January 22, 2009

Wisata Tsunami di Aceh





“Inilah Leupung”, kata Agam Patra sambil menghentikan mobil yang kami tumpangi persis di lokasi kamp pengungsian warga Leupueng di lereng Gle Judah. Kamp yang berlokasi di kawasan Ritieng itu dihuni oleh sekitar 1.200 warga Kecamatan Leupung yang selamat... Leupung hancur total. Selama beberapa pekan pasca bencana kawasan yang hanya berjarak 20 km arah barat kota Banda Aceh hanya bisa ditembus melalui udara dan laut...”(Serambi Indonesia, 2005)

Kutipan di atas merupakan salah satu pernyataan yang dibuat oleh seorang yang selamat pasca gempa dan tsunami.Kehancuran yang terjadi begitu luas dan dahsyat, sehingga dapat dikatakan bahwa banyak daerah di Aceh yang luluh lantak dan tidak menyisakan bangunan satupun kecuali rumah ibadah. Kutipan kedua di bawah ini menunjukkan hal tersebut,
“Dulu wilayah ini berpenduduk padat”, kata Amran Ali, 47 Tahun. Namun akibat gempa dan tsunami tanggal 26 Desember 2004 telah menyisakan kesunyian yang mencekam di Pantai Lampuuk. Aceh Besar. Pantai wisata yang dulu dihiasi pohon-pohon nyiur dan cemara itu kini gundul, nyaris tak bersisa. Rumah-rumah penduduk di sejumlah desa di sekitar pantai ini lenyap diterjang gelombang raksasa. Satu-satunya yang tersisa adalah sosok Masjid Rahmatullah yang berdiri tegar sendirian, meski dindingnya jebol di sana-sini.
Menurut catatan sejarah sebelumnya di Aceh pernah terjadi bencana serupa sebanyak tiga kali. Pertama tahun 1768, kedua 1896, dan ketiga akhir 2004. Namun namanya bukan tsunami melainkan seumong Sejarah mencatat kembali gempa besar dan gelombang tsunami menghantam Aceh dan Nias serta beberapa negara di kawasan Samudra Hindia (Malaysia, Thailand, Burma, Bangladesh, India, Srilanka, Tanzania, Kenya, Somalia, dan Maldiverna) pada tanggal 26 Desember 2004. Saking dahsyatnya musibah kali ini, ratusan ribu nyawa melayang, ribuan bangunan hancur. Bahkan, kapal PLTD Apung yang berbobot 3600 ton ikut terseret ke daratan sejauh 4-5 km dari bibir pantai. Gempa berkekuatan 8,9 skala richter (SR) dan gelombang tsunami telah menguras emosi manusia di seantero jagad. Gejala global melancholia merasuki hampir semua kalangan, mulai dari pejabat tinggi, para pengusaha, selebritis, rakyat biasa bahkan sampai sekelompok narapidana Perancis yang sedang meringkuk di balik terali besi (Rizal Koto, 2004).
Gempa dan tsunami telah membawa Aceh terkenal ke seluruh jagad dunia. Kalau selama ini orang luar mengenal Indonesia dari Balinya, tetapi sejak tanggal 26 Desember 2004 Indonesia dikenal lagi dengan tambahan Aceh didalamnya. Aceh yang selama masa konflik terjadi dinyatakan sebagai daerah tertutup sejak saat itu menjadi daerah yang terbuka. Semua orang berduyun-duyun mendatangi daerah ini untuk berbagai kepentingan, baik untuk menolong atau hanya sekedar melihat dampak akibat dari kedahsyatan bencana itu.


Pariwisata Tsunami
Berbeda dengan makhluk Allah SWT yang lain, manusia dikaruniai akal. Akal ini yang membuat manusia mempunyai rasa ingin tahu yang besar. Untuk memenuhi rasa ingin tahu ini, tidak jarang manusia melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat lain. Mobilitas ini diwujudkan dalam bentuk melakukan sebuah perjalanan. Dalam konteks kekinian, perjalanan untuk memuaskan perasaan ingin tahu dengan tujuan memperoleh pengalaman baru (learning experience) sambil bersenang-senang disebut kegiatan pariwisata. Kegiatan inipun telah melahirkan satu jenis industri baru berbasis jasa (pelayanan) yaitu industri pariwisata.
Dalam perspektif pariwisata, bencana gempa dan tsunami yang terjadi ada penghujung akhir tahun 2004 merupakan sebuah potensi baru yang dapat dimanfaatkan bagi keperluan pengembangan pariwisata Aceh, tidak hanya untuk konsumsi wisatawan lokal, tetapi juga wisatawan mancanegara. Jejak yang ditinggalkan oleh tsunami beserta atribut yang tersisa adalah aset yang sangat berharga dan dapat berfungsi sebagai trigger bagi wisatawan mengunjungi daerah Aceh. Bukti kedahsyatan bencana ini tidak diragukan lagi dan belum lagi jumlah nyawa yang hilang. Hamparan wilayah yang terkena tsunami pun begitu luas. Banyak daerah yang luluh lantak dan hanya menyisakan mesjid di antara kehancuran itu.
Bukti bahwa tsunami akan menarik wisatawan telah nampak pada beberapa waktu yang lalu. Setelah beberapa bulan berlalu pascatsunami ada beberapa kepala negara, artis, selebritis dan wisatawan lokal yang mendatangi Aceh hanya untuk melihat jejang-jejak yang ditinggalkan oleh tsunami. Mereka melihat Mesjid Baiturrahim di Ulee Lhue, PLTD Apung di Punge, daerah Lampulo, Mesjid Rahmatullah Lampuuk dan tempat-tempat lain yang menyisakan jejak tsunami tersebut. Mereka sangat terheran-heran begitu melihat begitu dahsyat tsunami yang terjadi daerah ini.


Harus Ada Museum/Tugu Peringatan Tsunami
Kehancuran sebuah daerah memang akan menimbulkan suasan sedih dan trauma bagi yang mengalaminya. Seperti juga dialami oleh bangsa Jepang yang mengalami kehancuran total ketika bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada pertengahan bulan Agustus 1945. Namun sejarah merupakan guru terbaik apabila kita mau memetik hikmah dari semua peristiwa yang terjadi di muka bumi ini. Kehancuran yang dialami oleh bangsa Jepang tersebut tidak serta merta direhabilitasi dan rekonstruksi kembali. Ada sisa-sisa kehancuran itu yang tetap dibiarkan seperti adanya, yaitu dengan Hiroshima Memorial Museumnya. Tentunya, pembiaran sisa-sisa bangunan tersebut mempunyai maksud tertentu. Mereka meninggalkan pesan kepada generasi penerus bangsa bahwa di daerah ini telah terjadi pengeboman nuklir yang mengakibatkan korban yang tidak sedikit.
Tidak berbeda jauh dengan peristiwa di Jepang, gempa dan tsunami dengan episentrum di daerah Aceh merupakan peristiwa yang menyita perhatian dan emosi seluruh warga dunia. Episentrum gempa di daerah ini telah meninbulkan efek tsunami yang melintasi batas-batas negara, yang jauh dari daerah episentrum itu sendiri. Peristiwa itu merupakan momentum yang menyatukan hati nurani dan emosi dunia. Ketika itu, tiap lima menit lapangan udara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh di Blang Bintang menerima ratusan pesawat yang akan mendarat di daerah bencana. Padahal sebelum terjadinya musibah penerbangan yang menuju Aceh hanya 4 kali sehari. Mereka berbondong-bondong untuk melakukan penyelamatan korban bencana.
Setelah beberapa bulan berlalu hingar bingar upaya penyelamatan berlalu, para relawan mulai kembali ke daerah masing-masing. Tentunya, moment yang begitu penting akan hilang apabila momentum sebelumnya tidak dipelihara dengan baik. Agar momontum peristiwa tsunami tetap dikenang sepanjang masa perlu dibuat museum atau pun tugu peringatan. Apabila kita ke daerah-daerah yang dilanda tsunami banyak sisa-sisa/jejak tsunami yang sifatnya dramatis satu persatu dibersihkan, misalnya, kapal-kapal yang berada di sekitar Peunayong, seperti di Hotel Medan (sekitaran Reks), Depan Dealer Suzuki motor. Memang masih ada PLTD Apung masih teronggok di daerah Punge yang sebelumnya berada di pelabuhan Ulee Lhue. PLTD Apung ini pernah diwacanakan sebagai museum tsunami, tetapi terjadi kontroversi karena pihak PLN tidak mengizinkannya. Beberapa jejak (yang sampai saat artikel ini ditulis) masih nampak seperti apa adanya adalah Mesjid Rahmatullah di Lampuuk, Masjid Baiturrahim di Ulee Lhue dan sebuah mesjid di Meulaboh. Tentunya, perlu dipikirkan bahwa beberapa jejak tsunami yang masih seperti apa adanya itu dijadikan museum ataupun tugu peringatan. Kalaupun museum tidak dapat diwujudkan, paling tidak terdapat sebuah tugu peringatan tentang korban tsunami. Hal ini pernah pula diutarakan dalam sebuah pernyataan seorang pembaca (Ramli M. Yakob) di Serambi Indonesia terbitan tanggal 10 April 2005 sebagai berikut,
“... dalam hal ini saya mengambil sedikit saran Pak Mustafa, yaitu tentang musium tsunami. Bagi saya bukan musium tsunaminya yang kita perlu. Tapi bangunlah tugu tsunami yang dibangun di tempat penguburan massal. Tapi bukan disemua kuburan massal, cukup satu buah saja. Ini jangan pada suatu saat nanti kita baru teringat akan perlunya membuat suatu tanda atau monumen/tugu yang bersejarah karena peristiwa tersebut. Sebagai contoh tugu Tentara Pelajar, yang baru dibangun setengah abad kemudian setelah peristiwa bersangkutan..”
Penutup
Sebelum bencana gempa dan tsunami Aceh sudah terkenal dengan objek pariwisata Sabang dan pariwisata religiusnya. Sejak peristiwa gempa dan tsunami terjadi, Aceh memiliki potensi pariwisata baru yang dapat dikembangkan, yaitu pariwisata mengunjungi objek-objek jejak tsunami Mestinya, potensi pariwisata tsunami menjadi salah satu point penting didalam blue print rehabilitasi dan rekontruksi Aceh pasca gempa dan tsunami.
Bagi masyarakat Aceh, bisa jadi, peristiwa tragis tersebut merupakan suatu musibah yang meninggalkan trauma yang amat sangat bagi setiap orang. Banyak sanak saudara yang hilang, belum lagi harta benda juga ikut hanyut. Bahkan tidak sedikit, bagi mereka yang selamat hanya menyisakan baju yang melekat di badan. Akan tetapi, peristiwa itu dapat diminimalisir dengan membuka lembaran lama. Pada dasarnya, di sebagian kalangan para orang tua di Aceh pernah mendengar tsunami. Oleh masyarakat Aceh tsunami ini dikenal dengan nama ie beuna, sedangkan pada masyarakat Simeulu dikenal dengan nama seumong. Orang yang bijak adalah orang yang dapat memetik hikmah secara positif dari setiap peristiwa. Pada peristiwa tsunami, masyarakat Simeulu tidak terlalu banyak korban karena mereka tahu bahwa setelah terjadi gempa akan diikuti oleh tsunami, sehingga mereka dapat menyelamatkan diri ke daerah yang lebih tinggi. Tidak halnya demikian, dengan warga masyarakat di Banda Aceh atau tempat lain. Di daerah ini, bahkan, merasa heran bahwa setelah terjadi gempa air laut menjadi surut. Mereka mendekati ke laut, padahal tidak lama kemudian laut datang lagi dengan gelombang air yang begitu besar.
Dengan adanya objek wisata tsunami itu, tentunya kita akan mengingat peristiwa kelam yang terjadi penghujung akhir tahun 2004 tersebut. Ingatan yang positif akan membawa kita kepada sikap hati-hati terhadap segala bencana yang ada dan menjadikan kita lebih arif di dalam mengelola alam sehingga korban yang lebih banyak dapat kita hindari di masa generasi mendatang. Bagaimana pun generasi mendatang merupakan aset yang sangat berharga demi kemajuan Aceh.

No comments: