January 20, 2009

HIKAYAT PRANG SABI DI ACEH

Oleh: Agus Budi Wibowo

Pendahuluan
Hikayat sebagai salah satu cabang sastra di Aceh, perlu ditelusuri asal-usulnya, yaitu melalui proses Islamisasi dan pembentukan komunitas politik Islam pada saat terbentuknya Kerajaan Pasai abad ke-13 dan diikuti oleh Kesultanan Aceh dua abad kemudian. Kedua kerajaan merupakan bagian dunia Melayu yang mempunyai landasan kultural yang sama dengan Aceh, yaitu agama dan bahasa. Argumentasi ini didasarkan pada perkembangan tradisi narasi yang muncul dan berkembang di Melayu dalam bentuk prosa, menggunakan bahasa Melayu, dan bertuliskan aksara Arab (Arab Jawoe).
Hikayat yang muncul dan menonjol pada periode awal adalah Hikayat Pasai dan Hikayat Aceh. Namun, kapan waktu yang pasti tentang kedua hikayat tersebut muncul sampai saat ini belum ditemukan. Amin Sweeney misalnya memperkirakan keduanya muncul sekitar abad 14 sementara Winstedt memperkirakan sekitar abad 15. Bahkan nama pengarang kedua hikayat juga tidak diketahui. Berdasarkan sistem sosial yang ada pada masa tersebut, dapat dipastikan penulis hikayat adalah penulis yang mempunyai ilmu agama Islam yang tinggi dan si penulis mempunyai hubungan dekat dengan istana. Dan apabila ditinjau dari materi teks yang terdapat dalam hikayat tersebut lebih dari seorang. Hal ini karena dalam hikayat tersebut mempunyai tingkatan-tingkatan. Hal ini pula yang mengindikasikan bahwa penulisan hikayat berantai hingga mencapai titik akhir (penutup).
Hikayat dalam wujud seperti tersebut di atas hanya bertahan pada masa kesultanan mengalami kejayaan. Perkembangan selanjutnya, menunjukkan bahwa hikayat dalam masyarakat Aceh mengalami perubahan bentuk. Bentuk hikayat yang berkembang setelah itu dalam wujud puisi atau syair bahasa Aceh. Perubahan bentuk hikayat ini diduga berkaitan dengan meningkatnya jumlah penulis hikayat yang berlatar belakang penutur bahasa Aceh. Dalam penentuan judul awal kemunculan hikayat dalam bentuk baru sangat sulit dilakukan karena hikayat dalam bentuk baru tersebut dituturkan dari mulut ke mulut sehingga tidak diketahui penulisnya. Namun kajian terhadap teks dan materi isi, Hikayat Malem Diwa dapat dijadikan landasan sebagai hikayat tertua yang berbeda dari bentuk hikayat sebelumnya. Hal ini berdasarkan latar atau setting hikayat yang menggambarkan keadaan Pasai pada masa perpaduan kebudayaan Hindu dan kebudayaan Islam.
Islam telah menjadi sumber inspirasi bagi pujangga-pujangga hikayat lama dalam menggubah atau menyusun hikayat. Oleh karena itu, subjek cerita yang ditampilkan pada umumnya menyangkut hal-hal keagamaan dari kehidupan Muhammad SAW dan sahabatnya, nabi-nabi terdahulu, atau masa permulaan Islam. Seiring banyaknya persoalan kehidupan manusia, materi yang disajikan oleh penggubah hikayat bergeser kepada permasalahan yang menyangkut masalah-masalah umumnya, misalnya ekspedisi Iskandar Muda ke Semenanjung Malaka, perlawanan Raja Sulaiman terhadap pamannya Sultan Mansursyah pada pertengahan abad 19, atau peperangan melawan Belanda tahun 1873 – 1904.
Lirik hikayat berbentuk puisi berbeda dengan lirik pantun yang mempunyai sampiran. Namun syair hikayat mempunyai kaidah menyangkut kaidah intonasi dan persajakan. Hal ini bertujuan untuk memberikan efek estetik pada pendengarnya. Seperti dalam kutipan Hikayat Malem Dagang edisi HKJ Cowan berikut.
Tujoh blaih buleuen poteu di djho, leumah keu musoh bak panglima..
Leumah keu musoh bak Malem Dagang, panglima prang that peukasa.
Kapai jidong dum di laot, tihang seupot sang bak nala.
Kapai jidong dum meuranjo, bangon pulo di laot raya.
Awal abad 20 bermunculan di Aceh lembaga pendidikan modern. Kemunculan lembaga pendidikan modern tersebut menimbulkan lapisan sosial yang memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah. Selama menempuh pendidikan, para siswa memperoleh pelajaran bahasa Aceh dan juga ejaannya, sehingga muncul penulis-penulis generasi baru hikayat seperti Abdullah Arif, Ismail Muhammad, Arabi Ahmad, dan Ali Muhammad. Mereka ini pada umumnya telah menggunakan aksara latin dalam menulis hikayat. Namun hikayat-hikayat yang ditulis oleh mereka sebenarnya merupakan reproduksi dari hikayat-hikayat lama, seperti Hikayat Prang Sabi yang ditulis kembali oleh Abdullah Arif dan Anzib Lamyong, Hikayat Malem Diwa oleh Teungku Abdullah, dan Hikayat Hasan Husen oleh Syekh Rih Krueng Raya.
Dalam upaya penulisan kembali hikayat-hikayat lama, bermunculan juga hikayat-hikayat karya baru. Pada umumnya pokok cerita yang ditampilkan oleh penulis hikayat adalah peristiwa-peristiwa besar yang memberikan dampak terhadap kehidupan masyarakat Aceh seperti revolusi sosial tahun 1945-1946, dan juga masalah-masalah yang menyangkut masyarakat Aceh, baik yang bersifat nasional maupun internasional. Dengan perkembangan zaman dan era keterbukaan membuat para penulis hikayat memberikan nilai-nilai lama yang masih relevan dengan perkembangan zaman. Hal ini merupakan salah satu upaya guna menangkal pengaruh negatif dari nilai-nilai yang berasal dari luar nilai-nilai Islami yang menjadi ciri khas masyarakat Aceh.

Hikayat Prang Sabi
Pada bagian di atas telah disinggung tentang keberadaan Hikayat Prang Sabi dalam masyarakat Aceh. Hikayat Prang Sabi merupakan manifestasi dari perlawanan masyarakat Aceh terhadap kolonialisme Belanda di Aceh. seperti diketahui, imperialisme Belanda mulai menggelombang pad abad 17 dan makin meninggi pada abad 18 dan 19 di Nusantara. Di Aceh sendiri, Belanda menginjakkan kakinya di bumi Serambi Mekah pada bulan Juni 1873 melalui invasi pertamanya. Sebuah invasi yang harus dibayar mahal oleh pihak Belanda. Selain kehilangan banyak nyawa prajuritnya, mereka juga harus kehilangan seorang jenderalnya, Jenderal Kohler.
Ada beberapa pengarang yang menulis Hikayat Prang Sabi (selanjutnya disingkat HPS). Pada akhir abad 19 Hikayat Prang Sabi atau Hikayat Perang Sabil ditulis oleh penyair Teungku Chik Pantee Kulu dalam pelayaran pulang naik haji dari Jeddah ke Pulau Pinang. Ulama ini menyerahkan HPS kepada Teungku Chik di Tiro di Sigli. Ternyata kemudian HPS hidup dalam hati rakyat dan fasih di lidah mereka. Bahkan, jadi pembakar keberanian berjihad dalam Perang Sabil melawan Belanda lebih dari 30 tahun lamanya. Sukar dicari tandingannya dalam khasanah sastra dunia fenomena seperti terjadi pada HPS.
Menurut Teuku Ibrahim Alfian buah naskah mengenai perang sabil yang tertua kita jumpai di Perpustakaan Univerista Negeri Leiden, Belanda ditulis pada 11 Sya’ban 1122 H. Atau 5 Oktober 1710 tertulis dalam bahasa Aceh. Namun sayangnya nama pengarangnya tidak tertera di dalamnya. Hanya penggubah hikayat itu menyebutkan tidak tertera di dalamnya

Fungsi Hikayat Prang Sabi
Perang Aceh atau yang lebih tepat dengan nama Perang Kolonial Belanda di Aceh yang berlangsung puluhan tahun ini memperkuat tradisi penentangan yang keras terhadap kolonialisme barat, yang di Aceh dengan mudah dirumuskan kolonialis atau penjajah itu sebagai Kaphe atau kafir. Tradisi penentangan ini telah menyebabkan berkembangnya suatu sikap politik tertentu dalam masyarakat Aceh. Di samping itu juga mempengaruhi corak serta tempo perkembangan sosial di Aceh. Bagi orang Aceh perang melawan kolonialisme merupakan perang yang telah disakralkan/disucikan. Di bawah pimpinan para ulama perang bukanlah sekedar menyabung nyawa dalam membela negeri, tetapi juga sebagai tindakan yang mempunyai nilai spiritual yang tinggi. Di sini perang telah merambah ke dimensi agama. Hampir setiap peperangan/perlawanan yang dihadapi dimensi agama sangat menonjol. Ideologi perang suci atau perang sabil selalu dimunculkan. Mulai dalam perang dengan pihak Portugis, perang dengan kolonial Belanda sampai dalam perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia di Aceh. Dan di sini peranan kaum elite religius sangat menentukan.
Kepada para pejuang dibekali pengetahuan yang berhubungan dengan keyakinan bahwa mati di dalam medan pertempuran tidaklah berarti berakhirnya kehidupan, tetapi merupakan awal kehidupan yang semurninya dan seabadinya yang menjanjikan kebahagiaan tanpa henti atau surga. Sebab mati dalam perang melawan kafir adalah syahid di jalan Allah. Di bawah pimpinan para ulama idiologisasi perang dilakukan. Sesuai dengan kedudukannya, para ulama pertama kali melancarkan seruan jihad lewat khutbah-khutbah Jum’at dan tabliq-tabliq. Bahan-bahan khutbah tersebut kemudian diolah menjadi sebuah hikayat yang populer dengan sebutan Hikayat Perang Sabil. Hikayat ini merupakan salah satu bentuk sastra Aceh yang paling digemari dan dinikmati secara berkelompok dalam penyampaian secara lisan oleh seorang juru baca hikayat. Rupanya para ulama sadar betul akan daya gugah semangat perlawanan para pejuang melalui Hikayat Perang Sabil. Karena melalui sarana ini dianggap lebih efektif bila dibandingkan dengan khutbah-khutbah yang disampaikan pada setiap hari Jum’at. Hikayat yang digubah dalam berbagai versi ini dalam istilah Aceh dikenal dengan nama Hikayat Prang Sabi. Hikayat ini dibaca di Meunasah-Meunasah, dayah-dayah dan di tempat persembunyian para pejuang Aceh. Di samping juga di rumah-rumah atau secara berkelompok di tempat-tempat tertentu. Berikut ini dikutip beberapa model Hikayat Prang Sabi yang berisi tentang keutamaan perang di jalan Allah.
“Hanya perang sabil ibadah utama, tiada satu pun tandingannya
Firman Tuhan Rabbul Jalil. Hadis Nabi Saydil Anbia
Terbaik jalan kembali pada ilahi, hanya perang sabil, lainnya tiada”
Pada bagian di bawah ini dikutip pula beberapa baris syair dalam Hikayat Prang Sabi karya Teungku Syik Pante Kulu alih akasara Anzib 1964 halaman 17 sebagai berikut:
“Wahe teungku donya ka akhe, agama tan le soe peuduli
Bandum ulama narit tan le, keu prang kaphe han peuduli
Gadoh akai dum habeh klo, tan le hiroe buet prang sabi
Malengkan nyang na ngon izin po, Teungku Syik Tiro teeladan Nabi”
Artinya,
“Wahai teungku dunia telah lahir, agama tak ada yang peduli
Semua ulama tak lagi bicara, perang kafir tak lagi peduli
Hilang akal semua sudah tuli, tak lagi hiraukan perang sabil
Melainkan dengan izin Rabbi, Teungku Syik Tiro teladan Nabi”
Hikayat Prang Sabi yang digubah oleh para ulama ini, secara nyata memang mendapat sambutan dari masyarakatnya. Berkat kegiatan penyalinan, karya-karya tersebut dalam waktu yang tidak begitu lama segera tersebar ke seluruh tanah Aceh. Potongan-potongan kisah dari karya Teungku Chik Pante Kulu menjadi nyanyian (radat) di meunasah-meunasah. Untuk sekedar contoh di sini dikutip beberapa lirik nyanyian yang dimaksud yang diolah kembali dari karya Tgk. Chik Pante Kulu.
(1) Bidadari sebagai pengantin perang
Batee di pante pudoe ngon intan, lam krueng meukawan budiadari
Budiadari dum seudang-seudang, jiteubiet u blang jidong meuriti
Jimat ngon kipaih saboh sapoe, jipreh woe lakoe nibak prang sabi
(Tebing sungai berturap intan, ditepian bertabur bidadari
Bidadari remaja kembang, ke kancah perang datang menanti
Tangan menggenggam kipas surgawi, menanti suami di kancah sabil

(2) Enaknya Syahid di Medan Jihad
Nibak mate di rumoh inong, bahle bak keunong aneuk tan tangke
Nibak mate di ateuh tilam, bahle dalam blang cahid meugule
Mate dalam prang sibilillah, teungku meutuah cit mangat sabe
Tamse tajeb ie teungoh grah, meunan ulah manyoh bukonle

Daripada mati di rumah istri, baiklah ditembusi peluru kafir
Daripada mat di atas tilam, baiklah di padang syahid hampiri
Mati di kancah sabililillah, Teungku bertuah enak sekali
Tamsil harus disuguhi air, begitu rasanya nyaman sekali

Para ibu menina-bobokkan anaknya dengan memetik larik-larik hikayat perang tersebut atau mengubah lagu nina bobok itu dengan situasi aktual yang dihadapi saat itu. Hal ini sesuai dengan sifat puisi lisan yang dengan mudah dapat selalu disesuaikan dengan situasinya. Dinukilkan di sini beberapa lagu nina bobok dimaksud.
Alah hay do doda idi
Boh giri sikarang dua
Reujang reyek banta sidi
Jak prang sabi bila agama

(Mari kubuai kuayunkan
Jeruk Bali sekarang dua

Berperang sabil bela agama)

La Ilaha illallah
Bak meutuah bak mubahgia
Bagaihkeuh rayek muda seudang
Jipuga prang poh Beulanda

(La Illaha illallah
Semoga bertuah berbahagia
Cepatlah besar hai muda sedang
Kobarkan perang bunuh Belanda)

Jak kudodo doda idi
Anoe pasi reuyeuek timang
Reujang rayek Nyak puteh di
Jak prang sabijigantoe nang

(Mari kubuai kuayunkan
Pasir pantai mainan ombak
Lekas besar anakku laki-laki
Berperang sabil gantikan bapak)
Sebaliknya, pihak Belanda memandang HPS sebagai karya sastra subversif, karena itu menjadi karya yang dilarang menyimpan atau membacakannya. Begitu giatnya pihak Belanda membasmi naskah-naskah HPS yang mereka anggap berbahaya itu, sehingga setelah tahun 1924, HPS praktis hanya dibawakan secara lisan saja, sebab sebagian besar naskahnya sudah dirampas atau dibakar oleh penguasa Belanda.
Kiranya perlawanan gigih rakyat Aceh menghadapi invasi Belanda yang memakan waktu lebih setengah abad itu erat kaitannya dengan peranan para ulama dan fungsi HPS di dalamnya. Perang terpanjang yang pernah dihadapi Belanda ini, telah menelan ratusan juta florin dengan ribuan korban, dan di pihak Aceh telah merenggut korban mendekati 100 ribu jiwa, hampir 20% dari jumlah penduduknya menurut perhitungan tahun 1890.

Penutup
Perang Kolonial Belanda di Aceh berlangsung cukup lama dan memakan biaya yang tidak sedikit. Dapat dikatakan pihak Belanda kewalahan menghadapinya. Tentunya, banyak faktor yang menyebabkan kegigihan dan keteguhan pihak rakyat Aceh untuk tetap bertempur melawan Belanda. Salah satu pendorong kekuatan dan keteguhan masyarakat Aceh adalah nilai-nilai yang diajarkan oleh agama Islam, yang dianut oleh rakyat Aceh.
Nilai-nilai ajaran Islam ini kemudian dituturkan dalam bentuk tradisi lisan, yaitu berupa hikayat. Hikayat ini dituturkan kepada semua pejuang sebagai pembakar semangat mereka. Bagi mereka yang mendengar timbul rasa keberanian yang cukup tinggi. Apalagi bagi mereka yang mati di dalam pertempuran akan mendapat pahala sebagai mati syahid dengan imbalan surga di akhirat kelak.

Daftar Pustaka
M. Adnan Hanafiah, “Semangat Kepahlawanan dalam Karya Sastra Aceh”, dalam LK. Ara, Taufiq Ismail dan Hasyim KS (eds) Seulawah Antologi Sastra Aceh Sekilah Pintas, (Jakarta: Yayasan Nusantara bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Khusus Istimewa Aceh, 1995).
H.T. Damste. ”Hikajat Prang Sabi”, BKI 84. (’s-Gravenhage, 1928).
Paul Van’t Veer, Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje. (Jakarta: Grafiti Pers, 1985).



*Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Jeumala No. 20/2006 Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

No comments: