May 23, 2011

Nilai-nilai Budaya Aceh yang terkait dengan Kepemimpinan

Oleh Agus Budi Wibowo


Nilai budaya adalah satu bagian dari kebudayaan komunitas tertentu yang merupakan suatu konsepsi abstrak yang dianggap baik dan amat bernilai tinggi dalam hidup, yang menjadi pedoman tertinggi kelakuan dalam kehidupan satu masyarakat (Melalatoa, 2005: 10). Sebagai sebuah etnisitas budaya, masyarakat Aceh juga memiliki nilai budaya, yang salah satunya adalah nilai budaya yang terkait dengan kepemimpinan.
Pemahaman nilai budaya tentang prinsip kepemimpinan masyarakat Aceh dengan menelaah dan mendalami peribahasanya (P. Lunde dan Wintle, 2010). Kebenaran pendapat ini bertumpu pada kenyataan bahwa arti luas peribahasa merupakan kata, frase, klausa, atau kalimat ringkas yang baku dan tetap susunan serta pemakaiannya, yang (pernah) hidup dalam tradisi lisan sesuatu bahasa, dengan isi yang selalu mengkiaskan maksud tertentu untuk dijadikan penuntun berperilaku dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian peribahasa mencakup ungkapan, bidal, perumpamaan, pepatah, dan petitih, serta berisi tamsil, ibarat, perbandingan, nasihat, petuah, ajaran, asas hidup, atau tata aturan tingkah laku yang dianut oleh bangsa pemilik bahasa yang bersangkutan dalam menjalani hidupnya. Seperti dinyatakan oleh Danandjaja (1984: 32), sebagai bagian folklore lisan peribahasa memang dapat berfungsi menjadi pengukuh pranata dan lembaga kebudayaan, alat pengawas dan pemaksa pematuhan norma masyarakat, instrument pendidikan, dan juga alat komunikasi dalam kontrol sosial. Karena kodratnya, isi peribahasa memang dimaksudkan untuk memberikan pengarahan, teladan, harapan dan nasihat, sehingga dapat dijadikan bahan pelajaran berharga untuk diikuti dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Masyarakat Aceh mengenal peribahasa yang sesungguhnya menggambarkan jati diri/watak dari masyarakatnya., yang disebut pula dengan hadis maja atau narit maja. Menurut Ali dkk (2009: 1) narit maja menduduki tingkat kebenaran nomor tiga dalam masyarakat Aceh. Tingkat kebenaran pertama adalah Wahyu Allah Swt. Tingkat kebenaran kedua adalah Hadis Rasulullah Saw. Tingkat kebenaran ketiga adalah Narit maja atau Peutitih peteteh. Karena kebenaran narit maja berada di bawah Hadis Nabi, maka orang-orang menyebutnya dengan atau hadih maja. Narit maja adalah tutur perkataan orang-orang tua zaman dahulu yang dapat dijadikan nasihat, petunjuk, petuah, ajaran, dan larangan itu pada umunya berkaitan dengan agama Islam, adat Istidat, pendidikan, dan kehidupan masyarakat.
Dalam sistem budayanya, masyarakat Aceh memiliki prinsip-prinsip kepemimpinan yang selaras dengan prinsip harmoni kehidupan di jagad raya. Hukum alam, fakta empris, dan kesadaran logis untuk hidup berperaturan merupakan prinsip utama yang diyakini sebagai poros kemaslahatan. Sebuah negeri, wilayah, kampong haruslah ada pimpinannya yang diatur dengan peraturan dan hukum. Kalau prinsip-prinsip ini tidak ada, kehidupan menjadi kacau balau. Dalam pandangan hidup orang Aceh pemimpin merupakan orang yang paling berat tanggungjawabnya. Ia juga harus memiliki tingkat kesabaran yang tinggi karena seorang pemimpin harus “tahan banting” dan tidak gampang menyerah atau berputus asa. Selain itu, seorang pemimpin harus mampu menerima berbagai kritik, baik yang sifatnya konstruktif maupu yang sifatnya destruktif, sekaligus harus pula memahami karakter masyarakat yang dipimpinnya secara baik. Tanpa kesabaran dan rela menerima kritikan tajam, seorang pemimpin di Aceh bertahan lama dan tidak berharga. Hal ini tampak pada hadih maja berikut ini

Lampoh mupageue, umong mupitak
Nanggroe meusyarak maseng na raja
(Kebun berpagar, sawah berpetak,
Negeri berhukum semua ada raja)
Lagee mon tuha
Geulupak, tapeh keunan bandum
(Seperti sumur tua
Bongkah dan sabut kelapa semua ke situ)
Seperti telah disebutkan sebelumnya,
Pada bagian lain, masyarakat Aceh juga memiliki beberapa prinsip dalam sistem kepemimpinan mereka. Prinsip-prinsip kepemimpian itu diantaranya, yaitu:
1. Masyarakat Aceh tidak mengenal dualisme kepemimpinan.
Hal ini dikarenakan akan terjadi silang kepentingan dan akhirnya terjadi perpecahan yang dapat menyebabkan disharmoni dan disintegrasi negara dan bangsa. Hadih maja yang menyatakan hal tersebut,
Nibak lon kalon dumnoe pie
Bakkeuh reule ho langkah ba
Hantom digob na digeutanyoe
Saboh nanggroe dua raja
(Daripada kulihat begini keadaannya
Biarlah hancur kemana langkah bawa
Tidak pernah pada orang ada sama kita
Satu negeri dua orang raja)
Saboh nanggroe dua tanglong
Saboh gampong dua peutua
(Dalam satu negeri dua tanglung
Dalam satu kampong dua pemimpinnya)
2. Pemimpin adalah raja
Dalam terminology masyarakat Aceh secara umum, pemimpin negara adalah raja. Karena itu, orang yang berhak menjadi raja adalah keturunan raja atau anak raja dari permaisuri. Hal ini terkait dengan legitimasi yang secara resmi mengakui pengganti raja adalah anak raja yang sah secara hokum. Hukum adat tidak membenarkan anak dari selir diangkat menjadi raja. Namun adalah yang penting juga dengan konsep ini adalah bahwa pemimpin harus memenuhi syarat seorang pemimpin, seperti baik keturunannya, baik sifatnya, cerdas, beragama, beradat, dan beradab. Hadih maja yang menyatakan hal ini adalah:
Euncien bak putu bek tasok bak gitek
Aneuk bak gundek bek taboh keu raja
(Cincin di jari manis jangan dipakai di kelingking
Anak pada gundik jangan diangkat menjadi raja)
3. Pemimpin haruslah memperhatikan rakyatnya dalam berbagai bidang
Masyarakat Aceh mengidamkan seorang pemimpin yang peduli terhadap rakyat dalam segala bidang kehidupan. Prinsip ini masih dipegang oleh masyarakat. Bagi seorang pemimpin yang mampu menjalankan amanah tersebut, maka rakyat akan menaruh cinta kepadanya. Mereka akan mengikuti dengan sungguh-sungguh dan menyerahkan semua urusan pemerintahan kepadanya. Hal ini tampak pada hadih maja berikut ini,
Nyankeuh raja nyang seureuloe
Aneuk nanggroe that geuaja
(itulah raja yang sangat utama
Selalu mengajari rakyatnya
Akan tetapi, jangan sekali-kali seorang pemimpin di Aceh menzalimi rakyat atau bawahannya. Jika pemimpin mereka baik, orang Aceh akan mengikuti dengan baik, tetapi jika pemimpin berlaku zalim, maka orang Aceh akan melawannya. Prinsip ini tercermin dalam hadih maja berikut ini:
Raja ade geuseumah
Raja laklem geusanggah
(Raja adil disembah
Raja zalim disanggah)
Adapun alasan melakukan perlawanan terhadap pemimpin yang zalim adalah karena pemimpin zalim tersebut dapat menyebabkan sebuah negeri menjadi sial, yaitu rusaknya sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, untuk mencegah kerusakan yang bakal terjadi, rakyat sebagai salah satu elemen penting dalam negara harus memberikan peringatan kepada negara, baik cara lembut maupu keras sesuai dengan situasi dan kemampuan yang dimiliki. Hal ini tampak dari hadih maja berikut
Paleh inong hana lakoe
Paleh nanggroe laklem raja
(Sial wanita tak bersuami
Sial negeri zalim raja)

No comments: