January 22, 2009

Makna Busana Bagi Remaja Putri di Aceh

Oleh: Agus Budi Wibowo

Pendahuluan
Pada awal tanggal 15 Maret 2002/ 1 Muharam 1423 H, Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Ir. Abdullah Puteh secara resmi mencanangkan pemberlakuan pelaksanaan syariat Islam di daerah ini. Semua berharap, setelah pencanangan pemberlakuan syariat Islam itu, masyarakat Aceh akan melihat Islam dilaksanakan secara kaffah. Namun, apa yang diharapkan belum terlaksana dengan baik. Misalnya, apabila kita perhatikan di beberapa kota di daerah ini, pemakaian busana muslimah secara kaffah belum dijalankan. Masih ada sebagian anggota masyarakat masih seenaknya saja dalam berbusana. Hasil penelitian Agus Budi Wibowo di Banda Aceh tahun 2000 dan di Sabang tahun 2001tentang aspek busana yang dikenakan di kalangan remaja wanita menunjukkan bahwa masih ada remaja putri muslim yang belum berbusana muslimah secara kaffah. Amatan para pembaca yang dimuat di harian umum Serambi Indonesia juga tidak jauh berbeda. Malahan, mereka menggugat para remaja untuk memakai busana muslimah secara kaffah seiring dengan pemberlakuan pelaksananaan syariat Islam.
Padahal kalau kita amati masuknya Islam ke Aceh pada abad ketujuh atau kedelapan Masehi banyak sekali mempengaruhi adat-istiadat Aceh Bahkan pengaruh Islam itu sangat besar, sehingga ada pepatah yang menyebutkan hukom ngon adat lagee zat ngon sipheuet (hukum (syariat/hukum Islam dengan adat bagaikan benda dengan sifatnya). Selain itu, masyarakat Aceh diakui sangat religius. Ajaran agama Islam merasuk ke dalam sosio kultural dan adat-istiadat masyarakatnya. Bagi masyarakat di daerah ini segala sikap dan pandangannya dan segala macam bentuk benar-salah, bagus-jelek, baik-buruk dan segala macam bentuk penilaian selalu dikaitkan dengan ajaran agama Islam (M. Hakim Nyka Pha, 2000). Dengan demikian, kita dapat mempertanyakan gejala apa yang tengah terjadi di dalam masyarakat sehingga, pemberlakuan tidak serta merta merubah wajah daerah ini menjadi daerah yang dipenuhi lautan para gadis dengan jilbab yang benar-benar bernuansa Islami. Tulisan ini berusaha menjawab permasalahan yang terjadi di dalam kalangan remaja dengan melihat makna pakaian bagi mereka. Melalui pendekatan makna dalam melihat suatu masalah sangatlah penting karena hal ini akan menggiring kita kepada pemahaman tentang suatu hal seperti yang dikehendaki oleh seseorang atau sekelompok masyarakat. Hal ini berarti juga mendekatkan kita pada pembahasan tentang aspek nilai-nilai budaya bagi seseorang atau sekelompok masyarakat. Agar masalah yang dibahas dapat dipertanggungjawabkan aspek ilmiahnya, maka penulis menggunakan metode pemahaman yang sering dipakai sebagai pisau analisis dalam melihat perilaku manusia.

Pendekatan Pemahaman melalui Hermeneutik
Secara etimologi, hermeneutik berasal dari bahasa Yunani. Sebagai kata benda, kata hermeneutik menjadi hermeneurin dan sebagai kata kerja menjadi hermeneneria. Baik sebagai kata benda maupun sebagai kata kerja hermeneutik mempunyai kemungkinan tiga arti, yaitu ekspresi dan mengekspresikan, uraian dan menguraikan, serta terjemahan dan menerjemahkan. Secara umum pasangan dari kata benda dan kata kerja dari hermeneutik dapat diartikan sebagai tafsiran dan menafsirkan, atau interpretasi dan menginterpretasikan. Karena itu seorang ahli filsafat seperti Chladenius (1986) secara umum menyebut interpretasi untuk mengganti istilah Yunani, hermeneutik itu. Ninuk P. Kleden membedakan kedua istilah tersebut. Istilah hermeneutik digunakan dalam arti disiplin (ilmu) dan istilah interpretasi digunakan untuk menunjukkan proses (baca: proses berpikir) (Ninuk P. Kleden, 1999).
Kalau kita kembali pada ketiga kemungkinan referensi yang ditunjuk oleh etimologi tersebut tentu ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan yaitu apakah yang diekspresikan, apakah yang diuraikan dan apakah yang diterjemahkan di dalam pendekatan pemahaman melalui hermeneutik ? Pertanyaan pertama dapat dijawab dengan menggunakan contok dari penelitian bahasa. Melalui bahasalah orang mengekspresikan pikiran dan perasaannya.
Kemudian, pertanyaan kedua, apakah yang diuraikan di dalam hermeneutik itu ? Dalam arti pertama, yang diekspresikan adalah pikiran dan perasaan manusia; dan dalam arti kedua adalah pikiran dan perasaan manusia yang diuraikan. Uraian semacam ini sangat diperlukan. Melalui uraian –dalam contoh bahasa- ingin dicapai kebenaran makna bahasa semaksimal mungkin.
Selanjutnya apakah yang diterjemahkan oleh hermeneutik ? Tentu tidak jauh dari pikiran dan perasaan itu pula. Kata terjemahan itu sendiri mengingatkan kita pada pemindahan pesan dan pemindahan pikiran, baik yang dilakukan dari satu bahasa ke bahasa yang lain maupun pemindahan yang terjadi dalam satu bahasa oleh orang-orang yang berbeda. Bentuk terjemahan yang disebutkan terakhir ini ke bentuk yang diwujudkan dalam suatu bahasa tertentu dan pemindahan pikiran sebagaimana layaknya orang berbahasa. Apabila seorang berbicara kata-kata, kalimat dan makna pembicaraannya ditangkap oleh pendengarnya yang akan menginterpretasikan apa yang dikatakan tersebut.
Uraian di atas memperlihatkan ada tiga konsep kunci yang harus dikuasai oleh mereka yang bekerja dengan pendekatan pemahaman dalam artian hermeneutik. Ketiganya adalah pengalaman, ekspresi dan terjemahan. Pengalaman adalah dasar-dasar pemahaman, ekspresi diasumsikan sebagai perwujudan pikiran dan terjemahan adalah pengalihan wacana.

Makna Pakaian
Pada bagian ini penulis akan membahas tentang makna pakaian bagi remaja melalui pendalaman tentang persepsi mereka terhadap busana tersebut. Melalui persepsi ini akan dicoba dicari makna pakaian di kalangan remaja sehingga ide dasar tentang pakaian dapat diketahui. Dalam kaitannya proses pemaknaan pakaian bagi renaja, maka ada tiga makna pakaian dalam persepsi remaja terhadap busana muslimah. Ketiga makna itu adalah pakaian sebagai penutup aurat, pakaian sebagai salah satu wujud pelaksanaan ajaran agama dan pakaian sebagai wujud identitas. Malinowski menyatakan bahwa kebiasaan yang melembaga dan kepercayaan bersifat fungsional bagi kebudayaan secara menyeluruh (Robert K. Merton, 1989). Yang perlu dicatat bahwa ketiga makna itu saling berkaitan satu sama lainnya.

a. Pakaian sebagai busana penutup aurat
Berbeda dengan makhluk lain, manusia mempunyai kebutuhan psikis. Salah satu kebutuhan psikis itu adalah rasa malu. Malu merupakan persoalan kejiwaan yang dialami oleh semua manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota masyarakat. Malu ini terkait dengan berbagai aspek, baik menyangkut masalah sosial, budaya, dan lain-lain.
Salah satu wujud malu pada manusia itu adalah menutup bagian tubuh yang vital sehingga tidak tampak oleh orang lain. Oleh karena itu, agar tidak malu, maka manusia melakukan berbagai usaha. Dengan perasan malu kita masuk ke dalam harga diri terhadap pikiran-pikiran orang lain. Malu adalah kesadaran kehilangan harga diri sebagai akibat ketidak berharganya kita di mata orang lain. Kalau yang mengetahui itu bukan orang lain, tetapi diri sendiri, malu dekat sekali sifatnya dengan perasaan bersalah (S. Takdi Alisyahbana, tt). Dengan demikian, apabila suatu saat bagian tubuh vital kita diketahui, maka kita akan mendapatkan rasa malu.
Pada konteks budaya Aceh, rasa malu ini terkait sekali dengan ajaran agama Islam, yang menjadi panutan masyarakat Aceh. Pada level normative, konsep “kesucian” adalah konsep yang amat penting dalam ajaran Islam. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri” (Al Qur’an, 2: 222). Demikian juga Rasulullah bersabda, “kebersihan itu adalah sebahagian dari iman”. Kesucian dalam terminologi Islam sering disebut dalam istilah thaharah. Menurut Houtsa (1987) arti dari thaharah bukan saja kesucian, namun ia juga bermakna tata cara bersuci (Aslam Nur, 1996). Menurut Rahmah (1980) di samping itu, kata “thaharah juga mencakup makna kesucian jiwa dan raga. Para ahli teologi Islam telah membagi kondisi suci ke dalam kategorisasi yaitu penyucian phisik dari debu, anggota badan dari segala sesuatu yang kotor, penyucian hati manusia dari nafsu syaithaniyah, dan penyucian jiwa dari segala spirit menyekutukan Allah.
Adapun cara yang terbaik untuk melihat kesucian ini dalam masyarakat Aceh dapat dilihat dari konsep kosmologi masyarakat Aceh. Dalam masyarakat Aceh, alam dibagi menjadi dua bagian, yaitu alam lahe (alam luar) dan alam baten (alam bathin). Alam lahe adalah dunia yang dapat dilihat dirasa dan diketahui dengan menggunakan panca indera manusia. Sementara alam baten bersifat alam yang tidak dapat dilihat, tersembunyi dan tidak diketahui semata-mata menggunakan panca indera. Oleh karena itu, untuk melihat fenomena tentang cara berpakaian ini dapat dilihat pula dengan konsep seperti tersebut di atas.
Pada masyarakat Aceh, berpakaian adalah merupakan salah satu wujud pelaksanaan konsep kesucian dalam alam lahe dan alam baten. Dalam alam lahe, pakaian digunakan untuk menutupi bagian tubuh yang menyebabkan rasa malu, sedangkan dalam alam baten pakaian dipergunakan dengan menunjukkan niat baik.
Menurut Abidin Hasyim et al. (1997) ada beberapa hal yang dapat menyebabkan rasa malu di kalangan orang Aceh, yaitu seorang ibu akan malu jika anaknya berpakaian kurang pantas, seorang ayah malu jika anak gadisnya berpakaian tidak sopan berjalan di depan. Oleh karena itu, pakaian yang sopan dan menutup aurat adalah sebuah kewajiban bagi anak-anak Aceh karena hubungan antar keluarga dapat menyebabkan seksphobia dan kadang-kadang berkonotasi seksual. Dengan demikian, keserasian dalam keluarga dicapai melalui sikap menghindar, membatasi pergaulan (Abidin Hasyim dkk, 1997). Misalnya, setelah Sunat Rasul, anak laki-laki harus selalu memakai celana untuk menutup kemaluannya (sebelumnya, mereka masih sering bermain dengan telanjang). Selain itu, anak laki-laki sudah amat jarang bermain dengan anak wanita. Dalam kaitan ini, masyarakat Aceh pada dasarnya sudah mempunyai aturan-aturan tentang tata cara berpakaian (M. Hoesin, 1970). Untuk itu, mereka mempunyai istilah geu takot keu angkatan, geumalee keu pakajan, artinya takut pada angkatan dan segan pada pakaian.

b. Pakaian sebagai pemenuhan salah satu kewajiban agama
Dalam antropologi terhadap studi agama, agama selalu dipahami sebagai sesuatu yang mempunyai dua elemen utama, yaitu kepercayaan (believe) dan tindakan agama (ritual) (Tylor, 1979; Parson, 1979). Menurut Bell (1992) hubungan kedua elemen tersebut dapat dipahami dalam pemahaman bahwa kepercayaan adalah concept sementara ritual merupakan action. Kepercayaan sebagai konsep akan menggerakkan aktivitas dan aktivitas itu sendiri adalah ritual (Aslam Nur, 1996: 71). Kepercayaan jika ditransilasikan dalam konsep Islam adalah Aqidah sementara terminologi ritual adalah ibadah.
Ibadah dalam konsep Islam dibagi ke dalam dua klasifikasi, yaitu ibadah khasanah (ibadah khusus) dan ibadah ammah (ibadah umum). Pada bagian yang disebut pertama mencakup seluruh ibadah wajib yang harus dilaksanakan setiap muslim, khususnya kewajiban agama yang termasuk di dalam rukun Islam. Sementara yang terakhir (ibadah ammah) adalah seluruh aktivitas yang dilakukan oleh pribadi muslim dengan berlandaskan niat mencari keridhaan Allah (Mahayuddin, 1986). Dalam ucapan bahasa Aceh, ibadah khasanah sering disebut dalam ungkapan ibadah wajeb. Sebaliknya, ketika orang Aceh menyebut ibadah ammah, mereka menyebutnya dalam sebutan amai. Kata amai berasal dari bahasa Arab, yaitu amal yang bermakna perbuatan atau pekerjaan. Walaupun demikian, kata amai dalam bahasa Aceh hanya perbuatan-perbuatan yang berkonotasi dalam konteks mencari keridhaan Allah semata. Busana muslimah adalah busana yang memang diwajibkan dikenakan kepada seluruh muslimah. Busana muslimah adalah busana yang menutup aurat. Dengan demikian, busana muslimah yang dikenakan oleh remaja harus sesuai dengan tata aturan yang ada dalam ajaran Islam. Apabila seorang perempuan tidak berbusana seperti yang ditentukan, maka mereka berdosa.
Adanya keyakinan bahwa apabila seorang perempuan tidak berbusana muslimah akan berdosa mendorong kaum perempuan untuk mengenakan busana muslimah. Apalagi bagi mereka yang berbusana muslimah juga akan mengurangi efek negatif lainnya.
Menurut Buitelaar (1999), dalam ajaran Islam, pahala disebutkan dengan kata ajr, yang bermakna balasan dari seluruh pekerjaan baik atau juga bermakna simpanan untuk mendapatkan surga. Dasar tentang konsep pahala dalam Islam dapat dilihat dalam Al Qur’an
“Barang siapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barang siapa membawa perbuatan yang jahat, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahataanya, sedangkan mereka sedikitkun tidak dianiya (dirugikan)” (surah 6:160)

c. Pakaian sebagai salah satu wujud eksistensi diri
Sebagai makhluk hidup, manusia mempunyai beberapa kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Salah satu kebutuhan pokok itu adalah sandang (pakaian). Pakaian ini dipergunakan untuk kebutuhan dasar manusia (basic need), yaitu melindungi anggota tubuh manusia (aurat) dari terik matahari atau keganasan alam.
Walaun demikian, karena sifat manusia yang tidak pernah puas, pakaian tidak hanya sekedar sebagai pemenuhan kebutuhan pokok saja. Maslow mengatakan bahwa manusia mempunyai beberapa kebutuhan selain kebutuhan dasar. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pakaian yang dikenakan tidak hanya menutupi aurat, tetapi juga harus menampilkan citra diri/harga, klas sosial, dan sebagainya. Dengan kata lain, pakaian harus dapat menunjukkan eksistensi seseorang.
Untuk mencapai hal itu, pakaian yang dikenakan oleh manusia tidak sekedar kain yang dibalutkan/dikenakan di tubuh saja. Pakaian dibuat sedemikian rupa sehingga tampak rapi, indah, dan berkelas. Selain itu, agar tampak lebih indah, pakaian dilengkapi pula dengan berbagai aksesoris. Misalnya, di kalangan wanita, selain pakaian yang dikenakan mereka juga memakai berbagai aksesoris untuk menunjang penampilannya, seperti bross, sepatu, stocking dan lain-lain.
Selain untuk menampilkan citra diri secara individu, pakaian juga dapat menampilkan sebuah kelompok atau komunitas. Dalam kajian sosiologis, pakaian dan aksesoris seseorang mencerminkan siapa orang itu. Bahkan apa yang kita kenakan mengkomunikasikan diri kita lebih segera dan lebih kuat efeknya dibandingkan yang dapat dilakukan melalui komunikasi verbal (Kompas, 2000: 17). Ketika kita jalan di mall, misalnya, dengan segera kita akan mengenal pramuniaga dari seragam, sepatu, stocking, rias wajah, dan rambut yang mereka kenakan tanpa kita perlu bertanya kepadanya apa pekerjaannya.
Oleh karena itu, pakaian dan aksesoris menjadi sebuah cara untuk menunjukkan sebuah kelompok mana seseorang mengidentifikasikan dirinya. Misalnya, jas dan dasi adalah pakaian kelompok pekerja “krah putih”. Sementara itu, perempuan pedagang di Pasar Klewer Solo Jawa Tengah dari generasi yang lebih tua rata-rata berkain kebaya. Hal yang sama, celana jeans dan kaos/pakaian ketat adalah pakaian anak-anak remaja.
Mengacu pada hal tersebut, tidak mengherankan para remaja mengenakan pakaian sesuai dengan indentitas keremajaannya. Mereka tidak ingin menghilangkan jati diri mereka sebagai remaja. Tidak mengherankan, apabila remaja di Kota Sabang menampilkan pakaian yang dikenakan dengan menunjukkan kegairahan remajanya.

Remaja dan Gaya Busana
Martabat Aceh atau nilai keacehan ditentukan oleh perilaku budaya orang Aceh. Perilaku budaya ini tertuang dalam pemahaman dan sikap beragama, berbahasa, adat istiadat, hukum, akhlak, kesenian, cara beribadat dan sebagainya dari masyarakat Aceh itu sendiri. Sejauh mana perilaku budaya itu masih berjalan di atas kondisi normal atau wajar, bukan yang diamalkan secara terpaksa.
Kalau kita amati perilaku budaya Aceh itu nampaknya telah terjadi erosi. Hal itu disebabkan oleh dua faktor, pertama pengaruh dari luar, yaitu sikap budaya Aceh telah bergeser karena adanya tekanan dari luar Aceh yang melanda Aceh karena globalisasi yang tidak dapat dielakkan. Hal ini tampak dari model pakaian yang dipakai, kendaraan yang dinaiki, perlengkapan rumah yang dimiliki sebagai produk global yang melanda dunia. Celana pantelon, jins, sepeda motor, kompor gas, kulkas adalah salah satu wujud realitas dari perkembangan zaman. Kedua, pengaruh dari dalam masyarakat Aceh itu sendiri. Pengaruh dari dalam dapat terjadi ketika orang Aceh sendiri telah melunturkan nilai-nilai keacehannya yang disebabkan oleh mental orang Aceh yang tidak setia kepada budayanya. Akibat adanya kedua kekuatan yang mempengaruhi kondisi kekinian dari budaya Aceh tersebut adalah melemahnya ikatan-ikatan tradisional seperti berubahnya hubungan antargenerasi dan perkawinan sehingga kultur kehilangan kontrol terhadap pembentukan suatu tipe sistem sosial (Irwan Abdullah, 1999). Otoritas tradisi dalam hal ini mulai melemah yang digantikan dengan rasionalitas yang kemudian menjadi pegangan dalam setiap pengambilan keputusan. Orang tua (akibat perubahan hubungan antargenerasi) atau pemimpin mulai kehilangan otoritas tradisional dalam berhubungan dengan masyarakat sehingga kontrol hanya dilakukan dengan instrumen kekuasaan modern yang lebih kompetitif dan berdasarkan negosiasi.
Hal-hal seperti tersebut di atas sedang dihadapi pula oleh remaja putri di Aceh. Realitas remaja putri kekinian yang tampak adalah mereka lebih “bebas” dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Menurut Abidin Hasyim dkk, di kalangan orang-orang berpendidikan terutama yang hidup di kota telah terjadi pergeseran budaya malu. Bagi golongan ini keserasian hubungan keluarga tidak dicapai melalui sikap menghindar, membatasi pergaulan dan sebagainyaKeserasian menurut mereka dapat diperoleh melalui hubungan yang normal, rasional, dan saling menghormati. Bagi mereka yang telah terbiasa dengan pergaulan kota tidak menimbulkan seks phobia terhadap hubungan, misalnya hubungan antara menantu laki-laki dengan ibu mertua. Mereka tidak memandang hubungan itu dengan konotasi seksual. Hubungan dapat berlangsung wajar, rasional dan saling menghargai. Keserasian hubungan keluarga dapat ditegakkan atas dasar nilai-nilai baru yang lebih rasional. Dengan demikian, para orang tua dapat “menerima” apabila melihat putrinya tidak berpakaian muslimah secara kaffah.
Realitas kekinian remaja putri tidak terlepas pula dari sikap dan persepsi mereka sendiri terhadap gaya busana muslimah serta industrialisasi dan globalisasi yang melanda dunia. Konsep cantik bagi wanita sekarang amat berbeda dengan konsep cantik yang dimiliki oleh generasi sebelumnya. Konsep cantik di kalangan remaja tidak hanya dipengaruhi budaya lokal, tetapi turut pula dipengaruhi budaya luar. Kedua aspek yang disebutkan itu akan menjadi referensi remaja dalam berbusana. Mereka lebih berani, cuek, dan lebih bersemangat bebas dibandingkan generasi di atas mereka. Dengan demikian, gaya busana mereka lebih memilih baju-baju kasual untuk kegiatan sehari-hari mereka. Agus Budi Wibowo (2001) mengidentifikasi ada empat gaya busana muslimah di kalangan remaja putri dari hasil penelitian di Kota Sabang, yaitu gaya busana ke sekolah, gaya busana ke tempat umum, dan gaya busana ke tempat ibadah serta gaya busana pesta. Adapun model yang mereka kenakan ada beberapa jenis, seperti celana ketat/jins, baju biasa/ketat, dengan atau tanpa jilbab.
Remaja putri di Aceh berusaha menampilkan gaya busana yang tidak ketinggalan zaman, namun mereka juga tidak ingin dikatakan melupakan akarnya (pakai jilbab). Sehingga remaja ini memakai jilbab tetapi pakaian mereka menampilkan gairah anak muda (pakaian ketat). Dengan demikian, ada perpaduan antara budaya lokal dengan nilai-nilai globalisasi/budaya luar, yang seperti dikatakan oleh Jailani M. Yunus (2000), yaitu jilbab yang dihiasi dengan lipstik tebal, lekuk tubuh yang menantang mata, dan perilaku agresif.

Penutup
Pencanangan pelaksanaan syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tidak serta merta merubah wajah Aceh dengan busana muslimah. Ada banyak alasan yang perlu dikemukakan mengapa hal itu dapat terjadi. Seharusnya, dengan nilai budaya Aceh yang didominasi oleh nilai-nilai keislaman hal itu tidak dapat terjadi. Hal ini tampak apabila kita mengkaitkan antara nilai yang ada dengan aspek yang lainnya.
Apabila kita akan membicarakan remaja dan gaya busana, maka kita harus mengkaitkan makna pakaian, lingkungan sosial yang melingkupinya, dan pengaruh budaya global yang merasuki pikiran yang ada pada remaja. Ketiga aspek itulah yang mempengerauhi seorang remaja dalam bergaya busana.
Namun karena remaja juga harus mengikuti budaya/adat yang ada dimana mereka tinggal, maka mereka mengadakan penyesuaian agar mereka tidak dilecehkan oleh masyarakat. Tidak mengherankan, jika apabila mereka pergi dengan sesama teman atau di luar acara formal lainnya, ada remaja di kota Sabang yang mengenakan jilbab, namun memakai pakaian seperti remaja-remaja lainnya, seperti kaos ketat dan celana jeans. Dalam konteks gaya berpakaian, seseorang bergaya pun sangat tergantung pada konteks budaya masyarakatnya. Dengan demikian dapat dikatakan seorang berbusana tidak saja asal menutupi tubuh, tetapi juga dilingkupi oleh sebuah nilai (baca: makna) yang ada di kepalanya. Masalahnya, bagaimana ia menggunakan nilai tersebut dan nilai apa yang digunakannya.

No comments: