January 22, 2009

Suara Ulama dalam Pilkada di Aceh

Pendahuluan
Masuknya Islam ke Aceh pada abad ketujuh atau kedelapan Masehi banyak sekali mempengaruhi adat-istiadat Aceh Bahkan pengaruh Islam itu sangat besar, sehingga ada pepatah yang menyebutkan hukom ngon adat lagee zat ngon sipheuet (hukum (syariat/hukum Islam dengan adat bagaikan benda dengan sifatnya). Selain itu, masyarakat Aceh diakui sangat religius. Ajaran agama Islam merasuk ke dalam sosio kultural dan adat-istiadat masyarakatnya. Bagi masyarakat di daerah ini segala sikap dan pandangannya dan segala macam bentuk benar-salah, bagus-jelek, baik-buruk dan segala macam bentuk penilaian selalu dikaitkan dengan ajaran agama Islam.
Dalam konteks ini ulama mempunyai peran yang cukup penting sehingga terbentuk masyarakat Aceh yang seperti tampak kita lihat pada saat ini. Masyarakat Aceh yang memegang nilai-nilai keislaman. Tulisan ini ingin membahas keberadaan ulama dalam masyarakat Aceh dan kemanakah suara ulama dalam pemilihan kepala daerah langsung (Pilkadasung) 2006 ? Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan tersebut dengan mengedepankan peranan ulama1 alam sosio politik kemasyarakatan terkait dengan pelaksaaan Pilkada yang berlangsung pada tanggal 11 Desember 2006.

Posisi dan Peran Ulama Aceh
Dalam lintasan sejarah masyarakat Aceh, dari periode proses Islamisasi awal hingga saat ini ulama memegang posisi penting dalam kehidupan masyarakat. Ulama menjadi status dengan wewenang yang significant dan adakalanya posisi ini lebih dipatuhi oleh masyarakat dibandingkan kepada pemimpin lainnya. Menarik bahwa walaupun ulama sering diposisikan sebagai pemimpin informal, tetapi pada dataran realitas historis Aceh, tanpa bantuan sosok ulama, maka pemimpin formal menjadi tidak berarti.2 Dengan demikian, posisi ulama di dalam sistem kemasyarakatan dan pemerintahan sepanjang sejarah Aceh cukup dominan.
Peran ini mencapai posisi yang mantap pada masa pemerintahan dipegang oleh Sultan Iskandar Muda. Menurut kronika-kronika Aceh, pembagian ketatanegaraan Aceh dalam bentuk mukim terjadi pada masa pemerintahan Iskandar Muda (1607-1636). Sebagai seorang raja Islam, baik sebagai kepala urusan keduniawian maupun kerohanian, cepat-cepat ia menyadari bahwa Kerajaan Aceh sebagai negara Islam dapat diandalkan hanya dengan mempererat hubungan organisasi kerajaan. Apabila pada masa itu gampong atau kampung merupakan satu kesatuan masyarakat dalam susunan ketatanegaraan yang diperintah langsung oleh seorang ketua yang dinamakan keuchiek, maka Sultan Iskandar Muda menetapkan bahwa tempat-tempat atau kampung yang penduduknya melakukan sembahyang Jum’at dalam mesjid yang sama merupakan daerah yang disebut mukim. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda di seluruh Kerajaan Aceh terdapat hanya 7 buah mesjid yaitu mesjid Baiturrahim terletak di Kutaraja (=dalam), mesjid Baiturrahman yang menjadi sangat terkenal pada ekspedisi kedua, mesjid Indrapuri dalam XXII mukim, mesjid Indrapurwa di Kuala Neujid atau Pancu dalam VI mukim sagi XXV, dan ketiga mesjid di Ladong, Cadek, dan Krueng Raya dalam XXVI mukim.3
Lama kelamaan setelah Islam semakin mengakar di dalam masyarakat para imam yang tadinya mengimami shalat Jum’at di mesjid-mesjid itu berhasil pula melaksanakan kekuasaan-kekuasaan keduniawian terhadap penduduk kampung-kampung yang bershalat Jum’at di mesjid-mesjid yang sama. Lambat-laun para imam ini menyerahkan urusan-urusan kerohanian di dalam daerah mereka kepada orang lain supaya mereka lebih mantap dapat mengurus pemerintahan. Oleh karena itu, ketua yang memerintah suatu mukim kadangkala dinamakan imeum mukim atau imeum adat untuk membedakan antara imeum seumayang di dalam mesjid. Dengan demikian, kesatuan masyarakat asli yaitu gampong melebur dalam kesatuan ketatanegaraan, yaitu mukim dan akibatnya para kepala gampong/kampung atau keuchiek menjadi bawahan imeum mukim.
Semakin banyak penduduk dan meluasnya daerah kampung, maka dengan sendirinya di antara beberarapa anggota yang mengurus kepentingan keluarga dan umum merasakan perlunya mereka lebih bersatu dalam mengerjakan kewajiban-kewajiban agama, yaitu sembahyang lima waktu, melaksanakan pendidikan agama dan sebagainya dalam tempat beribadat yang dinamakan binasah atau meunasah dan terjadilah pembagian kampung dalam meunasah-meunsasah. Ketua meunasah dinamakan teungku meunasah. Ia pun turut dalam mempertahankan kepentingan jama’ahnya di bidang keduniawian sehingga ia menjadi wakil kepala kampung. Oleh karena itu, dewasa ini kesatuan rakyat terkecil adalah meunasah.4
Dalam tataran lebih tinggi, ulama merupakan penasihat sultan. Ia berada pada posisi yang cukup setara dengan jabatan di kalangan pemerintahan. Dapat disebutkan di antaranya, Abdul Rauf As-Singkili merupakan ulama kerajaan yang membuat kanun dan hukum pemerintahan. Ia menduduki jabatan sebagai Qadli Malikul Adil. Sebelumnya, terdapat pula dua ulama besaar lain di Aceh yang cukup mempunyai pengaruh, yaitu Syech Nuruddin Ar-Raniry dan Syech Hamzah Fansuri.
Tatkala Belanda melakukan agresi terhadap kedaulatan Aceh, ulama berada di garis depan pertempuran. Ulama menjadi panglima perang. Beberapa diantaranya dapat disebutkan Teungku Chik Di Tiro. Dayah menjadi tempat menyusun strategi. Bahkan sebagian dayah menjadi semacam lembaga pemberi “ijazah” atau legitimasi bagi para panglima dan prajurit sebelum terjun ke medan peperangan.5
Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan pola hubungan antara ulama di satu sisi dengan masyarakat di sisi lainnya. Jika sebelumnya hubungan kedua belah pihak tidak dalam bentuk “pemimpin dan yang dipimpin”, namun akibat imperialisme barat, hubungan keduanya berubah menjadi hubungan yang bermuatan kepemimpinan vertikal struktural. Walaupun sultan dan uleebalang masih tetap eksis di tengah-tengah masyarakat, namun kepemimpinan ulama menjadi lebih dominan dalam masyarakat.6
Pasca kemerdekaan, sejalan dengan dinamika yang terjadi pada masyarakat Aceh, hubungan kepemimpinan antara masyarakat dengan ulama juga mengalami pergeseran dan perubahan. Yang dimaksud dengan perubahan ini adalah menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap ulama sebagai “suara ulama adalah suara masyarakat”. Ulama tidak lagi dipandang sebagai pemimpin dalam segala aspek kehidupan sosial kemasyarakatan. Jika sebelumnya ketergantungan masyarakat terhadap ulama untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan demikian besar, maka kini masyarakat akan mendapatkan informasi dari berbagai jalur, tidak saja dari ulama. Dari perspektif ini, secara perlahan-lahan hubungan akrab antara masyarakat dengan ulama merenggang.7

Suara Ulama dalam Pilkada
Pasca kemerdekaan, Indonesia telah melakukan beberapa kali pemilihan umum (Pemilu). Dalam setiap pemilu ulama Aceh ternyata ikut terlibat dan berkiprah di dalamnya. Sebelum Pemilu tahun 1987 sebagian besar ulama Aceh memberikan dukungan penuh terhadap Partai Persatuan Pembangunan (P3) sehingga pada setiap Pemilu partai ini selalu menang di Aceh.
Namun menjelang Pemilu tahun 1987 berbagai upaya dilakukan untuk memikat ulama agar bersedia mendukung dan masuk ke dalam Partai Golkar. Akibatnya, sebagian ulama menerjunkan diri dalam bidang politik dengan memberikan dukungan terhadap Golkar, baik sebagai pembicara di kampanye Golkar maupun “bermesraan” dengan pengurus partai tersebut. Akhirnya Golkar yang didukung sebagian ulama ini mulai menunjukkan kemampuannya sebagai partai yang menghimpun massa begitu besar.
Dalam Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung (Pilkadasung) yang diselenggakaran pada tanggal 11 Desember 2006 dukung mendukung dalam bentuk pernyataan dan suara menjadi santapan sehari-hari. Pernyataan dukungan tersebut dapat berasal dari ulama yang dipasang di media cetak atau ketika kampanye berlangsung. Misalnya sebuah iklan8 di media cetak lokal di Aceh menyatakan
“Ulama dukung Ir. Tarmizi/Tgk. Amirullah ... Kami para ulama se Aceh Utara serta 12 partai politik: Menyatakan dukungan kepada Ir. Tarmizi A. Karim/Tgk. Amirullah (Nomor urut 3) sebagai calon bupatai/wakil bupati Aceh Utara. Dukungan ini merupakan hasil musyawarah pada ulama 22 kecamatan mulai dari Pantonlabu s/d Sawang, menilai Tarmizi/Amirullah sosok yang pantas dan mampu memimpin Aceh Utara yang lebih maju dan bermartabat... (adv)”
Selain itu, para kandidat calon bupati/wakil bupati dan kandidat calon gebernur/wakil gubernur dapat kampanyenya seringkali menyertakan ulama sebagai pendukung mereka. Para kandidat tentunya berharap ulama yang mendukung mereka akan diikuti pula oleh para simpatisannya. Misalnya kita lihat lagi iklan sebagai berikut
“Kami ulama Kabupaten Pidie mendukung Bapak Ir. H. Abdullah Yahya MS dan Drs. M Yusuf Ushaq sebagai calon bupati dan calon wakil bupati Kabupaten Pidie periode 2007-2012”, Semoga kelak menjadi pemimpin yang dapat membangun Pidie dengan tema “bertekad bulat bersama membangun Pidie ke depan Mari kita dukung “ ttd Tgk H. Abu Usman Kuta Krueng, Tgk. H. Adnan Batee, Tgk. H. Muhammad Amin Keumala dan Tgk Marzuki (Ketua Forum Komunikasi Anak Dayah Pidie...9
Namun demikian tidak sedikit pula ulama-ulama yang tidak berpihak kepada salah satu kandidat calon bupati/wakil bupati atau kandidat calon gebernur/wakil gubernur. Demikian pula lembaga-lembaga keulamaan dan adat yang ada di Aceh, misalnya MAA, MPU Aceh, dan sebagainya. Mereka tidak menyebutkan nama calon, tetapi mereka hanya berharap siapa pun kandidat calon bupati/wakil bupati dan kandidat calon gubernur/wakil gubernur dapat membawa Aceh ke jenjang yang lebih baik. Masyarakat Aceh dapat lebih aman dan sejahtera. Kalangan ulama dan tokoh adat di Nanggroe Aceh Darussalam mengharapkan kepada para kandidat, baik itu di level gubernur/wakil, bupati/wakil, atau walikota/wakilnya harus siap dan ikhlas jika memang gagal dalam pemilihan. Karena bagaimanapun itu tak lepas dari takdir Allah SWT yang menjadi penentu bagi siapa yang dipercaya menjadi “khalifah” mendatang di Aceh.10Pernyataan Nuzzuzahri, Ketua Himpunan Ulama Aceh memberikan gambaran tentang ketidakikutan lembaga ulama mendukung salah seorang kandidat,
“Kami dari kalangan ulama bersikap netral dan menyerahkan pilihan kepada rakyat. Kami hanya mengharap masyarakat bisa memilih pemimpin yang sesuai dengan hati nurani, yaitu pemimpin yang jujur”,.. tapi kami tegaskan kalangan ulama, khususnya NU di Aceh tak akan masuk dalam politik praktis. Semua kandidat adalah saudara dan kita dekat dengan semuanya, mereka sama-sama orang Aceh”.
Hal senada disampaikan ooleh Muslim Ibrahim (Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh). “Kami tak mengizinkan anggota kami terlibat dalam Pilkada dengan mengatasnamakan organisasi MPU”. Faisal Ali, ketua Rabithah Taliban Aceh (RTA) atau organisasi santri Aceh mengatakan kalangan ulama ingin menyukseskan Pilkada dengan damai dan tidak hendak ikut memecah belah rakyat. “Kalaupun ada ulama yang mendukung salah satu kandidat, itu atas nama pribadi, dan biasanya karena ada kedekatan dengan kandidat”. Menurut Faisal, kalangan ulama memilih untuk mengeluarkan sikap atau tausiyah mengenai Pilkada secara umum.11

Penutup
Perubahan-perubahan peran dan kepemimpinan ulama di Aceh tengah berlangsung. Peran ulama yang begitu dominan pada masa dahulu di setiap kehidupan masyarakat Aceh berangsur surut. Ulama sebagai panutan bagi masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam konteks kehidupan masyarakat saat ini ulama hendaknya menarik diri dalam kehidupan politik praktis. Ia harus berdiri pada posisi netral dalam setiap hiruk pikuk politik yang memihak salah satu golongan. Dalam rangka membangkitkan peran ulama sebagai warasatul anbiya, ulama harus memposisikan sebagai pembimbing dan penuntun masyarakat.
Dalam Pilkadasung tahun 2006 ini, sebagian ulama memang ada yang berpihak pada satu golongan, tetapi tidak sedikit pula mereka yang memposisikan pada sudut netral. Lembaga-lembaga ulama banyak pula yang memilih netral, hanya saja individu-individu yang menyatakan dukungannya pada calon tertentu.

Catatan Akhir
[1] Menurut Ismuha, ulama berasal dari bahasa Arab, jama’ (plural) dari kata alim yang berarti orang yang mengetahui, orang yang berilmu. Ulama berarti para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan atau para ilmiawan. Di Aceh khususnya dan di Indonesia umumnya perkataan ulama hanya digunakan untuk para ahli agama Islam saja. Lihat Ismuha, “Ulama dalam Perspektif Sejarah”, dalam Agama dan Perubahan Sosial. Taufik Abdullah (ed.). (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1983). hlm. 3. Sementara menurut Rusdi Sufi (1997: 5) mengatakan bahwa ulama adalah aparat pendamping dan penasehat umara atau pemimpin adat dalam melaksanakan pemerintahan khususnya dalam memecahkan berbagai persoalan yang menyangkut bidang hukom. Dengan kata lain ulamalah yang membantu atau memberi nasihat kepada sultan, panglima sagoe, uleebalang dan sebagainya dalam berbagai hal yang berkenaan dengan masalah keagamaan dalam wilayah kekuasaannya. Dengan demikian, ulama ini dalam struktur pemerintahan tradisional di Aceh dikenal dengan pemimpin agama. Lihat Rusdi Sufi. “Ulama dan Umara dalam Perspektif Sejarah di Aceh”, Haba No. 5/1997. (Banda Aceh: BKSNT Banda Aceh, 1997).
2Aslam Nur, “Peranan Ulama dalam Merevitalisasi Kesadaran Berbangsa (Refleksi Historis Antropologis)”, Makalah dalam Sarasehan Guru Bidang Ilmu Sejaarah dan Ilmu Sosial/Budaya yang diselenggarakan BKSNT Banda Aceh 22-23 November 2006 di Aceh Besar.
3K.F.H. Van Langen 1986. hlm. 11-12.
4Ibid.
5Dayah seperti ini biasanya dinamakan Zauyah. Salah satu di antaranya adalah zauyah Tanoh Abe Aceh Besar. Tokoh penting dalam perjuangan melawan penjajah di antaranya adalah Tgk. H. Syech Abdul Wahab yang merupakan pejuang pada zaman kemerdekaan. Tokoh lainnya adalah Tgk. Chiek Tanoh Abee yang menjadi penasihat Perang Atjeh. Lihat Ahmad Arif. “Demokratisasi Menanti Suara Ulama Dayah Aceh...”, Kompas tanggal 1 Desember 2006.
6slam Nur, op.cit., hlm. 3.
7bid.
8Serambi Indonesia, tanggal 5 Desember 2006
9Serambi Indonesia, tanggal 7 Desember 2006.
10Serambi Indonesia, tanggal 4 Desember 2006
11Ahmad Arif. op.cit. hlm. 5.

No comments: