January 22, 2009

Perantauan dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Desa di Aceh

Oleh: Agus Budi Wibowo

Pendahuluan
Riwayat migrasi adalah setua riwayat manusia. Definisi migrasi menurut Brinley Thomas adalah gerakan perpindahan dari satu negara ke negara lain yang terjadi karena kemauan sendiri dari yang bersangkutan, baik secara perseorangan maupun perkelompok (Indriani, 1999: 17). Kenyataannya migrasi terjadi karena terpaksa, sedangkan pelaksanaannya pun ada yang diatur dan yang tidak diatur dengan berbagai faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor) seperti keadaan alam, keadaan politik dan keamanan, tetapi di antara faktor tersebut yang paling dominan adalah faktor ekonomi. Bagaimanapun, secara demografis, migrasi akan mempengaruhi daerah asal pengiriman dan penerimaan.
Salah satu bentuk migrasi adalah merantau. Merantau berasal dari kata rantau. Menurut Winstedt, Iskandar dan Puwadarminta adalah kata benda yang menunjuk kepada sebuah dataran atau pinggiran sungai sehingga dikenal dengan daerah pantai. Merantau dengan awalan me dapat berarti pergi ke rantau dan sering juga disebut melakukan perantauan. Merantau mengandung beberapa elemen utama yaitu meninggalkan kampung halaman, dengan kemauan sendiri, untuk jangka waktu yang lama atau tidak dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman, biasanya dengan maksud kembali pulang dan merantau merupakan lembaga sosial yang membudaya (Naim, 1974: 18). Di Indonesia ada beberapa suku bangsa yang mempunyai budaya merantau, yaitu suku bangsa Minang, Jawa, Bugis, Madura, dan Aceh – Pidie.
Masyarakat Aceh mendefinisikan merantau sebagai pergi mencari penghidupan ke negara lain. Masyarakat di daerah ini mengenal beberapa macam istilah yang mengandung makna merantau, antara lain jak u timo (pergi ke timur/merantau ke timur) dan jak meudagang (belajar ke pesantren serta meurantao (pergi mencari pengalaman dan penghasilan). Dari berbagai versi merantau yang ada di Aceh Siegel (1969) menggolongkan merantau itu menjadi dua tipe rantau, yaitu merantau ke timur (jak u timo) dan merantau ke pesantren.
Tulisan ini berusaha menjawab merantau dalam kaitannya dengan usaha pemberdayaan ekonomi masyarakat desa. Diasumsikan kegiatan merantau ini mempunyai nilai ekonomi, sehingga dapat memberdayakan ekonomi masyarakat desa.

Macam dan Latar Belakang Tradisi Merantau di Aceh (Pidie)
Pada bagian di muka telah disebutkan secara sekilas macam-macam dari merantau yang ada di Aceh. Bentuk atau tipe pertama menurut Siegel sudah muncul sejak lama, sebelum tipe rantau kedua muncul. Prosesnya dimulai dengan berangkatnya orang-orang Aceh ke daerah pesisir pantai Barat untuk menanam lada di ladang. Dalam hal ini masyarakat Aceh mengenal rantau barat dan rantau timur yang berarti merantau ke pantai barat dan merantau ke pantai timur. Merantau ke timur merupakan rantau berjarak jauh, sehingga kaum laki-laki hanya pulang ke kampung setiap beberapa tahun. Sifat rantau ini hanya sementara, sehingga mereka tidak membawa istri dan anak-anaknya di daerah perantauan. Siegel menyebutkan bahwa tipe rantau ini lebih berkaitan dengan tujuan ekonomi (Budiarti, 1989: 31).
Tipe rantau kedua, yaitu merantau ke pesantren muncul karena pengaruh ulama. Ulama menawarkan suatu alternatif bagi laki-laki untuk merantau dengan jarak dekat agar seseorang laki-laki (suami) mempunyai hak terhadap istri dan anak-anaknya karena mereka tidak meninggalkan kampung halaman.
Kehidupan pesantren dapat dipandang sebagai bentuk merantau. Menurut Snouch Hurgronje (1906: 26) kata yang berarti untuk belajar ke pesantren berarti sama seperti meudagang sesungguhnya berarti untuk menjadi orang asing yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Seseorang tidak dapat menjadi ulama dengan belajar di daerah kelahirannya, tanpa ke luar kampung dan mencari tempat tepat untuk menjadi ulama. Orang Aceh mengatakan bahwa tidak akan pernah ada seorang laki-laki pun yang menjadi alem tanpa ke luar kampung untuk merantau ke pesantren. Karenanya, setiap orang Aceh harus ke luar dari daerahnya untuk menjadi orang yang dihargai di daerahnya sendiri.
Dalam beberapa tulisannya Siegel menjelaskan bahwa gejala merantau di Aceh lebih banyak disebabkan alasan ekonomi daripada sosial budaya. Hal ini dikarenakan pada saat ia melakukan penelitian, keadaan ekonomi pedesaan di Aceh saat itu sangat buruk yang mana kondisi ekonomi ini diakibatkan revolusi sosial yang sedang berlangsung di Aceh. Siegel kurang memperhatikan faktor lain selain faktor ekonomi. Padahal ada faktor lain yang mendorong orang Aceh melakukan perantauan.
Budiarti (1989: 33-34) menunjukkan bahwa faktor sosial budaya merupakan faktor penting yang harus turut diperhatikan untuk menganalisis penyebab tradisi merantau di daerah Aceh ini. Pertama, di sana struktur sosial masyarakat Aceh yang matrilokal, pasangan pengantin harus tinggal di kerabat istrinya sampai anak pertama lahir (sekitar 3–4 tahun). Setelah itu mereka berpisah rumah karena mertua memberi rumah kepada anak perempuannya. Seorang suami karenanya tidak otonom, tetapi tergantung kepada mertuanya, ia tidak memiliki kekuasaan mantap di rumah istrinya dan tidak pula di rumah ibunya. Istri di Aceh disebut po rumoh (yang punya rumah), yakni yang memiliki kekuasaan atas rumah yang mereka tempati.
Kedua, pola pengasuhan anak yang membuat seseorang anak tidak betah di rumah. Dalam masyarakat Aceh terdapat suatu kecenderungan yang mana anak laki-laki yang telah berumur kira-kira 5 tahun atau 6 tahun diharuskan meninggalkan rumah di shubuh buta untuk pergi ke meunasah belajar Al Qur’an. Setelah mengaji biasanya langsung ke tempat-tempat yang tidak jauh dari meunasah yang disebut bale (B. Alamsyah, 1992: 70). Mereka yang pulang kalau akan makan atau dipanggil oleh orang tua untuk membantu bekerja sesudah anak laki-laki mencapai umur 12 tahun dan sudah disunat sebagai tanda bahwa mereka telah dewasa, maka tidak ada kesempatan baginya untuk tinggal di rumah. Mereka sudah harus tidur di meunasah. Dari fenomena sosial ini dapat dilihat bahwa kebiasaan untuk tidak tinggal di rumah telah tumbuh pada diri seseorang sejak masih kecil, yaitu sejak umur 6 tahun sampai memasuki jenjang kedewasaannya. Dari kecil dibiasakan untuk menjauhi rumah, sehingga perasaan tinggal di rumah sangat terbatas.
Ketiga, perantau merupakan sebuah upaya untuk menghindarkan ketidaksesuaian dalam keluarga yang bersifat meluas. Dalam sistem keluarga luas suami dan istri masing-masing tetap merupakan bagian dari keluarga induk. Hubungan marital mereka sering mengalami kegoncangan karena hubungan lebih ditentukan oleh faktor eksternal berupa interaksi antarkeluarga induk. Laki-laki walaupun terhitung sebagai anggota keluarga di rumah ibunya tidak mendapat bagian harta warisan. Peranan suami di rumah istrinya tidak begitu penting, baik sebagai suami maupun sebagai ayah. Ia tidak begitu berperan dalam kehidupan ekonomi dan tidak berperan dalam proses membesarkan dan mendidik anak karena ia jarang tinggal di rumah. Kaum laki-laki seperti tamu di rumah istrinya. Dengan demikian, struktur sosial yang seperti dikemukakan di muka inilah yang telah melahirkan pola merantau di Aceh.

Perantauan dan Pemberdayaan EkonomiM
Menurut banyak ahli kependudukan di Indonesia, masyarakat Indonesia dapat digolongkan dalam masyarakat yang biolocal. Artinya, walaupun ia sudah menetap di suatu tempat (merantau), tetapi suatu saat ia akan tetap kembali ke kampung halamannya. Kondisi yang demikian membawa konsekuensi kepada keadaan yang mana seseorang yang telah merantau akan tetap menjalin hubungan dengan daerah asalnya. Hubungan antarkeduanya dapat berupa hubungan langsung dan hubungan tidak langsung. Hubungan tidak langsung dapat berupa saling berkirim kabar, baik melalui surat maupun alat komunikasi lainnya ataupun mengirimkan barang atau uang kepada keluarga di kampung halaman, yang biasanya dilakukan pada saat tertentu seperti lebaran, acara hajatan, dan lain-lain.
Hubungan antarkerabat dengan perantau merupakan potensi yang besar dan amat baik dikembangkan. Barang-barang atau uang yang dikirim (remitance) ke kampung halaman adalah salah satu potensi yang amat merugikan apabila dilupakan begitu saja. Sebuah daerah di Yogyakarta (Kab. Gunung Kidul) menerima pemasukan uang dari perantau sampai kira-kira Rp. 5 Milyar per bulan. Potensi ini tentunya sangat menguntungkan untuk pembangunan daerah. Uang tersebut dapat digunakan untuk membangun daerah, baik fisik maupun nonfisik. Partisipasi dari para perantau akan meringankan beban yang disandang oleh pemerintah daerah setempat.
Melihat potensi yang ada seperti contoh di atas tentu tidak berlebihan apabila hal ini diterapkan di Daerah Istimewa Aceh. Daerah yang saat ini terpuruk akibat krisis ekonomi dan konflik politik, tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk mengatasi masalah-masalah yang saat ini sedang berkembang di masyarakat. Salah satu bantuan dana yang dapat diharapkan dapat berasal dari sumbangan para perantau ini.
Nilai-nilai budaya untuk selalu memperhatikan kampung halaman tetap dipahami dan dihayati oleh masyarakat Aceh walaupun mereka telah sukses di perantauan akan sangat membantu menggugah agar para perantau mengulurkan bantuannya ke daerah Aceh. Rasa ikut menanggung dengan apa yang dirasakan, walaupun berada di daerah rantau dapat diwujudkan dalam bentuk sumbangan. Di samping itu hal ini biasanya orang perantau juga merasakan kesulitan-kesulitan yang pernah dialaminya ketika masih tinggal di kampung halaman. Karenanya, pemerintah daerah asal daerah mereka dapat membuat usulan guna mengadakan perbaikan-perbaikan di daerah asalnya. Dalam usulan itu biasanya meraka ikut membantu pendanaan hasil perseorangan maupun memprakarsai untuk selalu menghimpun dana di daerah rantau.
Apabila kondisi-kondis yang menguntungkan ini dapat dikembangkan dan dikoordinasikan dengan baik bukan tidak mungkin para perantau dapat memberdayakan ekonomi daerah. Karenanya, dituntut suatu kemauan dan koordinasi antara pemerintah daerah dan perantau melalui perkumpulan dan paguyuban yang ada.

Penutup
Dunia yang semakin modern biasanya akan ditandai dengan semakin banyaknya mobilitas yang dilakukan oleh penduduknya. Penduduk yang dimungkinkan tidak dapat bertahan di suatu daerah akan melakukan migrasi ke suatu daerah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Karenanya, migrasi merupakan salah satu cara mengatasi suatu tekanan ekonomis dan sosiologis di suatu daerah.
Banyak studi menunjukkan bahwa perantau banyak yang sukses setelah mereka berada di perantauan. Kondisi sosial ekonomi para perantau ini menjadi lebih baik setelah berada di perantauan. Mereka inilah sebetulnya yang berpotensi ikut membangun daerah asalnya. Nilai-nilai budaya yang berupa ikatan bathin dengan daerah asal dan pengetahuan tentang daerah asalnya amat membantu mengatasi masalah-masalah yang ada di daerah.

No comments: