January 22, 2009

Sejarah Mukim di Aceh (Bagian 3-Masa Jepang)

Oleh Agus Budi Wibowo

Tidak banyak hal yang dapat dicatat dan dikemukakan mengenai pemerintahan desa dan mukim pada Zaman Jepang ini. Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 diatur segala sesuatu mengenai peralihan pemerintahan dari Gubernur Pemerintahan Hindia Belanda kepada bala tentara Jepang. Selanjutnya, dengan Osamu Seirei Nomor 27 tahun 1942, ditetapkan susunan pemerintahan di Indonesia, yakni sebagai berikut :
1. Pucuk pimpinan pemerintahan militer Jepang dada di tangan Panglima Tentara ke 16 khusus untuk Pulau Jawa, yaitu Gunsyireikan atau Panglima Tentara, kemudian disebut Saikosikikan
2. Di bawah panglima ada kepala pemerintahan militer disebut Gunseikan
3. Di bawah Gunseikan ada koordinator pemerintahan militer untuk militer Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dengan sebutan Gunseibu
4. Gunseibu membawahi residen-residen yang disebut Syucokan, dan merupakan pemerintahan daerah tertinggi
5. Daerah Syu terbagi atas kotamadya (Si), dan kabupaten (Ken)
6. Ken terbagi lagi atas beberapa Gun (Kawedanan)
7. Gun terbagi lagi atas beberapa Son (kecamatan)
8. Son terbagi lagi atas beberapa Ku (desa)
9. Ku terbagi lagi atas Usa (kampung).
Melihat pada susunan pemerintahan Bala Tentara Militer Jepang, desa merupakan bagian dari kecamatan atau Son, sedangkan yang diartikan sebagai desa oleh pemerintahan Jepang, adalah :
..., suatu kesatuan masyarakat berdasarkan adat dan peraturan perundang-undangan Pemerintahan Hindia Belanda dan Pemerintahan Militer Jepang yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, memiliki hak menyelenggarakan urusan-urusan rumah tangganya sendiri, merupakan satuan ketatanegaraan terkecil dalam daerah Syu yang dipilih oleh rakyatnya dan disebut Kuco, dan merupakan bagian dari sistem pertahanan militer (Kartohadikoesno, 1984: 51).

Secara formal terlihat, bahwa susunan pemerintahan pada zaman Jepang (termasuk pemerintahan desa) masih berlaku ketentuan-ketentuan pada era Hindia Belanda, cuma beberapa bentuk dan istilah yang disebut dengan istilah Jepang. Demikian juga ketentuan-ketentuan yang diatur dalam IGO dan IGOB masih tetap dinyatakan berlaku untuk pemerintahan desa, baik di Jawa dan Madura atau di luar Jawa dan Madura.
Di Aceh pemerintahan mukim tetap dipertahankan kecuali nama dan penyebutan yang tegas-tegas diubah disesuaikan dengan Bahasa Jepang. Mukim diubah menjadi Ku. Perubahan nama ini bertujuan agar pada diri pemimpim mukim diharapkan adanya suatu loyalitas terhadap pemerintahan Jepang.

No comments: