May 23, 2011

Bentuk/Wujud Sistem Kepemimpinan di Aceh

Oleh Agus Budi Wibowo

sultan dan ulama merupakan sistem kepemimpinan Aceh yang tidak dapat dipisahkan. Sultan atau raja atau penguasa dianggap memiliki otoritas politik (pemimpin dunia) dan agama. Taj al-Salatin, sebagai panduan bagi para penguasa mengenai pemerintahan, disebutkan bahwa gelar khalifat al-Rahman (wakil Yang Maha Pengasih) dan zill Allah fi al-alam atau al-ard (bayangan Allah di muka alam atau bumi dirujuk kepada sultan. Untuk itu, kemudian seorang penguasa (sultan/raja) berhak menggunakan gelar-gelar agamis. Misalnya, dalam Bustanus Salatin, Sultan Iskandar Muda menggunakan gelar sayyiduna wa mawlana paduka seri Sultan Iskandar Muda Johan berdaulat zill Allah fi al-‘alam, sementara penggantinya, Iskandar Thani juga menggunakan gelar yang sama, sebagaimana halnya dengan empat ratu (sultanat) yang memimpin Aceh berikutnya. Pada bagian lain, seorang tokoh ulama besar Aceh ‘Abd al-Rauf al-Singkili menegaskan bahwa Kerajaan Aceh merupakan sebuah khilafah (kekhalifahan) yang berdiri sendiri. Oleh karena itu, seorang khalifah diartikannya sebagai “wakil Tuhan”. Menurutnya, khalifah yang pertama adalah Nabi Adam AS. Kemudian tugas ini dilaksanakan oleh semua nabi dan rasul sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Setelah Rasul ini wafat, posisi ini dilaksanakan oleh para keempat khulafa’ al-Rashidin, yang dalam perkembangannya kemudian, posisi khalifat didelegasikan kepada para penguasa di berbagai penjuru dunia Islam (Hadi, 2010: 105-108).
Gambar

Akan tetapi, kepemilikan penguasan akan otoritas agama tidak bermakna bahwa ia pemegang otoritas tertinggi dalam urusan keagamaan karena sesungguhnya otoritas tertinggi dalam hal ini dimiliki oleh para ulama. Untuk itu, seorang ulama sangat membutuhkan ulama. Di dalam Adat Aceh dan Taj-al-Salatin ditekankan bahwa seorang penguasa diminta untuk menghormati dan merujuk kepada para ulama dalam urusan keagamaan, yang dalam praktiknya kemudian para ulama ketika itu menempati berbagai posisi penting di kerajaan, dari posisi yang berbentuk Agama (seperti qadhi, faqih, dam Shaykh al-Islam hingga posisi politis (seperti penasihat sultan, ketua dewan kerajaan dan wakil sultan).
Merujuk pada hal tersebut di atas, maka dapat kita lihat juga pada aspek kepemimpinan yang lain. Berdasarkan pendekatan historis, masyarakat Aceh dapat dikelompokkan pada dua golongan kepemimpinan, yaitu golongan umara dan golongan ulama. Umara dapat diartikan sebagai pemerintah atau pejabat pelaksana pemerintah dalam suatu unit wilayah kekuasaan. Contohnya seperti jabatan sultan yang merupakan pimpinan atau pejabat tertinggi dalam unit pemerintahan kerajaan, Uleebalang sebagai pimpinan unit pemerintahan Nanggroe (negeri), Panglima Sagoe (Panglima Sagi) yang memimpin unit pemerintahan Sagi (di Aceh Besar), Imeum Mukim yang menjadi pimpinan unit pemerintahan Mukim dan Keuchik atau Geuchik yang menjadi pimpinan pada unit pemerintahan Gampong (kampung). Mereka semua atau pejabat tersebut di atas, dalam struktur pemerintahan di Aceh pada masa dahulu dikenal sebagai lapisan pemimpin adat, pemimpin keduniawian atau kelompok elite sekuler. Dalam hal ini Sjamsuddin (1998: 2) mengatakan bahwa,
“... oleh sebab itu, didasar struktur politik secara tradisional kehidupan rakyat Aceh sering dikatakan sebagai dikuasai oleh dua penguasa, yaitu uleebalang (umara-penulis) dan ulama. Barangkali kenyataan ini dapat dilukiskan dengan tepat sebagaimana ungkapan yang terdapat di dalam sebuah hikayat Aceh populer, Hikajat Potjut Muhammad: hana di gob na di geutanyo, saboh nanggro dua raja, yang secara bebas bermakna: hanya di tempat kita sajalah terdapat sebuah negeri yang diperintah oleh dua raja”.

Sementara golongan ulama yang menjadi pimpinan yang mengurusi masalah-masalah keagamaan (hukom atau syariat Islam) dikenal sebagai pemimpin keagamaan atau masuk kelompok elite religius. Oleh karena para ulama ini mengurusi hal-hal yang menyangkut keagamaan, maka mereka haruslah seorang yang berilmu agama Islam, yang dalam istilah Aceh disebut ureueng malem. Dengan demikian tentunya sesuai dengan predikat/sebutan ulama itu sendiri, yang berarti para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan. Adapun golongan atau kelompok ulama ini (lihat pada bab 2 sebelumnya) dapat disebut yaitu :
1. Teungku Meunasah, yang memimpin masalah-masalah yang berhubungan dengan keagamaan pada suatu unit pemerintahan Gampong (kampung).
2. Imeum Mesjid (Imam Mesjid), yaitu yang mengurusi masalah keagamaan pada tingkat pemerintahan mukim, yang bertindak sebagai imam sembahyang pada setiap hari Jumat di sebuah mesjid pada wilayah mukim yang bersangkutan.
3. Qadli (kadli), yaitu orang yang memimpin pengadilan agama atau yang dipandang mengerti mengenai hukum agama pada tingkat kerajaan (Kadhi Malikul Adil) dan juga pada tingkat Nanggroe yang disebut Kadli Uleebalang.
4. Teungku-teungku, yaitu pengelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti dayah dan rangkang, juga termasuk murid-muridnya. Bagi ulama yang sudah cukup tinggi tingkat keilmuannya, disebut dengan istilah Teungku Chik.

Saat Sultan Iskandar Muda memerintah, bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan di Aceh adalah yang disebut dalam istilah Aceh Gampong atau dalam istilah Melayu Kampung. Sebuah Gampong terdiri atas kelompok-kelompok rumah yang letaknya berdekatan satu dengan yang lain. Pimpinan gampong disebut Geucik atau Keuchik, yang dibantu oleh seorang yang mahir dalam masalah keagamaan, dengan sebutan Teungku Meunasah. Selain itu, dalam sebuah dalam sebuah Gampong terdapat pula unsur-unsur pimpinan lainnya seperti yang dinamakan Waki (wakil) yang merupakan wakil dari Keuchik, serta juga yang disebut Ureung Tuha (orang tua). Mereka yang tersebut terakhir adalah golongan orang-orang tua kampung yang disegani dan berpengalaman dalam kampungnya. Menurut tradisi jumlah mereka ada empat orang yang dinamakan Tuha Peut dan ada juga yang delapan orang yang disebut Tuha Lapan.
Bentuk teritorial yang lebih besar lagi dari gampong yaitu Mukim. Mukim ini merupakan gabungan dari beberapa buah gampong yang letaknya berdekatan dan para penduduknya melakukan sembahyang bersama pada setiap hari Jumat di sebuah masjid. Pimpinan Mukim disebut sebagai Imum Mukim. Perkataan Imum ini berasal dari bahasa Arab, artinya Imam (orang yang harus diikuti). Imum Mukim inilah yang bertindak sebagai pemimpin sembahyang pada setiap hari Jumat di sebuah masjid. Pada mula dibentuk setiap mukim diharuskan sekurang-kurangnya mempunyai 1000 orang laki-laki yang dapat memegang senjata. Hal ini tentunya dimaksudkan untuk tujuan politis, yaitu bila terjadi peperangan dengan pihak luar agar mudah menghimpun tenaga-tenaga tempur. Dalam perkembangannya fungsi Imum Mukim menjadi kepala pemerintahan dari sebuah Mukim. Dialah yang mengkoordinir kepala-kepala kampung atau Keuchik-Keuchik. Dengan berubahnya fungsi Imum Mukim berubah pula nama panggilannya, yakni menjadi Kepala Mukim. Untuk pengganti sebuah imam sembahyang pada setiap hari Jum'at di sebuah masjid, diserahkan kepada orang lain yang disebut Imuem Mesjid.
Dalam memimpin pemerintahan Nanggroe, Uleebalang dibantu oleh pembantu-pembantunya seperti yang disebut dengan Banta, yaitu adik laki-laki atau saudara Uleebalang, yang kadang-kadang juga bertindak sebagai Uleebalang, bila yang bersangkutan berhalangan. Pembantu yang lainnya adalah yang disebut Kadhi atau Kali, yang membantu dalam hukom, yaitu yang dipandang mengerti mengenai hukum Islam. Selain itu, ada yang disebut Rakan yaitu sebagai pengawal Uleebalang, yang dapat diperintahnya untuk bertindak dengan tangan besi. Para Rakan yang terbaik dalam perang diberi gelar Panglima Perang, sedangkan pimpinan-pimpinan pasukan kecil yang tidak begitu trampil dalam peperangan diberi gelar pang.
Nanggroe-nanggroe tersebut di atas, pada umumnya berlokasi di pantai bagian timur dan pantai bagian barat Aceh. Di awahnya terdapat pula sejumlah mukim yang terdiri atas beberapa buah gampong atau yang disebut pula dengan istilah meunasah. Tetapi tidak semua nanggroe mengenal lembaga mukim. Di wilayah pantai timur dan di pantai barat, tidak terdapat apa yang disebut mukim. Di beberapa nanggroe bagian pantai Timur dan sebagian wilayah Kabupaten Aceh Utara sekarang, terdapat apa yang disebut dengan istilah Ulebalang Cut (Uleebalang kecil). Uleebalang Lapan (Uleebalang Delapan), dan Uleebalang Peut (Uleebalang Empat). Namun kedudukan dari bermacam jenis Uleebalang ini, berada di bawah.
Tingkat tertinggi dalam struktur pemerintahan Kerajaan Aceh adalah pemerintah pusat yang berkedudukan di ibukota kerajaan, yang dahulunya bernama Bandar Aceh Dar as Salam. Pimpinan atau kepala pemerintahan pusat adalah Sultan yang para kelompoknya bergelar Tuanku. Dalam mengendalikan pemerintahan Sultan dibantu oleh beberapa pembantu yang membawahi bidang masing-masing. Berdasarkan sebuah manuskrip (MS), susunan pemerintahan pusat Kerajaan Aceh terdiri atas 24 lembaga atau jabatan yang diumpamakan dengan kementrian pada masa sekarang. Nama dari masing-masing lembaga tersebut adalah sebagai berikut:
1. Keurukun Katibul Muluk atau Sekretaris Raja
2. Rais Wazirat Addaulah atau Perdana Menteri
3. Wazirat Addaulah atau Menteri Negara
4. Wazirat al Akdham atau Menteri Agung
5. Wazirat al HArbiyah atau Menteri Peperangan
6. Wazirat al Haqqamiyah atau Menteri Kehakiman
7. Wazirat ad Daraham atau Menteri Keuangan
8. Wazirat ad Mizan atau Menteri Keadilan
9. Wazirat al Maarif atau Menteri Pendidikan
10.Wazirat al Khariziyah atau Menteri Luar Negeri
11. Wazirat ad Dakhilyyah atau Menteri Dalam Negeri
12. Wazirat al Auqaf atau Menteri Urusan Wakaf
13. Wazirat az Ziraaf atau Menteri Pertanian
14. Wazirat al Maliyyah atau Menteri urusan HArta
15. Wazirat al Muwashalat atau Menteri Perhubungan
16. Wazirat al asighal atau Menteri Urusan Kerja
17. As Syaikh al Islam Mufti Empat Syeik Kaabah
18. Qadli al Malik al Adil atau Qadi Raja Yang Adil
19. Wazir Tahakkum Muharrijlailan atau Ketua Pengurus Kesenian
20. Qadli Muadlam atau Qadhi/Jaksa Agung
21. Imam Bandar Darul Makmur Darussalam
22. Keuchik Muluk atau Keuchik Raja
23. Imam Muluk atau Imam Raja
24. Panglima Kenduri Muluk atau Ketua Urusan Kenduri Raja.
Kedua puluh empat lembaga atau jabatan seperti disebutkan di atas, dipegang oleh orang-orang tertentu sebagai pimpinan yang diangkat oleh Sultan Aceh. Selain jabatan-jabatan itu di Kerajaan Aceh, terdapat pula tiga buah badan atau lembaga lainnya yang fungsinya hampir dapat disamakan dengan lembaga legislatif sekarang. Lembaga ini turut mendampingi Sultan dalam melaksanakan tugasnya. Ketiga Lembaga ini adalah 1. Balairungsari, yaitu tempat bermufakat empat orang Uleebalang (Hulu Balang Empat) dan tujuh orang alim ulama, serta menteri-menteri Kerajaan Aceh. 2. Bale Gadeng, yaitu Tempat mufakat dari delapan orang Uleebalang dan tujuh orang alim ulama serta menteri-menteri Kerajaan Aceh, dan 3. Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu sebagai tempat mufakat wakil rakyat sebanyak tujuh puluh tiga orang yang datang dari tujuh puluh tiga mukim. Jadi tiap-tiap mukim diwakili oleh satu orang.
Selain ketiga lembaga di atas, dalam sebuah naskah yang bernama Kanun Meukuta Alam Sultan Iskandar Muda, disebut pula ada Balai Laksamana yaitu semacam markas angkatan perang, yang dikepalai oleh seseorang yang disebut Laksamana, yang tunduk atau berada di bawah Sultan. Selanjutnya ada pula yang disebut Balai Fardah, yang tugasnya memungut atau mengumpulkan Wase (Bea Cukai). Balai ini tunduk pada perintah Perdana Menteri. Disebutkan pula, dalam pemerintahan kerajaan, Sultan Aceh tunduk kepada Kanun.

Selain kepemimpinan yang telah disebutkan di atas terdapat pula beberapa bentuk kepempimpinan pada tataran kampung atau gampong di Aceh. ”Keuchik” adalah pemimpin yang mengepalai sebuah Gampong (kampung). Gampong merupakan bentuk teritorial terkecil dari susunan Pemerintahan di Daerah Aceh, yang terdiri atas beberapa kelompok rumah tangga dan memiliki sebuah tempat kegiatan bersama, bermusyawarah dan beribadat bagi warga yang disebut dengan ”Meunasah”. Di samping itu ada ”Balei” tempat lebih kecil dari Meunasah (fungsinya hampir sama). Keuchik merupakan tokoh sentral Gampong, dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Waki dan Tuha Peut Gampong.
”Waki” artinya Wakil Keuchik sebagai pejabat penyampai informasi kepada masyarakat atas perintah Keuchik dan berkewajiban mendampingi Keuchik dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Ia memukul tambö (bedug) untuk memanggil orang menghadiri suatu musyawarah atau bersifat pengumuman lainnya.
“Imeum Meunasah” yang lebih populer dengan panggilan Teungku Meunasah, merupakan pembantu Keuchik, dalam bidang agama Islam (huköm) pada setiap Gampong. Fungsi ini sangat dihormati dalam masyarakat Gampong.
”Tuha Peut” adalah suatu institusi perangkat Gampong yang terdiri dari empat orang unsur ketokohan masyarakat, yang dituakan karena pengalaman, kearifan dan disegani dalam Gampong bersangkutan (Dewan Empat). Mereka membantu Keuchik, memberi nasehat/saran atau tempat Keuchik meminta pendapat/nasehat dalam mengambil kebijak-an/keputusan, terutama “bidang pengadilan” dalam hal sengketa.
“Imeum Mukim” adalah orang yang memimpin wilayah Mukim, wilayah gabungan dari beberapa Gampong yang berdekatan. Mukim berasal dari wilayah kesatuan penduduk dalam melaksanakan sembahyang Jum’at di sebuah Masjid. Imeum Mukim mulanya berasal dari fungsi Imam Mesjid. Karena perkembangan masyarakat, fungsi Imeum Mukim berubah menjadi Kepala wilayah Mukim, mengkoordinir Keuchik-keuchik yang mengepalai Gampong. Sekarang Imeum Mukim merupakan elemen pemerintah (sesuai dengan Qanun No.4 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Mukim), sekaligus sebagai Kepala Adat, berwenang menyelesaikan sengketa adat di wilayahnya, sedangkan Imam Mesjid adalah berfungsi mengelola urusan Mesjid (agama).
“Keujruen Blang” adalah seseorang atau lebih yang ditugasi Keuchik untuk mengurus hal-hal yang berkenaan dengan pertanian/persawahan/irigasi Gampong, seperti menetapkan waktu turun ke sawah, penetapan tatacara/adat istiadat upacara “khanduri” turun ke sawah, penetapan lepas panen untuk lepas ternak (luwaih blang) pengaturan air ke sawah penduduk, dan lain-lain.
”Panglima Laot” (Panglima Laut) adalah orang yang mengatur para nelayan dalam mencari ikan, tatacara pemasaran dan sistem pembagian hasil penangkapan ikan di laut.
“Peutua Seuneubök” adalah seseorang yang diangkat untuk memimpin, pengaturan dan pe-nyelesaian persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pembukaan lahan hutan untuk areal per-kebunan, misalya perkebunan lada, cengkeh, pala dan lain-lain
“Haria Peukan” adalah seseorang yang ditugasi untuk mengatur Peukan (Pasar dagang), mengutip pajak atau cukai yang disebut “Cok Adat” pada peukan-peukan tertentu, termasuk hari-hari Peukan (Uroe Gantoe) di Gampong atau Mukim. Haria Peukan disebut juga “Ureueng Cok Adat” dan bila muncul persoalan-persoalan di “Peukan”, maka Haria peukan dapat mengatasinya atau menyelesaikannya.
”Syahbanda” artinya Syahbandar. Dia adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengepalai pelabuhan dalam wilayah hukum tertentu. Tugas utamanya adalah mengawasi kapal-kapal yang masuk dan keluar dari pelabuhan dalam wilayah hukumnya.
“Pawang Glé” adalah seseorang yang mengatur dan mengurusi orang-orang yang mata pencaharian di “Glei”/gunung, menyangkut mencari rotan, berburu rusa dan lain-lain dalam kesatuan wilayah hukum tertentu.

No comments: