January 21, 2009

Cofee Morning Masyarakat Aceh

Oleh: Agus Budi Wibowo

Ada yang menarik dari kebiasaan masyarakat Aceh, ketika penulis mengamati perilaku keseharian masyarakat Aceh, yaitu kebiasaan minum kopi di warung/kedai. Kebiasaan ini jarang ditemui pada beberapa masyarakat lain di Indonesia. Betapa tidak, kebiasaan ini dapat dilihat di hampir semua sudut kota atau desa di Aceh. Keberadaan kebiasaan minum kopi di warung ini tidak hanya sebagai ajang pelepas lelah setelah berbelanja di pasar/toko, tetapi nampaknya telah berubah menjadi ajang untuk kumpul-kumpul di kalangan masyarakat Aceh. Nampaknya, kebiasaan ini telah membudaya di kalangan masyarakat. Mereka tidak datang sendirian ke warung kopi, tetapi tidak jarang mereka datang bergerombol sehingga menjadi menarik karena hal ini dapat dijadikan sarana untuk membicarakan berbagai hal, mulai dari hal-hal kecil sampai masalah politis. Waktu yang digunakan pun kadang pagi sampai malam hari. Pembicaraan di warung kopi ini lebih terasa asyik dan nikmat apabila warung/kedai tersebut menyediakan seperangkat alat hiburan seperti TV, Radio/tape, atau video. Tidak terasa duduk di warung/kedai kopi tersebut dapat berjam-jam lamanya.
Ikhwal menarik yang lain dari kebiasaan minum kopi ini adalah bagaimana kita memanfaatkan kebiasaan yang tampaknya telah membudaya ini untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan yang sedang giat-giatnya dilaksanakan di Aceh. Memang, diakui pula dan banyak diberitakan di surat kabar di Aceh kebiasaan ini telah menimbulkan ekses negatif. Ada beberapa oknum pengusaha atau pemilik warung/kedai kopi, dalam aktivitas menarik konsumennya, memutar film "blue". Oleh karena itu, kalau tidak diantisipasi sejak dini, maka kebiasaan ini akan menimbulkan ekses negatif bagi masyarakat Aceh, khususnya generasi muda. Masalahnya, bagaimana kita mengeliminir ekses negatif tersebut menjadi suatu yang positif dan bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah dalam rangka mengisi pembangunan yang sedang giat-giatnya dilaksanakan.

Dimensi-Dimensi Pembangunan di Indonesia
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, diikuti lahirnya negara-negara baru di Asia, Afrika, dan Amerika Latin - setelah memproklamirkan diri sebagai negara merdeka dari penjajahan asing - maka kata "pembangunan" diterima sebagai istilah yang merupakan kata kunci, yang menentukan hidup atau matinya bangsa tersebut (Rahim, 1996: 4).
Di Indonesia, pembangunan sebagai salah satu kegiatan kemasyarakatan yang bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat dalam berbagai segi kehidupan sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 1950-an. Pada waktu itu, strategi pembangunan lebih banyak berorietasi pada pertumbuhan ekonomi (growth oriented strategy). Berdasarkan strategi ini metode yang dipergunakan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tersebut diantaranya adalah penanaman modal asing dan dalam negeri dalam sektor industri dan pertambangan serta memperbaiki infrastruktur. Program yang berpusat pada pertumbuhan ekonomi tersebut diharapkan dapat dinikmati oleh mereka yang secara langsung terkena sasaran program, namun diharapkan dapat juga merembes pada masyarakat yang lebih luas (trickle down effeect). Namun demikian, strategi ini tidak mampu membalikkan kecenderungan ketidakmerataan yang semakin meningkat dalam masyarakat.
Dengan demikian, strategi ini belum merubah kondisi peta kemiskinan pada masyarakat. "Kue-kue" pembangunan belum dapat dibagikan secara merata di seluruh lapisan masyarakat. Kenyataannya, pembangunan ternyata merupakan masalah yang lebih sulit daripada yang diperkirakan sebelumnya. Usaha menciptakan masyarakat adil dan makmur secara menyeluruh dan merata tidak semudah "membalikkan tangan" karena berbagai hambatan yang tidak mungkin diperkirakan secara pasti.
Kegagalan tersebut mendorong kelahiran strategi baru di dalam pembangunan. Gema pergeseran strategi baru di dalam pembangunan menampakkan impaknya pada proses pembangunan nasional. Pertumbuhan ekonomi yang selama ini menjadi sasaran utama direvisi pada tahun 1978. Pemerataan menjadi kata pertama sasaran pembangunan. Jadi, pemerataan harus dicapai dahulu baru kemudian pertumbuhan ekonomi mengikutinya. Hal ini tercermin dari Trilogi Pembangunan Pelita III sampai saat ini.
Pada tahun 1990-an upaya untuk mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi semakin digalakkan oleh pemerintah. Hal ini tampak dari banyaknya program yang dicanangkan oleh pemerintah, seperti program IDT, dan juga Tabungan untuk Keluarga Prasejahtera yang diketuai oleh Menteri Negara Kependudukan/Ketua BKKBN, dan program lain yang berusaha mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi.
Namun, tentunya program-program pembangunan ini tidak akan berhasil baik apabila tidak ada kerja sama saling bahu-membahu antara objek pembangunan dengan subjek pembangunan, yaitu antara masyarakat dengan pemerintah. Kalau selama ini masih ada anggapan bahwa pembangunan hanya milik, urusan, dan tanggung jawab pemerintah, maka sudah saatnya anggapan tersebut dirubah. Masyarakat harus dilibatkan secara aktif dalam pembangunan. Masalahnya, media apa yang cocok untuk dapat menjembatani masyarakat dan pemerintah ?

Upaya Peningkatan Partisipasi Masyarakat
Sebetulnya, ada beberapa macam media yang dapat menjembatani antara masyarakat dan pemerintah dalam pembangunan. Salah satu diantaranya, menurut hemat penulis, kita dapat mengangkat kebiasaan minum kopi (coffee morning) ini untuk menjembatani masyarakat dan pemerintah dalam rangka peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan karena apabila pertemuan tersebut dilaksanakan dalam suasana santai (walaupun tidak lepas aspek serius) maka keputusan yang dihasilkan pun akan lebih jernih tanpa dilandasi rasa emosional.
Dalam media cofee morning ini masyarakat dibangun kesadarannya untuk berpartsipasi aktif dalam pembangunan. Disadari atau tidak, pembangunan tidak akan pernah berhasil tanpa partisipasi aktif dalam pembangunan. Partisipasi itu sendiri tidak akan muncul begitu saja tanpa melalui suatu proses yang biasanya cukup panjang. Masyarakat akan berpartisipasi secara aktif dalam program pembangunan apabila mereka tahu apa arti pembangunan, mengapa harus ada pembangunan, apa yang harus dibangun, dan siapa yang harus bertanggung jawab terhadap hasil pembangunan. Oleh karena itu, diperlukan usaha-usaha untuk menyadarkan masyarakat tentang apa arti pembangunan bagi mereka.
Untuk melaksanakan proses penyadaran ini dapat dipergunakan bermacam-macam metode tergantung kebutuhan. Salah satu diantaranya adalah mempertemukan masyarakat dan pemerintah dalam acara cofee morning. Oleh karena, masyarakat sudah terbiasa dengan acara seperti ini, maka tidaklah sulit mengumpulkan warga masyarakat. Dalam acara ini pemerintah dpat mengajukan suatu program atau menggali aspirasi masyarakat dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan pancingan untuk diskusi atau dengan permainan-permainan yang memang dibuat untuk itu. Dalam acara ini harus dibuat serileks mungkin sehingga tidak menimbulkan ketegangan. Dalam hal ini pemerintah dapat bertindak sebagai fasilitator dan menampung semua hasil diskusi tersebut.
Melalui acara coffe morning ini diharapkan masyarakat mampu mengidentifikasi masalah-masalah pokok mereka, mengenal sumber daya yang mereka miliki, serta membuat rencana program untuk mengatasi masalah tersebut dengan memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki semaksimal mungkin. Dilain pihak, pemerintah pun akan mendapat masukan yang berharga dari masyarakat tentang pembangunan yang sesuai dengan kondisi lapangan. Melalui proses semacam ini diharapkan akan menciptakan suatu kondisi berkembangnya masyarakat yang dinamis, kritis, dan percaya diri karena prinsip dasar pembangunan masyarakat adalah dari, oleh dan untuk masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, masyarakat harus mampu mengenal masalah-masalah yang mereka hadapi dan mengetahui cara pemecahan yang paling tepat.
Hasil akhir dari acara coffe morning ini adalah pemerintah akan menempatkan kelompok sasarannya sebagai subjek pembangunan yang aktif dan dinamis serta mampu menciptakan keterpaduan dengan kegiatan pembangunan yang ada di wilayahnya. Sebagai subjek pembangunan, masyarakat diharapkan membuat rencana pembangunan, melaksanakan, menilai, memantau, melestarikan, dan mengembangkannya. Yang pada akhirnya, masyarakat merasa handarbeni pembangunan ini. Dengan demikian, tidak akan ada lagi berita bahwa masyarakat tidak pernah memelihara hasil pembangunan karena masyarakat merasa bahwa pembangunan itu bukan milik atau tanggung jawab mereka.

No comments: