January 22, 2009

Sejarah Mukim di Aceh (Bagian 1- Masa Kerajaan)

Oleh: Agus Budi Wibowo

Kata “mukim” berasal dari Bahasa Arab. Mukim berarti “berkedudukan pada suatu tempat”. Oleh orang Aceh diterjemahkan sebagai suatu wilayah tempat menetap yang terdiri dari beberapa perkampungan. Istilah ini berkaitan erat dengan keyakinan orang Aceh yaitu Agama Islam. Menurut Mazhab Syafi’i yang dianut oleh hampir seluruh orang Aceh, salat Jumat baru dianggap sah apabila jumlah makmumnya sekurang-kurangnya 40 orang pria dewasa dan berpikiran sehat (Ahmad, tt: 88). Sementara jumlah penduduk pria dewasa di setiap gampong hampir tidak mencukupi jumlah tersebut. Bila jumlahnya tidak cukup 40 orang, berarti Salat Jumat tidak dapat dilaksanakan. Oleh karenanya, dibentuk kumpulan gampong (federasi gampong) yang disebut mukim sehingga dapat tercapai jumlah yang diisyaratkan itu.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Snouck Hurgronje. Menurut dia bahwa perwilayahan mukim mempunyai asal muasal pada keperluan jumlah jamaah menyelenggarakan salat Jumat sebagaimana ketentuan Mazhab Syafi’i yang merupakan mazhab yang dianut oleh Orang Aceh (Ng. Singarimbun, tt: 91-92). Pendapat agak berbeda dikemukakan oleh Van Langen, yaitu pada mulanya pembentukan mukim didasarkan kepada jumlah penduduk laki-laki dalam suatu pemukiman yang mampu bertempur melawan musuh, yaitu minimal 1.000 (seribu) orang.
Berdasarkan pendapat di atas, sudah dapat dipastikan bahwa setiap mukim mempunyai sekurang-kurangnya satu buah mesjid, bahkan kini ada 2 buah atau lebih. Jadi, mukim adalah gabungan dari gampong dan merupakan kesatuan hukum yang bercorak agama yang mana pimpinan mukim disebut dengan imeum mukim. Sementara di luar Aceh Besar dikenal dengan istilah lain yaitu uleebalang cut, wilayah chik, datok dan marga.

1. Pada Masa Sultan Iskandar Muda
Menurut kronika-kronika Aceh, pembagian ketatanegaraan dalam bentuk mukim terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Sebagai seorang raja Islam, baik sebagai kepala urusan-urusan keduniawan maupun kerohanian, cepat-cepat ia menyadari, bahwa kerajaan Aceh sebagai negara Islam dapat diandalkan hanya dengan mempererat hubungan organisasi kerajaan. Jika pada masa itu kampung merupakan satu kesatuan dalam susunan ketatanegaraan yang diperintah oleh seorang ketua yang dinamakan keuchik[1], maka Iskandar Muda menetapkan, bahwa tempat-tempat atau kampung-kampung yang penduduknya melakukan sembahyang Jum’at dalam mesjid yang sama merupakan daerah yang disebut mukim.[2]
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda di seluruh Kerajaan Aceh terdapat 7 buah mesjid, yaitu
Mesjid Baiturrahim[3], terletak di Kutaraja (= Dalam).
Mesjid Baiturrahman[4], yang menjadi sangat terkenal oleh gempuran Belanda pada ekspedisi kedua.
Mesjid Indrapuri dalam XXII mukim.
Mesjid Indrapurwa di Kuala Neujid atau Pancu dalam VI mukim sagi XXV.
Ketiga buah mesjid di Ladong, Cadék, dan Krueng Raya dalam XXVI mukim.
Lama kelamaan setelah Islam semakin berakar, para imam yang tadinya mengimami sembahyang Jum’at di mesjid-mesjid itu berhasil pula melaksanakan kekuasaan-kekuasaan keduniawian terhadap penduduk kampung-kampung yang bersembahyang Jum’at di mesjid-mesjid yang sama. Lambat-laun para imam itu menyerahkan urusan-urusan kerohanian di dalam daerah mereka kepada orang-orang lain supaya mereka lebih mantap dapat mengurusa pemerintahan. Oleh karena itu ketua yang memerintah sesuatu mukim kadangkala dinamakan Imeum mukim atau Imeum adat untuk membedakan antara Imeum seumayang di dalam mesjid.
Dengan demikian, kesatua bangsa asli, yaitu gampōng melebur dalam kesatuan ketatanegaraan, yaitu mukim dan akibatnya itu para kepala kampung atau keuchik menjadi bawahan Imeum mukim.
Semakin banyaknya penduduk dan meluasnya daerah kampung, maka dengan sendirinya di antara beberapa anggota yang mengurus kepentingan keluarga dan umum merasakan perlunya mereka lebih bersatu dalam mengerjakan kewajiban-kewajiban agama, yaitu sembahyang lima waktu, melaksanakan pendidikan agama bagi anak-anak dan sebagainya dalam tempat beribadat yang dinamakan binasah atau meunasah dan terjadilah pembagian kampung dalam meunasah-meunasah atau lorong-lorong
Ketua meunasah dinamakan Teungku meunasah; ia pun turut dalam mempertahankan kepentingan jama’ahnya di bidang keduniawian, sehingga dengan ia menjadi wakil kepada kampung. Karenanya dewasa ini kesatuan rakyat terkecil adalah meunasah.
Dalam XXII mukim kepala kampung disebut waki dan kepala lorong keuchik. Beberapa kelompok disebut déah karena bentuk rumah peribadatan yang terdapat di dalamnya lebih besar dari binasah atau meunasah, tetapi lebih kecil dari mesjid. Dalam déah –disebabkan sesuatu hal yang luar biasa, umpama hujan- dibenarkan orang melakukan sembahyang Jum’at asal para pesertanya cukup 40 orang[5].
Dasar jumlah penduduk untuk setiap mukim pada mulanya ditetapkan 1.000 orang laki-laki yang siap tempur, tetapi karena alasan-alasan serupa, sehingga dilakukan pembagian-pembagian kampung, maka hal itu dengan sendirinya berpengaruh pula bagi mukim.
Namun Imeum induk mukim tetap menjalankan kekuasaan tertinggi (walaupun terhadap mukim-mukim baru) dan memperoleh gelar ulèebalang, yaitu kepala atau panglima balatentara yang menunjukkan, bahwa dalam peperangan ia harus bertindak selaku kepala yang memimpin pasukan-pasukan bersenjata di dalam daerah gabungan mukimnya.
Dengan cara demikian dan terjadinya perkawinan atau pergantian akibat warisan serta penaklukan terjadilah federasi-federasi mukim yang terkenal dengan nama mukim III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, dan sebagainya.
Kita menjumpai juga mukim-mukim yang berdiri sendiri dengan kepala-kepala pemerintahannya yang tidak bergelar ulèebalang, baik karena mereka tidak dapat memperoleh gelar tersebut maupun karena menganggap diri mereka otonom dan terlepas dari ulèebalang di bawah ulèebalang- ulèebalang lain, tetap hal ini merupakan pengecualian.


[1]Keuchik berasal dari bahasa Aceh chik = tua atau yang dituakan.

[2]Menurut Dr. Snouch Hurgronje kata Arab sebenarnya berarti: pemduduk sesuatu tempat, sebuah kata yang selalu dijumpai dalam kitab-kitab Fiqh jika orang berbicara tentang masalah sembahyang Jum’at. Dalam kitab-kitab Fiqh ditetapkan bahwa sembahyang Jum’at dianggap sah jika dihadiri oleh sejumlah (sekurang-kurangnya 403a) “mukim”. Orang-orang Aceh memberlakukan kata ini untuk daerah yang mukim-mukimnya termasuk dalam mesjid induk.
3a Jumlah “40 orang “ disebut dalam hadis Daraquthni; oleh imam Ahmad dikatakan bahwa hadis itu “dusta dan palsu”, lihat buku Pengajaran Shalat, A. Hasan, 1973, cetakan 15, hal. 271.
[3]Baiturrahim = rumah yang dilindungi (Allah).
[4]Baiturrahman = rumah yang dikasihi (Allah)
[5]Lihat catatan 3a

No comments: