maka dapat kita lihat juga pada aspek kepemimpinan yang lain. Berdasarkan pendekatan historis, masyarakat Aceh dapat dikelompokkan pada dua golongan kepemimpinan, yaitu golongan umara dan golongan ulama. Umara dapat diartikan sebagai pemerintah atau pejabat pelaksana pemerintah dalam suatu unit wilayah kekuasaan. Contohnya seperti jabatan sultan yang merupakan pimpinan atau pejabat tertinggi dalam unit pemerintahan kerajaan, Uleebalang sebagai pimpinan unit pemerintahan Nanggroe (negeri), Panglima Sagoe (Panglima Sagi) yang memimpin unit pemerintahan Sagi (di Aceh Besar), Imeum Mukim yang menjadi pimpinan unit pemerintahan Mukim dan Keuchik atau Geuchik yang menjadi pimpinan pada unit pemerintahan Gampong (kampung). Mereka semua atau pejabat tersebut di atas, dalam struktur pemerintahan di Aceh pada masa dahulu dikenal sebagai lapisan pemimpin adat, pemimpin keduniawian atau kelompok elite sekuler. Dalam hal ini Sjamsuddin (1998: 2) mengatakan bahwa,
“... oleh sebab itu, didasar struktur politik secara tradisional kehidupan rakyat Aceh sering dikatakan sebagai dikuasai oleh dua penguasa, yaitu uleebalang (umara-penulis) dan ulama. Barangkali kenyataan ini dapat dilukiskan dengan tepat sebagaimana ungkapan yang terdapat di dalam sebuah hikayat Aceh populer, Hikajat Potjut Muhammad: hana di gob na di geutanyo, saboh nanggro dua raja, yang secara bebas bermakna: hanya di tempat kita sajalah terdapat sebuah negeri yang diperintah oleh dua raja”.

Sementara golongan ulama yang menjadi pimpinan yang mengurusi masalah-masalah keagamaan (hukom atau syariat Islam) dikenal sebagai pemimpin keagamaan atau masuk kelompok elite religius. Oleh karena para ulama ini mengurusi hal-hal yang menyangkut keagamaan, maka mereka haruslah seorang yang berilmu agama Islam, yang dalam istilah Aceh disebut ureueng malem. Dengan demikian tentunya sesuai dengan predikat/sebutan ulama itu sendiri, yang berarti para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan. Adapun golongan atau kelompok ulama ini (lihat pada bab 2 sebelumnya) dapat disebut yaitu :
1. Teungku Meunasah, yang memimpin masalah-masalah yang berhubungan dengan keagamaan pada suatu unit pemerintahan Gampong (kampung).
2. Imeum Mesjid (Imam Mesjid), yaitu yang mengurusi masalah keagamaan pada tingkat pemerintahan mukim, yang bertindak sebagai imam sembahyang pada setiap hari Jumat di sebuah mesjid pada wilayah mukim yang bersangkutan.
3. Qadli (kadli), yaitu orang yang memimpin pengadilan agama atau yang dipandang mengerti mengenai hukum agama pada tingkat kerajaan (Kadhi Malikul Adil) dan juga pada tingkat Nanggroe yang disebut Kadli Uleebalang.
4. Teungku-teungku, yaitu pengelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti dayah dan rangkang, juga termasuk murid-muridnya. Bagi ulama yang sudah cukup tinggi tingkat keilmuannya, disebut dengan istilah Teungku Chik.

Saat Sultan Iskandar Muda memerintah, bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan di Aceh adalah yang disebut dalam istilah Aceh Gampong atau dalam istilah Melayu Kampung. Sebuah Gampong terdiri atas kelompok-kelompok rumah yang letaknya berdekatan satu dengan yang lain. Pimpinan gampong disebut Geucik atau Keuchik, yang dibantu oleh seorang yang mahir dalam masalah keagamaan, dengan sebutan Teungku Meunasah. Selain itu, dalam sebuah dalam sebuah Gampong terdapat pula unsur-unsur pimpinan lainnya seperti yang dinamakan Waki (wakil) yang merupakan wakil dari Keuchik, serta juga yang disebut Ureung Tuha (orang tua). Mereka yang tersebut terakhir adalah golongan orang-orang tua kampung yang disegani dan berpengalaman dalam kampungnya. Menurut tradisi jumlah mereka ada empat orang yang dinamakan Tuha Peut dan ada juga yang delapan orang yang disebut Tuha Lapan.
Bentuk teritorial yang lebih besar lagi dari gampong yaitu Mukim. Mukim ini merupakan gabungan dari beberapa buah gampong yang letaknya berdekatan dan para penduduknya melakukan sembahyang bersama pada setiap hari Jumat di sebuah masjid. Pimpinan Mukim disebut sebagai Imum Mukim. Perkataan Imum ini berasal dari bahasa Arab, artinya Imam (orang yang harus diikuti). Imum Mukim inilah yang bertindak sebagai pemimpin sembahyang pada setiap hari Jumat di sebuah masjid. Pada mula dibentuk setiap mukim diharuskan sekurang-kurangnya mempunyai 1000 orang laki-laki yang dapat memegang senjata. Hal ini tentunya dimaksudkan untuk tujuan politis, yaitu bila terjadi peperangan dengan pihak luar agar mudah menghimpun tenaga-tenaga tempur. Dalam perkembangannya fungsi Imum Mukim menjadi kepala pemerintahan dari sebuah Mukim. Dialah yang mengkoordinir kepala-kepala kampung atau Keuchik-Keuchik. Dengan berubahnya fungsi Imum Mukim berubah pula nama panggilannya, yakni menjadi Kepala Mukim. Untuk pengganti sebuah imam sembahyang pada setiap hari Jum'at di sebuah masjid, diserahkan kepada orang lain yang disebut Imuem Mesjid.
Dalam memimpin pemerintahan Nanggroe, Uleebalang dibantu oleh pembantu-pembantunya seperti yang disebut dengan Banta, yaitu adik laki-laki atau saudara Uleebalang, yang kadang-kadang juga bertindak sebagai Uleebalang, bila yang bersangkutan berhalangan. Pembantu yang lainnya adalah yang disebut Kadhi atau Kali, yang membantu dalam hukom, yaitu yang dipandang mengerti mengenai hukum Islam. Selain itu, ada yang disebut Rakan yaitu sebagai pengawal Uleebalang, yang dapat diperintahnya untuk bertindak dengan tangan besi. Para Rakan yang terbaik dalam perang diberi gelar Panglima Perang, sedangkan pimpinan-pimpinan pasukan kecil yang tidak begitu trampil dalam peperangan diberi gelar pang.
Nanggroe-nanggroe tersebut di atas, pada umumnya berlokasi di pantai bagian timur dan pantai bagian barat Aceh. Di awahnya terdapat pula sejumlah mukim yang terdiri atas beberapa buah gampong atau yang disebut pula dengan istilah meunasah. Tetapi tidak semua nanggroe mengenal lembaga mukim. Di wilayah pantai timur dan di pantai barat, tidak terdapat apa yang disebut mukim. Di beberapa nanggroe bagian pantai Timur dan sebagian wilayah Kabupaten Aceh Utara sekarang, terdapat apa yang disebut dengan istilah Ulebalang Cut (Uleebalang kecil). Uleebalang Lapan (Uleebalang Delapan), dan Uleebalang Peut (Uleebalang Empat). Namun kedudukan dari bermacam jenis Uleebalang ini, berada di bawah.
Tingkat tertinggi dalam struktur pemerintahan Kerajaan Aceh adalah pemerintah pusat yang berkedudukan di ibukota kerajaan, yang dahulunya bernama Bandar Aceh Dar as Salam. Pimpinan atau kepala pemerintahan pusat adalah Sultan yang para kelompoknya bergelar Tuanku. Dalam mengendalikan pemerintahan Sultan dibantu oleh beberapa pembantu yang membawahi bidang masing-masing. Berdasarkan sebuah manuskrip (MS), susunan pemerintahan pusat Kerajaan Aceh terdiri atas 24 lembaga atau jabatan yang diumpamakan dengan kementrian pada masa sekarang. Nama dari masing-masing lembaga tersebut adalah sebagai berikut:
1. Keurukun Katibul Muluk atau Sekretaris Raja
2. Rais Wazirat Addaulah atau Perdana Menteri
3. Wazirat Addaulah atau Menteri Negara
4. Wazirat al Akdham atau Menteri Agung
5. Wazirat al HArbiyah atau Menteri Peperangan
6. Wazirat al Haqqamiyah atau Menteri Kehakiman
7. Wazirat ad Daraham atau Menteri Keuangan
8. Wazirat ad Mizan atau Menteri Keadilan
9. Wazirat al Maarif atau Menteri Pendidikan
10.Wazirat al Khariziyah atau Menteri Luar Negeri
11. Wazirat ad Dakhilyyah atau Menteri Dalam Negeri
12. Wazirat al Auqaf atau Menteri Urusan Wakaf
13. Wazirat az Ziraaf atau Menteri Pertanian
14. Wazirat al Maliyyah atau Menteri urusan HArta
15. Wazirat al Muwashalat atau Menteri Perhubungan
16. Wazirat al asighal atau Menteri Urusan Kerja
17. As Syaikh al Islam Mufti Empat Syeik Kaabah
18. Qadli al Malik al Adil atau Qadi Raja Yang Adil
19. Wazir Tahakkum Muharrijlailan atau Ketua Pengurus Kesenian
20. Qadli Muadlam atau Qadhi/Jaksa Agung
21. Imam Bandar Darul Makmur Darussalam
22. Keuchik Muluk atau Keuchik Raja
23. Imam Muluk atau Imam Raja
24. Panglima Kenduri Muluk atau Ketua Urusan Kenduri Raja.
Kedua puluh empat lembaga atau jabatan seperti disebutkan di atas, dipegang oleh orang-orang tertentu sebagai pimpinan yang diangkat oleh Sultan Aceh. Selain jabatan-jabatan itu di Kerajaan Aceh, terdapat pula tiga buah badan atau lembaga lainnya yang fungsinya hampir dapat disamakan dengan lembaga legislatif sekarang. Lembaga ini turut mendampingi Sultan dalam melaksanakan tugasnya. Ketiga Lembaga ini adalah 1. Balairungsari, yaitu tempat bermufakat empat orang Uleebalang (Hulu Balang Empat) dan tujuh orang alim ulama, serta menteri-menteri Kerajaan Aceh. 2. Bale Gadeng, yaitu Tempat mufakat dari delapan orang Uleebalang dan tujuh orang alim ulama serta menteri-menteri Kerajaan Aceh, dan 3. Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu sebagai tempat mufakat wakil rakyat sebanyak tujuh puluh tiga orang yang datang dari tujuh puluh tiga mukim. Jadi tiap-tiap mukim diwakili oleh satu orang.
Selain ketiga lembaga di atas, dalam sebuah naskah yang bernama Kanun Meukuta Alam Sultan Iskandar Muda, disebut pula ada Balai Laksamana yaitu semacam markas angkatan perang, yang dikepalai oleh seseorang yang disebut Laksamana, yang tunduk atau berada di bawah Sultan. Selanjutnya ada pula yang disebut Balai Fardah, yang tugasnya memungut atau mengumpulkan Wase (Bea Cukai). Balai ini tunduk pada perintah Perdana Menteri. Disebutkan pula, dalam pemerintahan kerajaan, Sultan Aceh tunduk kepada Kanun.

Selain kepemimpinan yang telah disebutkan di atas terdapat pula beberapa bentuk kepempimpinan pada tataran kampung atau gampong di Aceh. ”Keuchik” adalah pemimpin yang mengepalai sebuah Gampong (kampung). Gampong merupakan bentuk teritorial terkecil dari susunan Pemerintahan di Daerah Aceh, yang terdiri atas beberapa kelompok rumah tangga dan memiliki sebuah tempat kegiatan bersama, bermusyawarah dan beribadat bagi warga yang disebut dengan ”Meunasah”. Di samping itu ada ”Balei” tempat lebih kecil dari Meunasah (fungsinya hampir sama). Keuchik merupakan tokoh sentral Gampong, dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Waki dan Tuha Peut Gampong.
”Waki” artinya Wakil Keuchik sebagai pejabat penyampai informasi kepada masyarakat atas perintah Keuchik dan berkewajiban mendampingi Keuchik dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Ia memukul tambö (bedug) untuk memanggil orang menghadiri suatu musyawarah atau bersifat pengumuman lainnya.
“Imeum Meunasah” yang lebih populer dengan panggilan Teungku Meunasah, merupakan pembantu Keuchik, dalam bidang agama Islam (huköm) pada setiap Gampong. Fungsi ini sangat dihormati dalam masyarakat Gampong.
”Tuha Peut” adalah suatu institusi perangkat Gampong yang terdiri dari empat orang unsur ketokohan masyarakat, yang dituakan karena pengalaman, kearifan dan disegani dalam Gampong bersangkutan (Dewan Empat). Mereka membantu Keuchik, memberi nasehat/saran atau tempat Keuchik meminta pendapat/nasehat dalam mengambil kebijak-an/keputusan, terutama “bidang pengadilan” dalam hal sengketa.
“Imeum Mukim” adalah orang yang memimpin wilayah Mukim, wilayah gabungan dari beberapa Gampong yang berdekatan. Mukim berasal dari wilayah kesatuan penduduk dalam melaksanakan sembahyang Jum’at di sebuah Masjid. Imeum Mukim mulanya berasal dari fungsi Imam Mesjid. Karena perkembangan masyarakat, fungsi Imeum Mukim berubah menjadi Kepala wilayah Mukim, mengkoordinir Keuchik-keuchik yang mengepalai Gampong. Sekarang Imeum Mukim merupakan elemen pemerintah (sesuai dengan Qanun No.4 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Mukim), sekaligus sebagai Kepala Adat, berwenang menyelesaikan sengketa adat di wilayahnya, sedangkan Imam Mesjid adalah berfungsi mengelola urusan Mesjid (agama).
“Keujruen Blang” adalah seseorang atau lebih yang ditugasi Keuchik untuk mengurus hal-hal yang berkenaan dengan pertanian/persawahan/irigasi Gampong, seperti menetapkan waktu turun ke sawah, penetapan tatacara/adat istiadat upacara “khanduri” turun ke sawah, penetapan lepas panen untuk lepas ternak (luwaih blang) pengaturan air ke sawah penduduk, dan lain-lain.
”Panglima Laot” (Panglima Laut) adalah orang yang mengatur para nelayan dalam mencari ikan, tatacara pemasaran dan sistem pembagian hasil penangkapan ikan di laut.
“Peutua Seuneubök” adalah seseorang yang diangkat untuk memimpin, pengaturan dan pe-nyelesaian persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pembukaan lahan hutan untuk areal per-kebunan, misalya perkebunan lada, cengkeh, pala dan lain-lain
“Haria Peukan” adalah seseorang yang ditugasi untuk mengatur Peukan (Pasar dagang), mengutip pajak atau cukai yang disebut “Cok Adat” pada peukan-peukan tertentu, termasuk hari-hari Peukan (Uroe Gantoe) di Gampong atau Mukim. Haria Peukan disebut juga “Ureueng Cok Adat” dan bila muncul persoalan-persoalan di “Peukan”, maka Haria peukan dapat mengatasinya atau menyelesaikannya.
”Syahbanda” artinya Syahbandar. Dia adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengepalai pelabuhan dalam wilayah hukum tertentu. Tugas utamanya adalah mengawasi kapal-kapal yang masuk dan keluar dari pelabuhan dalam wilayah hukumnya.
“Pawang Glé” adalah seseorang yang mengatur dan mengurusi orang-orang yang mata pencaharian di “Glei”/gunung, menyangkut mencari rotan, berburu rusa dan lain-lain dalam kesatuan wilayah hukum tertentu.

Pengaruh Ajaran Islam terhadap Sistem Kepemimpinan di Aceh

Oleh Agus Budi Wibowo


Islam beserta ajarannya bagi ureueng Aceh bukanlah suatu istilah atau nama yang asing lagi. Masyarakat Aceh, dalam sejarahnya hingga kini, dianggap sebagai penganut Islam yang kuat. Bagi orang Aceh, ajaran agama merupakan tokok ukur dan barometer atas segala sikap, tindak-tanduk, perbuatan dan penampilan mereka dalam pergaulan sesamanya. Sikap dan pandangannya dan segala macam bentuk benar-salah, bagus jelek, baik-buruk dan segala macam bentuk penilaian selalu dikaitkan dengan ajaran Islam.
Masyarakat Aceh benar-benar menghayati ajaran Islam dalam kehidupannya. Penghayatan yang begitu besar dan mendalam terhadap ajaran Islam diwujudkan dalam bentuk akulturasi antara adat dengan ajaran agama. Hal ini berarti bahwa seseorang yang telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan yang dituntut atau digariskan dengan adat, maka hal itu berarti ia telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan ajaran agamanya pula, atau sekurang-kurangnya tidak keluar dari bingkai agama yang mereka anut (Nyak Pha, 2000: 10). Oleh karena itu, semua gerak kehidupan masyarakat selalu terikat pada syariat Islam yang dikemas dalam bentuk adat (hukum) dan adat-istiadat. Keadaan ini tampak pada beberapa aspek seperti yang termaktub dalam beberapa hadih maja di bawah ini.
1. “Adat bak Poteumeurohom, Hukom bak Syaih Kuala, Kanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana”. (Adat-hukum pengaplikasiannya dalam masyarakat berada di bawah tanggung jawab raja/pemerintahan, sedangkan hukum-hukum Islam berada di bawah tanggung jawab ulama, adat-istiadat dan upacara protokoler istana berada di bawah tanggung jawab berada di bawah tanggung jawab - Putro Phang dan adat istiadat atau kebiasaan berada di bawah tanggung jawab penguasa-penguasa atau pemimpin-pemimpin setempat).
2. Hukom ngon adat lagee dzat ngon sipheuet (Hukum Islam dan Hukum adat ibarat benda dengan sifatnya, jadi tidak dapat dipisahkan).
3. Hukum ngon adat hanjeuet cree, lagee mata itam ngon mata puteh (Hukum Islam dan hukum adat tidak boleh berpisah seperti mata hitam dan mata putih)
Ungkapan-ungkapan ini merupakan pencerminan dari perwujudan syariat Islam dalam praktek hidup sehari-hari pada masyarakat Aceh. Kemudian tidak berlebihan apabila Aceh mendapat gelaran Serambi Mekkah, semangat Perang Sabil, Kerajaan Aceh Darussalam. Kesemua itu adalah wujud dari semangat dan nilai yang lahir dari perpaduan tadi.
Islam tidak hanya telah diupayakan untuk ditegakkan di tengah-tengah masyarakat dalam artian pelaksanaan ajarannya, agama ini juga telah menjadi fondasi utama dalam pembentukan budaya, tradisi, dan adat istiadat. Tradisi istana kerajaan di masa lalu sarat dengan nilai-nilai Islami, sejak dari gelar yang digunakan, konsep kepemerintahan, tradisi seremonial istana (yang tidak membedakan antara tradisi ke-Islaman dengan kerajaan), dan berbagai kebijakan keagamaan kerajaan, terutama pada abad ke-17 (Hadi, 2004; Hadi, 2008: 13-14). Islam tidak hanya menjadi inspirator bagi pembangunan dan kemajuan di Aceh dalam berbagai bidang, ia juga berperan sebagai motor utama dalam resistensi yang kuat terhadap Portugis di Melaka, pada paruh pertama abad ke-16, dan Belanda, pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, dan juga terhadap Jepang. Perang atas nama agama ini senantiasa dipegang erat oleh masyarakat secara konsisten. Menurut mereka, bangsa asing tersebut dipandang telah membahayakan hidup agama dan tanah air. Mereka akan menghadapinya dengan semangat yang tinggi dalam keadaan yang demikian mereka hanya mengenal mati syahid atau menang.
Dalam kaitan dengan sistem kepemimpinan, Islam pun mempunyai sistem atau mekanisme tersendiri. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda,
“Semua kamu adalah pemimpin dan bertanggung-jawab atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dalam keluarganya dan bertanggujawab atas kepemimpinannya. Seorang isteri adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas penggunaan harta suaminya. Seorang karyawan (pelayan) bertanggungjawab atas harta perusahaannya (majikan). Seorang anak bertanggungjawab atas penggunaan harta ayahnya. (HR, Al Bukhari dan Muslim).

Nilai-nilai Islam tersebut kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam diri masyarakat Aceh. Sebagai sebuah masyarakat yang Islami, strata dan sistem organisasi dalam masyarakat Aceh dibangun berdasarkan konsep pemerintahan yang bernuansa Islami, Karena itu, sejak dahulu sudah ada ungkapan, “Nanggroe meusyara’, lampôh meupageue, umong meuateueng, ureueng meunama.” Yang artinya Negeri bersyarak, kebun berpa¬gar, sawah berpematang, orang bernama’. Hadih maja ini menyiratkan bahwa sebuah komuni¬tas mestilah memiliki kaidah, hukum, konvensi, dan batasan-batasan tertentu. Hal ini sangat berguna dalam rangka membangun sebuah kehidupan yang harmonis.
Untuk itu, hukum Kerajaan Aceh Darussalam dinyatakan sebagai negara yang berbudaya hukum. Pemahaman itu termaktub dalam Qanun al-Asyi, sebagai berikut:
”Bahwa negeri Aceh Darussalam adalah negeri hukum yang mutlak sah dan bukan negeri hukuman yang mutlak sah. Dan rakyat bukan patung yang berdiri di tengah padang, akan tetapi rakyat seperti pedang sembilan mata yang amat tajam, lagi besar matanya, lagi panjang sampai ke timur dan ke barat, jangan dipermudah sekali-kali hak rakyat”.
Qanun al-Asyi yang disebut juga dengan Adat Meukuta Alam yang bersumber dari al-Qur’an, al-Hadist, Ijma’ Ulama dan Qias, menetapkan ada empat sumber hukum, bagi kerajaan Aceh, yaitu:
a. Kekuasaan Hukum (Yudikatif) yang dipegang oleh Kadhi Malikul Adil.
b. Kekuasaan Adat (Eksekutif) yang dipegang oleh Sultan Malikul Adil.
c. Kekuasaan Qanun (Legislatif) yang dipegang oleh Majelis Mahkamah Rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat).
d. Kekuasaan Reusam (Hukum Darurat) yang dipegang oleh Penguasa Tunggal, yaitu Sultan sebagai penguasa tertinggi waktu negara dalam keadaan perang.
Kemudian dalam menjalankan empat jenis hukum dalam kerajaan, Qanun al- Asyi menetapkan bahwa Raja dan Ulama harus menjadi Dwi Tunggal (tidak boleh jauh atau bercerai) dalam sistem kepemimpinan di tingkat kerajaan, seperti disebutkan dalam Qanun:
”Artinya Ulama dengan Raja atau Rais tidak boleh jauh atau bercerai. Sebab jikalau bercerai dengan Raja atau Rais, niscaya binasalah negeri. Barang siapa mengerjakan Hukum Allah dan meninggal-kan Adat, maka tersalah dengan dunianya dan barangsiapa mengerjakan Adat dan meninggalkan Hukum Allah, maka tersalah dengan Allah. Maka hendaklah Hukum dan Adat itu seperti gagang pedang dengan mata pedang”.
Dalam konteks yang lebih luas, negara atau kera¬jaan, keharmonisan tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam distribusi kekuasaan antarelit da¬lam komunitas tersebut, seperti dikatakan dalam hadih maja sebelumnya, bahwa Adat bak Poteu Meureuhôm, Hukôm bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana. Atau Adat bak Poteu Meureuhôm, Hukôm bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang, Reusam bak Bentara. Hadih maja tersebut menyebutkan bahwa persoalan adat-istiadat, sistem pemerin¬tahan, hendaklah disesuaikan dengan konvensi para raja dan diserahkan sepenuhnya pada raja, Poteu Meureuhôm. Namun, Persoalan hukum diatur oleh ulama, Syiah Kuala. Karenanya, tidak berlebihan kalau para raja (masa lalu ataupun saat ini) berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan, menghidup-kan kembali, dan takut sekali melanggar adat (walau kadang bertentangan dengan syariat Islam). Sikap ini merupakan pengejawantahan pemikiran bahwa adat-istiadat yang ada dalam masyarakat idealnya dipertahankan, tidak diubah, sesuai dengan maksud hadih maja, “Boh malairi ie paseueng surôt, adat datôk nini beutaturôt” ‘buah malairi air pasang surut, adat nenek moyang hendaklah diturut’.

Nilai-nilai Budaya Aceh yang terkait dengan Kepemimpinan

Oleh Agus Budi Wibowo


Nilai budaya adalah satu bagian dari kebudayaan komunitas tertentu yang merupakan suatu konsepsi abstrak yang dianggap baik dan amat bernilai tinggi dalam hidup, yang menjadi pedoman tertinggi kelakuan dalam kehidupan satu masyarakat (Melalatoa, 2005: 10). Sebagai sebuah etnisitas budaya, masyarakat Aceh juga memiliki nilai budaya, yang salah satunya adalah nilai budaya yang terkait dengan kepemimpinan.
Pemahaman nilai budaya tentang prinsip kepemimpinan masyarakat Aceh dengan menelaah dan mendalami peribahasanya (P. Lunde dan Wintle, 2010). Kebenaran pendapat ini bertumpu pada kenyataan bahwa arti luas peribahasa merupakan kata, frase, klausa, atau kalimat ringkas yang baku dan tetap susunan serta pemakaiannya, yang (pernah) hidup dalam tradisi lisan sesuatu bahasa, dengan isi yang selalu mengkiaskan maksud tertentu untuk dijadikan penuntun berperilaku dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian peribahasa mencakup ungkapan, bidal, perumpamaan, pepatah, dan petitih, serta berisi tamsil, ibarat, perbandingan, nasihat, petuah, ajaran, asas hidup, atau tata aturan tingkah laku yang dianut oleh bangsa pemilik bahasa yang bersangkutan dalam menjalani hidupnya. Seperti dinyatakan oleh Danandjaja (1984: 32), sebagai bagian folklore lisan peribahasa memang dapat berfungsi menjadi pengukuh pranata dan lembaga kebudayaan, alat pengawas dan pemaksa pematuhan norma masyarakat, instrument pendidikan, dan juga alat komunikasi dalam kontrol sosial. Karena kodratnya, isi peribahasa memang dimaksudkan untuk memberikan pengarahan, teladan, harapan dan nasihat, sehingga dapat dijadikan bahan pelajaran berharga untuk diikuti dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Masyarakat Aceh mengenal peribahasa yang sesungguhnya menggambarkan jati diri/watak dari masyarakatnya., yang disebut pula dengan hadis maja atau narit maja. Menurut Ali dkk (2009: 1) narit maja menduduki tingkat kebenaran nomor tiga dalam masyarakat Aceh. Tingkat kebenaran pertama adalah Wahyu Allah Swt. Tingkat kebenaran kedua adalah Hadis Rasulullah Saw. Tingkat kebenaran ketiga adalah Narit maja atau Peutitih peteteh. Karena kebenaran narit maja berada di bawah Hadis Nabi, maka orang-orang menyebutnya dengan atau hadih maja. Narit maja adalah tutur perkataan orang-orang tua zaman dahulu yang dapat dijadikan nasihat, petunjuk, petuah, ajaran, dan larangan itu pada umunya berkaitan dengan agama Islam, adat Istidat, pendidikan, dan kehidupan masyarakat.
Dalam sistem budayanya, masyarakat Aceh memiliki prinsip-prinsip kepemimpinan yang selaras dengan prinsip harmoni kehidupan di jagad raya. Hukum alam, fakta empris, dan kesadaran logis untuk hidup berperaturan merupakan prinsip utama yang diyakini sebagai poros kemaslahatan. Sebuah negeri, wilayah, kampong haruslah ada pimpinannya yang diatur dengan peraturan dan hukum. Kalau prinsip-prinsip ini tidak ada, kehidupan menjadi kacau balau. Dalam pandangan hidup orang Aceh pemimpin merupakan orang yang paling berat tanggungjawabnya. Ia juga harus memiliki tingkat kesabaran yang tinggi karena seorang pemimpin harus “tahan banting” dan tidak gampang menyerah atau berputus asa. Selain itu, seorang pemimpin harus mampu menerima berbagai kritik, baik yang sifatnya konstruktif maupu yang sifatnya destruktif, sekaligus harus pula memahami karakter masyarakat yang dipimpinnya secara baik. Tanpa kesabaran dan rela menerima kritikan tajam, seorang pemimpin di Aceh bertahan lama dan tidak berharga. Hal ini tampak pada hadih maja berikut ini

Lampoh mupageue, umong mupitak
Nanggroe meusyarak maseng na raja
(Kebun berpagar, sawah berpetak,
Negeri berhukum semua ada raja)
Lagee mon tuha
Geulupak, tapeh keunan bandum
(Seperti sumur tua
Bongkah dan sabut kelapa semua ke situ)
Seperti telah disebutkan sebelumnya,
Pada bagian lain, masyarakat Aceh juga memiliki beberapa prinsip dalam sistem kepemimpinan mereka. Prinsip-prinsip kepemimpian itu diantaranya, yaitu:
1. Masyarakat Aceh tidak mengenal dualisme kepemimpinan.
Hal ini dikarenakan akan terjadi silang kepentingan dan akhirnya terjadi perpecahan yang dapat menyebabkan disharmoni dan disintegrasi negara dan bangsa. Hadih maja yang menyatakan hal tersebut,
Nibak lon kalon dumnoe pie
Bakkeuh reule ho langkah ba
Hantom digob na digeutanyoe
Saboh nanggroe dua raja
(Daripada kulihat begini keadaannya
Biarlah hancur kemana langkah bawa
Tidak pernah pada orang ada sama kita
Satu negeri dua orang raja)
Saboh nanggroe dua tanglong
Saboh gampong dua peutua
(Dalam satu negeri dua tanglung
Dalam satu kampong dua pemimpinnya)
2. Pemimpin adalah raja
Dalam terminology masyarakat Aceh secara umum, pemimpin negara adalah raja. Karena itu, orang yang berhak menjadi raja adalah keturunan raja atau anak raja dari permaisuri. Hal ini terkait dengan legitimasi yang secara resmi mengakui pengganti raja adalah anak raja yang sah secara hokum. Hukum adat tidak membenarkan anak dari selir diangkat menjadi raja. Namun adalah yang penting juga dengan konsep ini adalah bahwa pemimpin harus memenuhi syarat seorang pemimpin, seperti baik keturunannya, baik sifatnya, cerdas, beragama, beradat, dan beradab. Hadih maja yang menyatakan hal ini adalah:
Euncien bak putu bek tasok bak gitek
Aneuk bak gundek bek taboh keu raja
(Cincin di jari manis jangan dipakai di kelingking
Anak pada gundik jangan diangkat menjadi raja)
3. Pemimpin haruslah memperhatikan rakyatnya dalam berbagai bidang
Masyarakat Aceh mengidamkan seorang pemimpin yang peduli terhadap rakyat dalam segala bidang kehidupan. Prinsip ini masih dipegang oleh masyarakat. Bagi seorang pemimpin yang mampu menjalankan amanah tersebut, maka rakyat akan menaruh cinta kepadanya. Mereka akan mengikuti dengan sungguh-sungguh dan menyerahkan semua urusan pemerintahan kepadanya. Hal ini tampak pada hadih maja berikut ini,
Nyankeuh raja nyang seureuloe
Aneuk nanggroe that geuaja
(itulah raja yang sangat utama
Selalu mengajari rakyatnya
Akan tetapi, jangan sekali-kali seorang pemimpin di Aceh menzalimi rakyat atau bawahannya. Jika pemimpin mereka baik, orang Aceh akan mengikuti dengan baik, tetapi jika pemimpin berlaku zalim, maka orang Aceh akan melawannya. Prinsip ini tercermin dalam hadih maja berikut ini:
Raja ade geuseumah
Raja laklem geusanggah
(Raja adil disembah
Raja zalim disanggah)
Adapun alasan melakukan perlawanan terhadap pemimpin yang zalim adalah karena pemimpin zalim tersebut dapat menyebabkan sebuah negeri menjadi sial, yaitu rusaknya sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, untuk mencegah kerusakan yang bakal terjadi, rakyat sebagai salah satu elemen penting dalam negara harus memberikan peringatan kepada negara, baik cara lembut maupu keras sesuai dengan situasi dan kemampuan yang dimiliki. Hal ini tampak dari hadih maja berikut
Paleh inong hana lakoe
Paleh nanggroe laklem raja
(Sial wanita tak bersuami
Sial negeri zalim raja)

Rumah dalam Perspektif Teori Struktural Levi Strauss

Oleh: Agus Budi Wibowo

Rumah merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat yang tidak terlepas dari adanya kategori-kategori, ide-ide, dan aturan-aturan mengenai tempat tinggal yang dianggap baik atau menguntungkan masyarakat pendukungnya. Dalam berbagai masyarakat terdapat berbagai bentuk dan variasi yang menyangkut bagaimana para penghuni menata tempat tinggal yang bersumber dari kebudayaannya. Begitu pula dalam hal pembagian sebuah rumah ke dalam beberapa ruangan pada umumnya terkait dengan nilai-nilai, kepercayaan, tahap kehidupan, maupun dengan kosmologi suatu masyarakat. Pengaturan bentuk dan tata ruang dalam rumah tersebut di antaranya dapat dilihat berdasarkan pembagian rumah ke dalam ruangan depan belakang, pembedaan hubungan antar keluarga, pembagian ruangan publik dan ruang privat, pembedaan berdasarkan jenis kelamin, penting tidaknya suatu ruangan dibandingkan dengan ruangan lain (Lely, 1995 : 10) atau juga berdasarkan perbedaan status marital seseorang yang belum menikah atau sudah menikah (Waterson, dalam Fox, 1993 : 221).

Kategori-kategori dalam pengaturan yang membedakan dan memisahkan makna ruang-ruang dalam bangunan arsitektur tersebut diciptakan agar para penghuninya dapat melangsungkan kehidupan dengan baik dan sejahtera, di antaranya seperti aktivitas-aktivitas yang menyangkut praktek-praktek sosial dan ritual kelompok sosial yang bertempat di rumah tersebut. Praktek-praktek sosial atau ritual tersebut pada kenyataannya membentuk suatu struktur yang teratur yuang dibangun berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh para penghuninya.Keteraturan ini dapat dipahami sebagai suatu representasi dari keteraturan kosmologis dari masyarakat yang bersangkutan dan dapat dijadikan sebagai pusat pelaksanaan kehidupan sosial bagi para penghuninya.
Aturan-aturan yang mendasari penggunaan ruang di dalam praktek ritual atau upacara tersebut tidak muncul dengan sendirinya. Menurut Lely (1995: 14), aturan-aturan tersebut keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari suatu sistem yang lebih luas, yaitu sistem sosial budaya masyarakat tersebut. Semua aturan itu berkenaan dengan dasar pemikiran yang paling hakiki tentang kehidupan yang dimiliki oleh suatu masyarakat yang berada pada tataran nirsadar, namun sangat menentukan segala aktivitas dari masyarakat yang bersangkutan.
Karena itu, agar bisa diperoleh pemahaman dalam mengkaji struktur di balik bentuk dan tata ruang rumoh Aceh dan kaitannya dengan struktur pemikiran masyarakat Aceh digunakan pendekatan strukturalisme. Melalui pendekatan ini akan diperoleh struktur dibalik pemikiran orang Aceh. Struktur ini kemudian dapat digunakan untuk memahami dan mengungkapkan makna-makna yang ada dibalik pola-pola tindakan yang ditemui pada masyarakat Aceh.
Menurut Levi-Straus (1973), struktur ini modelnya tetap dan universal, sedangkan gejala yang dapat diamati hanyalah merupakan transformasi dari struktur. Struktur tersebut muncul secara tidak disadari (unconscious) dan menempatkan dirinya dalam kesadaran tanpa diketahui. Pengertian struktur yang berasal dari Levi-Straus ini, diterapkan secara rinci oleh J. Power (Laksono, 1985 : 7). Ia melihat struktur sebagai elaborasi suatu proses mental dalam konteks komunikasi dan berhubungan dengan ciri dasar sistem semiotik. Ia menunjukkan beberapa prinsip menghubungkan posisi-posisi dari setiap unsur untuk membuat suatu sistem hubungan yang disebut struktur, dan yang memberi isi kepada wadah struktur. Prinsip-prinsip itu dinamakan sebagai prinsip menstruktur.
Salah satu dalam prinsip menstruktur ini seperti yang dikemukakan Power ini adalah prinsip menstruktur umum turunan yang antara lain di dalamnya terdapat pemosisian supra, yaitu bahwa posisi relatif dari sejumlah unsur ada pada tingkat yang tidak setara jika dihubungkan dengan sejumlah unsur yang lain. Adanya prinsip pemosisian supra ini menunjukkan bahwa ada suatu konsepsi dalam pemikiran manusia tentang susunan atau stratifikasi. Stratifikasi inilah yang merupakan elemen-elemen struktur (Priyadi, 1999 : 39).
Prinsip hubungan pemosisian supra ini berasal dari binary opposition yang merupakan oposisi paling elementer. Hal ini bisa kita lihat dari realitas sehari-hari, seperti siang dan malam, pria dan wanita dan sebagainya. Selanjudnya menurut Levi Strauss (1963), konsep dasar binary opposition ini dapat berkembang menjadi tiga posisi, posisi yang ketiga ini merupakan mediator antara kedua posisi yang berpasangan tadi. Posisi ketiga ini memiliki ciri-ciri dari kedua belah pihak, namun tidak tercampur, melainkan saling terpisah dalam keadaan yang berlainan (Priyadi, 1999 : 40).
Metode analisis struktural dari Levi-Strauss ini diterapkan terhadap fenomena budaya. Dikatakannya bahwa kebudayaan merupakan produk dari aktivitas dari pikiran manusia, dan pikiran manusia itu dimana-mana satu dan sama kapasitasnya (Levi-Strauss, 1973 : 19). Apabila di dalam kebudayaan terkandung struktur, maka dapat diduga bahwa kerja strukturalisme adalah menganalisis obyek-obyek tersebut yang menyangkut antar hubungan elemen-elemennya (Cows, 1970 :199; Budiman, 1994 : 18).
Demikian halnya dengan struktur orientasi arah dan letak, bentuk dan tata ruang di dalam rumoh Aceh. Berdasarkan pendekatan ini, maka ruang-ruang di dalam rumoh Aceh dan segala aktivitas penghuni di dalam rumah tersebut mempunyai struktur yang terbentuk dari suatu sistem relasi tertentu yang tetap dan bersifat nirsadar. Struktur yang bersifat nirsadar tersebut tercermin pada arah letak, bentuk dan tata ruang rumoh Aceh tersebut sebagai produk dari aktivitas dari pikiran masyarakat pendukungnya, yaitu orang Aceh.
Struktur ini akan diperoleh melalui oposisi-oposisi biner atau berpasangan yang membentuk suatu sistem hubungan di antara satu elemen dengan elemen lainnya. Karena itu, ruang di dalam rumoh Aceh akan ditanggapi sebagai elemen yang berdiri sendiri dan hanya akan mempunyai makna apabila dikaitkan dengan elemen lain sehingga membentuk sebuah “teks” yang berisi pesan-pesan tertentu atau ide-ide tertentu yang bersifat sosial maupun individual. Dalam hal ini elemen lain yang dimaksud adalah ruang-ruang lainnya yang ada di dalam rumoh Aceh dan kategori-kategori sosial yang mengikutinya, sehingga dapat membentuk sebuah teks yang dapat dibaca dan bermakna. Seperti yang dikatakan oleh Heddy Shri Ahimsa Putra (2006: 66) bahwa berbagai aktivitas sosial manusia beserta hasilnya merupakan tanda atau dan simbol yang menyampaikan pesan-pesan tertentu.
Melalui prosedur yang sesuai dengan pendekatan strukturalisme dari Levi-Strauss inilah struktur tersebut dapat dipelajari dan dipahami. Dengan demikian dapat diharapkan dapat ditemukan struktur dibalik orientasi arah letak, bentuk, dan tata ruang rumoh Aceh dan kaitannya dengan model struktur pemikiran orang Aceh.