January 21, 2009

Pasar dalam Perspektif Budaya Aceh

Oleh: Agus Budi Wibowo

Sejak zaman dahulu pasar telah terbentuk. Ia terbentuk sebagai bagian dari usaha manusia memenuhi kebutuhannya. Manusia sebagai makhluk sosial mempunyai kebutuhan agar tetap bisa survive. Kebutuhan itu mencakup kebutuhan primer dan sekunder. Kelebihan produksi setelah kebutuhan terpenuhi memerlukan tempat penyaluran untuk dijual. Pasar adalah tempat penyaluran barang tersebut. Pemenuhan kebutahan barang-barang memerlukan tempat yang praktis untuk mendapatkan barang, baik dengan cara menukar maupun membeli. Adanya kebutuhan dan kelebihan inilah yang mendorong timbulnya arena perdagangan (pasar) yang merupakan tempat terjadinya tukar-menukar barang dan jasa.
Selain itu, pasar juga dapat dilihat sebagai suatu sistem yang merupakan satu kesatuan dari komponen-komponen yang merupakan satu kesatuan yang memiliki fungsi untuk mendukung fungsi utama secara keseluruhan. Dengan demikian, sistem pasar tampak sebagai satu kesatuan yang koheren sehingga terjadi saling ketergantungan di antara masing-masing komponen/ unsurnya (produksi, distribusi, tranportasi, transaksi, dan lain sebagainya).
Pada prinsipnya pasar merupakan tempat dimana para penjual dan pembeli bertemu. Apabila pasar telah terselenggara (dalam arti bahwa penjual dan pembeli sudah bertemu serta barang-barang kebutuhan telah terdistribusikan, maka peran pasar akan tampak bukan hanya sebagai suatu kegiatan ekonomi, tetapi juga sebagai pusat kegiatan sosial budaya.
Pasar dapat dilambangkan sebagai “pintu gerbang” yang menghubungkan suatu kelompok masyarakat dengan kebudayaan tertentu dengan kelompok masyarakat lain dengan kebudayaan yang berbeda-beda. Di kota-kota besar yang komposisi penduduknya cenderung heterogen, pasar merupakan arena interaksi yang menunjukkan ciri heterogenitas tersebut. Tanpa disadari di situ telah terjadi kontak budaya di antara beragam kelompok masyarakat dengan latar belakang budaya yang berbeda. Besar kemungkinan kontak budaya tersebut membawa perubahan-perubahan budaya serta perubahan nilai yang terkandung di dalamnya.
Ada dua bentuk pasar yang kita kenal yaitu pasar tradisional dan pasar modern. Masing-masing memiliki ciri tersendiri bahkan cenderung sangat kontradiktif. Kondisi fisik bangunan pasar tradisional adalah sederhana, terkadang tidak permanen dan lingkungannya kurang nyaman (becek, kotor bau, sumpek, dan tidak aman). Berbeda dengan pusat perbelanjaan modern yang berupa bangunan megah dan permanen dengan berbagai sarana serta fasilitas penunjang yang memadai untuk memberi kenyamanan, keleluasaan, serta keamanan bagi pembeli. Pasar modern atau yang lebih dikenal dengan hipermarket dapat berupa mall, plaza, pasar swalayan atau pusat perdagangan.
Konsep Pasar Pada Masyarakat Aceh
Seperti juga masyarakat lain di Indonesia, masyarakat Aceh juga mengenal apa yang disebut dengan pasar. Pasar merupakan tempat terjadinya transaksi ekonomi. Selain itu, pasar juga merupakan tempat terjadinya kontak sosial budaya di kalangan masyarakat. Di Aceh terdapat dua jenis pasar, yaitu pasar harian biasa dan pasar mingguan. Yang disebut pertama adalah suatu bentuk pasar yang kegiatannya terjadi setiap hari dan terdapat dimana-mana. Sedangkan pasar mingguan merupakan suatu bentuk pasar yang kegiatan-kegiatannya terjadi sekali atau lebih dalam seminggu pada tempat dan waktu yang sudah tertentu.
Di Aceh Besar pasar mingguan ini dikenal dengan sebutan uroe gantoe (di tempat lain seperti di Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Utara misalnya pasar mingguan ini disebut dengan sebutan peukan). Biasanya ini terdapat di ibukota kecamatan, akan tetapi kadang-kadang diketemukan juga di tempat-tempat lain. Uroe gantoe mempunyai bentuk, tata cara, norma-norma, dan sistem yang tertentu, yang berbeda dengan jenis pasar harian biasa lainnya. Berbagai peran terdapat di dalamnya, mulai dari peranan administrasi sampai kepada peranan-peranan setiap mereka yang turut mengambil bahagian di dalamnya.
Oleh karena sifat-sifat khas yang dimilikinya itu pasar mingguan tumbuh dan berkembang mempunyai berbagai fungsi. Di samping fungsi ekonomi, ia juga mempunyai beberapa fungsi sosial lainnya, seperti fungsi pertukaran informasi, fungsi rekreasi, fungsi pemerintahan, fungsi pertemuan sosial, dan lain-lain.


Sejarah dan Bentuk Uroe Gantoe
Terbatasnya sarana pasar dalam arti yang sempurna pada tingkat pedesaan, yang mampu menyerap dan menyediakan segala yang dihasilkan dan yang dibutuhkan masyarakat (petani), akan menimbulkan berbagai efek sosial ekonomi. Masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, apakah kebutuhan jasmani atau rohani, ternyata selalu mempunyai kesukaran-kesukaran, terutama di dalam menentukan skala prioritasnya. Waktu untuk kegiatan-kegiatan ibadah (sembahyang Jum’at), mulai digunakan untuk tujuan-tujuan lain. Pada waktu yang sama, sebagian besar masyarakat yang datang dari berbagai pelosok, untuk menunaikan shalat Jumat, ternyata telah menyempatkan dirinya berbelanja atau berdagang.
Pada mulanya hal ini berjalan biasa saja. Akan tetapi lama kelamaan makin terasa adanya semacam kesimpang-siuran antara tugas-tugas tersebut. Lebih parah lagi, mulai dirasakan bahwa kepentingan ibadah (sembahyang) dinomor-duakan di bawah urusan-urusan dagang. Melihat gejala yang tumbuh ini, maka pemimpin-pemimpin agama serta penguasa pada waktu itu mulai memikirkan untuk mencari jalan keluar. Demikianlah pada akhirnya, controleur uleebalang, merasa perlu untuk menetapkan suatu hari khusus untuk dipakai buat kegiatan-kegiatan yang bersifat ekonomi atau dagang.
Bentuk uroe gantoe yang terdapat di Aceh Besar, pada umumnya ada dua macam, yaitu gantoe rayeuk (pasar mingguan utama) dan gantoe cut (pasar minggguan kecil atau lokal). Gantoe rayeuk diadakan sekali dalam seminggu, dimana yang turut ambil bahagian yang tidak hanya pedagang-pedagang lokal yang menetap, tapi juga sejumlah pedagang yang berdatangan dari luar. Sedangkan gantoe cut, hanya diramaikan pedagang-pedagang lokal dan pedagang menetap. Perbedaan lain terletak pada segi barang-barang yang diperdagangkan. Pada yang disebut pertama, volume dan variasi barang-barang jauh lebih banyak dibandingkan dengan gantoe cut, yang hanya terbatas pada barang-barang produksi lokal saja. Bentuk uroe gantoe di sini, dalam beberapa hal ada perbedaannya dengan di Estancia, Filipina, atau yang ada di Pulau Jawa.

Anatomi Pasar di Aceh
Pada umumnya, bangunan pasar di Aceh terdiri dari dua macam. Pertama, berbentuk bangunan permanen yang berupa toko-toko, kedai atau warung-warung. Kedua, bangunan dalam bentuk halaman atau lapangan di sekitar bangunan permanen tadi. Pedagang yang menempati bangunan tipe pertama biasanya pedagang tetap. Mereka berjualan setiap hari.
Ketika uroe ganto, selain pedagang tetap terdapat pula pedagang musiman, yang berjualan hanya pada hari uroe gantoe. Biasanya, mereka menempati halaman atau lapangan. Mereka yang mengambil tempat di halaman atau lapangan membangun tempat-tempat itu secara darurat, beratap kain, plastik atau seng sekedar penahan teriknya matahari atau air curah hujan. Tempat-tempat tersebut berukuran 2 x 2 meter. Untuk barang-barang milik pedagang, ada yang menempatkannya di atas meja dan banyak pula yang menaruhnya di atas tanah beralaskan tikar atau plastik. Bangunan tersebut dibongkar ketika uroe gantoe berakhir.
Suatu hal yang menarik, walaupun mereka bukan pedagang tetap, tetapi tidak pernah terjadi keributan mengenai lokasi tempat berjualan. Mereka akan menempati lahan-lahan yang kosong. Sepertinya, ada aturan atau norma-norma yang tidak tertulis mengenai masalah ini. Aturan atau norma-norma tersebut diatasi oleh semua komunitas yang ada di pasar.
Para pedagang yang turut mengambil bagian pada kegiatan pasar di Aceh dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu pedagang-pedagang lokal yang menetap (ditandai dengan warung/toko yang ditempati), pedagang-pedagang lokal (setempat) yang datang secara insidentil, dan pedagang-pedagang yang datang dari luar. Baik pendatang lokal dan pedagang pendatang tidak terkena batasan atau aturan tertentu. Mereka bersama barangnya bebas memasuki pasar dan berjualan di sana. Hanya saja, mereka tidak diperbolehkan berjualan barang yang dilarang seperti ganja, candu, dan sebagainya.
Selain pedagang pada setiap kegiatan pasar dijumpai pula sejumlah muge (perantara). Seperti juga pedagang, mereka ada yang berasal dari daerah yang bersangkutan dan tidak sedikit pula yang berasal dari luar daerah setempat. Muge-muge lokal umumnya bergerak dalam bidang barang-barang yang dihasilkan penduduk setempat, seperti buah-buahan, sayur-sayuran, dan sebagainya. Sedangkan muge luar, lebih banyak bergerak di dalam jual-beli ternak (hewan) atau muge ikan.
Pada saat uroe gantoe kondisi pasar di Aceh tampak lebih ramai. Selain barang-barang kebutuhan sehari-hari mulai dari sayuran, rempah-rempah beras, buah-buahan, cabai, minyak tanah, garam sampai dengan pecah belah, obat-obatan, dan bahan pakaian. Selain itu, pasar hewan juga dilaksanakan hanya pada hari uroe gantoe. Para penjual barang-barang ini biasanya pria, sedangkan para wanita menjual sayur-mayur, kue, rempah-rempah.

Penutup
Setiap manusia memiliki keterbatasan. Ia tidak mampu memenuhi setiap kebutuhan hidupnya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah berinteraksi antar manusia. Pasar terbentuk dari keterbatasan manusia dalam memenuhi semua kebutuhan hidup. Pasar merupakan salah satu upaya manusia berinteraksi antar manusia dalam aspek ekonomi. Namun dalam perkembangannya, pasar juga merupakan tempat interaksi manusia secara sosial dan budaya. Hal ini tampak pada pasar yang ada di Banda Aceh.
Tantangan ke depan adalah bagaimana memberdayakan pasar yang di Aceh untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Di masa yang akan datang, pasar-pasar tradisional di daerah ini akan mengalami persaingan yang cukup ketat apabila daerah ini membuka diri terhadap pasar-pasar modern, seperti yang dialami beberapa daerah di Indonesia. Perlu dipikirkan bagaimana mempertahankan pasar tradisional, tetapi tetap membuka diri terhadap masuknya pasar modern dalam rangka mempercepat pembangunan di Aceh.

Daftar Bacaan
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Prov. NAD. 2005.Statitik Industri dan Perdagangan Prov. NAD tahun. Banda Aceh: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Prov. NAD.
Karimuddin Hasybullah. 1977. “Uroe Gantoe (Pasar Mingguan) di Aceh Besar”. Dalam Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh. Alfian (ed). Jakarta: LP3ES
Mari Elka Pangestu. Tt. Pemberdayaan Pasar Tradisional (dalam rangka Peningkatan Daya Saing Pasar Tradisional) Untuk mewujudkan Pasar Tradisional sebagai Pasar yang Bersih, Aman, dan Nyaman. Jakarta: Departemen Perdagangan.

No comments: