January 14, 2009

Bahaya Etnosentrisme

Oleh: Agus Budi Wibowo

Sebagian orang Indonesia atau asing mungkin terperangah melihat kehidupan suku-suku di Irian Jaya yang tidak pakai baju atau celana yang menutupi bagian tubuh vital mereka. Bagi kaum laki-laki pada suku di Irian Jaya, bagian tubuh vital mereka ditutupi dengan sebuah alat yang disebut koteka sedangkan wanitanya hanya ditutup selembar kain rajutan saja. Reaksi orang-orang yang melihat kehidupan suku-suku di Irian Jaya tersebut tentunya berbeda-beda. Ada sebagian orang menyatakan orang Irian tersebut masih primitif dan terbelakang. Namun tidak sedikit ada pula orang yang memandang kehidupan orang di Irian bersifat eksotik yang dapat mengenang keadaan mereka pada awal munculnya peradaban.
Ada pula kebiasaan yang mulai berkembang di masyarakat bahwa jabatan elit politik tertentu harus dipegang oleh suku tertentu atau putra daerah, atau pegawai suatu kantor yang didominasi oleh suku tertentu yang ada di daerah itu.
Namun di sisi lain tidak sedikit pula orang Indonesia yang terkagum-kagum atau terheran melihat orang Barat dengan berbagai aksesori budayanya. Mereka ingin meniru habis segala perilaku orang Barat agar dapat disejajarkan dengan mereka. Misalnya, kita sering melihat di Banda Aceh, kaum wanita memakai baju/kaos ketat yang menonjolkan sisi kewanitaanya. Mereka tidak memilah lagi mana yang baik atau buruk bagi kehidupan sosial-budaya mereka. Akibatnya, malah membuat hal tersebut menjadi tidak pas. Culture lag melanda sebagian kehidupan mereka. Dari uraian di atas, pelajaran apa yang dapat kita petik ?

Etnosentrisme
Mengapa ada orang yang menilai suatu budaya suku bangsa bisa lebih rendah atau lebih tinggi dari budaya yang mereka miliki ? Hal ini tidak terlepas dari adanya pandangan yang ketat terbatas terhadap kebutuhan atau keinginannya sendiri di mana pandangan tersebut sering kali tidak efektif untuk berurusan dengan orang lain. Pandangan seperti ini lebih mengacu pada hal-hal yang bersifat egosentris. Dan hal ini tidak baik kalau dipakai dalam ilmu Antropologi, psikiater dan lain-lain atau dalam rangka persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam kaitan ini maka apa-bila seseorang menilai budaya lain melulu menurut "kaca mata" yang berlaku dalam budaya sendiri disebut etnosentrisme.
Konsep etnosentrisme ini banyak dikenal oleh kalangan Antropolog. Namun demikian, dalam kerangka luas dimana Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, maka hal tersebut perlu dikenal oleh masyarakat karena sikap etnosentrisme tidak hanya berbahaya bagi orang yang bertugas dalam Antropologi, tetapi juga dalam bidang lain. Bagi suatu kebudayaan, pandangan etnosentrisme ini juga dapat menutup mata seseorang untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah-masalah sosial dalam kebudayaannya sendiri.
Misalnya, orang Amerika yang etnosentris tentunya heran di jaman modern ini masih ada suku yang masih tertinggal dengan kondisi seadanya dan sebaliknya mengapa orang Amerika tega menyerahkan orang tuanya yang sudah jompo ke panti jompo, suatu hal yang tidak dapat dibenarkan dalam pandangan banyak orang luar Amerika.
Etnosentrisme bisa menghalangi pengertian tentang adat istiadat orang lain dan juga menghalangi tumbuhnya pengertian yang kreatif mengenai kebiasaan dalam kebudayaan sendiri.

Kenisbian Budaya
Kalau kita menilai suatu budaya dari budaya kaca mata kita sendiri memang yang kemudian muncul adalah pandangan-pandangan yang menilai suatu budaya bersifat terbelakang atau belum beradab. Mengenai kebiasaan seperti kebiasaan suku di Irian, sebenarnya tidak ada gunanya untuk menilai baik atau kurang baik adat istiadat kita sendiri. Misalnya, adat istiadat Aceh akan terpaut dengan kebudayaan Aceh, bukan dengan kebudayaan Jawa, Sunda atau Belanda. Lagi pula gagasan suatu masyarakat tentang perilaku yang baik tidak juga mutlak atau nisbi dan dapat berubah dalam waktu. Puluhan tahun yang lalu di Aceh pernah terjadi pembunuhan nekad terhadap orang-orang Belanda sebagai akibat kekejaman orang Belanda terhadap orang Aceh. Bagi orang Belanda tindakan hal ini dianggap tindakan orang "gila", namun bagi orang Aceh tindakan ini merupakan suatu yang dianggap tindakan suci.
Jadi, adat hanya dapat dipahami secara tepat bila dipautkan dalam konteks yang wajar, dalam hal ini, budaya dan adat istiadat daerah bersangkutan. Suatu masyarakat akan memandang suatu tindakan tersebut berharga atau baik apabila dipandang dari sisi masyarakat tersebut. Cara pemahaman yang sama tentunya harus juga diikuti bila mempelajari adat dan pemikiran kita, kalau tidak, banyak dari kebiasaan kita itu akan kelihatan aneh atau kurang beradab bagi seorang peninjau dari kebudayaan lain. Seorang tamu dari luar yang belum mengenal kebiasaan itu mungkin saja akan membuat observasi aneh tentang tingka laku kita yang kita sendiri kita anggap sebagai perilaku yang cukup berarti dan dari sudut dia catatannya wajar. Misalnya, kebiasaan makan kopi di warung pada masyarakat Aceh, mempangur gigi di Bali dan lain-lain.
Sikap yang memandang kebiasaan-kebiasaan dan pemikiran dalam suatu masyarakat harus dipandang sehubungan dengan kebudayaan masyarakat itu sendiri inilah yang disebut dengan relativisme atau kenisbian kebudayaan. Adanya sikap seperti ini akan mempunyai beberapa keuntungan, seperti memupuk simpati dan pengertian yang lebih manusiawi (humanis) terhadap kebudayaan yang ada di sekelilingnya.
Dengan demikian, kenisbian kebudayaan menuntut agar semua perilaku dan adat istiadat darai suatu masyarakat hendaknya dipandang dari sudut masyarakat itu dan tidak dari sudut kebudayaan orang lain yang telah dianggap sempurna atau yang dianggap menunjukkan banyak kekurangan. Inilah yang dibutuhkan oleh negara dan bangsa yang bersifat multi etnis seperti Indonesia.

1 comment:

Anonymous said...

artikelnya bagus baged,krna bsa mnyadarkan bgsa kita yang sedang mngalami krisis moral dan budaya