January 14, 2009

Patriotisme Masyarakat Aceh

Oleh: Agus Budi Wibowo

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia mengumandangkan kemerdekaan Indonesia dari Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, maka sejak saat itu resmilah Indonesia menjadi negara yang merdeka dan berdaulat. Kemerdekaan yang diperoleh bangsa Indonesia bukanlah merupakan hadiah dari pihak penjajah, tetapi merupakan sebuah rakhmat dari Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan hasil perjuangan yang mengorbankan cucuran darah dan air mata dari para kusuma bangsa. Usaha merebut kemerdekaan ini tidak semudah "membalikkan tangan", tetapi harus mengorbankan putra-putra terbaik bangsa Indonesia. Oleh kerena itu, sudah sepantasnyalah kepahlawanan dan kegigihan mereka dalam membela harkat dan martabat perlu dikenang, dipupuk, dan dilestarikan terus-menerus oleh generasi penerus.
Salah satu daerah di Indonesia yang mengangkat senjata untuk merebut kemerdekaan dari penjajah adalah Aceh. Aceh memiliki sejarah yang panjang dan catatan istimewa. Kalau kita menelusuri sejarah perjuangan terhadap kolonialisme dan imperialisme, kita akan mengetahui, Aceh baru dapat ditaklukkan oleh Belanda setelah berlangsung perang selama empat puluh tahun dengan perjuangan berat dan menghabiskan biaya yang besar.
Cukup banyak contoh pertempuran yang terjadi di mana para pejuang Aceh berjuang sampai titik darah penghabisan, yang mengharukan dan meneteskan air mata karena pengorbanan mereka hanya mengenal dua alternatif: syahid atau menang. Siapa pun kiranya akan tersentuh hatinya apabila mengenang kembali pertempuran yang terjadi di Kuto Reh, daerah Gayo Alas pada tahun 1904 yang menewaskan tidak kurang dari 189 wanita di samping 313 laki-laki dan 59 anak-anak. Selama tiga bulan pertempuran di sana, akibat keganasan tentara Belanda 2252 pejuang Aceh menjadi suhada sedangkan 829 di antaranya terdiri dari para wanita dan anak-anak (Paul Van't Veer, 1969). Kegigihan mereka dalam membela harkat dan martabat bangsa telah menimbulkan kekaguman di kalangan orang Belanda. Zentgraaff (1982), seorang penulis dan wartawan Belanda, mengatakan sebagai berikut:
"Yang sebenarnya ialah bahwa orang-orang Aceh, baik pria maupun wanita, pada umumnya telah berjuang dengan gigih sekali untuk sesuatu yang mereka pandang sebagai kepentingan nasional atau agama mereka. Di antara pejuang itu terdapat banyak sekali pria dan wanita yang menjadi kebanggaan setiap bangsa; mereka tidak kalah gagahnya daripada tokoh-tokoh terkenal kita."
Pada bagian lain Reid (1969)juga menyatakan kekagumannya sebagai berikut:
"Selama berabad-abad Aceh telah membuktikan kemampuannya, baik di dalam perdagangan dan pertanian, maupun peperangan. Selama tahun-tahun pertama melawan Belanda, mereka telah membuktikan bahwa mereka layak memperoleh per- hatian besar dari orang-orang Eropa dan kaum Muslimin di dunia. Dalam hal ini Aceh juga telah memberikan sumbangan kepada pertumbuhan kesetiaan yang lebih tebal di Indonesia."
Mencermati perang yang begitu lama, saya tertarik untuk mengkajinya. Tentunya, ada faktor yang mendorong orang Aceh dapat terus bertahan dan terus ber- semangat dalam pertempuran menghadapi Belanda. Dalam hal ini salah satu faktor pencetus perjuangan adalah budaya masyarakat yang mendorong mereka terus berjuang.

Perjuangan Menentang Belanda
Secara geografis, Aceh mempunyai letak yang sangat strategis. Daerah ini terletak di tepi Selat Malaka. Karena letaknya di tepi Selat Malaka, maka daerah ini penting pula dilihat dari sudut lalu lintas internasional sehingga merupakan pintu gerbang sebelah barat kepulauan Indonesia. Sejak zaman Neolithikum, Selat Malaka merupakan terusan penting dalam migrasi bangsa di Asia, gerak ekspansi kebudayaan India dan sebagai jalan niaga dunia Selat Malaka adalah jalan penghubung antara dua pusat kebudayaan Cina dan India. Muncul dan berkembangnya Kerajaan di sekitar wilayah ini tidak mungkin kita pisahkan dari letak georafisnya yang sangat strategis tersebut. Karena keadaan geografis yang strategis ini membawa dampak Aceh banyak didatangi oleh berbagai bangsa asing dengan berbagai macam motif dan kepentingan, baik budaya, politis, maupun ekonomis.
Di antara bangsa asing (Barat) terdapat bangsa yang bermaksud menancapkan kuku kekuasaannya di bumi Aceh. Salah satu bangsa asing pertama yang menghadapi per-lawanan rakyat Aceh adalah Portugis. Sejak Portugis menduduki Malaka pada tahun 1511 Aceh merasa kedudukannya terancam. Karena-nya Aceh mencoba melawan dan mengusir Portugis dari Malaka. Konflik Aceh-Portugis ini berlangsung sepanjang abad XVI hingga akhir perempatan abad XVII.
Bangsa Asing lain yang berusaha menancapkan kuku kekuasaannya di bumi Aceh adalah Belanda. Rintisan permakluman perang Aceh oleh Belanda diumumkan oleh komisaris pemerintah yang merangkap Wakil Presiden Dewan Hindia Belanda F.N. Nieuwenhuizen, diawali dengan penandatanganan Traktat Sumatra antara Belanda dan Inggris dalam tahun 1871, yang antara lain "memberi kebebasan kepada Belanda untuk memperluas kekuasaannya di Pulau Sumatra" sehingga tidak ada kewajiban lagi bagi Belanda untuk menghormati hak dan kedaulatan Aceh yang sebelumnya telah diakui, baik oleh Belanda maupun Inggris seperti yang tercantum di dalam Traktat London yang ditandatangani pada tahun 1824.
Pada hari Rabu tanggal 26 Maret 1873 dari geladak kapal perang Citadel Van Antwerpen - yang berlabuh di antara pulau Sabang dengan daratan Aceh - Belanda me-maklumkan perang kepada Aceh. Namun demikian, permakluman perang tersebut tidak serta merta diikuti dengan kegiatan fisik militer karena Belanda masih menunggu terhimpunnya kekuatan perangnya yang sedang bergerak menuju Aceh dan kapal-kapal perang Belanda yang telah tiba di Aceh terus melakukan pengintaian dan provokasi di perairan Aceh. Selain itu, Belanda mengirim surat kepada Sultan yang meminta agar ia mengakui kedaulatan Belanda. Dinyatakan pula bahwa Aceh telah melanggar pasal-pasal perjanjian pada tahun 1857. Batas waktu yang diberikan 1 x 24 jam oleh Belanda kepada Sultan Aceh menunjukkan bahwa Belanda benar-benar akan menyerang. Jawaban yang diberikan Sultan jauh dari memuaskan bahkan ditegaskan bahwa di dunia tidak seorang pun yang berdaulat kecuali Allah semata (Muhammad Said, 1961).
Dihadapkan dengan kenyataan perang yang akan segera meletus, maka Aceh melakukan mobilisasi, baik di sekitar pantai yang berhadapan langsung dengan armada Belanda seperti di sekitar Ule Lheue, Pantai Ceureumen, Kuta Meugat, Kuala Aceh maupun di tempat strategis lainnya serta pusat-pusat kekuatan di Masjid Raya, Peunayong, Meuraksa, Lam Paseh, Lam Jabat, Raja Umong, Punje, Seutuy, dan di sekitar Dalam (Kraton Sultan).
Tindak lanjut dari permakluman perang Belanda kepada Aceh menjadi kenyataan (Ismail Sofyan, 1990) Pada tanggal 6 April 1873 dengan kekuatan 3.200 prajurit dan 168 perwira yang dipimpin J.H.R. Kohler, Belanda mendaratkan pasukannya di Pantai Ceureumen. Dengan demikian, suatu perang kolonial resmi telah dikibarkan oleh pihak Belanda. Perang ini kemudian dikenal oleh masyarakat Aceh sebagai "Perang Belanda atau Perang Kaphe Ulanda", yang oleh Belanda dikenal dengan "Perang Aceh".
Pantai Ceureumen pun menjadi lautan darah. Banyak anggota pasukan Belanda dan rakyat Aceh yang gugur. Walaupun demikian, penyerangan pertama Belanda ini dianggap gagal karena serangan ini tidak berhasil menundukkan Aceh. Di samping kuatnya perlawanan, kurangnya informasi tentang Aceh serta keadaan musim yang tidak menguntungkan menjadi sebab serangan per-tama Belanda ini gagal. J.H.R. Kohler sebagai panglima perang pun tewas tertembak oleh seorang anggota pasukan Aceh di dekat Masjid Raya. Belanda tidak dapat menguasai kraton. Mereka dipukul mundur dengan menderita kekalahan berat, 45 orang tewas termasuk 8 opsirnya serta 405 orang luka-luka di antaranya 23 opsir. Pada tanggal 29 April 1873 pasukan Belanda ditarik kembali ke Batavia.
Kegagalan ekspansi pertama ini menyebabkan pemerintah Belanda melipatgandakan pasukannya untuk menundukkan Aceh. Untuk itu, Pemerintah Hindia Belanda memanggil seorang pensiunan jenderal, J. Van Swieten. Ia diangkat sebagai panglima perang pada agresi kedua ini dengan kekuatan 249 perwira dan 6.950 tentara.Dipundaknya terdapat tugas berat untuk menyerang dan merebut Aceh dan kepadanya juga diberi wewenang mengadakan perjanjian dengan sultan. Selain menjadi panglima perang, ia diangkat pula sebagai Komisaris Pemerintah Hindia Belanda di Aceh.
Dalam agresi kedua ini Belanda berhasil menduduki istana dan mesjid raya pada tanggal 24 Januari 1874. Namun Belanda tidak berhasil menangkap Sultan beserta keluarga dan pengikutnya sudah lebih dulu menyingkir ke Longbata pada tanggal 15 Januari 1874 sehingga usaha Van Swieten untuk menangkap Sultan menemui kegagalan. Di tempat baru ini Sultan mendirikan markas pertahanannya. Bersama-sama dengan Panglima Polem dan para pengikutnya yang lain ber-tekad untuk meneruskan perjuangan melawan Belanda. Namun nasib buruk tidak dapat dihindari Sultan Mahmud Syah, ia diserang wabah kolera dan mangkat pada tanggal 29 Januari 1874 di Pagar Ayer dan dimakamkan di Cot Bada. Sebagai penggantinya di-angkatlah Sultan Muhammad Daud yang masih kecil sebagai Sultan Aceh. Namun karena Sultan Muhammad Daud belum dewasa, maka diangkatlah Tuanku Hasyim sebagai pemangku sultan (1874 - 1884).
Sejak itulah pemerintah Belanda dengan bermacam-macam siasat politiknya berusaha menaklukkan seluruh Aceh seperti yang dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Pembesar Kerajaan, panglima dan rakyat Aceh yang masih mencintai kemerdekaan mengungsi ke pedalaman dan mengadakan perlawanan.
Walaupun dari segi persenjataan dapat dikatakan kurang apabila dibandingkan dengan Belanda, tetapi rakyat Aceh mem- punyai modal kekuatan lain yang sukar dipatahkan oleh Belanda, yaitu ikut serta-nya semua lapisan rakyat, para Tuanku, uleebalang, ulama, rakyat biasa sehingga perang ini dapat dikatakan perang rakyat semesta (volks oorlog).
Para ulama menyerukan kewajiban perang sabil sehingga dapat menumbuhkan persatuan yang kuat atas dasar kesadaran mereka sebagai umat Islam. Dalam kesiapsiagaan untuk berperang mereka umumnya memusatkan kekuatannya dalam kuta-kuta pertahanan (Kuta Meugat, Kuta Pohama, Kuta Mosapi, Kuta Aneuk Galing, Kuta Bate Iliek, dan lain-lain). Kuta-kuta ini dipertahankan- nya dengan mati-matian.
Sejak Pel digantikan oleh G.B.T. Van Kerchem posisi Belanda bertambah sulit. Ia kurang mampu menghadapi laskar Aceh yang sering menembus pos-pos di sekeliling Kutaraja, dan bahkan daerah-daerah lain yang dikuasai Belanda. Karena itu, satu tahun kemudian ia diganti oleh Diemont. Namun kenyataan perlawanan rakyat tidak dapat dibendung. Setelah sebelas tahun berperang, Belanda makin tampak tidak berdaya. Oleh karena itu kemudian diputuskan dipakai strategi "stelsel konsentrasi" di Aceh.
Sehubungan Sultan Muhammad Daud sudah beranjak dewasa, maka ia menerima jabatan dari pemangku sultan, Tuanku Hasyim, pada akhir tahun 1884 dalam sebuah acara resmi di Mesjid Indrapuri. Saat bersamaan, para pemimpin Aceh seperti Panglima Polim Ibrahim Muda Kuala, Teungku Chik Di Tiro, dan lain-lain mencetuskan ikrar perang sabil, yang pernah pula dicetuskan di istana sebelum pendaratan Belanda.
Ikrar ini telah memberi semangat kepada para laskar dan melahirkan pejuang-pejuang yang tangguh dan gigih. Banyak pejuang yang gugur dalam pertempuran, di antaranya, Teuku Imeum Lueng Bata, Panglima Polem Mahmud Cut Banta (1879), Teuku Ibrahim Lam Nga (1878), Tuanku Hasyim (1891), Teungku Chik Di Tiro (1891), Teungku Muhammad Amin Tiro (1896), Teuku Umar (1899), dan lain-lain.
Di pihak lain, karena ikrar perang sabil itu pula mendorong Belanda melancarkan serangan besar-besaran yang oleh Van't Veer disebut sebagai masa 10 tahun (1899 - 1909) berdarah di Aceh karena telah merenggut 21.865 jiwa rakyat Aceh (kira-kira 4 persen dari jumlah penduduk saat itu).
Dalam rangka menyelesaikan perang agar tidak terus berkepanjangan ini, Belanda menugaskan Snouck Hurgronje untuk mengadakan penelitian. Hasil penelitian, rakyat Aceh yang taat beragama Islam tidak mungkin menyerah sebelum mereka ditundukkan dengan kekerasan, sikap menunggu dan kompromi tidak akan membawa hasil.
Hasil penelitian ini dijabarkan dengan membentuk korps Marechausee, pasukan berani mati dan sangat kejam. Dengan gerak cepat, pasukan ini akhirnya dapat menaklukkan daerah-daerah sejak dari Aceh Besar sampai ke pantai timur.
Akhirnya, karena mendapat tekanan yang terus menerus dan tertangkapnya istri sultan, Pocut Murong, maka Sultan pun terpaksa menyerah, pada tahun 1903. Dengan ini berakhir pula pemerintahan Kerajaan Aceh, walaupun perlawanan masih terus berlangsung.

Budaya sebagai Pencetus Perjuangan
Letak Aceh yang strategis menyebabkan daerah ini menjadi persinggahan berbagai bangsa. Salah satu yang dibawa mereka ke Aceh adalah agama Islam. Berdasarkan be-berapa sumber disimpulkan oleh para Sejarawan dan Arkelog, agama Islam pertama masuk ke Nusantara ialah di daerah Aceh ini. Selain itu, disimpulkan pula Islam yang masuk daerah ini adalah Islam yang terlebih dahulu tersebar dan teradaptasi dengan unsur-unsur daerah Persia dan Gujarat.
Pengaruh Islam yang begitu kuat mempengaruhi pula kebudayaan masyarakat Aceh saat itu. Akibatnya pola pikir, sikap, dan perilaku masyarakat Aceh dalam kehidupan sehari-hari diwarnai pula oleh kaidah-kaidah Islam. Sebaliknya dalam praktek keagamaan, mereka menyesuaikannya dengan tradisi dan adat istiadat yang berlaku. Hal ini terlihat dalam kehidupan sosial budaya yang tercakup berbagai unsurnya telah diwarnai dengan ajaran Islam. Akibatnya, antara budaya dan agama telah menyatu, seperti dua sisi mata uang yang sama, sehingga sukar dipisahkan atau dipilah. Hal ini tercermin dalam sebuah ungkapan Aceh yang sangat populer Adat ngon hukom hanjeut cree lagee zat ngon sifeut, artinya hukum syariat Islam tidak dapat dipisahkan seperti unsur dengan sifatnya (Rusdi Sufi, 1996). Dengan kata lain kaidah Islam merupakan bagian daripada adat atau telah diadatkan. Sejalan dengan apa yang dikemukakan, Aceh pun kemudian mendapatkan julukan sebagai "Serambi Mekkah" atau The Gate of The Hollyland.
Dalam perjuangan menentang Belanda kaidah-kaidah Islam ikut pula mewarnai dan memberi semangat pada masyarakat Aceh. Konkritisasi pengaruh kaidah-kaidah Islam ini dapat kita lihat pada penciptaan karya sastra, seperti hikayat. Karya sastra ini tidak hanya mengandung hal-hal cerita yang bersifat fiksi belaka, tetapi berisi pula butir-butir yang menyangkut pengajaran moral dan kitab-kitab pelajaran sederhana asalkan ditulis dalam bentuk sajak.
Dengan demikian, para ulama berusaha agar umatnya dididik berbagai cara hingga mampu memiliki motivasi yang padu dalam mengusir Belanda. Kiranya suatu yang wajar jika para pemimpin agama menimba dari kitab suci Al-Qur'an yang merupakan sumber hukum tertinggi dalam Islam agar setiap muslim terpanggil untuk memenuhi kewajiban ber-perang di Jalan Allah.
Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan cara bertempur melawan Belanda yang dianggap merusak sendi-sendi agama. Karena-nya kemudian ideologi perang sabil yang sumbernya berasal dari abad XVII dihidupkan kembali melalui Hikayat Perang Sabil pada per-tengahan abad XIX.
Kemudian, agar Hikayat Perang Sabil ini lebih merasuk dalam sanubari setiap muslim, maka ia seringkali dilantunkan di muenasah-meunasah, dayah-dayah ataupun di rumah-rumah sebagai hiburan utama atau hiburan yang bersifat mendidik. Banyak orang-orang Aceh yang gemar mendengarkan lantunan Hikayat Perang Sabil untuk hiburan. Selain itu, Hikayat Perang Sabil ini dilantunkan pada saat akan berangkat ke medan perang.
Dalam hikayat ini dinyatakan bahwa mati dalam berperang melawan Belanda yang dianggap kaphe (kafir) oleh orang-orang Aceh adalah mati Syahid dan orang yang syahid akan diampunkan segala dosanya serta dimasukkan ke dalam surga oleh Allah SWT, dan di dalam surga itu ia akan memperoleh segala kenikmatan, seperti beristrikan bidadari-bidadari yang cantik jelita, serta memperoleh makanan dan minuman yang lezat, dan sebagainya.
Adapun dari segi isinya hikayat-hikayat perang sabil dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu (1) yang berisi anjuran untuk berperang sabil dengan menunjukkan pahala, keuntungan, dan kebahagian yang diraih, (2) yang berisi berita mengenai tokoh atau keadaan peperangan di suatu tempat yang patut disampaikan kepada masyarakat untuk mendorong semangat orang-orang muslim yang sedang berjihad, dan (3) yang mencakup kedua-dua kategori yang disebut dahulu.
Dalam sebuah naskah Hikayat Perang Sabil diuraikan tujuh faedah yang dipeoleh orang yang gugur dalam berperang sabil, yaitu (1) diampunkan semua dosanya oleh Allah SWT, (2) mendapat tempat dalam surga dengan pelbagai kenikmatan, (3) kuburnya menjadi luas dan ia akan sentosa di dalam-nya, (4) luput daripada hari kiamat, (5) di dalam surga diberikan pakaian yang indah disertai permata-permata, (6) memperoleh istri bidadari-bidadari satu mahligai berjumlah 72 orang, dan (7) diampunkan oleh Tuhan dosa 70 orang yang mati syahid itu. Selain itu, bagi mereka yang mengeluarkan dana untuk kepentingan perang sabil akan dibalas oleh Allah dengan imbalan berlipat ganda dan mereka pun akan dimasukkan ke dalam surga (Ibrahim Alfian, 1992). Hal in tidak jauh beda dengan firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah ayat 261.
Di samping itu Hikayat Perang Sabil juga mengajarkan bahwa perang sabil itu hukumnya adalah fardlu 'ain, yakni diwajibkan kepada semua orang muslimin, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, termasuk anak-anak. Dengan demikian, tidak mengherankan apabila dalam suatu pertempuran banyak orang Aceh yang gugur seperti telah di-ilustrasikan pada bagian muka.
Selain itu, kepercayaan akan ke- bahagian setelah gugur dalam perang telah memotivasi orang untuk rela syahid membunuh orang-orang Belanda secara sendiri-sendiri. Karenanya, pada tahun 1912 pemerintah Belanda pernah menugaskan R.A. Kern untuk menyelidi gejala bunuh kafir (poh kaphe). Menurut kesimpulan Kern latar belakang serangan secara perseorangan itu adalah ide perang sabil dan perasaan benci terhadap kafir (kafir haat).

Penutup
Aceh merupakan merupakan salah satu contoh potret keheroikan perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme dan imperialisme Belanda. Potret keheroikan para pejuang ini telah banyak ditulis oleh para penulis, baik penulis dari Indonesia maupun penulis asing (Barat).
Sifat keheroikan para pejuang Aceh bukan tanpa alasan dan tujuan. Ada dorongan yang begitu kuat dalam diri mereka. Bagi para pejuang Aceh hanya mengenal dua kata dalam bertempur melawan Belanda, yaitu menang atau Syahid. Dengan demikian, tidak mengherankan mereka berani mengorbankan segenap harta, keluarga ataupun nyawa.
Dorongan syahid ternyata diwarnai oleh budaya Islam yang merasuk dalam budaya masyarakat Aceh. Akulturasi dua budaya ini menimbulkan sebuah sinergi pada orang-orang Aceh agar terus berjuang. Tidak ada kata menyerah dalam kamus bahasa mereka.
Untuk menghormati keheroikan para pejuang Aceh ini, penulis akan menutup tulisan ini dengan mengutip sebuah pernyataan dari seorang penulis dan wartawan Belanda, Zentgraaff sebagai berikut :
"... pun adakah suatu bangsa di bumi ini yang tidak akan menulis gugurnya para tokoh heroik ini dengan rasa penghargaan yang sedemikian tingginya di dalam buku sejarahnya".

No comments: