May 23, 2011

Pengaruh Ajaran Islam terhadap Sistem Kepemimpinan di Aceh

Oleh Agus Budi Wibowo


Islam beserta ajarannya bagi ureueng Aceh bukanlah suatu istilah atau nama yang asing lagi. Masyarakat Aceh, dalam sejarahnya hingga kini, dianggap sebagai penganut Islam yang kuat. Bagi orang Aceh, ajaran agama merupakan tokok ukur dan barometer atas segala sikap, tindak-tanduk, perbuatan dan penampilan mereka dalam pergaulan sesamanya. Sikap dan pandangannya dan segala macam bentuk benar-salah, bagus jelek, baik-buruk dan segala macam bentuk penilaian selalu dikaitkan dengan ajaran Islam.
Masyarakat Aceh benar-benar menghayati ajaran Islam dalam kehidupannya. Penghayatan yang begitu besar dan mendalam terhadap ajaran Islam diwujudkan dalam bentuk akulturasi antara adat dengan ajaran agama. Hal ini berarti bahwa seseorang yang telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan yang dituntut atau digariskan dengan adat, maka hal itu berarti ia telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan ajaran agamanya pula, atau sekurang-kurangnya tidak keluar dari bingkai agama yang mereka anut (Nyak Pha, 2000: 10). Oleh karena itu, semua gerak kehidupan masyarakat selalu terikat pada syariat Islam yang dikemas dalam bentuk adat (hukum) dan adat-istiadat. Keadaan ini tampak pada beberapa aspek seperti yang termaktub dalam beberapa hadih maja di bawah ini.
1. “Adat bak Poteumeurohom, Hukom bak Syaih Kuala, Kanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana”. (Adat-hukum pengaplikasiannya dalam masyarakat berada di bawah tanggung jawab raja/pemerintahan, sedangkan hukum-hukum Islam berada di bawah tanggung jawab ulama, adat-istiadat dan upacara protokoler istana berada di bawah tanggung jawab berada di bawah tanggung jawab - Putro Phang dan adat istiadat atau kebiasaan berada di bawah tanggung jawab penguasa-penguasa atau pemimpin-pemimpin setempat).
2. Hukom ngon adat lagee dzat ngon sipheuet (Hukum Islam dan Hukum adat ibarat benda dengan sifatnya, jadi tidak dapat dipisahkan).
3. Hukum ngon adat hanjeuet cree, lagee mata itam ngon mata puteh (Hukum Islam dan hukum adat tidak boleh berpisah seperti mata hitam dan mata putih)
Ungkapan-ungkapan ini merupakan pencerminan dari perwujudan syariat Islam dalam praktek hidup sehari-hari pada masyarakat Aceh. Kemudian tidak berlebihan apabila Aceh mendapat gelaran Serambi Mekkah, semangat Perang Sabil, Kerajaan Aceh Darussalam. Kesemua itu adalah wujud dari semangat dan nilai yang lahir dari perpaduan tadi.
Islam tidak hanya telah diupayakan untuk ditegakkan di tengah-tengah masyarakat dalam artian pelaksanaan ajarannya, agama ini juga telah menjadi fondasi utama dalam pembentukan budaya, tradisi, dan adat istiadat. Tradisi istana kerajaan di masa lalu sarat dengan nilai-nilai Islami, sejak dari gelar yang digunakan, konsep kepemerintahan, tradisi seremonial istana (yang tidak membedakan antara tradisi ke-Islaman dengan kerajaan), dan berbagai kebijakan keagamaan kerajaan, terutama pada abad ke-17 (Hadi, 2004; Hadi, 2008: 13-14). Islam tidak hanya menjadi inspirator bagi pembangunan dan kemajuan di Aceh dalam berbagai bidang, ia juga berperan sebagai motor utama dalam resistensi yang kuat terhadap Portugis di Melaka, pada paruh pertama abad ke-16, dan Belanda, pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, dan juga terhadap Jepang. Perang atas nama agama ini senantiasa dipegang erat oleh masyarakat secara konsisten. Menurut mereka, bangsa asing tersebut dipandang telah membahayakan hidup agama dan tanah air. Mereka akan menghadapinya dengan semangat yang tinggi dalam keadaan yang demikian mereka hanya mengenal mati syahid atau menang.
Dalam kaitan dengan sistem kepemimpinan, Islam pun mempunyai sistem atau mekanisme tersendiri. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda,
“Semua kamu adalah pemimpin dan bertanggung-jawab atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dalam keluarganya dan bertanggujawab atas kepemimpinannya. Seorang isteri adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas penggunaan harta suaminya. Seorang karyawan (pelayan) bertanggungjawab atas harta perusahaannya (majikan). Seorang anak bertanggungjawab atas penggunaan harta ayahnya. (HR, Al Bukhari dan Muslim).

Nilai-nilai Islam tersebut kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam diri masyarakat Aceh. Sebagai sebuah masyarakat yang Islami, strata dan sistem organisasi dalam masyarakat Aceh dibangun berdasarkan konsep pemerintahan yang bernuansa Islami, Karena itu, sejak dahulu sudah ada ungkapan, “Nanggroe meusyara’, lampôh meupageue, umong meuateueng, ureueng meunama.” Yang artinya Negeri bersyarak, kebun berpa¬gar, sawah berpematang, orang bernama’. Hadih maja ini menyiratkan bahwa sebuah komuni¬tas mestilah memiliki kaidah, hukum, konvensi, dan batasan-batasan tertentu. Hal ini sangat berguna dalam rangka membangun sebuah kehidupan yang harmonis.
Untuk itu, hukum Kerajaan Aceh Darussalam dinyatakan sebagai negara yang berbudaya hukum. Pemahaman itu termaktub dalam Qanun al-Asyi, sebagai berikut:
”Bahwa negeri Aceh Darussalam adalah negeri hukum yang mutlak sah dan bukan negeri hukuman yang mutlak sah. Dan rakyat bukan patung yang berdiri di tengah padang, akan tetapi rakyat seperti pedang sembilan mata yang amat tajam, lagi besar matanya, lagi panjang sampai ke timur dan ke barat, jangan dipermudah sekali-kali hak rakyat”.
Qanun al-Asyi yang disebut juga dengan Adat Meukuta Alam yang bersumber dari al-Qur’an, al-Hadist, Ijma’ Ulama dan Qias, menetapkan ada empat sumber hukum, bagi kerajaan Aceh, yaitu:
a. Kekuasaan Hukum (Yudikatif) yang dipegang oleh Kadhi Malikul Adil.
b. Kekuasaan Adat (Eksekutif) yang dipegang oleh Sultan Malikul Adil.
c. Kekuasaan Qanun (Legislatif) yang dipegang oleh Majelis Mahkamah Rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat).
d. Kekuasaan Reusam (Hukum Darurat) yang dipegang oleh Penguasa Tunggal, yaitu Sultan sebagai penguasa tertinggi waktu negara dalam keadaan perang.
Kemudian dalam menjalankan empat jenis hukum dalam kerajaan, Qanun al- Asyi menetapkan bahwa Raja dan Ulama harus menjadi Dwi Tunggal (tidak boleh jauh atau bercerai) dalam sistem kepemimpinan di tingkat kerajaan, seperti disebutkan dalam Qanun:
”Artinya Ulama dengan Raja atau Rais tidak boleh jauh atau bercerai. Sebab jikalau bercerai dengan Raja atau Rais, niscaya binasalah negeri. Barang siapa mengerjakan Hukum Allah dan meninggal-kan Adat, maka tersalah dengan dunianya dan barangsiapa mengerjakan Adat dan meninggalkan Hukum Allah, maka tersalah dengan Allah. Maka hendaklah Hukum dan Adat itu seperti gagang pedang dengan mata pedang”.
Dalam konteks yang lebih luas, negara atau kera¬jaan, keharmonisan tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam distribusi kekuasaan antarelit da¬lam komunitas tersebut, seperti dikatakan dalam hadih maja sebelumnya, bahwa Adat bak Poteu Meureuhôm, Hukôm bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana. Atau Adat bak Poteu Meureuhôm, Hukôm bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang, Reusam bak Bentara. Hadih maja tersebut menyebutkan bahwa persoalan adat-istiadat, sistem pemerin¬tahan, hendaklah disesuaikan dengan konvensi para raja dan diserahkan sepenuhnya pada raja, Poteu Meureuhôm. Namun, Persoalan hukum diatur oleh ulama, Syiah Kuala. Karenanya, tidak berlebihan kalau para raja (masa lalu ataupun saat ini) berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan, menghidup-kan kembali, dan takut sekali melanggar adat (walau kadang bertentangan dengan syariat Islam). Sikap ini merupakan pengejawantahan pemikiran bahwa adat-istiadat yang ada dalam masyarakat idealnya dipertahankan, tidak diubah, sesuai dengan maksud hadih maja, “Boh malairi ie paseueng surôt, adat datôk nini beutaturôt” ‘buah malairi air pasang surut, adat nenek moyang hendaklah diturut’.

No comments: