January 14, 2009

Teuku Chik Tunong

Oleh: Agus Budi Wibowo

Bung Karno, salah seorang proklamator kemerdekaan RI, pernah mengingatkan kepada kita dengan mengatakan "hanya bangsa yang besarlah yang menghormati pahlawan-pahlawannya". Para pahlawan yang telah berjuang mati-matian , mengorbankan harta benda dan bahkan jiwa demi mempertahankan kehormatan nusa, bangsa, dan agama. Mereka adalah manusia-manusia besar yang dilahirkan seirama dengan panggilan sejarah. Merekalah yang telah menghantarkan kita pada kondisi seperti saat ini.
Dalam kaitan dengan itu saya mencoba mengangkat kembali lembaran sejarah dari seorang pahlawan. Seorang pahlawan yang sebetulnya punya nama besar, tetapi tampaknya kurang mendapat publikasi. Jiwa kepahlawanannya tidak diragukan lagi. Dalam dirinya tertanam hanya ada satu kata berjuang dan terus berjuang. Pembaca tentunya pernah mendengar nama Teuku Chik Tunong. Namun mungkin belum begitu mengenal secara detail siapakah dia.
Siasat Adu Domba Belanda
Keureuto adalah sebuah daerah yang mempunyai kedudukan yang khas di antara wilayah Aceh sebagai salah daerah yang terkemuka dan terkaya. Negeri ini sedemikian padat penduduknya sehingga dijuluki dengan nama Keujreun Lalat. Dalam lembaran sejarah Keureuto mengambil tempat terkemuka. Dalam pemerintahan Sultan Aceh, uleebalangnya turut bersama dalam musyawarah. Karenanya melihat potensi yang dipunyai daerah ini kemudian Belanda berusaha mengusainya. Ketika Belanda dapat menguasai daerah ini, maka daerah yang begitu luas telah diperkecil dengan dijadikan suatu landskap di bawah onderafdeling Lhok Sukon.
Uleebalang pertama yang memerintah Keuleebalangan Keureuto adalah Teuku Keujreun Peugamat dan yang terakhir hingga Indonesia merdeka adalah Teuku Raja Sabi. Namun ada seorang uleebalang yang terkenal dari daerah ini yaitu Cut Nyak Asiah. Ia menggantikan suaminya yang bernama Teuku Chik Muhammad Ali setelah suaminya itu meninggal. Cut Nyak Asiah adalah seorang wanita yang tangkas dan bijak dalam berbicara di majelis. Dalam tiap konsultasi dengan uleebalangcutnya, dia sendiri yang memimpin pertemuan tanpa dibantu oleh orang lain.
Perkawinan antara Cut Nyak Asiah dengan Teuku Chik Muhammad Ali menghasilkan dua orang anak, tetapi keduanya telah meninggal sejak kecil. Menurut adat seorang uleebalang yang meninggal harus digantikan oleh keturunannya. Karenanya kemudian Cut Nyak Asiah mengambil dua putera dari saudaranya T Ben Berghang yang bernama Teuku Syamsarif dan Teuku Cut Muhammad sebagai anaknya.
Setelah Cut Nyak Asiah meninggal Belanda yang telah menduduki keuleebalangan keureuto mencoba menerapkan politik adu domba. Belanda mengangkat Teuku Syamsarif, yang tidak disenangi rakyat dan bersedia bekerja sama dengan Belanda, sebagai uleebalang. Teuku Cut Muhammad tidak menerima kerja sama itu. Kemudian, ia memimpin rakyatnya menentang Belanda dan berjuang di gunung-gunung bersama rakyat.

Perjuangan Teuku Chik Tunong
Dalam peperangan dengan Belanda, Teuku Chik Muhammad bergabung dengan pasukan Teuku Ben Daud. Sebelumnya Teuku Chik Muhammad berperang bersama dengan Sultan pada waktu Sultan dan Panglima Polem menjadikan Pasee dan Aceh Utara sebagai pusat pertahanan. Atas jasa-jasanya itu, akhirnya Teuku Cut Muhammad diangkat sebagai uleebalang Keurueto dari sultan dengan sebuah surat pengangkatan yang menggunakan cap sikeureung (cap sembilan). Oleh karena itu, daerah keureuto terdapat dua uleebalang, yaitu Teuku Syamsarif yang diangkat oleh Belanda sebagai uleebalang Baroh (yang terkenal dengan nama Teuku Chik Di Baroh atau Teuku Chik Bentara) dan Teuku Cut Muhammad yang diangkat oleh sultan sebagai uleebalang Tunong yang kemudian diberi gelar Teuku Chik Tunong.
Teuku Chik Tunong adalah bukan orang yang gila pangkat dan kedudukan, bebas dari pengaruh asing. Ia sama sekali tidak mau tunduk kepada pengaruh asing yang seringkali menginjak-injak kehormatan nusa, bangsa, dan agama serta selalu menganggap musuh kepada bangsa asing seperti Belanda. Sifat ini dibawanya ketika menjadi uleebalang. Teuku Chik Tunong bukan sekedar uleebalang yang tidak mau bekerja sama dengan Belanda, tetapi ia juga seorang pemimpin muslimin yang ditakuti lawan dan dihormati kawan.
Setelah menikah dengan Cut Nyak Meutia, Teuku Chik Tunong lebih bersemangat dalam melakukan perjuangan menentang kekuasaan Belanda karena perjuangannya didukung penuh oleh sang istri. Jadilah, mereka pasangan serasi yang saling membahu dalam perjuangan melawan imprialis dan kolonialis Belanda.
Mengenai perjuangan Teuku Chik Tunong, Zentgraaff (1982: 148), pernah mengomentari dengan kata-kata "sungguh sebuah kisah tersendiri. Mendadak, bagaikan kilat, ia melakukan serangan-serangan, sebentar di sini kemudian beralih di sana, dan menghilang jauh-jauh. Dia cukup arif memahami, agar tidak selalu melakukan perlawanan-perlawanan yang teratur terhadap pasukan Belanda".
Dalam melakukan peperangan Teuku Chik Tunong mempuyai strategi yang jitu dan matang. Ia bersama-sama dengan istrinya, sebelum mencegat patroli Belanda terlebih dahulu menyebar mata-mata. Dengan demikian, mereka dapat mempersiapkan pasukannya yang sedang melakukan operasi yang dianggap strategis. Cara ini dapat memberikan keuntungan besar karena Belanda dicegat secara tiba-tiba sehingga Teuku Chik Tunong dapat merampas senjata-senjata anggota pasukan Belanda.
Beberapa kali mereka berhasil mencegat patroli Belanda. Pada tahun 1902 pasukan Teuku Chik Tunong menyerang Detasemen Infantri di bawah komandan Van Steijn Parve yang berkekuatan 30 serdadu. Pada pertempuran itu, Belanda kehilangan 8 serdadu tewas dan luka sedangkan pada pihak pasukan Teuku Chik Tunong menderita 14 orang yang tewas. Dalam bulan Agustus ia mencatat kembali penyerangan yang berhasil terhadap pasukan Belanda yang sedang melakukan patroli dari Simpang Ulin menuju ke Blang Ni. Teuku Chik Tunong dapat mengetahui rute yang dilewati oleh pasukan Belanda tersebut dan kemudian menghancurkannya dekat jalan setapak tidak jauh dari Meunasah Jeuro.
Salah satu pukulan keras yang diberikan pasukan Teuku Chik Tunong kepada Belanda terjadi pada bulan November 1903. Ketika itu, sebuah pasukan patroli yang dipimpin oleh Letnan Kok menaiki dua buah perahu yang bertolak dari Krueng Sampoe Niet menuju ke kampung Matang Reyeuk. Pasukan ini akan menghancurkan pasukan Teuku Chik Tunong yang akan mengadakan kenduri besar. Namun sebetulnya kenduri itu hanya tipuan belaka. Sesuai dengan rencana, pasukan Kok akhirnya dapat dihancurkan oleh pasukan Teuku Chik Tunong.
Selain dari serangan-serangan yang gemilang seperti itu masih banyak lagi serangan-serangan kecil yang dilakukannya terhadap prasarana milik Belanda seperti jalan kereta api, hubungan telepon dan sejenisnya.
Semakin ganasnya serangan yang dilakukan oleh pasukan Teuku Chik Tunong menyebabkan Belanda gusar. Belanda membalasnya dengan membunuh penduduk yang tidak bersalah agar penduduk membenci Teuku Chik Tunong. Namun rupanya perhitungan ini meleset, penduduk malah makin percaya kepada Teuku Chik Tunong.
Namun ketika pada pertengahan tahun 1903 Sultan Muhammad Daudsyah bersama dengan pengikutnya seperti Panglima Polem, Muhammad Daud, dan lain-lain telah menghentikan perlawanan, dengan segala pertimbangan Teuku Chik Tunong dan Istrinya Cut Nyak Meutia pun akhirnya juga menghentikan perlawanan terbuka. Akhirnya pada tanggal 5 Oktober ia datang menyerahkan diri beserta pasukannya. Walaupun demikian mereka akan tetap melakukan perjuangan di bawah tanah.
Gugurnya Teuku Chik Tunong
Walaupun Keureuto tampaknya aman setelah penyerahan diri Teuku Chik Tunong dan istrinya, namun Belanda tetap mengadakan patroli untuk mengejar sisa-sisa pejuang Aceh yang masih tinggal. Dari sekian banyak patroli yang mereka lakukan terdapat sebuah patroli yang membawa petaka yang menggemparkan Belanda dari Lhokseumawe dan Kutaraja sampai ke Batavia. Malapetaka besar yang diderita Belanda tersebut terjadi pada 26 Januari 1996.
Saat itu, sebuah patroli yang dikomandoi oleh sersan Vollaers dengan 16 orang anggota pasukan membangun bivak di Meurande Paya. Pasukan itu rupa-rupanya tidak bersikap hati-hati. Mereka membiarkan saja orang-orang Aceh yang berjualan ayam dan buah-buahan masuk dalam pagar. Tiba-tiba ada seorang Aceh memberi isyarat agar melakukan penyerangan. Semua anggota pasukan Belanda tewas, kecuali seorang yang sempat melarikan diri.
Peristiwa ini amat menyakitkan bagi Belanda. Guna menebus kekalahan ini, Swart memerintahkan mencari pelaku utamanya. Ia memerintahkan Van Vuuren untuk menyelidikinya. Dari hasil penelitiannya, dia menemukan bukti yang cukup menyakinkan bahwa yang melakukan penyerbuan itu adalah Uleebalang Buah bersama-sama Petua Dullah. Van Vuuren berhasil juga menyingkap sebuah tabir rahasia yang selama ini terselubung, yaitu bahwa dalam penyerbuan itu sesungguhnya dimatangkan oleh Teuku Chik Tunong dan disalurkan melalui Keujereun Buah dan Peutua Dulah.
Terlepas benar atau tidaknya hasil penyelidikan itu, akhirnya Teuku Chik Tunong dijatuhi hukuman mati oleh pemerintah kolonial Belanda, yang berarti ia menjalani hukuman gantung. Namun Van Daalen, yang waktu itu menjabat gubernur, merasa tidak pantas bagi seorang pejuang yang dahulunya seorang pejuang yang gagah berani kini akan menjalani hukuman gantung. Dia berhak menerima kematian yang terhormat, maka kemudian Van Daalen merubah vonis itu menjadi hukuman tembak mati. Gugurlah seorang pahlawan Aceh. Perjuangannya kemudian diteruskan oleh istrinya Cut Nyak Meutia dan pengikut-pengikutnya.


* Tulisan ini pernah dimuat di Harian Umum Serambi Indonesia pada tanggal 21 November 1996

1 comment:

Anonymous said...

kira - kira kapan ya teuku chik tunong menikah dengan cut nyak meutia ?