January 21, 2009

Kisah Gempa dan Tsunami di Aceh 26 Desember 2004

Oleh: Agus Budi Wibowo

“Dulu wilayah ini berpenduduk padat”, kata Amran Ali, 47 Tahun. Namun akibat gempa dan tsunami tanggal 26 Desember 2004 telah menyisakan kesunyian yang mencekam di Pantai Lampuuk. Aceh Besar. Pantai wisata yang dulu dihiasi pohon-pohon nyiur dan cemara itu kini gundul, nyaris tak bersisa. Rumah-rumah penduduk di sejumlah desa di sekitar pantai ini lenyap diterjang gelombang raksasa. Satu-satunya yang tersisa adalah sosok Masjid Rahmatullah yang berdiri tegar sendirian, meski dindingnya jebol di sana-sini.
Seperti warga-warga lain di Indonesia, pada akhir tahun menjelang tahun baru, warga di Aceh juga biasanya telah menyiapkan berbagai event untuk menyambutnya. Apalagi menjelang tahun baru tersebut ada beberapa hari libur yaitu pada tanggal 25 dan 26 ketika itu tanggal 25 adalah hari libur karena merayakan hari Natal, yang bertepatan pada hari Sabtu. Sedangkan tanggal 26 adalah hari minggu. Dengan demikian, warga mempunyai waktu libur selama 2 hari.
Karena hari libur, hari Sabtu merupakan waktu untuk rekreasi dan waktu keluarga. Apabila kita berkunjung ke pantai Ulee Lheue, maka tampak pemandangan warga masyarakat sedang asyik menikmati keindahan suasana pantai, baik dengan keluarga maupun orang yang dikasihi.Pemandangan yang sama tampak pada beberapa daerah wisata lainnya, seperti sekitaran Alue Naga, Lhok Nga, Lampuuk, Ujong Batee dan sebagainya. Bahkan pada beberapa tempat acara keramaian itu berlangsung sampai malam hari.
Tidak jauh berbeda, pada hari minggu warga juga sedang asyik-asyiknya melaksanakan kegiatan masing-masing. Ada masih terlelap tidur, ada sudah berwisata di tempat-tempat wisata, ada yang pergi ke pasar. Di Banda Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 sedang ada event Lomba Lari 10 km yang diikuti oleh ribuan peserta. Acara ini berlangsung di Lapangan Blang Padang dan dilepas oleh Pj. Walikota Banda Aceh Drs. Syarifuddin Latief. Setelah dilepas oleh Pj Walikota Banda Aceh tersebut, maka peserta berlari mengelilingi sekitaran kota. Di tempat itu pula diadakan Senam Jantung Sehat setelah pelepasan pelari. Di sekitaran Pasar Aceh dan Pasar Peunayong orang-orang sedang asyik-asyiknya bertransaksi. Di Ulee Lhue, Lhok Nga, Lampuuk banyak orang sedang menikmati keindahan pantai di pagi hari. Ada kebiasaan warga Banda Aceh dan Aceh Besar dan sekitarnya mereka pergi ke pantai sambil mandi di laut kemudian pulangnya membeli ikan segar. Semua aktivitas berjalan normal seperti yang berjalan bertahun-tahun di daerah ini. Seperti juga pada hari Minggu itu sedang ada aktivitas kunjungan warga terhadap mereka yang akan naik haji (kloter VIII-Lhokseumawe/Bireun) di Asrama Haji Jeulingke.
Namun tiba-tiba datanglah bencana itu, rahasia Ilahi telah menampakkan kuasa-Nya di tanah Rencong. Siapa dapat menduga, tidak ada isyarat apapun sebelumnya bahwa pada sekira jam 07.50 WIB tanggal 26 Desember 2004 di hari Minggu itu tiba-tiba bumi berguncang amat keras. “Gempa-gempa ..., teriak para warga. Warga-warga yang sedang asyik-asyik berkaktivitas langsung menghentikannya. Bagi yang berada di dalam gedung/rumah, cepat-cepat berhamburan keluar dan bagi sedang berjalan atau mengendarai kendaraan secepatnya berhenti. Saking kerasnya gempa kita tidak dapat berdiri, tetapi harus duduk di jalan. Tampaklah orang-orang berkerumun di pinggir-pinggir jalan sambil duduk. Malahan ada sebagian dari mereka yang menyuarakan asma Allah berkali-kali. Mereka benar-benar dibuat panik dan cemas menghadapi gempa dengan guncangan yang kuat itu.
Ketika gempa reda setelah mengguncang bumi beberapa menit lamanya, orang-orang mulai beraktivitas kembali. Bagi mereka yang berada di luar/jauh dari rumah, mereka secepatnya pulang ke rumah masing-masing untuk melihat kondisi keluarga atau rumahnya. Akan tetapi, ada pula beberapa orang yang berkeliling kota untuk melihat kondisi bangunan atau kota pasca gempa. Tampak beberapa bangunan di Banda Aceh ambruk. Swalayan terbesar di kota ini, Pantai Pirak, runtuh. Hotel berbintang yang cukup dibanggakan di Banda Aceh, Hotel Kuala Tripa mengalami nasib yang sama, amblas ke bawah, sehingga lantai satu tidak tampak lagi. Gambaran yang tampak di berbagai sudut kota di kota itu adalah banyak bangunan hancur (bahkan rata dengan tanah).
Setelah terjadi gempa mereka yang berada di pantai melihat air laut tiba-tiba surut beberapa ratus meter (bahkan di Aceh Utara air laut surut sampai 1 km). Seperti diutarakan oleh Zakaria,
“Air pantai tiba-tiba surut sekitar 1 km, kata Zakaria. Rasa paniknya seakan lenyap oleh pemandangan yang tidak pernah dilihatnya selama hidup di tepian pantai dan melaut sebagai nelayan. Tak sadar langkahnya mengayun cepat seperti tersedot medan magnet ke arah menyurutnya air laut itu. Zakaria tidak sendirian. Banyak warga setempat juga penasaran melihat surutnya air laut yang begitu jauh menjorok menuju lepas pantai. Sekitar 10 menit kemudian terdengar debur ombak yang dahsyat seperti ledakan dinamit yang amat keras. Namun, sebelum hilang rasa kagetnya, warga tiba-tiba panik dan berlarian menuju tepi pantai. Ketika itu, air yang surut berbalik haluan dengan kecepatan tinggi ...” 1
Mereka terpana melihatnya karena baru kali ini air laut surut begitu jauh dan melihat banyak ikan yang menggelepar-gelepar. Ada di antara mereka yang kemudian menangkapnya. Belum sempat mereka selesai dengan keterpanaannya, tiba-tiba air laut berbalik ke daratan dalam kondisi yang lebih besar dengan ombak yang tinggi dan dengan kecepatan diperkirakan mencapai 800 km/per jam (setara dengan kecepatan sebuah pesawat Boeing 737). Orang menjerit-jerit dan berlarian ke darat. Kepanikan terjadi di pantai ini. Ada yang sempat dapat melarikan diri dari kejaran ombak, tetapi tidak sedikit pula yang tersapu ombak. Salah satu di antara pengujung pantai yang sempat melarikan diri karena melihat air laut surut adalah Adnan N.S, salah seorang anggota DPD dari Nanggroe Aceh Darussalam yang juga Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Bagi warga yang ada dalam radius 2-5 km dari pantai di sekitar kota Pasar Aceh, Simpang Lima, Simpang Mesra, Pasar Peunayong, Mesjid Raya Baiturrahman, belum sempat warga selesai dengan keterpanaan melihat reruntuhan itu, tidak berapa lama kemudian, mereka dikejutkan oleh teriakan “air laut naik... air laut naik”. Banyak warga yang saling pandang tidak percaya dan bingung. Bagi mereka yang tidak percaya, bukan menyelamatkan diri, tetapi kembali masuk ke rumah untuk berlindung atau menyelamatkan harta bendanya. Sedangkan mereka yang percaya akhirnya pada berlarian menyelamatkan diri. Namun gelombang air setinggi pohon kelapa seakan tidak memberikan banyak waktu bagi warga untuk hengkang. Banyak di antara mereka akhirnya tersapu terjangan ombak yang begitu dashyat. Rumah-rumah atau bangunan gedung lainnya banyak yang porak poranda. Mobil, sepeda motor hanyut ditinggalkan oleh pemiliknya. Bahkan di Meuraksa, Banda Aceh tsunami (yang berlangsung sekitar 30 menit) tidak hanya melenyapkan sebagian besar warganya, tetapi juga ikut meratakan kampung/desa sehingga yang tampak hanyalah hamparan tanah yang luas. Di antara kehancuran itu, ada pula warga yang selamat dengan berbagai kemukzizatan, tetapi ada pula yang selamat dengan luka-luka yang cukup parah atau ada pula yang selamat tapi kehilangan salah satu anggota tubuh. Sungguh memilukan bagi yang melihatnya (apalagi banyak anak-anak yang mengalaminya). Tidak sedikit pula warga yang akhirnya meregang nyawa. Di antara mereka terdapat seorang walikota dan mantan walikota Banda Aceh, yaitu Drs. Syarifuddin Latif dan Drs. Zulkarnain. Selain itu, terdapat pula Kombes. (pol) Said Husaini, Kabid Humas Polda Nanggroe Aceh Darussalam dan Drs. M. Nasir Hasan, M.M. Pj Bupati Aceh Barat Daya.
Warga yang berada di radius lebih dari 5 km tampak banyak sekali warga berlarian menyelamatkan diri. Mereka melarikan diri ke arah komplek Lapangan Udara Blang Bintang, Mata ie, Lambaro dan Sibreh atau ke daerah dengan kontour yang cukup tinggi. Sekira pukul 15.00 WIB air mulai surut, yang terlihat kemudian adalah Banda Aceh menjadi kota yang berserak tubuh tanpa nyawa. Tidak ada yang tersisa di ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ini kecuali luka, luka dan luka. Pemandangan mengenaskan tampak dimana-mana. Sampah bangunan menimbuni mayat-mayat yang bergelimpangan. Bau air laut yang dibawa oleh tsunami sangat menyengat menyebar seantero kota. Tragedi nasional kemanusiaan baru saja terjadi di Aceh tanggal 26 Desember 2004.
Bencana alam yang terjadi tersebut telah meluluhlantakkan berbagai segi kehidupan, baik fisik dan nonfisik. Buku kecil ini merupakan salah satu cara untuk mendokumentasikan peristiwa yang begitu dahsyat dan mencabik-cabik hati nurani manusia yang melihat akibat dari bencana ini.

No comments: