August 11, 2011

Budaya Malu dalam Rangka Pembentukan Budi Pekerti di Kalangan Remaja

Oleh: Agus Budi Wibowo


A. Pendahuluan

Pada akhir-akhir ini sering kita sering melihat dan alami peristiwa kenakalan remaja dengan berbagai dimensi di Indonesia, seperti tawuran antarsekolah yang mengakibatkan perkelahian dan pembunuhan, kenakalan remaja yang berlebihan, siswa-siswi melakukan perbuatan yang dianggaap tidak sopan dan menyebarkannya melalui media internet/handphone, dan juga banyak siswa sekolah yang menjadi korban narkoba. Pada bagian lain, ada pula siswa-siswi sekolah yang ikut mengacau dan melanggar aturan lalu lintas.1 Siswa ikut terlibat dengan konflik masyarakat, saling membenci kelompok lain, juga cukup banyak.
Pada konteks keacehan, dengan berlakunya syariat Islam, banyak remaja yang pada jam-jam tertentu masih duduk nongkrong di warung/cafe pada hal waktu shalat sudah tiba, berpakaian yang tidak muslimah, bergaul ala budaya barat, dan sebagainya. Tentunya, banyak faktor yang menyebabkan hal itu semua terjadi. Salah satunya, menurut hemat penulis, adalah makin berkurangnya rasa nilai budaya “malu” yang dimiliki oleh para siswa/remaja saat ini.
Dalam tulisan ini penulis akan membahas nilai budaya malu dalam pembentukan budi pekerti. Diasumsikan bahwa nilai budaya malu ini dapat mereduksi kenakalan di kalangan remaja melalui pembentukan budi pekerti karena di dalam nilai budaya malu terdapat nilai-nilai pendidikan, control sosial, dan sebagainya. Pembahasan akan difokuskan kepada keberadaan nilai budaya malu dalam masyarakat Aceh, nilai budaya malu sebagai alat pengendalian sosial, dan nilai budaya malu dalam pembentukan budi pekerti.

B. Pembahasan

1. Nilai Budaya “Malu” bernuasa Keacehan
Nilai budaya adalah satu bagian dari kebudayaan komunitas tertentu yang merupakan suatu konsepsi abstrak yang dianggap baik dan amat bernilai tinggi dalam hidup, yang menjadi pedoman tertinggi kelakuan dalam kehidupan satu masyarakat. 2 Sebagai sebuah etnisitas budaya, masyarakat Aceh juga memiliki nilai budaya, yang salah satunya adalah nilai budaya malu.
Dalam sistem budayanya, masyarakat Aceh sangat menjaga perasaan “rasa malu”. 3 Malu yang menimpa seorang individu berarti malu keluarga. Ukuran malu setingkat “rasa iman” karena rasa malu bersumber dari nilai-nilai Islami, sesuai dengan pesan Rasulullah SAW, malu dan iman adalah satu kesatuan, hilang salah satu (Iman), hilang yang lain (malu) dan sebaliknya Karena itu orang tua terdahulu, sangat menjaga untuk tidak berbuat yang memalukan diri dan keluarganya, termasuk menjaga turunan anak cucunya. 4
Salah satu cara untuk memahami segala sesuatu tentang nilai budaya suatu bangsa adalah dengan menelaah dan mendalami peribahasanya. 5 Kebenaran pendapat ini bertumpu pada kenyataan bahwa arti luas peribahasa merupakan kata, frase, klausa, atau kalimat ringkas yang baku dan tetap susunan serta pemakaiannya, yang (pernah) hidup dalam tradisi lisan sesuatu bahasa, dengan isi yang selalu mengkiaskan maksud tertentu untuk dijadikan penuntun berperilaku dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian peribahasa mencakup ungkapan, bidal, perumpamaan, pepatah, dan petitih, serta berisi tamsil, ibarat, perbandingan, nasihat, petuah, ajaran, asas hidup, atau tata aturan tingkah laku yang dianut oleh bangsa pemilik bahasa yang bersangkutan dalam menjalani hidupnya. Seperti dinyatakan oleh Danandjaja6 , sebagai bagian folklore lisan peribahasa memang dapat berfungsi menjadi pengukuh pranata dan lembaga kebudayaan, alat pengawas dan pemaksa pematuhan norma masyarakat, instrument pendidikan, dan juga alat komunikasi dalam kontrol sosial. Karena kodratnya, isi peribahasa memang dimaksudkan untuk memberikan pengarahan, teladan, harapan dan nasihat, sehingga dapat dijadikan bahan pelajaran berharga untuk diikuti dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Masyarakat Aceh mengenal peribahasa yang sesungguhnya menggambarkan jati diri/watak dari masyarakatnya., yang disebut pula dengan hadis maja atau narit maja. Menurut Ali dkk narit maja menduduki tingkat kebenaran nomor tiga dalam masyarakat Aceh. Tingkat kebenaran pertama adalah Wahyu Allah Swt. Tingkat kebenaran kedua adalah Hadis Rasulullah Saw. Tingkat kebenaran ketiga adalah Narit maja atau Peutitih peteteh. Karena kebenaran narit maja berada di bawah Hadis Nabi, maka orang-orang menyebutnya dengan atau hadih maja. 7
Narit maja adalah tutur perkataan orang-orang tua zaman dahulu yang dapat dijadikan nasihat, petunjuk, petuah, ajaran, dan larangan itu pada umunya berkaitan dengan agama Islam, adat Istidat, pendidikan, dan kehidupan masyarakat. Salah satunya hadih maja berkaitan dengan konsep malu. Seperti dikatakan oleh Harun 8
“Malu merupakan komitmen moral indatu orang Aceh dalam perspektif altruism. Hal ini dikarenakan semua manusia berakal sehat pada hakikatnya memiliki sifat rasa malu, yang termasuk salah satu naluri atau fitrah manusia. Misalnya, anak-anak sudah memiliki rasa malu walaupun tanpa diajari oleh orang tuanya. Jadi, malu merupakan suatu sifat bawaan setiap individu”.

Selanjutnya, Harun juga menegaskan bahwa hampir semua hadih maja yang mengangkat rasa malu diungkap secara terbalik, yaitu bukan anjuran, tetapi proporsi datar tentang simbol-simbol tertentu atau orang yang tidak tahu malu. Beberapa contoh hadih maja yang berkaitan nilai budaya malu di antaranya:
a. orang yang tidak tahu malu
Alee tob beulacan
Barangpeue takheun malee tan
(Alu penumbuk belacan
Apapun dikatakan malu tiada)

b. Orang tidak tahu malu mendatangkan malu bagi orang lain
Alee tob beulacan
Nyang malee ureueng jak sajan)
(Alu penumbuk belacan
Yang malu orang jalan bersama)
c. Orang tidak tahu malu dan dianggap sudah keterlaluan
Malee ja Asee hue
(Malu sudah anjing hela)
d. orang yang sudah tebal muka
Lagee ureueng teubai muka
(Seperti orang tebal muka)
e. orang sudah tidak tahu malu dan sudah menjadi penyakit masyarakat dan dianggap hina
Lagee si panteue alee
Tapoh han saket
Tateunak han malee
(Seperti si dipan Alu
Dipukul tidak sakit
Dimaki tidak malu)
f. orang tidak tahu malu dan semau gue
Jak ho nyang troh
Pajoh peu nyang lot
(Pergi kemana sampai
Makan apa yang suka)
Hadih maja di atas mengajak kepada semua individu yang mempunyai rasa malu untuk menghilangkan perilaku yang menimbulkan rasa malu. Apabila orang sudah kehilangan rasa malu, maka hancurlah hati nurani dan akal pikiran, yang pada gilirannya hancur pula tatanan sosial. Rasa malu, misalnya melakukan sesuatu yang cemar, yang dilarang Allah SWT dan Rasulnya, sama sekali tidak dikerjakan. Yang membawa aib/gosib, perbuatan hina tidak dilakukan, karena memalukan diri dan anak cucunya. Perbuatan yang merendahkan martabat tidak boleh dilakukan. Hal ini dikarenakan nilai-nilai asli budaya adat Aceh, antara lain adalah : taat beribadah kepada Allah SWT dan Rasulnya, taat dan patuh pada orang tua, taat dan patuh pada guru yang telah mengajarkannya, suka bekerja keras dan disiplin. Malu meminta-minta, suka memberi dan menolong orang dan saling hormat menghormati antara sesama keluarga, jiran dan sesama keluarga dalam masyarakat. 9
2. Nilai Budaya Malu sebagai Alat Pengendalian Sosial
Sebagai makhluk berbudaya, manusia memerlukan seperangkat aturan yang mengatur kehidupannya, baik dalam hubungan antarmanusia maupun makhluk lainnya di dunia. Aturan ini berfungsi agar manusia di dalam menjalankan aktivitasnya dapat teratur. Keteraturan ini amat penting agar tidak terjadi kekacauan.
Aturan-aturan yang seperti disebutkan di atas terkait dengan norma-norma dan adat. Norma dan adat kebiasaan ini mengatur kegiatan dan tingkah laku manusia. Norma-norma dan nilai-nilai yang mengatur apa yang pantas dikatakan, kepada siapa, dan dalam kondisi bagaimana. Berdasarkan nilai-nilai inilah, maka disusun norma yang menentukan mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap kurang baik. Atas dasar norma dan kaidah-kaidah itu kemudian dijadikan pedoman bertingkah laku sehingga tidak terjadi bentrokan antarkepentingan manusia dalam pergaulan hidup.
Salah satu wujud norma dalam hubungan interaksi masyarakat adalah sikap sungkan. 10 Dalam konteks keacehan sikap ini dapat disebut sebagai budaya malu, seperti yang telah disebutkan di atas. Budaya Malu yang berkembang di dalam masyarakat Aceh merupakan suatu sistem norma yang dilembagakan pada tingkat kelakuan (mores). Tata kelakuan mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas. Budaya malu yang telah dilembagakan sebagai suatu sistem norma yang disebut tata-kelakuan merupakan suatu alat mekanisme agar anggota-anggota masyarakat menyesuaikan dengan tata kelakuan tersebut.
Dilihat dari segi fungsional budaya malu juga merupakan alat pengendalian sosial.11 Pada masyarakat Aceh hal itu dilakukan melalui sopan santun dan sikap menghindar. Sopan santun dapat berwujud pembatasan dalam pergaulan, baik di dalam keluarga maupun di luar keluarga. Sikap menghindar merupakan alat yang biasa efektif dalam menata hubungan keluarga dan kerabat. Tujuan pembatasan itu antara lain untuk mencegah terjadinya hubungan yang sumbang.
Melalui dua mekanisme itu, di dalam masyarakat Aceh ada beberapa aturan yang mengatur hubungan antara anak dengan orang tua, suami-istri, menantu-mertua, perilaku-perilaku lain dalam bermasyarakat. Misalnya saja dalam kaitannya dengan remaja putri, seorang ibu/ayah malu apabila anak perempuannya berpakaian kurang pantas sehingga anaknya dianggap tidak mengetahui adat-istiadat. Dalam kontak fisik, adanya canda bersifat sentuhan fisik antara anak dan orang tua dianggap kurang pantas. Kalau hal itu dilakukan di depan umum dapat menjatuhkan martabat orang tua di mata anaknya sendiri. Dalam hal ini Badruzzaman12 telah menegaskan beberapa perilaku budaya yang perlu diperhatikan, yaitu perilaku berakhlak Islami, perilaku menghormati orang lain, dan perilaku cinta lingkungan.
2. Nilai Budaya Malu dalam Pembentukan Budi Pekerti
Paparan di atas menunjukkan kepada kita bahwa nilai budaya malu sangat penting dalam masyarakat sebagai sistem pengedalian sosial karena di dalamnya terdapat unsur-unsur yang mendidik atau pun pembentukan budi pekerti. Seperti diketahui bahwa budi pekerti merupakan nilai moralitas manusia yang disadari dan dilakukan dalam tindakan nyata. Di sini ada unsur proses pembentukan nilai tersebut dan sikap yang didasari pada pengetahuan mengapa nilai itu dilakukan. Semua nilai moralitas yang disadari dan dilakukan itu bertujuan untuk membantu manusia menjadi manusia yang lebih utuh. Nilai itu adalah nilai yang membantu orang dapat lebih baik hidup bersama dengan orang lain dan dunianya (learning to live together) untuk menuju kesempurnaan. Nilai itu menyangkut berbagai bidang kehidupan seperti hubungan sesama (orang lain, keluarga), diri sendiri (learning to be), hidup bernegara, alam dunia, dan Tuhan. Dalam penanaman nilai moralitas tersebut unsur kognitif (pikiran, pengetahuan, kesadaran), dan unsur afektif (perasaan) juga unsur psikomotor (perilaku).
Penanaman budi pekerti ini sangat diperlukan dalam rangka menghadapi berbagai permasalahan kenakalan remaja seperti dipaparkan di atas dan menghadapi permasalahan di era global. Dalam hal ini konsep ‘era global’ berarti suatu kurun waktu atau zaman yang ditandai oleh munculnya berbagai gejala serta masalah yang menuntut umat manusia dituntut untuk menggantikan pola-pola persepsi dan pola-pola berpikir tertentu, dari pola-pola yang bersifat nasional semata-mata ke pola-pola yang bercakupan global. Kita tidak dapat menahan era global ini. Kita hanya dapat melakukan pembekalan diri terhadap nilai global yang bersifat negatif. Sikap seharusnya adalah menerima nilai luar yang bersifat positif dan membuang jauh nilai-nilai negatif. Bahkan, kita harus dapat berpikir global dengan perilaku yang local yang masih menghargai nilai-nilai leluhurnya.
Menuju ke arah tersebut bukanlah perkara mudah. Tantangan dan kendala pasti mengemuka. Pertama, adanya perubahan dalam hubungan antargenerasi, yang memperlihatkan berkurangnya dominasi kaum tua dalam pembentukan tatanan sosial. Perubahan ini menunjukkan pergeseran pendefinisian kebudayaan pada tingkatan yang berbeda-beda. Kebudayaan menjadi lain artinya, pada kelompok ABG, pada kelompok tua, ataupun pada kelompok menengah dan sebagainya. Dengan demikian, kelompok tua tidak mudah melakukan pendekatan pada kelompok muda. Kedua, perubahan karakter masyarakat, khususnya dengan melemahnya ikatan-ikatan tradisional. Pada saat yang sama individu-individu memiliki otonomi yang lebih besar. Dalam dunia semacam ini minat individual sedang mendapatkan ruang yang lebih luas dalam berekspresi dan juga dalam proses pengambilan keputusan. Perubahan semacam ini menegaskan suatu peralihan yang mendasar dalam institusi-institusi sosial sebagai pengikat individu-individu dan menunjukkan kebutuhan cara-cara dalam mengorganisasikan individu-individu ke dalam suatu sistem. Pemaksaan dalam hal ini, yang dulunya menjadi suatu mekanisme yang berhasil, menjadi suatu yang berbahaya karena dapat melahirkan reaksi dan resistensi.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mereaktualisasi nilai budaya malu sebagai bagian membentengi para remaja dari pengaruh luar. Hal itu dapat dilakukan melalui proses sosialisasi, yaitu memperkenalkan, mendidik budaya malu sejak anak masih kecil, baik dalam pendidikan di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Rumah tangga dan keluarga merupakan pilar pertama dan memegang peran penting agar anak dapat mereduksi sesuatu yang berasal dari dunia luar. Adapun lembaga formal dan masyarakat berperan dalam pendidikan sopan-santun dan akhlak. Dengan demikian diharapkan untuk masa mendatang remaja di Aceh adalah generasi yang mempunyai pendidikan tinggi, tetapi mempunyai moral (budaya malu) yang tinggi pula. Tidak sekedar IQ (Intelegency Quotient) tinggi dan EQ (Emotional Quotient), tetapi diikuti ESQ (Emotional Spritual Quotient) yang tinggi.

C. Penutup
Dekadensi moral dan kenakalan remaja mulai berkembang dan menampakkan wujudnya di Indonesia, tidak terkecuali Aceh. Perubahan-perubahan telah dialami oleh mereka. Pada zaman dahulu terdapat upaya pengendalian terhadap perilaku yang menyimpang dari budaya masyarakat, melalui budaya malu. Budaya malu sudah menjadi bagian masyarakat. Tentunya, nilai-nilai budaya malu ini dapat diaktualisasikan kembali dalam kehidupan masyarakat. Diharapkan para remaja menjadi remaja yang melestarikan budaya, tetapi juga mempunyai cara berpikir yang global.

Catatan Akhir:
Misalnya, kejadian seorang remaja tewas akibat balapan liar di Jalan Teuku Umar Setuy, Banda Aceh. Sudah dilarang dan dihalau pihak berwenang, tetapi tetap membandel. Belum lagi ada gejala geng motor yang juga meresahkan dan menewaskan seorang korban.
2 M. Junus Melalatoa. “Memahami Aceh Sebuah Perspektif Budaya”, dalam Bambang Bujono (ed.) Aceh Kembali Ke Masa Depan. (Jakarta: Katakita, Yayasan SET dan Gudang Garam, 2005), hlm 10.
3 Hal ini tampak pada hadih maja Nibak malee get ta lob lam tanoh crah, yang artinya Daripada malu, lebih masuk liang tanah”.
4 Badruzzaman Ismail. Panduan Adat Dalam Masyarakat Aceh. (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Aceh, 2009), hlm. 65-66.

5 P. Lunde dan Wintle. A Dictionary of Arabic and Islamic Proverbs. London: Routledge dan Keegan Paul), hlm.
6 James Dandjaja. Folklore Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. (Jakarta: Gratifipers, 1984), hlm. 32).
7 Zaini Ali. Narit Maja Aceh. (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Aceh, 2009), hlm. 1.
8 Mohd. Harun. Memahami Orang Aceh. (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2009), hlm. 159-161
9 Badruzzaman Ismail. op.cit. hlm. 65-66.
10Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Sosial. (Jakart: Rineka Cipta, 1984).
11Menurut T. Bachtiar Effendi Panglima Polem, sistem pengendalian sosial atau social control merupakan suatu sistemm dan proses yang bersifat mendidik, mengajak ataupun memaksa anggota-anggota masyarakat agar mau mentaati norma-norma dalam masyarakatnya. Dengan demikian ia akan memperkokoh struktur dan menjaga integritas masyarakat secara keseluruhan. Pada umumnya pengendalian sosial dengan berpedoman pada berbagai norma itu dilaksanakan serta dikembangkan oleh lembaga-lembaga sosial, seperti lembaga keluarga, lembaga keagamaan, lembaga pemerintahan dan sebagainya. Lihat T. Bachtiar Panglima Polem, “Pengendalian Sosial di Aceh Besar. Dalam Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh. Alfian (ed). Jakarta: LP3ES, 1977), hlm. 101.
12Badruzzaman Ismali, op.cit., hlm. 66-67.




No comments: