January 14, 2009

Teungku Chik Di Tiro

Oleh: Agus Budi Wibowo

PendahuluanSalah satu daerah di Indonesia yang mengangkat senjata untuk merebut kemerdekaan dari penjajah adalah Aceh. Orang Aceh, baik pria maupun wanita, pada umumnya tergerak hatinya dengan ikhlas untuk bertempur maju ke medan perang. Mereka bersedia mati syahid untuk membela cita-cita nasional, dan demi tegaknya agama dan bangsa.
Salah satu pahlawan nasional yang berasal dari Aceh adalah Tgk Chik Di Tiro. Ulama ini diangkat sebagai pahlawan nasional dengan Surat Keputusan Presiden Nomor 087/TK/Tahun 1973 tertanggal 6 November 1973. Dalam usaha untuk memperkenalkan dan mengenang kembali kesatriaan dan kepahlawanan Tgk Chik Di Tiro yang sarat dengan nilai-nilai yang dapat menjadi suri teladan bagi generasi penerus, maka untuk mengenang jiwa patriotisme ulama besar ini kami berusaha untuk membuat sebuah biografi singkat dan perjuangan beliau.

Masa Kecil-Remaja
Muhamad Saman yang kemudian terkenal dengan nama Tgk Chik Di Tiro, adalah putra dari Tengku Sjech Abdullah, anak Tgk Sjech Ubaidillah dari kampung Garot negeri Samaindra, Sigli. Ibunya bernama Siti Aisyah, putri dari Tgk Sjech Abdussalam Muda Tiro anak Leube Polem Tjot Rheum, kakak dari Tgk Chik Muhammad Amin Dajah Tjut. Ia lahir pada tahun 1836 Masehi, bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dajah Krueng kenegerian Tjombok Lamlo (Kota Bakti). Teungku Chik Di Tiro mempunyai lima orang putra yaitu Tgk Mat Amin, Tgk Mahidin, Tgk di Tungkob, Tgk di Buket (Tgk Muhammad Ali Zainulabidin), dan Tgk Lambada.
Teungku Chik Di Tiro semasa kecilnya hidup dalam masyarakat kaum agama dan bergaul dengan ayahnya yang mengajar bermacam-macam ilmu di Garot. Setelah berusia 15 tahun ia pindah belajar pada pamannya Tgk Chik Dayah Tjut di Tiro dalam bermacam-macam ilmu. Kemudian, ia pindah belajar pada Tgk Muhammad Arsyad (Tgk Chik di Jan di Ie Leubeu). Setelah itu, ia menuntut ilmu lagi pada Tgk Abdullah Dajah Meunasah Blang. Akhirnya, ia belajar pada Tgk Chik Tanjung Bungong di Tanjung Bungong. Namun Tgk Chik Di Tiro belum puas terhadap ilmu yang didapatnya selama ini. Oleh karena itu, ia kemudian pergi ke Lam Krak, Aceh Besar untuk memperluas wawasan dan pandangannya. Setelah dua tahun berada di sana, ia pulang kembali ke Tiro dan mengajar bersama pamannya Tgk Dayah Tjut.
Dengan kedatangan Muhammad Saman di Tiro dan mengajar di pesantren tersebut menyebabkan pesantren menjadi semakin terkenal di kalangan masyarakat Aceh. Setelah beberapa tahun di Tiro hatinya tergerak untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam lagi ilmu agama serta menambah wawasannya di Mekkah. Sebelum keberangkatannya ke Mekkah ia minta restu pada pamannya yang sekaligus gurunya Tgk Dayah Tjut di Lam Krak.
Selama di Lam Krak Tgk Chik Di Tiro sempat berjuang melawan Belanda karena ia diajak oleh kawan-kawannya. Oleh karena ada surat dari pamannya agar ia pulang ke Tiro dan segera menunaikan ibadah haji, maka Tgk Chik Di Tiro meninggalkan teman-teman seperjuangannya dan pergi menunaikan ibadah haji.
Di Mekkah selain menunaikan haji, Tgk Chik Di Tiro juga mempergunakan waktunya untuk menjumpai pemimpin-pemimpin Islam yang ada di sana. Dari mereka, Tgk Chik Di Tiro tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imprialisme dan kolonialisme. Selain itu, ia juga bertemu dengan pejuang Islam lainnya yang berasal dari Jawa, Sumatra, Kalimantan dan pulau-pulau lain di Indonesia.
Dari hasil pendidikan agama dan pengalaman selama berada di Mekkah dan ikut perjuangan di Lam Krak itulah tertanam di dalam jiwanya yang berakar dalam dan teguh. Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Tgk Chik Di Tiro sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikannya dalam kehidupan nyata. Tgk Chik Di Tiro menerima penunjukkan menjadi panglima perang oleh rakyat dan para ulama.

Masa Perjuangannya
Ketika awal pertama kali Tgk Chik Di Tiro berjuang, ia tidak mempunyai apa-apa. Tanggapan terhadap perjuangannya pun ada yang bersikap sinis kepadanya. Teungku Chik Di Tiro bukan keturunan panglima, ia hanya seorang haji dan ulama. Menghadapai sikap sinis sebagian orang tersebut, Tgk Chik Di Tiro menerima dengan sabar. Hal tersebut malah menjadikan sebuah tantangan yang harus ditaklukkan. Usaha pertama yang dilakukannya adalah membangkitkan semangat para pejuang dan mengumpulkan para pejuang dalam satu kesatuan yang kokoh yang tidak dapat dipecah belah. Untuk itu, ia mengadakan perjalanan keliling Aceh. Pada setiap kesempatan ia singgah di suatu tempat, ia mengadakan ceramah di masjid atau mengadakan kenduri. Pada kesempatan itu ia pergunakan untuk menyebarluaskan ajarannya mengenai perang Sabil, menyadarkan orang-orang untuk memerangi kaum kafir, berjuang di jalan yang diridloi oleh Allah, serta untuk memperoleh segala informasi dari mereka yang hadir.
Selain itu, ia juga mengirim surat kepada para ulebalang dan keuchik yang tidak dapat dihubungi secara lisan yang berisi panggilan suci kepada mereka untuk berjuang di jalan Allah, baik kepada mereka yang telah mengakui kedaulatan dan memihak kepada Belanda maupun kepada mereka yang karena suatu hal kembali lagi ke kampung halaman. Seruan tersebut ditujukan kepada imam-imam negeri, Teungku-teungku, keuchik, panglima dan akhirnya kepada semua kaum muslimin dan terutama juga untuk Teuku Nek Meuraxa, Tengku Panglima Masjid Raya dan Teuku Malikul Adil.
Seruan yang berisi ajakan Perang Sabil ini diperkuat lagi dengan Hikayat Perang Sabil. Idiologi Perang Sabil ini muncul sejak abad XVII dihidupkan kembali melalui Hikayat Perang Sabil pada pertengahan kedua abad XIX ketika negeri ini dilanda serangan kaum kafir sehingga banyak rakyat umum tertarik kepada gerakan Perang sabil yang didengungkan oleh Tgk Chik Di Tiro. Seruan Perang Sabil yang dikumandangkan oleh Tgk Chik Di Tiro mandapat sambutan hangat dari berbagai kalangan, baik kaum ulama maupun panglima. Dengan adanya bantuan tesebut, Tgk Chik Di Tiro semakin kuat dan siap menghadapi Belanda. Hasil usaha menghimpun kekuatan tidak lah sia-sia. Ulama ini berhasil menghimpun kekuatan sebanyak 6000 orang pasukan.
Gerakan angkatan Perang Sabil Tgk Chik Di Tiro mulai menampakkan pengaruhnya. Pemerintah Hindia Belanda di Aceh pun mulai mendengar gerakan perang ini. Namun mereka belum tahu siapa sebenarnya Tgk Chik Di Tiro. Gubernur Van der Heyden menyebut keadaan Aceh dalam sebuah laporannya sebagai berikut: "Suasana Aceh sekarang seperti api dalam sekam ...."
Setelah persiapan dirasa cukup, maka segera diambil langkah pertama yaitu memutuskan hubungan antar benteng Belanda. Pasukan Perang Sabil memotong kawat telepon antar benteng agar mereka tidak dapat saling berhubungan. Sebagai markas besar, Tgk Chik Di Tiro membangun sebuah benteng yang kuat di Mureu. Lokasi benteng ini mempunyai letak yang sangat strategis yaitu terletak di tepi Krueng Inong.
Kemudian, serangan terbuka dilaksanakan dengan menyerang kedudukan benteng-benteng Belanda di Krueng Jreu, Gle Kameng, dan Indrapuri. Ketiga benteng tersebut diserang habis-habisan oleh pasukan Perang Sabil. Akhirnya ketiga benteng tersebut dapat direbut oleh pasukan Perang Sabil pada tahun 1881. Belanda dapat dipukul mundur dari ketiga benteng tersebut dan akhirnya memperkuat benteng-benteng di Lambaro, Aneuk Galong, dan Samahani.
Selama kurun waktu 1882-1883 terjadi pertempuran yang dahsyat antara kedua pihak. Pasukan Tgk Chik Di Tiro mengalami banyak kemajuan. Beberapa benteng dapat direbutnya dari Belanda seperti benteng di Krueng Raja dan Kadju. Karena kuatnya tekanan pasukan Tgk Chik Di Tiro, maka akhirnya Belanda pun menarik diri dari salah satu benteng terkuatnya selama ini di Aneuk Galong dan mundur ke Lambaro dan Keutapang Dua. Untuk mempertahankan diri Belanda membuat garis konsentrasi yang terbentang dari Kuta Pohama ke Keutapang Dua. Tgk Chik Di Tiro berusaha merebutnya dari arah laut, tetapi belum berhasil.
Pada 5 Maret 1883 Gubernur Van Der Hoeven memberitahukan kepada pemerintah pusat di Jawa tentang kondisi Aceh tersebut. Namun kemudian gubernur ini malah diganti oleh P.F Laging Tobias pada 16 Maret 1883. Pada masa pemerintahannya Belanda mengadapi masalah yang berat sampai pada ia mengeluarkan laporan yang mengatakan bahwa Belanda di Aceh hampir putus asa. Pada masa itu, Tgk Chik Di Tiro sempat pula menyerang Kutaraja, walaupun tidak berhasil merebutnya. .
Melihat Belanda hampir jatuh, Tgk Chik Di Tiro memberi ultimatum kepada Belanda dengan mengirim surat kepada Asisten Residen Van Langen pada tahun 1885 untuk mengadakan perdamaian. Tgk Chik Di Tiro bersedia berdamai dengan Belanda apabila Belanda bersedia memeluk agama Islam. Namun surat ini tidak mendapat reaksi apa-apa dari pihak Belanda.
Selama tiga tahun, surat perdamaian yang diajukan oleh Tgk Chik Di Tiro tidak mendapat reaksi apa-apa. Pada Mei 1888, ia mengirim surat lagi dengan nada yang sama kepada pihak Belanda. Namun kali ini usaha Tgk Chik Di Tiro pun untuk mengajak Belanda untuk berdamai dengan mengajak mereka masuk Islam tidak berhasil. Demikian pula usaha Belanda mengajak ulama ini berdamai dan bersedia berdiam di Kuta Raja tidak berhasil. Akhirnya Tgk Chik Di Tiro pun setelah itu tidak pernah lagi mengajak berdamai kepada Belanda.
Sejak kegagalan Tgk Chik Di Tiro mengajak damai dengan Belanda telah berlangsung pertempuran di berbagai tempat seperti di sekeliling Kota Tuanku dan Peukan Krueng Tjut. Dari pertempuran-pertempuran yang telah berlangsung di berbagai tempat tidak tahu berapa kerugian yang jatuh di pihak Belanda, tidak ada angka pasti.
Selama Gubernur Van Teijn berkuasa Belanda mempergunakan strategi "Wait and See" yaitu menunggu sampai keadaan berubah. Kenyataannya strategi yang diterapkan Belanda ini hasilnya jauh dari yang diharapkan. Belanda sering terpukul mundur pada banyak pertempuran. Akhirnya, untuk mengimbangi pasukan Aceh Belanda membentuk satu korps tentara baru yang disebut Korps Marsose di bawah pimpinan J. Notten pada tanggal 2 April 1890.
Walaupun Belanda membentuk korps marsose Tgk Chik Di Tiro terus bertempur melawan Belanda tidak kurang dahsyatnya dibanding tahun-tahun sebelumnya. Semangat pasukan pun tidak pernah kendur menghadapi Belanda. Selama tahun 1890 Tgk Muhammad Amin putera Tgk Chik Di Tiro yang tertua sudah ikut memimpin pasukan. Beberapa kali ia mendapat luka dan terpaksa diangkut ke Aneuk Galong.

Akhir Perjuangannya
Mengetahui bahwa jiwa Perang Sabil terdapat pada Tgk Chik Di Tiro, maka Belanda berusaha membunuh ulama ini. Belanda kembali mempergunakan siasat adu domba di mana salah seorang bangsawan yang berambisi menjadi panglima sagi diperalat untuk membunuh ulama tersebut. Tgk Chik Di Tiro diundang ke Tui Seilemeung dan di dalam benteng itu ulama ini diberi makanan beracun. Tgk Chik Di Tiro kemudian jatuh sakit. Pada tanggal 25 Januari 1891 ulama ini wafat di Aneuk Galong.

1 comment:

Masamune243 said...

Hasil perjuangannya ga ada min??