January 14, 2009

Banda Aceh: Dari Masa Ke Masa

Oleh: Agus Budi Wibowo

Pada tanggal 22 April 1997 ini Banda Aceh akan berusia 792 tahun. Usia yang cukup matang bagi sebuah perjalanan kehidupan. Bagaimanakah pasang surut perkembangan kota ini, saya mencoba merunutnya kembali melalui tulisan singkat ini.
Sebelum munculnya kerajaan-kerajaan di daerah Aceh ini telah diketemukan tanda-tanda adanya kehidupan manusia sejak jaman masa prasejarah. Peninggalan-peninggalan bukit-bukit kecil yang tingginya sekitar 4-7 meter yang terdiri dari bahan-bahan kulit kerang di Aceh Timur sekarang membuktikan keberadaan manusia di Aceh pada masa mesolithicum. Di dalam bukit-bukit itu terdapat artefak-artefak (alat-alat) sejenis alat batu. Menurut penyelidikan para ahli, kebudayaan Mesolithicum di Aceh Timur ini berpangkal di daerah Bakson Hoa Binh di Tonkin kemudian berpindah ke selatan dan masuk bagian barat Indonesia.
Pada masa Neolithicum kebudayaan me-ningkat lebih tinggi dari sebelumnya. Pada masa itu manusia mulai melakukan pekerjaan pertanian dan tidak bersifat nomaden lagi. Adapun bangsa yang dianggap memiliki kebudayaan seperti itu adalah bangsa Melayu Tua. Diduga bangsa Melayu Tua ini pernah mendiami wilayah Aceh. Namun kemudian, bangsa ini terdesak oleh bangsa Melayu Muda yang datang kemudian dengan membawa kebudayaan yang lebih tinggi. Mereka telah mampu membuat peralatan dari perunggu atau besi. Bangsa Melayu Muda inilah yang dianggap sebagai nenek moyang suku bangsa Jawa, Aceh, Bugis, Melayu, Banjar dan sebagainya.
Sebelum Islam masuk ke Aceh, diduga telah ada kerajaan bernama Lamuri, yang tampaknya ada berbagai macam penyebutan. Ada yang menyebut Lamori, Rami, Lamli, Lan-bu-li, Lan-wu-li, Ramni, Lamri dan Nanpoli. Namun tampaknya penulis-penulis asing tidak ada yang membedakan penggunaan nama tersebut (M. Ibrahim, et.al, 1991). Keberadaan kerajaan ini telah banyak ditulis oleh penulis bangsa asing baik dari Barat maupun Asia. Kerajaan ini diperkirakan telah pula menjalin hubungan dengan kerajaan di luar Aceh, seperti Cina dan Persia.
Pada masa kerajaan Lamuri kota Banda Aceh memang belum terbentuk. Keberadaan ibukota kerajaan Lamuri sendiri masih belum diketahui secara tepat. Namun berdasarkan Hikayat Aceh kerajaan ini terletak di tepi laut/pantai. Teuku Iskandar mengatakan bahwa Lamuri terletak di dekat Krueng Raya. Namun kemudian, pada akhir abad ke-15 pusat kerajaan ini dipindah ke Makota Alam (Kuta Alam sekarang) yang terletak di sisi utara Krueng Aceh. Pemindahan ini disebabkan karena adanya serangan dari Pidie dan pendangkalan muara sungai. Sejak itu, kerajaan Lamuri dikenal dengan nama kerajaan Makota Alam.
Selain kerajaan Makota Alam, di Krueng Aceh saat itu terdapat pula kerajaan lain, yaitu kerajaan Aceh. Diduga kedua kerajaan ini tumbuh secara bersama-sama. Raja-raja yang pertama di kerajaan Aceh berkedudukan di Kandang Aceh (tidak jauh dari kota Banda Aceh sekarang). Sebuah catatan yang dipelajari oleh Hoesin Djajadiningrat mengatakan bahwa Sultan Johan Syah yang memerintah pada tahun 601 H (1205 M) berkedudukan di Kandang Aceh. Tampaknya, hal inilah yang selanjutnya dalam Seminar Hari Jadi Kota Banda Aceh, Sultan Johan Syah ditetapkan sebagai pendiri kerajaan Aceh dan awal pemerintahannya (tanggal 22 April 1205 atau 1 Ramadhan 601 H) ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Banda Aceh sesuai dengan yang terdapat dalam Adat Aceh.
Namun kemudian, ibukota kerajaan ini juga dipindahkan ke Daruddunia oleh Sultan Mahmud Syah sesudah memerintah selama 43 tahun. Sebelum tahun 1500 Aceh belum dikenal oleh orang-orang asing karena kerajaan ini terletak lebih dari satu mil ke pedalaman sehingga tidak banyak disinggahi oleh orang-orang asing yang melakukan perjalanan antara Cina dan India. Walaupun ibukota kerajaan pernah dipindah, tetapi kemudian ibukota kerajaan Aceh ini dipindah lagi ke Darul Kamal (lebih kurang 10 Km dari pantai). Alasan pemindahan ibukota ini tidak diketahui. Sejak itu kerajaan Aceh dikenal dengan nama kerajaan Darul Kamal atau Aceh Darul Kamal.
Di antara kedua kerajaan yang telah disebutkan di atas ternyata tidak pernah dapat hidup rukun. Keduanya sering kali terlibat dalam pertempuran untuk saling mengalahkan. Walaupun kerajaan Mahkota Alam mendatangkan senjata atau meriam dari luar, namun tidak ada satu pun di antaranya yang berhasil mengalahkan. Pertentangan kedua kerajaan berakhir setelah kerajaan Mahkota Alam yang saat itu diperintah oleh Sultan Syamsu Syah putera Munawar Syah melakukan siasat licik.
Di dalam Hikayat Aceh (M. Ibrahim, et.al, 1991) disebutkan bahwa Syamsu Syah pura-pura menjodohkan puteranya Ali Muhayat Syah dengan puteri kerajaan Darul Kamal. Peminangan ini dapat diterima oleh Sultan Muzaffar Syah putera Inayat Syah yang pada waktu itu memerintah Darul Kamal. Namun pada saat arakan-arakan mengantarkan mas kawin, pasukan Makota Alam menyembunyikan senjata-senjata perang. Setibanya di Darul Kamal pasukan Makota Alam melakukan serangan tiba-tiba terhadap Darul Kamal. Banyak jatuh korban di kalangan pem- besar kerajaan termasuk pula Sultan Muzaffar Syah. Dengan demikian, Sultan Syamsu Syah dari Mahkota Alam memerintah kedua kerajaan.
Pada tahun 1516 Ali Mughayat Syah dinobatkan menjadi raja, menggantikan ayahnya Sultan Syamsu Syah. Ibukota kerajaan dipindahkan lagi ke Daruddunia (Banda Aceh sekarang). Dan, sejak itu kedua kerajaan sudah dipersatukan. Nama kerajaan kemudian menjadi kerajaan Aceh Darussalam dengan ibukotanya disebut juga dengan nama Bandar Aceh Darussalam.
Pada masa pemerintahan Sultan Mughayat Syah naik tahta kerajaan-kerajaan di sekitarnya, seperti Pidie, Perlak, Samudra Pasai, ditaklukkan dan dimasukkan ke dalam wilayah kerajaan Aceh. Perluasan kerajaan ini tidak lepas dari kejatuhan Malaka ke tangan Portugis. Semenjak Malaka jatuh ke tangan Portugis perdagangan di Selat Malaka menjadi kacau. Para pedagang mencari alternatif lain. Akhirnya Bandar Aceh Darussalam menjalankan peran yang pernah dipegang oleh Malaka.
Semenjak saat itu Banda Aceh menapaki masa kejayaannya. Kota Banda Aceh berkembang menjadi kota maritim, perdagangan, dan bahkan kota metropolitan pada masanya, selain sebagai ibukota kerajaan. Perkembangan Banda Aceh memasuki masa puncaknya pada saat kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda. Sultan Iskandar Muda membangun negerinya dengan sungguh-sungguh. Sultan Iskandar Muda juga menetapkan Kanun Meukuta Alam sebagai sumber hukum yang mengatur tata kehidupan bermasyarakat dan tata kehidupan kerajaan.
Kota Banda Aceh dibangun sedemikian rupa sehingga representatif sebagai sebuah ibukota kerajaan besar. Seperti juga kota-kota besar lainnya, prasarana dan sarana Banda Aceh boleh dikatakan cukup lengkap. Letak Istana kerajaan yang dinamakan Daruddunia menghadap ke Barat Laut. Kemudian di sekeliling istana dibangun danau dan sungai buatan yang mengalir di tengah-tengah istana, yang dinamakan Darul Asyiki. Di samping itu, dibangun Taman Sari yang dinamakan Taman Ghairah. Di sebelah Barat istana dibangun sebuah mesjid raya (Mesjid Jami) yang dinamakan Baiturrahman sedangkan masjid di dalam istana dinamakan Baiturrahim serta dibangun pula mesjid kecil lainnya di dalam kota.
Kampung-kampung juga telah ditata dengan baik yang di- sesuaikan dengan profesi atau asal penduduknya, seperti ada kampung Pande (tempat-tempat kediaman tukang-tukang), kampung Biduen (tempat kediaman para penghibur), kampung Jawa (tempat kediaman orang Jawa), dan sebagainya. Sedangkan jumlah penduduk Banda Aceh saat itu diperkirakan 100.000 orang (Zakaria Ahmad dan M.Ibrahim, 1986). Suatu angka jumlah penduduk kota yang cukup besar pada masa itu.
Saat itu, Sultan Iskandar Muda juga berusaha memerangi Portugis yang masih bercokol di Malaka. Beberapa kali Sultan Iskandar Muda mengirim pasukan ke sana, namun sampai akhir masa pemerintahannya Portugis tidak terusir dari Malaka.
Kemudian, Belanda datang mencoba menganeksasi kerajaan Aceh. Banda Aceh yang sedang mengalami puncak kejayaannya mulai surut selangkah ke belakang. Pada tahun 1873 Banda Aceh mendapat serangan dari Belanda. Pada saat itu, Mesjid Baiturrahman sempat direbut oleh Belanda, namun Belanda harus angkat kaki lagi karena rakyat Aceh berhasil mengusirnya kembali. Baru pada saat serangan kedua Belanda berhasil merebut dalam (kraton) dan Mesjid Baiturrahman. Sultan Mahmud Syah yang memerintah saat itu kemudian meninggalkan kraton dan mengungsi ke tempat lain.
Pada tanggal 24 Januari 1874 Jendral Van Swieten sempat menggantikan nama Banda Aceh menjadi Kutaradja. Perubahan yang dilakukannya mempunyai tujuan politis, ingin menunjukkan kepada gubernur jendral di Batavia dan kepada raja Belanda di Amsterdam seolah-olah ia telah menguasai istana raja dan kerajaan Aceh.
Walaupun Belanda berhasil merebut kraton namun demikian bukan berarti kerajaan Aceh telah jatuh. Perlawanan terus-menerus diberikan oleh rakyat Aceh. Di sinilah Belanda mengalami perang yang paling lama dengan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dibandingkan perang-perang lain di tanah air. Pada masa pendudukan Belanda, di Banda Aceh sempat dibangun kembali Mesjid Baiturrahman oleh pihak Belanda untuk menarik simpati rakyat Aceh, walaupun tidak sebanding dengan penderitaan yang dialami oleh rakyat Aceh.
Di bawah kekuasaan Belanda, kota Kutaradja dijadikan sebagai tempat kedudukan gubernur, baik gubernur militer (sebelum tahun 1918) maupun gubernur sipil (dari 1918-1936). Hal ini tampak dari dibangunnya Pendopo Gubernur. Gubernur membawahi Aceh dan daerah-daerah takluknya (Atjeh en Onderhoorigheden). Wilayahnya meliputi Propinsi daerah Istimewa Aceh sekarang. Sejak tahun 1936 pemerintah Hindia Belanda merubah status Aceh dari gubernemen menjadi karesidenan, yang pimpinannya berada di bawah seorang residen dan berkedudukan di Kutaradja (Banda Aceh). Status karesidenan ini berlangsung hingga tahun 1942, saat Belanda meninggalkan Indonesia dan Jepang masuk ke Indonesia.
Masuknya Jepang tidak merubah keadaan kota Kutaradja. Struktur pemerintahan Belanda masih tetap diteruskan. Kota Kutaradja masih tetap berstatus sebagai karesidenan yang diperintah oleh seorang residen. Saat itu, yang berubah hanya nama-nama saja (disesuaikan dengan nama Jepang), kalaupun ada perubahan tidak begitu berarti.
Selama pendudukan Jepang, kondisi sosial ekonomi pun tidak begitu berubah, malahan lebih parah dibandingkan sebelumnya. Semangat perjuangan pun tidak pernah pudar. Rakyat masih tetap berjuang mengusir kaum imprialis dan kolonialis.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Kutaradja tidak semata-mata menjadi ibukota propinsi daerah Aceh, tetapi juga pernah menjadi tempat kedudukan ibukota Propinsi Sumatra Utara dan bahkan pernah ditetapkan pemerintah pusat sebagai tempat kedudukan resmi wakil perdana menteri Republik Indonesia mulai tanggal 4 Agustus 1949.
Banda Aceh pernah pula dijadikan pusat pengatur perlawanan terhadap pasukan penjajah yang datang kembali ke Indonesia, utamanya sebagai tempat kedudukan Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo. Pada saat pemerintah pusat Republik Indonesia di Yogyakarta sekali lagi Banda Aceh berperan besar dalam membantu pemerintah pusat. Dari kota inilah semua kebijakan dirumuskan. Peran lain yang menonjol pada masa revolusi kemerdekaan (1945-1949) ini adalah Banda Aceh tampil sebagai daerah modal. Pada tanggal 23 Maret 1956 dengan Undang-undang No.8/DRT/1956 dibentuk daerah otonom, yaitu Kotapradja Kutaradja dengan ibukotanya Kutaradja.
Ketika ada "riak kecil" di daerah Aceh, Kutaradja tampil kembali sebagai tempat bersejarah. Kota Kutaradja ditetapkan sebagai tempat Sidang Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh. Setelah Sidang Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh dan Gubernur Aceh pada masa itu dijabat oleh A. Hasjmy nama Kutaradja dirubah kembali menjadi Banda Aceh. Resminya nama itu ditetapkan pada tanggal 21 April 1962. Dan, sejak saat itu secara berangsur-angsur nama Kutaradja jarang dipergunakan lagi.
Dalam lintasan sejarahnya, Banda Aceh ternyata telah menapaki masa-masa pasang dan surut yang memiliki kronologis sejarah yang cukup panjang. Semenjak Orde Baru, Banda Aceh mulai menapaki masa-masa pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Denyut nadi pembangunan terasa setiap hari di kota ini. Kota dibangun dengan sungguh-sungguh dan dilengkapinya dengan berbagai fasilitas yang layak sebagai sebuah kota, yang tidak hanya sebagai sebuah ibukota kotamadya, tetapi juga sebagai sebuah ibukota propinsi. Berbagai prestasi pernah diraih oleh kota ini. Salah satunya adalah penerimaan penghargaan sebagai kota terbersih, Adipura, dari Presiden Soeharto yang diterima oleh Walikota Sayed Husein Al Haz pada tahun 1996 yang lalu.

No comments: